“Aku terlalu takut untuk mencintai. Terlalu takut untuk menerima serpihan hati. Tapi ternyata aku telah membuatmu membiarkan aku memasuki relung hatimu.” -Luke Armstrong- ... “Aku terlalu takut untuk dicintai. Terlalu takut untuk memberi serpihan hati. Tapi ternyata aku telah membuka relung hatiku untuk kamu masuki.” -Rena Martin- ... Rena Martin adalah anak yatim piatu dari sebuah panti asuhan. Rena kemudian diadopsi oleh sebuah keluarga saat berusia remaja. Keluarganya tidak pernah bersikap ramah padanya hingga ia mulai bertanya-tanya tentang pengadobsiannya. Tapi kemudian ia tahu kalau ia diadopsi untuk dijodohkan dengan seorang pria bernama Luke Armstrong. Luke adalah seorang anak tunggal dari keluarga mafia yang menurunkan seluruh usaha keluarganya. Ia dikenal sebagai pria yang keras dan kejam. Lalu bagaimana kehidupan rumah tangga mereka? Akankah cinta akhirnya muncul di antara mereka? Atau pernikahan mereka akan berakhir sia-sia?
Lihat lebih banyakNamanya adalah Rena, seorang mahasiswi tingkat akhir. Sekarang ia tengah berada di perpustakaan karena terlalu sibuk untuk mengurus tugas akhirnya meski hari mulai gelap. Ia tidak sendirian, seorang sahabat menemaninya dan mengurusi tugas akhirnya juga. Tidak ada yang berani untuk sendirian berada di tempat ini saat penjaga perpustakaan bahkan mengambil waktu istirahatnya sebentar.
“Kurasa ini sudah saatnya pulang. Ben telah menjemputku.” Bella berbicara padanya dengan jari yang tampak sibuk menekan layar datar ponselnya. Beberapa pesan memasuki ponselnya yang bergetar, diam-diam juga telah disadari Rena.
“Baiklah, ayo kita pulang. Aku tidak ingin mengganggu waktu kencan kalian.” Rena tersenyum dan menggoda sahabatnya itu. Sebelum ini Bella mengatakan kalau dia memiliki kencan hingga sangat bersemangat untuk mengurus tugas akhirnya.
“Jika saja kamu memiliki satu. Kita mungkin saja kencan bersama.” Bella berkata acuh seraya merapikan peralatannya.
Ia melewatkan reaksi yang Rena berikan. Rena sempat terdiam dengan senyum kecut yang singgah sebentar di wajahnya. Rena menyangkal dalam hati tentang apa yang Bella katakan karena kenyataannya hidupnya sudah bukan lagi milikinya.
Rena berasal dari sebuah panti asuhan di pinggiran kota. Ia terbiasa untuk hidup dalam kekurangan. Bangun pagi lalu menyiapkan selembar roti tawar yang diolesi sedikit selai nanas untuk adik-adiknya hingga kemudian bersekolah dan pulang saat hari hampir gelap karena bekerja. Ia seolah-olah mampu terus menjalani kehidupan seperti itu karena kasih sayang untuk satu sama lain. Tapi saat ia sudah harus mengenyam bangku pendidikan High School, ia tidak memiliki kemampuan ekonomi. Ia memilih menyerah namun takdir membuatnya dapat melanjutkan pendidikan karena diadopsi oleh keluarga yang ternyata malah banyak menyakitinya.
“Rena? Ada apa?” Suara lembut Bella menyadarkannya dari lamunan. Cepat-cepat ia menggeleng lalu segera merapikan peralatannya dengan cepat.
“Ayo! Ben mungkin saja sudah menunggu agak lama.” Rena segera mengajak Bella yang terlihat mulai khawatir padanya.
“Oh, ya! Bagaimana Kamu pulang? Aku tidak keberatan jika kamu menumpang mobil Ben.” Bella memang seseorang yang sangat baik. Dibalik tingkahnya yang terlihat mencintai kebebasan, dia adalah seseorang yang sangat tulus.
“Bukankah kalian akan berkencan? Sudah kukatakan kalau aku tidak akan mengganggu waktu kencan kalian.” Rena terkekeh kecil di akhir perkataannya. Sikap Bella seperti ini terkadang menjadi sedikit lucu. Dia memang bisa menjadi sangat memikirkan orang lain hingga melupakan permasalahannya sendiri.
