"Ayah, Ibu. Aku akan menuntut balas, atas ketidakadilan ini!" Lirihnya dengan tekad kuat menggelegak. Srikandi yang sejak usia enam tahun dirawat oleh seorang kakek, kini ia masuk ke istana dan menyamar menjadi seorang pelayan demi balas dendam atas kematian keluarganya. Namun, disaat rencana untuk menuntaskan pembalasan nyaris berjalan mulus, ia malah tersangkut masalah cinta dengan pangeran di istana itu. Manakah yang akan Srikandi pilih?
View MoreSepasang netra bening itu menatap nanar, pada daratan luas yang dipenuhi puing-puing berserakan. Reruntuhan perumahan menjadi pemandangan memilukan di sepanjang penglihatan.
Menampilkan slide demi slide, rentetan kekejaman di masa lalu. Bagaimana puluhan orang berseragam prajurit, dengan tombak tajam di tangan kanannya, menyerbu tanpa ampun pemukiman itu.
Langkah gadis dua puluh tahunan itu terhenti pada sebuah bekas rumah tak berbentuk. Sepasang netra menatap tajam, memerah, hingga tanpa terasa genangan mulai memenuhi pada sudut-sudutnya.
Masih terlihat jelas orang-orang di rumah itu. Sepasang suami istri dengan segala upayanya, melindungi ke empat anak yang masih kecil. Masih terlihat jelas, bagaimana beberapa orang asing menerobos masuk, menghajar seorang pria hingga limbung.
Nasib pria itu berakhir saat sebuah tombak terlempar kuat, dan menghujam tepat pada jantungnya. Ia ambruk dengan diiringi teriakan histeris dari istri dan ke empat anaknya. Ia menghembuskan nafas terakhir, dengan tangan terulur ke arah sang istri yang telah dicekal tiga orang asing.
Dua orang anak telah berhasil dilumpuhkan, darah segar mengalir di leher dan mulutnya. Tak menunggu hitungan menit, tubuh mungil itu jatuh tak bergerak. Dua lainnya berteriak ketakutan, melihat sang ibu tanpa busana dan menjadi bulan-bulanan beberapa orang asing itu.
Sang Ibu menjadi pemuas hasrat bejat, hingga tak sadarkan diri dan salah satu lantas membebaskannya dari siksaan kejam. Membebaskannya dengan cara memisahkan nyawa dari raga, setelah dirasakan telah mampu menuntaskan kehausan nafsu masing-masing orang.
Tersisa dua orang anak, mereka berlari sekuat tenaga. Salah satu menyelinap di bawah rerimbunan, dan satu lagi menghembuskan nafas terakhir tak jauh darinya.
Srikandi.
Gadis enam tahunan itu membekap mulut kuat-kuat, dengan mata berair hingga terasa perih. Tetap berada di tempat tanpa berani menggerakkan badan sedikitpun, apalagi saat rombongan orang asing tadi mondar-mandir tak jauh darinya.
Mereka pasti mencari anak yang kabur tadi, karena berdasarkan titah sang Raja, daerah ini harus luluh lantah. Tak boleh ada satupun yang tersisa, sebab bisa saja menumbuhkan benih baru sisa-sisa pemberontakan itu.
Maka Srikandi pun tetap bertahan di sana, hingga mereka pergi dengan sumpah serapah. Saat di rasa telah aman, gadis kecil itu keluar dari tempat persembunyian, mendekati kakak lelakinya yang telah terbujur kaku. Rupanya, punggung sang kakak telah bersarang mata tombak, hingga menembus dada.
"Kakak .... " Rintih sang gadis memeluk erat badan Lakak yang telah memayat.
Srikandi.
Gadis kecil yang harus menyaksikan semua kejadian tak beradap itu. Ia tergugu seorang diri, di tengah wilayah penuh genangan darah dan aroma kematian mencekam.
Kesadarannya memulih pada waktu masa kini. Gadis dua puluh tahunan itu ambruk, kedua tangannya mencengkeram bumi. Dengan mata berair dan rahang mengeras, mewakili hasrat dendam yang kian membara.
"Ayah, Ibu. Aku akan menuntut balas, atas ketidakadilan ini!" Lirihnya dengan tekad kuat menggelegak.
__________________"Srikandi, cah ayu. Kakek perhatikan dari tadi kau terus melamun," Ucap Kakek menyusul duduk di depan sang gadis. Srikandi, ia hanya melirik Kakek dengan seulas senyum tipis dipaksakan. "Ada apa?" Tanya Kakek.Tak lantas menjawab, Srikandi malah membuang tatapan ke arah persawahan luas membentang di bawah sana. Entah telah berapa tahun ia dibesarkan oleh Kakek baik hati, di rumah terpencil ini.
Satu-satunya rumah di atas bukit, yang disuguhi pemandangan memanjakan pada kanan dan kirinya, di sepanjang mata memandang. Indah, nyaman dan tenang. Itulah kesan yang ia dapatkan selama berada di sini. Namun, sejak ia melihat bekas pembantaian di wilayah masa kecilnya, entah mengapa jiwa mudanya kian bergolak.
"Kek, sampai kapan Srikandi akan tetap tinggal di rumah ini?" Tanya sang gadis, tatapannya masih menerawang ke pemandangan luas di bawah sana. Kakek, pria lima puluh tahunan itu tersenyum lembut, beliau paham apa maksud yang ditanyakan Srikandi.
"Apa kau sudah bosan hidup di sini dengan kakek?" Tanyanya, Srikandi mendongak. Menemukan sepasang manik tegas menatap lembut, dari balik rambut memutih menjuntai di luar ikat kepala. Mengetahui sang Kakek menebak sangat tepat, gadis itu menurunkan sorot netra.
"Srikandi ingin sekali melihat keadaan dunia luar, Kek." Ia mendongak, sepasang tangan kokoh yang mulai berkerut halus itu menyentuh pundaknya. Kedua tangan itulah yang sejak kecil merawat, juga memberikan bekal hidup berupa ilmu bela diri.
"Srikandi, cucuku. Ingatlah, jangan sekali-kali berniat mengembara hanya karena menyimpan dendam. Akan sia-sia semua ilmu yang Kakek ajarkan padamu selama ini," Pesan sang Kakek seraya menatap lekat sepasang netra bening berwarna hitam kehijauan. Srikandi menunduk, menyimpan wajah yang bisa saja berubah akibat pesan Kakek barusan. Ia mengangguk takzim.
"Jadikan pengalaman memilukan itu sebagai cambuk kekuatan, untuk tetap kuat melangkah di bumi fana ini. Jangan sekalipun terbersit dalam pikiranmu, untuk balas dendam, cah ayu. Ingat itu."
"Iya, Kek. Saya tau." Hanya itu jawaban singkat yang keluar dari mulut sang gadis. Maka Kakek tersenyum bangga, menepuk lembut pundak yang dulu ringkih dan pilu itu.
"Kakek percaya padamu," Ucap Kakek. "Memang telah waktunya kau pergi mengembara, cucuku. Kau pasti ingin seperti Kupu-kupu di luar sana, yang bebas mengepakkan sayap kemanapun sesuai kata hati."
"Bukankah telah waktunya saya untuk mengamalkan ilmu yang Kakek ajarkan pada saya selama ini," Sang gadis bersurai panjang menimpali. Kakek mengangguk tegas, membenarkan ucapan murid yang telah dianggap seperti anak sendiri.
"Asalkan kau mau berjanji dengan Kakek."
"Apa itu, Kek?" Tanya Srikandi penasaran.
"Pergunakan ilmu yang kau miliki itu hanya pada jalan yang benar. Kakek khawatir, masih ada setitik amarah dalam dirimu." Pesan sang kakek, Lagi-lagi membuat mata bening berhias bulu lentik itu mengerjap.
Sepak terjang Kakek yang telah puas dengan kejamnya dunia persilatan, membuat pria tua itu tau, hati mana saja yang tulus dan palsu.
___Ketika langit mendatangkan kelam malam, menggilas terang menjadi gulita. Lalu menghamparkan benda berpijar, berserakan di angkasa raya. Menggiring angin lembut beraura mistis, menuntun sebagian makhluk melepas lelah dalam peraduan masing-masing.Namun, hal itu tak berlaku bagi seorang gadis muda. Tak peduli pekatnya malam kian mencekam, burung hantu dan longlongan hewan buas terdengar pada setiap sudut hutan.
Tak peduli dengan badan bersimbah peluh, Srikandi terus bergerak. Mengayun pedang, menebas ruang kosong, mencipta keseimbangan seperti yang telah diajarkan dari sang Maha guru.
Bayangan darah segar memuncrat dari mulut Ayah, membuat gerakannya semakin membabi buta. Tak peduli apapun di depan, tangannya terus menebas. Bayangan Ibu yang berteriak memilukan, digilir beberapa orang prajurit istana, membuat badan Srikandi melenting ke udara.
Satu teriakan tertahan, dibawanya kembali. Sebuah pohon besar menjadi sasarannya, hanya dengan sekali tebasan ia tinggalkan dengan menjejak bumi. Pohon besar itu patah dan terjatuh ke tanah, menyisakan nafas memburu dalam dada yang masih bergolak.
Samar suara tepukan tangan mengembalikan kesadarannya. Ada Kakek berdiri di hadapan dengan memasang kuda-kuda. Tanpa aba-aba, pria tua yang telah kenyang asam garam dunia persilatan itu melancarkan serangan bertubi.
Srikandi yang masih menata nafas, ia kehilangan keseimbangan. Pedang ditangan malah tertangkis sang kakek, dan terlempar entah kemana. Beberapa kali hendak menangkis tangan Kakek yang bergerak seperti angin, ia tak kuasa.
Satu pukulan Kakek mengenai punggung, membelit kedua tangan dari belakang. Srikandi tak dapat bergerak.
"Amarah masih menutup logikamu, anak manis."
----***----
Ia kini dihadapkan kembali dengan persiapan serangan yang lebih dari sebelumnya. Namun, sebelum itu, Tiba-tiba ada sosok lain yang datang membantu. Melemparkan satu tendangan dan membuat mereka bertiga langsung terjatuh bersamaan. Sosok itu beberapa detik masih berdiri membelakangi Marta, hingga ia tak bisa melihat siapa. Apalagi di malam gelap seperti ini. Ia hanya bisa melihat, bahwa tiga orang jahat tadi saling menarik satu sama lain.Mereka berlari tunggang-langgang, meninggalkan Marta tercengang seorang diri. Dalam kepalanya mulai disinggahi rasa khawatir akan sosok yang tak juga membalikkan badan. Ia perlahan mendekat, dan semakin diamati, postur badan itu seperti tidak asing. Namun Marta tak berani menyimpulkan terlalu cepat. "Terimakasih, tuan. Telah membantu saya," Ucapnya pada sosok pria yang masih menyembunyikan wajah. Marta bisa melihat sosok itu, dari ujung kaki hingga ujung kepala yang mengenakan topi bambu. Pria itu, perlahan membalikkan badan. Marta tercengang. Tak
"Memang, apa kau tidak ingin terbuka dengan orang lain? Jangan hanya menutup diri seperti kemarin." Gading tak segera menjawab, pria itu malah menatapnya lekat-lekat, dengan pandangan yang tak bisa dimengerti."Kalau aku membuka hati, apa kau mau menerimanya?" Marta tercengang, baru menyadari bahwa pertanyaan tadi telah menjebak dirinya sendiri.Tak tau harus menjawab apa, kini Marta hanya menahan nafas dengan mengalihkan pandangannya. "Jadi bagaimana, Marta?" Tanya gading lagi, sebab belum mendapatkan jawaban. Sementara sang gadis seperti tak paham bahwa yang diajak bicara sangat mengharapkan jawaban."Aku, aku tidak paham dengan arah pembicaraanmu, Gading. Sebenarnya bagaimana?" Untuk lebih jelasnya, ia memang membutuhkan itu."Apa kau tidak paham juga, Marta? Saat ini aku sangat membutuhkan seorang teman yang bisa membuat hatiku kembali hidup seperti dulu." Marta belum berani menyahut, sebab dari sinipun sebenarnya ia telah mengerti."Tolong berikan hatimu padaku, Marta." Tiba-tiba
