“Ya, buka saja pintunya.” Luke menyahut dengan sedikit berteriak saat mendengar ketukan pintu, mengingat kamarnya adalah ruangan yang cukup luas.
“Selamat pagi, Bos. Maaf mengganggu pagi Anda. Bella dan Alexa yang Jeff jemput telah tiba, mereka berada di bawah.” Pengawal itu segera melaporkan apa alasan yang membuatnya harus menemui Luke.
“Persilakan mereka masuk ke ruang tengah. Katakan pada mereka untuk sedikit menunggu.” Luke menggumam seadanya dengan suara yang tegas.
“Baik, Bos. Perintah akan saya jalankan.” Pengawalnya itu menyahut patuh dan cepat yang dibalas dengan kibasan tangan.
Pengawal itu membungkuk dalam sebagai bentuk hormat. Ia melangkah mundur dan menutup pintu kamar itu setelah melihat Luke mengangguk untuk menyahut salamnya.
Luke kembali berbalik dan menatap jendela luar setelah kepergian pengawalnya itu. Sebenarnya tidak banyak yang ia pikirkan, ia hanya memikirkan Re
Rena telah berada di dalam mobil yang berisi ia, Luke, Jeffrey dan Ben. Telah hampir sepuluh menit mereka di dalam dan Rena hanya diam. Orang-orang yang berbicara hanya Ben dan Luke, mereka berbicara mengenai pekerjaan mereka. Sepertinya pekerjaan yang mereka lakukan di rumah Luke belum berakhir.“Baik, Ben. Aku minta salinan data ini. Usahakan besok pagi telah ada di meja kantorku.” Luke menyerahkan satu rangkap berkas pada Ben yang menoleh dari posisi duduknya yang memang di sebelah Jeffrey yang menyetir.“Baik.” Ben menerima berkas itu dan melihat isinya.Luke menyandarkan tubuhnya dengan wajah yang tampak lega. Tangannya terangkat untuk memijat pangkal hidungnya dengan mata yang terpejam. Ia sedikit terlihat kelelahan dan stres, Rena hanya menatapnya dalam diam. Ia ingat bagaimana Luke membentaknya tadi pagi karena rasa stres, Rena cukup tahu diri untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama.“Oh, Rena?”
“Tu-tunggu dulu, Hendry. Hentikan sebentar.” Amora mendorong Hendry yang sedang menyesap lehernya. Laki-laki itu memandangnya bingung sebelum menutup mata kesal.“Katakan saja jika kamu tidak menginginkannya, aku akan berhenti.” Hendry menarik napas sebentar untuk meredakan nafsunya lalu membawa tangannya untuk mengelus dahi Amora yang telah basah oleh keringat. Ia menyingkirkan rambut-rambut halus yang sedikit menghalanginya untuk menatap wajah manis itu.Amora terlihat sedikit ragu dan takut untuk mengusiknya, Hendry jadi khawatir dengan apa yang akan ia lakukan. Ia tidak ingin memaksa, karena sudah cukup dahulu ia melakukannya. Dulu saat mereka masih baru saja bertemu, saat ia masih menjadi orang yang benar-benar egois.“Tidak, Hendry, benar-benar bukan itu.” Amora menggeleng kecil dengan senyuman lalu tangannya meraih tangan Hendry yang mengelus dahinya dengan perlahan. Ia tahu apa yang Hendry pikirkan dan ia
“Begini tidak apa-apa?” Luke berbisik pada Rena. Itu mengenai blitz kamera yang tengah memotret mereka.“Tidak apa-apa, mereka tidak sebanyak tadi.” Rena menyahut disertai senyuman.Luke juga tersenyum, bukti dari seberapa lega perasaannya sekarang. Interaksi itu sangat manis, mereka terlihat seperti pasangan yang hangat dan romantis dari bagaimana mereka tersenyum dan memandang satu sama lain dengan lembut. Blitz kembali bermunculan, media berlomba-lomba mengabadikan momen langka ini.“Luke, tempat telah disediakan dan aku jamin tidak ada satu pun dari media yang dapat menyentuh kalian.” Jeffrey berbisik dengan pandangan yang tanpa henti mengawasi pergerakan media.“Baik, kalau begitu aku akan memulai konferensi pers ini.” Luke berbisik kecil pada Jeffrey, tapi kata-katanya masih dapat Rena dengar.“Mundur lebih dulu, Rena. Berjalanlah bersama Jeff, aku akan memi
“Hati-hati, Rena.” Luke mengucapkannya saat Rena menaiki anak tangga terakhir menuju kamar mereka. Setelah sedikit berbincang dengan sekretaris Hendry tadi mereka segera kembali. Luke semakin mantap untuk kembali dan memasuki ruang kerjanya setelah ia menemukan kain bertuliskan darah di dalam mobilnya. Lagi, teror yang sama. Untung saja Luke lebih dulu memasuki mobil dan sempat menyimpan kain itu di saku celana formalnya tepat sebelum membantu Rena untuk duduk di sebelahnya.Berbicara tentang teror, Luke telah meminta Ben untuk menghubungi seseorang terpercaya pada hari-hari sebelumnya agar segera menyelidiki. Luke telah menyerahkan kain yang sebelumnya pada Ben. Ia benar-benar berhati-hati sehingga memberi itu saat Rena beristirahat di rumah sakit.Luke langsung melepaskan jasnya sesaat setelah mereka memasuki kamar dan Rena yang melihat itu segera mendekati Luke untuk menyampirkan jas itu di lengannya. Rena tampak lelah, Luke kira itu karena
Luke bisa melihat seorang pria jangkung memasuki ruangannya dengan cara yang cukup formal. Johnny Lee adalah seorang detektif swasta yang juga bekerja untuk ia dan Hendry mengingat mereka selalu memberikan uang yang benar-benar tebal untuknya. Johnny membungkuk dalam lalu mengangkat tubuh setelah Luke mengangguk. Mereka masih diam hingga pintu telah ditutup oleh pengawal yang tadi mengantar Johnny. “Bagaimana kabarmu, Phoenix?” Ia mulai menyapa. “Cukup baik jika kamu memberikan apa yang aku mau.” Benar-benar Phoenix, jawaban yang membuat Johnny menyeringai. “Seperti biasa, selalu tajam. Bagaimana jika tidak?” Johnny mengangkat satu alisnya main-main. “Maka kamu akan menemukan tubuhmu sendiri dalam kondisi terikat dan setidaknya dua tulang patah besok pagi.” Luke mengendikkan bahunya dengan acuh, sungguh berbeda dengan kalimatnya yang mengerikan. “Wow! Relax, Phoenix.” Johnny tertawa lalu mendudukan tubuhnya pada sebuah
Rena mengambil sebuah celana kain hitam dari dalam sebuah lemari, lalu meletakkannya di atas ranjang. Kaki-kakinya yang mungil kemudian melangkah ke arah lemari yang lain untuk mengambil sebuah kemeja. Tapi ia berencana untuk tidak dulu mengambil dasi karena ia tidak tahu di mana Luke akan bekerja hari ini. Luke hanya akan mengenakan dasi dan jas jika ia bekerja di kantor.“Yang hitam.” Rena tersentak saat sebuah suara mengintrupsinya. Ia berbalik perlahan untuk menemukan Luke yang berdiri di depan pintu kamar mandi dengan sebuah handuk yang melingkar rendah di pinggulnya.“Hari ini adalah kemeja hitam tanpa dasi. Aku ingin kemeja hitam.” Luke kembali berbicara saat menemukan Rena yang hanya terdiam menatapnya. Tatapannya yang tajam sedikit menghujam Rena, Luke terlihat marah meski ia tahu rasa marah itu bukan untuknya.Rena segera berbalik untuk memilah sebuah kemeja hitam yang tergantung banyak di lemari. Rena tahu kurang
“Orang itu mengancam untuk melibatkan Irene. Aku tidak bisa untuk menolak.” Joseph berkata jujur, sejujur yang ia bisa untuk menjelaskan bahwa ia juga tertekan. “Tapi kamu tidak mengatakan apapun pada kami.” Luke mulai menuntut. “Apa kamu kira tetesan darah itu murni karena kecerobohanku? Aku tidak sebodoh itu. Aku adalah kaki tangan seorang King. Berhati-hati adalah bagian dari diriku dan aku tidak pernah melupakan itu. Aku memberitahumu, Phoenix.” “Kamu benar-benar kaki tangan yang luar biasa. Aku kagum pada cara cerdasmmu. Untuk sekarang, bisakah kamu sedikit bermurah hati memberitahuku siapa dalang dari semua ini?” Luke berjongkok di depan wajah Joseph, menatapnya dengan tatapan penuh perintah. “Aku tidak bisa.” Tapi Joseph malah menolak. “Kamu tidak bisa, maka aku akan meminta sebuah alasan.” Luke mulai menggertak. Ia mulai bosan dengan permainan menjijikkan ini. “Aku tidak bisa membiarkan mereka menyentuh Irene.”
“Bagaimana kabarmu?” Ben sedikit berbasa-basi. Sedikit banyak ia menyampaikan pertanyaan Bella karena kekasihnya itu sungguh mengkhawatirkan kondisi Rena yang tengah mengandung. Kekasih Ben itu sebenarnya sangat merindukan Rena. Tapi beberapa hari ini Amora tidak sering menjalankan kafe sehingga Bella yang dipercaya untuk mengambil alih.“Aku baik, orang-orang memperlakukanku dengan sangat baik.” Rena tersenyum dan dari senyuman itu Ben tahu Rena tidak berbohong.“Aku senang mendengarnya. Oh, ya! Bella menitipkan salam untukmu. Ia sangat merindukanmu.” Laki-laki itu juga ikut tersenyum, merasa lega,“Titipkan salamku juga padanya. Aku juga sangat merindukannya.”“Tentu saja, aku pasti menyampaikannya. Bella akan merasa senang. Di mana Riana?” Ben mengalihkan pembicaraan saat ia tidak menemukan satu lagi perempuan yang mengisi rumah besar ini.“Ia di da