“Tidak masalah. Kami bisa mengantarmu sebentar baru kemudian pergi berkencan,” ujar Bella acuh. Dia tidak masalah dan dia yakin kalau Ben juga berpikiran sama.
“Bus akan tiba tidak lama lagi. Tidak perlu khawatir. Kalian harus pergi dan bersenang-senang.” Kalimat yang disampaikan dengan senyuman lembut, Bella tidak mampu menolak.
.
.
.
“Kami pergi dulu. Hati-hati selama di jalan, Rena!” Bella berteriak padanya sementara mobil kekasihnya membawa wanita itu menjauh. Sedangkan Ben memberikan senyuman yang lembut.
Rena tersenyum kecil dengan tangan yang melambai. Saat mobil itu menghilang dari pandangan, ia kembali menjadi dirinya yang tenang. Senyum meluntur di wajahnya, tapi tidak juga membentuk wajah yang tidak menyenangkan.
Halte bus dengan lampu penerangan yang redup sebagian berada di pinggir jalan. Ia berhenti sebentar dan menunduk diam di antara orang-orang yang terlihat sibuk dengan diri sendiri. Kemudian ia kembali berjalan, memilih untuh melewatkan bus yang mungkin akan datang dalam kurang dari 15 menit lagi. Ia memilih berjalan menuju apartemen tempat ia menetap sendirian. Meski ia lelah, tapi pikirannya merasa lebih baik jika ia berjalan. Ia akan mampir sejenak di sebuah kafe milik sahabat karibnya, Amora.
Rena berhenti berjalan sebentar saat angin dingin menampar rambut coklat alaminya. Matanya yang juga berwarna coklat tapi lebih cerah menutup karena reflek. Sekarang mulai memasuki musim dingin yang membuat ia kembali mengingat kenangan lama saat ia diadopsi. Ia diadopsi saat musim dingin oleh dua orang wanita yang ia anggap malaikat, ibu dan kakak angkatnya. Mereka memang menjemputnya dengan wajah sedingin batu lalu menyeretnya untuk segera pergi hingga ia tidak sempat untuk sekedar berpamitan dengan kakak, adik dan ibu pengasuh di panti asuhan.
Dulu ia merasa beruntung dan bertanya-tanya untuk apa ia diadopsi saat ia sudah berumur belasan tahun. Tapi ia memutuskan untuk memendam perasaan itu dan menyimpannya dalam hati meski relung itu terasa seperti ingin pecah karena rasa ingin tahu yang besar. Ia hanya tidak ingin disakiti karena ibu dan kakak angkatnya tidak pernah bersikap mudah padanya. Ia biasa disakiti meski ia tidak melakukan kesalahan. Hingga ia tahu bahwa ia diadopsi karena ia harus menjalani perjodohan dengan putra sahabat ayah angkatnya. Ia harus menjalaninya karena saudari seumur dirinya yang harusnya menikah dengan pria yang dijodohkan itu meninggal dalam kecelakaan mobil bersama ayah angkatnya.
Tiba-tiba getaran ponsel di sakunya membuat Rena terkejut. Ia melamun sedikit terlalu lama. Ia segera meraih ponselnya dan memilih untuk segera menyahut panggilan itu.
“Iya, Ibu?” Rena menyahut dengan suara yang lembut. Tangannya yang lain mengeratkan jaket di tubuhnya.
“Kamu dimana? Segeralah pulang!” Ibu angkatnya mengeluarkan nada memerintah yang dingin. Wanita paruh baya itu memang tidak pernah menyukainya.
“Aku di jalan menuju apartemen. Sebentar lagi aku mungkin akan tiba.” Rena sebenarnya kebingungan tapi ia memilih untuk menurut tanpa pertanyaan agar ibu angkatnya tidak lebih membencinya.
“Orang-orang sudah menunggumu di sini. Segera kembali atau kamu akan berada dalam masalah. Kamu tidak lupa mengenai perjodohan itu, bukan?” Ibunya mulai mengancam dan Rena merasa ia mulai ketakutan. Wanita itu tidak pernah bermain-main dengan ucapannya.
“Baik, Bu. Aku segera pulang.” Rena menyahut seperti itu lalu kemudian sambungan diputuskan.
Perlahan Rena menghela napas berat. Ia tidak menyukai gagasan tentang perjodohan tapi ibunya tidak memberikannya pilihan lain. Rena tidak tahu siapa orang-orang yang ibunya maksud dan siapa yang akan menjadi pendampingnya kelak. Tapi ia tidak bisa menolak. Ia hanya berharap bahwa pria yang kelak akan dinikahkan padanya adalah pria yang baik.
Rena memutar tubuhnya untuk kembali lagi ke halte bus yang tadi dia lewatkan. Bibirnya membentuk kuluman dan matanya sedikit menyipit. Gagal sudah keinginannya untuk sedikit bersantai di kafe Annora. Padahal rasa kopi susu yang hangat dan baunya yang harum ditemani beberapa piring kue manis sudah membayang di ujung hidung dan lidahnya. Godaan itu harus ditelan dulu bulat-bulat. Sekarang dia harus kembali dengan segera, menunjukkan setidaknya sekecil itu rasa bakti dan terimakasihnya pada mereka.
Meski itu karena perjodohan yang tidak dia sukai, dia hanya hanya harus menurut. Mengikuti keinginan mereka tanpa memilki hak untuk menolak. Tapi sebenarnya dia tengah tidak menyadari kalau sesuatu yang tidak pernah dia harapkan akan segera terjadi padanya.
Rena bergerak ke dalam pelukan suaminya. Kulit mereka yang sama polosnya menyentuh satu sama lain. Ini adalah malam hari jadi pernikahan tahun kelima mereka. Riana dan Jeffrey membawa Edrick untuk menginap di rumah Hendry untuk bermain bersama putri Hendry dan Amora, Liliana Lewis. Mereka bermaksud memberikan waktu berdua pada Luke dan Rena untuk menikmati waktu mereka. Hingga mereka sekarang berada di atas tempat tidur, memutuskan untuk mengakhiri hari jadi pernikahan untuk saling menghangatkan.Rena tersenyum samar dan perlahan menangkup wajah suaminya. Luke terlihat tampan meski keringat mulai membasahi wajah. Menatap Luke seperti ini perlahan membuat Rena mengingat lagi tentang masa lalu mereka. Ia kembali mengingat bagaimana Luke saat dulu pertama kali menyentuhnya. Ia juga kembali mengingat bagaimana raut wajah yang ia tunjukkan. Dahulu wajah tampan itu terisi dengan belas kasihan dan sedikit rasa peduli. Tapi sekarang wajah itu menunjukkan cinta dan kebah
Rena hampir menangis karena air susunya tidak cukup untuk menyusui Edrick. Untung saja ibu mertuanya ikut ke rumah Ploy dan mengambil air susu di lemari pendingin. Ia sempat memerah air susunya sesaat sebelum ia berangkat untuk menyelamatkan Luke.“Sudah, tidak apa-apa. Kamu harus lebih tenang agar produksi susumu baik untuk menyusui Edrick selanjutnya. Air susu perah ini hanya cukup untuk menyusuinya sekali ini saja.” Ibu Luke yang menggendong Edrick dan membantunya meminum susunya, membiarkan Rena menenangkan dirinya sendiri.“Baik, Ibu. Aku mengerti.” Rena menyahut setelah menghela napas panjang untuk sedikit menenangkan diri. Sebenarnya ia tidak bisa tenang saat Luke harus menghadapi bahaya. Tapi ia akan berusaha karena bahkan Ibu Luke sekalipun menunjukkan sikap tubuh penuh ketenangan.“Bagus. Kamu harus tenang. Sebenarnya bukan hanya untuk Edrick tapi juga dirimu sendiri. Kalau kamu terlalu stress dan kelelahan k
Orang-orang itu memasuki sebuah ruangan dengan tenang, mengabaikan wajah terkejut banyak laki-laki di sana. Mereka adalah tamu yang tidak disangka akan datang. Mereka adalah Phoenix dan King. Mereka orang-orang terkejam yang sanggup membunuh untuk menunjukkan eksistensi dan kekuatan mereka. Terlebih, mereka datang setelah musibah yang menghampiri Phoenix dan terlihat sama sekali tidak terpengaruh oleh itu.“Ini wilayahku dan kalian masuk tanpa persetujuanku. Apa yang kalian lakukan di sini?” Suara Mark yang geram menyambut keduanya.“Bukankah kamu juga melakukan hal yang sama? Aku hanya melakukan apa yang kamu lakukan sebelumnya. Hanya saja aku lebih bermoral karena tidak memasuki wilayahmu dengan menyelundup.” Luke menyahut dengan tenang sementara matanya berpendar mencari seseorang lagi pembuat masalah. Hingga ia menemukannya, Jane yang mendekati Mark setelah keluar dari sebuah ruangan,“Sialan. Apa yang ingin kamu l
“Aku tidak bangun untuk melihatmu menangis, Rena.” Suara laki-laki yang masih terdengar lemah itu berisi dengan rasa khawatir. Ia baru saja terbangun lalu menemukan Rena yang langsung menangis.Sedangkan Rena malah menangis semakin keras karena Luke yang berupaya menenangkannya. Rasa lega yang menerjangnya terasa terlalu keras hingga ia sendiri kelimpungan dalam menanggapi. Ia hanya terlalu lega hingga kini membuat Luke yang berubah khawatir padanya.“Apa yang harus dikhawatirkan? Lihatlah! Aku baik-baik saja.” Jawaban Luke membuat ibunya menghela napas jengah.“Kamu membuatku khawatir, Luke. Kamu kehilangan kesadaran di depan wajahku. Saat tenaga medis berusaha menyelamatkanmu, kamu dalam kondisi tidak stabil karena kekurangan darah. Sedangkan di rumah sakit ini hanya tersisa satu kantong darah untukmu dan itu tidak banyak membantu. Aku panik sekali.” Kini Rena yang berbicara, nada suaranya terdengar sedikit kes
Luke tengah berada di ruang operasi. Tenaga medis tengah melakukan operasi kecil untuk mengeluarkan peluru yang bersarang di tubuhnya. Tapi operasi itu berjalan lama karena kondisi Luke yang tidak stabil. Ia kehilangan banyak darah, sehingga penanganannya harus sangat hati-hati.“Rena, aku tahu kamu cemas. Tapi aku mohon duduklah sebentar, kamu sudah berdiri terlalu lama. Aku tidak mau kamu pingsan saat nanti Edrick harus kau susui.” Itu Alexa yang berbicara. Ia cerewet hari ini karena melihat Rena yang terlalu ceroboh untuk dirinya sendiri. Sebenarnya ia lebih cerewet sebelumnya saat ia menyuruh Rena mengganti baju dengan baju yang Riana bawa. Ia memang sengaja meminta Riana untuk segera menyusul ke rumah sakit dengan bantuan Ben dan membawa setelan baju yang seukuran dengan tubuh kurus Rena. Ia hanya khawatir saat melihat tubuh Rena berbalut darah. Ia juga seseorang yang rela untuk sangat direpotkan saat membantu Rena untuk menghapus noda-noda dara
Alexa masuk bersama Hendry, Jeffrey, Joseph dan Rena. Sebenarnya Hendry, Jeffrey dan Joseph sudah meminta Alexa untuk tinggal. Tapi mereka berakhir berada di tempat itu karena Rena ingin ikut, membuat Alexa ingin menemaninya. Alexa hanya tidak ingin Rena kehilangan pengendalian diri karena ia mungkin saja masih mengingat kejadian mengerikan yang ia dan Bella hadapi hari itu.“Pelacur sialan! Bagaimana kamu bisa berada di sini?” Jane berteriak marah. Rencananya ia hanya mengundang Rena, tapi pelacur sialan ini malah ikut.“Aku tidak hanya pintar untuk menjajakan tubuhku, tapi juga menggunakan otakku. Itu yang disebut dengan pelacur yang cerdas. Tidak murahan yang memperkosa seorang laki-laki.” Alexa menjawab dengan kesombongan di nada bicaranya. Ia murka, ia tidak terima seorang teman dekat sekaligus suami sahabatnya diperlakukan sebegitu rendah.Sebenarnya tidak hanya Alexa yang merasa amarah membakarnya, terlebih lagi Rena.
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen