Sudah hampir setengah hari Alva dan Bian melakukan perjalanan dari tempat persembunyian yang ada di gua. Perjalanan tanpa henti membuat kaki terasa goyang dan letih. Seketika sebuah kebahagiaan terpancar di wajah Alva saat melihat sebuah kereta sapi pengangkut jerami sedang berjalan sesuai arah tempat tujuan mereka. Setelah sedikit bernegoisasi akhirnya Alva dan Bisa menumpang kereta yang hendak melakukan perjalanan ke daerah pantai tersebut.
“Kau sering ke daerah pantai? Kalau aku jarang sih, karena aku seringnya ke daerah perbukitan dan selalu terjebak di sana. Karena itu, rasanya aku merasa sangat bahagia saat hendak ke sana,” ucap Alva.
Alva merogoh isi ransel dan mengeluarkan dua buah jeruk berwarna hijau dan oranye. Alva memandangi wajah Bian yang sepertinya penasaran dengan buah yang dia bawa.
“Ini, cobalah! Ini enak!”
Alva menumpu tubuhnya dengan kedua tangan yang masih belum bertenaga sepenuhnya. Baru saja ia hendak menarik tangan kirinya, dia langsung mengernyitkan dahi karena tangannya yang terasa perih. Tangan yang rupanya masih terkunci membuatnya beberapa kali menghela napas dengan berat.“Sampai kapan kami akan begini?” gumam Alva.Ia memandangi Bian yang sedang tidur sambil menyandari pohon kelapa. Alva baru sadar jika dia baru saja tertidur di atas paha gadis itu.“Bian! Bian! Bangun! Kau tidak apa-apa?” Alva menggoncang tubuh Bian agar segera terbangun.Bian spontan memandanginya dengan wajah bingung. Seharusnya gadis itu yang bertanya, bukan si dokter yang baru saja tersadar dari pingsannya. Tangan kiri Alva spontan mengikuti pergerakan tangan kiri Bian saat bergerak dan membuat mereka saling berpandangan karena terkejut.“Kau tidak bisa melepasnya? Apa yang harus kita lakukan?” tanya Alva.Tak!Baru s
Suara teriakan sontak membuat mereka terperanjat kaget. Mereka sempat terdiam dan memasang telinga untuk mendengar apa yang terjadi. Suara teriak penuh kepanikan terdengar dari arah luar rumah mereka. Tak lama, api mulai terlihat dari arah atap rumah dan menelan atap yang terbuat dari ilalang. Alwyn menjadi panik dan segera membawa adiknya keluar rumah.Suasana di luar rumah sangatlah buruk. Para perampok berkuda sedang asik membakar, menikam bahkan menarik beberapa wanita dengan gelak tawa mereka. Alva spontan memeluk sang kakak untuk melawan rasa takut di dadanya.“Kakak, Alva takut!” ungkap Alva.“Ssst! Jangan menangis ya! Jangan sampai suara kita terdengar!”Alwyn menutup mulut Alva dengan telapak tangan kanannya. Ia juga menghirup napas dalam-dalam untuk menenangkan diri yang sebenarnya juga sedang ketakutan. Dia memandangi rumahnya yang mulai hangus terbakar dan mulai berjatuhan ke tanah.“Oh tidak!” ucapny
“Alva!” panggil Bian.Alva spontan menoleh ke arah gadis itu. Pada akhirnya, lamunan panjangnya berakhir. Ia memandangi Bian yang sedang menatapnya dengan serius.“Aku tidak apa-apa. Hanya sedikit mengenang masa lalu. Oh iya … apa sebaiknya kita singgah di desa depan saja? Hari sudah mulai gelap’kan.”“Akan lebih baik jika kau menjawab ya atau tidak. Itu lebih memuaskan. Aku tidak bisa terus-terusan memperkirakan jawabanmu’kan. Bagaimana kalau sebenarnya kau tidak mau, kesannya aku seperti memaksa’kan,” sambung Alva.Tap!Alva seketika berhenti melangkah dan menarik tangan Bian agar ikut berhenti juga. Jari telunjuknya diarahkan ke sebuah toko saat Bian memandanginya. Tanpa memberi penjelasan, Alva menarik gadis itu ke dalam toko untuk melihat apa saja barang yang tersedia di dalamnya.Perhiasan dan beberapa alat kesehatan berkumpul dalam toko tersebut. Alva berulang kali melirik-l
Sorot matanya yang dingin tidak membuat nyali Alva ciut dan mundur. Justru ia semakin bertekad untuk bertanya hingga selesai.“Aku tahu tatapan itu. Itu adalah tatapan keputusasaan. Aku akan membantumu jika bisa. Karena itu katakan apa yang terjadi!” Alva memaksa.“Cih … minggir!” Kevin melangkah maju setelah menabrakkan bahu kirinya pada bahu kanan Alva. Pemuda itu semakin mengerutkan keningnya pertanda tidak suka atas apa yang terjadi.“Apa yang kau cari? Aku melihatmu bertanya dengan penduduk desa sana,” tanya Alva.“Tidak bisakan kau tutup mulutmu itu! Kau mau mengejekku? Kau mau mati?” Kevin berbalik dan meninggikan suaranya. Alva sontak terkejut.“Siapa yang mengejekmu? Kau sepertinya ada masalah. Aku berniat membantumu!” Alva mencoba menenangkan situasi yang mulai memanas.“Mereka semua sudah hilang. Jadi berhenti menggangguku! Tinggalkan aku sendirian!” te