Keduanya berhenti akibat berpapasan dengan pohon besar, dengan posisi Marta berada di bawah badan Gading yang sama-sama membelalak kaget.Satu detik, dua detik. Marta bisa merasakan detak jantung Gading yang memacu cepat. Secepat pria itu membawanya berlari tadi. Setelah beberapa saat lamanya saling menatap, dan mengagumi dalam hati, Gading tersadar."Maaf." Pria itu spontan berdiri, tanpa menghiraukan Marta yang kepayahan menegakkan badan akibat tertindih olehnya.Dan sesaat setelah ia berhasil berdiri di depan Gading, Marta membelalak. Tak jauh di belakang pria itu, kucing besar tadi menyusul. Ia langsung menghunus anak panah di punggung gading, dan melemparkan tanpa perhitungan.Namun, ketika Gading menoleh, hewan itu telah menggelepar kesakitan. Tak lama, nafas terakhirnya pun menghembus panjang, kemudian badannya tak bergerak lagi."Dia ... Kau, membunuhnya?" Gading bergumam, wajahnya setengah tak percaya."Dia sangat berbahaya. Jadi biarkan saja mati," Jawab Marta berlalu dari h
Hanya Marta sesekali melirik, memperhatikan tangan kekar itu. Yang ternyata begitu telaten membersihkan kelinci, hingga memotong-motongnya menjadi beberapa bagian kecil yang siap dimasak. "Ambilkan panci itu." Suara gading terdengar, dan Marta sengaja acuh. Tetap fokus dengan sayuran di kedua tangannya. Dalam hati ingin melihat, bagaimana reaksi pria itu jika diperlakukan demikian. "Kau dengar, tidak?""Aku?" Marta malah bertanya sambil menunjuk dirinya sendiri. Sementara yang tadi bertanya itu, kini berdecak kesal. "Mau menantang, kau rupanya?" Entah apa yang akan dilakukan, tangan Gading mendekati kepala Marta, dan tanpa ia sadari tiba-tiba lengannya terhempas kasar. Pria itu mendongak kaget, tak menyangka Marta gadis ini memiliki kecepatan luar biasa. Bahkan di saat ia belum sempat mengedipkan mata. Penasaran, gading kembali menggerakkan tangan, dan tangkisan Marta lebih tegas dari sebelumnya. Ia kini membelalak, apalagi melihat gadis cantik itu berdiri. Menatapnya dengan senyu
"Siapa suruh tidak makan," Celetuk Gading benar-benar membuat hati sakit. Andai saja kondisinya sehat, akan ia semprot dengan kalimat serupa. Dasar! Marta kini hanya bisa mengumpat dalam hati.Hanya ada sisa nasi beberapa butir, karena perut yang tak bisa lagi diajak bersabar, ia jumput nasi itu, dan makan. Aktifitas itu, sebenarnya tak luput dari pandangan aneh gading yang tak bisa dideskripsikan.Pria itu, sebenarnya sempat tertegun melihat sosok di depannya. Namun, tak ingin terlalu lama, Gading membuang wajah ke arah pintu.Sementara di sana, Marta tak menyadari. Setelah minum air dingin beberapa teguk, ia akan kembali ke kamar. Dengan langkah gontainya tadi, ia kadang jadi kehilangan keseimbangan, yang menyebabkan badannya oleng. Hampir ambruk, tetapi untung ia segera bisa membenahi posisi.Akan semakin kesal pria itu, jika ia harus merepotkan. Marta kembali ke kamar dan merebah lelah.Di luar kamar itu, gading mungkin penasaran tentang apa yang terjadi pada tamu perempuannya. Ia
Marta kesal, ia lemparkan daging tadi ke sebelah Gading yang kemudian mendongak kaget. "Dasar, manusia batu!" Umpat Marta berlari ke kamarnya. Sementara pria yang dikatakan manusia batu itu hanya melirik ke arah pintu yang masih bergerak akibat ditutup keras. Setelahnya, gading mengalihkan sorot mata pada beberapa tusuk daging, yang mungkin memang sengaja diperuntukkan baginya. Ia ambil tusukan mirip sate itu, menghirupnya sekilas dan menarik satu potong paling ujung menggunakan giginya. Gading menikmati, ia bergumam dalam hati, ternyata, gadis yang baginya cerewet itu pintar memasak. Gading membaringkan badan setelah menghabiskan semua sate tadi, dan membiarkan tusuknya tetap berserakan di samping badan. Bahkan hingga pagi, hingga Marta terbangun oleh hawa dingin tak biasa. Gadis itu mendekati tungku dan menyalakannya, di saat semua orang di rumah ini belum terdengar bangun. Marta memilih menghangatkan badannya di depan tungku. "Wah, wah. Kau rupanya sudah bangun, ya?" Suara Ibu
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments