Suara senandung dari bibir Nila terdengar sangat merdu. Hal itu menandakan jika hatinya sedang bahagia. Semua dagangannya laku terjual tidak sampai satu jam. Ditemani oleh Alva dan Bian dikedua sisinya, dia sudah merasa seperti orang paling beruntung di dunia.
“Jika waktu bisa dipercepat…aku ingin berjumpa dengan kalian lebih dahulu,” pikirnya.
Toko-toko di pasar mulai ramai saat matahari sudah mulai bersinar dengan terang. Toko sepatu, pakaian, sayur, senjata tajam, maupun toko tambahan lainnya berjejer menunggu konsumen datang. Mengharap rezeki yang datang sedikit demi sedikit ditiap harinya. Perjuangan keras yang belum menghasilkan hasil yang seimbang. Namun, mereka tidak pernah berkeluh kesah. Mereka tetap membuka toko saat ayam memulai kokokan pertamanya saat fajar, dan tetap menutupnya saat matahari ke pengaduan. Terjual atau tidak itu semua tergantung dari nasib masing-masing.
Nila celingak-celinguk melihat tiap toko. Entah apa yang dicarinya, ia tidak
thanks for reading
Mau tidak mau Nila harus mengikuti rencana Alva. Sangat sederhana. Jika Nila mau pulang sekarang maka dia harus digendong sampai ke rumah. Jika tidak, mereka akan beristirahat lebih lama lagi. Tetapi bagi Nila itu bukanlah sebuah rencana melainkan sebuah paksaan.“Benar, itu sebuah rencana. Rencana agar kau tidak bertindak gegabah. Ayo…naik ke punggung Bian! Biar aku yang membawa keranjangnya,” jelas Alva.“B-baik,” Bian juga tidak banyak berkomentar soal ide Alva. Dia hanya menurut-menurut saja. Nila naik ke punggungnya dengan hati-hati. Tubuh Nila masih terasa gemetaran.“Maaf, Nila selalu merepotkan kalian terutama Kak Bian.”“Kau tidak merepotkan kok. Lagian kenapa kau memanggilnya kakak? Kau lebih tua dari kami.” Nila senyum-senyum saja.Mereka mulai melangkah pergi. Untuk menghindari cuaca yang panas, mereka hanya berjalan di bawah bayang matahari.“Karena baru kali ini
Nila datang untuk menyuguhkan teh hangat untuk menemani pembicaraan mereka. setelahnya dia pergi ke dapur kembali.“Sebenarnya saya ingin bertanya, saya tahu paman sudah tahu dengan apa yang terjadi dengan Nila. Kenapa paman tidak mau mendengar masukan dari dokter yang datang?” Tanya Alva.“Itu hak kami. Lagian, dia tidak sakit. Siapa yang berani mengatakan dia sakit? Kalian berbohong’kan? Kalian hanya ingin mencari bahan percobaan. Dia masih muda, hidupnya masih panjang. Kalian tidak berhak merusak hidupnya dengan menjadikannya bahan percobaan. Seenak kalian saja memaksa anak kami. Kau lihat sendiri’kan dia sehat?”“Ya, benar itu hak kalian untuk menerima maupun menolak. Tetapi Nila juga memiliki haknya untuk menentukan keputusan hidupnya. Jangan hanya karena menuruti emosi, paman dan bibi mengambil keputusan yang salah.”“Kau yang belum pernah memiliki anak diam saja. Mengerti apa kau? Kau ya enak, d
Suasana yang hening dan tindakan aneh Bian membuat Nila dan Alva saling berpandangan. Mereka sadar jika ada sesuatu yang mendekat dan Bianlah yang lebih menyadarinya.“Ada ap-“ ucapannya terhenti ketika Bian mengangkat tangan kirinya. Memintanya untuk menutup mulut.“Lepaskan keranjang itu!” perintah Bian.“Lepas? Kenapa?” tanyanya.“Lakukan saja!” ucapnya. Alva kemudian menurut, dia pun meletakkan keranjang yang berisi jagung itu ke bawah.“Bawa Nila kembali ke rumahnya!” ucapnya dengan pelan namun tegas.Sraaak! Drap…drap...!Seorang wanita keluar dari balik pohon dan langsung menyerang Bian. Dia meletakkan kedua tangannya di leher gadis tersebut. Dia mencoba mencekiknya.Brak!Bian sengaja menjatuhkan dirinya karena tak mampu menahan beban gadis yang tiba-tiba mendorongnya tersebut. Nila yang melihat hal itu seketika menjerit karena ketakutan.&
Nila segera berbalik arah saat penyekap itu melepas tangannya. Alva dan Bian rupanya. Jantung Nila akhirnya bisa berdetak normal lagi. Akibat pernah dikejar oleh pengejar sebelumnya, ia pikir yang menyekapnya adalah mereka.“Ja-jangan lakukan hal itu lagi. Nila takut,” bisiknya.“Ma-maaf. Aku melakukannya agar kau tidak berteriak.” Jawab Alva yang ikut memelankan suaranya.“Justru karena itu Nila mau berteriak. Lagian kenapa kalian datang cepat sekali? Nila masih ada kerjaan?”“Tidak ada apa-apa. Selesaikan saja pekerjaanmu. Kami akan menunggu. Tenang saja.”“Kalau begitu terima kasih. Nila akan berusaha lebih cepat. Nila masuk dulu.”Alva dan Bian kembali bersembunyi di antara pepohonan. Tanpa diketahui oleh Nila, Alva diam-diam terus memperhatikannya. Sangat jelas terlihat jika gadis itu sedang tidak enak badan. Bibirnya sangat pucat bahkan badannya terlihat gemetar. Dia ingin ist
Rasa sakit akan terobati seiring bertambahnya waktu. Tetapi rasa sakit itu akan terasa jika ingatan itu kembali. Meski tidak sesakit sebelumnya, namun sakit tetaplah sakit. Ikhlas dan sabar terlalu mudah untuk diucapkan dan akan sangat sulit untuk dilakukan.“Tolong…tolong selamatkan anakku.” Pada akhirnya sang ayah datang merengek kepada orang yang baru saja diusirnya. Tanpa bicara panjang lebar, Alva segera menerobos masuk untuk memastikan kondisi gadis itu secara langsung.Meski Alva sendiri sudah menebak apa yang telah terjadi. Ia tetap mencoba mencari tanda-tanda kehidupan, dia masih berharap ada sedikit saja harapan dari gadis itu. Tetapi, tubuh gadis itu sudah tak bernyawa lagi.“Nak…bangun Nak,” panggil si ibu dengan penuh harapan. Air matanya terus mengalir tak henti-hentinya. Rasa sakit dan pahitnya kehidupan langsung meledak pada hari itu.“Maaf…sebaikya kalian segera mempersiapkan untuk
Berulang kali para perampok menelan ludahnya sendiri. Alva yang masih berdiam diri di tempatnya justru semakin menyebarkan hawa menyeramkan.“Kau mau menyerahkan diri rupanya…bodoh sekali,” hardik yang lain.“Tidak…aku datang untuk menyelesaikan secuil masalah di tanah ini.”“Ha…apa maksudmu? Sebaiknya kau bersiap untuk mati.”“Tidak…karena itu adalah kalian,” Alva mengayunkan tangan kanannya. Sebuah pisau sudah menancap di dada kiri pemimpin mereka.Pria itu masih sempat bergerak untuk beberapa saat. Lama-lama melambat dan tak berkutik lagi. Ia mati.“Aaaaa…bunuh dia!” teriak yang lain karena panik melihat bos mereka sudah tumbang.Seluruh anak buahnya langsung mengayunkan senjata ke arah Alva. Dengan lihai Alva menghindarinya.Kreetakkk!Kepala seorang perampok hampir berbalik arah. Seketika ia tumbang dan tak bernapas lagi.
Kevin meletakkan telapak tangan kanannya tepat di mulut gadis itu. Dengan keras dan penuh paksaan ia menarik Bian agar mau mengikutinya. Anehnya kali ini Bian tak menunjukkan perlawanan dan hanya menurut saja.Setelah tiba di lantai satu, Kevin segera mendorong gadis itu ke dinding dan memblokir geraknya dengan kedua tangannya. Kedua mata mereka bertemu. Suara deru napas yang masih tersengal karena terkejut terdengar mulai memelan dan normal kembali.“Kenapa kau bertindak seolah tidak mengenalku Ariana?” mendengar pertanyaan itu membuat mata Bian terbelalak. Nama yang tak asing baginya. Namun, dilain sisi nama itu seolah menyimpan luka dibenaknya. Karena ia tak mendapat respon darinya, laki-laki itu mulai geram. Ia mendekatkan tangannya di dagu si gadis dan mengelusnya dengan lembut.“Kau benar-benar lupa denganku atau kau hanya berpura-pura?”Pupil mata gadis itu bergetar, tubuhnya terdiam dan tak tahu harus berbuat apa.&l
Seorang anak bertubuh putih kini sedang memandangi mereka dengan tatapan kosong. Rambut, kulit bahkan pakaian yang serba putih menambah kesan horor saat melihatnya. Apalagi tatapannya seperti manusia yang tidak bernyawa.Alva segera memasang kuda-kuda ketika anak itu berlari ke arah mereka dan langsung melancarkan tendangan.Bughh!Pertukaran pukulan terus terdengar antara Bian dan anak tersebut. Seketika sesuatu terbesit dalam benak Alva. Ia mencoba mendekati anak itu. Disaat si anak bergerak menjauhi Bian, Alva langsung mengambil kesempatan.Ia melangkah dengan cepat, lalu memberinya sebuah tendangan yang ia lancarkan dengan melambungkan tubuhnya ke udara. Seketika anak itu tertelungkup dan tak sadarkan diri.“Dia bahkan tidak mengaduh kesakitan. Ada apa sebenarnya?” pikir Alva sambil mendekati anak itu.“Hei…apa kalian yang menghentikan anak itu?” suara yang tak asing bagi Alva muncul dari arah belakan