Alva membuka helai demi helai pakaian Kevin yang lusuh. Darah yang mengering serta tanah bersatu dalam tiap benang pakaiannya. Bukan hanya bau keringat yang tercium, tetapi juga bau tidak enak dari debu dan kotoran yang menempel. Hal itu menunjukkan betapa pria itu tidak memedulikan keadaannya sekarang. Bahkan disaat Alva melepas pakaian pria itu, terlihatlah seluruh luka yang membuat kulit kuning langsat Kevin menjadi menyeramkan.“Lebam dan luka di mana-mana. Sepertinya kejadian itu terjadi dalam pekan ini. Dia berjalan ke sana ke mari dengan keadaan seperti ini?” gerutu Alva.Dia memeriksa sebuah luka yang tertutup kain di perut kiri Kevin. Saat ia mengangkat kain pembalut luka itu, terlihatlah sebuah jahitan pada luka tersebut.“Siapa yang menjahitnya? Bagus juga. Sepertinya luka ini tidak perlu dikhawatirkan,” gerutu Alva lagi.Drap!Alva terkejut saat Bian sudah ada di depannya dengan barang bawaan yang lumayan banyak.
Langkah kaki tegas menapaki tanah yang masih berisi butiran pasir pantai. Alva berjalan mendekati seorang gadis yang sedang duduk di dahan pohon Ketapang yang berdiameter cukup besar.“Hei. Bisa kau turun?” tanya Alva.Drap!Spontan Bian melompat dan berdiri tegak di depan Alva.“Ayo istirahat di sana saja! Dia berjanji tidak akan mengganggumu,” bujuk Alva.“Tidak!”“Aku sudah memberinya obat tidur. Dia akan tidur semalaman ini. Itu karena dia butuh istirahat lebih, lihat saja kantong matanya yang hitam. Jadi dia tidak akan sempat mengganggumu. Ayolah!” bisik Alva.Tanpa menunggu jawaban, Alva menarik tangan kiri Bian dan membawanya ke tempat kemah mereka. Kevin terlihat sedang tertidur pulas di samping api unggun yang menyala. Tanpa dipinta, Bian duduk di samping kiri Alva tanpa mengalihkan pandangan matanya dari arah Kevin.“Sebenarnya apa yang terjadi? Kau bilang kau tida
Alva dan Kevin berjalan beriringan menelusuri jalan setapak di pedalaman hutan yang dipenuhi tumbuhan Kelapa dan Ketapang. Rasa canggung masih membuat mereka saling serba salah untuk memulai pembicaraan.“Apa ini tidak berlebihan? Dia … sampai harus menjaga jarak seperti ini.” Tanya Kevin memulai pembicaraan.“Itu keinginan dia. Tapi … yaa … aku malah terjebak berdua denganmu di sini,” jawab Alva.Bian yang benar-benar menjaga jarak dari Kevin, mengikuti mereka dari jarak yang sangat jauh.“Kau tidak takut dia diserang oleh orang lain atau apa pun itu?”“Kurasa tidak perlu walau terkadang aku tetap takut. Dia bisa melindungi dirinya sendiri.”“Kenapa dia memberimu kipas itu? Bukannya kau punya senjata sendiri? Untuk apa kipas itu?”“Kipas ini senjatanya! Untuk jaga-jaga jika kau berlaku tidak senonoh padaku.”“Kau pikir aku ini ap
Alva memilih sebuah pakaian berwarna biru muda dengan tudung berbentuk kepala kucing. Kevin memilih sebuah pakaian berwarna abu-abu dengan tudung berbentuk kepala kelinci. Sedangkan Bian memilih sebuah kostum berwarna hijau dengan dua antena pada tudung kepalanya.“Maaf Bian, kenapa kau tidak pilih tudung lain? Apa kostum ulat itu sesuai seleramu?” Tanya Alva sambil menahan geli dihatinya.Dengan wajah tak bersalah, Bian hanya memandangi Alva dari ujung kepala hingga ujung kaki. Dia mencoba menebak kostum yang digunakan oleh pemuda itu.“Tidak apa-apa sih, justru kau terlihat imut dengan pakaian itu pfftt … maaf. Aku tidak bisa menahan tawaku. Aku tidak mengejek … hanya saja … ini yang terjadi jika aku melihat sesuatu yang menggemaskan dan aku menahannya,” ucap Alva.“Kenapa semakin lama melihatnya, dia seperti kucing sih. Pfft … aku ingin sekali mencubit wajah datarnya itu. Tapi bisa-bisa dia mele