Para warga lain yang melihat mereka berhasil keluar dari kobaran api segera mendekat untuk memerika keadaan mereka.
“Segera bawa mereka ke desa...juga sapi-sapinya, lalu siapkan air dan kain yang bersih. Aku akan mengobati mereka,” pesan Alva. Masyarakat yang mendekat langsung melaksanakan perintah Alva tanpa bertanya lagi. Alva kembali menoleh ke tempat yang dilaluinya tadi. Jalan tersebut perlahan tertutupi oleh reruntuhan pohon.
“Lokasi yang tadinya menghitam sudah mereda. Kenapa cepat sekali? Kupikir api itu sudah menjalar ke sini,” pikirnya. Ia menoleh ke tepian hutan. Banyak dahan yang panjang sudah terpotong, dan juga ia menemukan sosok Bian di sana.
“Oh, jadi begitu. Selama aku mencari warga, dia berusaha memutuskan penyebaran api ini. Apa dia juga yang mengarahkan kipas ini agar melindungiku? Hmmm...menarik.”
“Mas. Air dan kain bersihnya sudah dipersiapkan di desa,” seorang pria mendekatinya.
“Oh, baik terima kasih. Saya akan ke sana sekarang.” Pria itu mengangguk dan meninggalkannya.
“Bian!” panggil Alva. Alva langsung melambaikan tangan saat Bian melihat ke arahnya. Dia memberi sinyal tangan agar gadis itu mengikutinya.
“Aku tunggu di sana!” sambungnya.
Alva segera mempercepat langkahnya menuju desa. Setibanya di desa, ia diarahkan kesebuah rumah warga. Para warga yang tadinya terjebak dalam hutan segera ia rawat. Meskipun tidak terluka parah, namun beberapa dari mereka terkena luka bakar ringan dan batuk-batuk. Sambil membersihkan luka mereka, Alva memberi perintah kepada warga yang lain agar mencari dedaunan yang ia sebutkan. Setelah tumbuhan tersebut ditemukan, ia segera meraciknya untuk dijadikan obat oles.
“Untuk tiga hari ini, oleskan saja dengan ramuan ini. Jika seandainya obatnya sudah habis, kalian bisa membuatnya lagi dengan dedaunan yang sama. Oh iya, cukup dioleskan tipis-tipis saja. Ini akan mempercepat pengeringan luka bakar,” Alva menjelaskan penggunaan obat sembari mengoleskan obat tersebut di lengan seorang pria.
“Terima kasih, Nak. Kami senang sekali kalian datang membantu,” ujar seorang pria yang menjabat sebagai kepala desa.
“Sama-sama Pak. Kami juga sebenarnya kebetulan lewat.”
“Oh iya, kalian mau ke mana?”
“Kami hanya pengembara sih. Rencananya kami mau ke Negeri Anggrek.”
“Benarkah? Semoga kalian bisa segera sampai ke sana. Untuk malam ini bagaimana jika kalian menginap di desa kami dulu? Sebagai balas budi.”
“Emmm…terima kasih atas tawarannya Pak. Saya senang sekali. Saya juga…masih ada yang harus saya kerjakan. Sapi-sapi tadi ada yang terluka juga bukan? Setidaknya saya akan membuat obat untuk kaki mereka. Saya terima tawarannya.”
***
Bau asap masih tercium meskipun tidak sekuat hari sebelumnya. Masyarakat desa sudah mulai sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing. Bahkan sang kepala desa menyempatkan dirinya untuk mengantar Alva ke pintu gerbang desa untuk berpamitan.
“Nak, bawalah ini! Meski tidak seberapa, tapi bapak rasa ini cukup sebagai bekal kalian hari ini.”
“Eh, kenapa repot-repot Pak? Sudah mau menerima kami malam tadi saja sudah cukup,
elak Alva. Ia mencoba menolak pemberian laki-laki itu karena ia sendiri sadar jika kondisi desa mereka juga sedang memprihatinkan. Mereka juga sebenarnya sedang membutuhkan bantuan dari orang lain.“Tidak apa-apa. Kami tidak bisa membayar obat yang kau buat. Anggap saja ini bayaran dari kami,” pria itu semakin menyodorkan bingkisan yang masih ada di tangannya. Dengan ragu Alva menerima bingkisan itu.
“Terima kasih banyak. Sebenarnya saya tidak meminta apa-apa. Kami bisa mencari makanan yang bisa dimakan di hutan nanti.”
“Mohon terima saja.”
“Te-terima kasih banyak. Terima kasih sekali.”
“Oh iya, bicara soal ‘kami’ di mana temanmu itu?”
Mendengar ucapan kepala desa, Alva barulah menyadari jika Bian tidak ada di sampingnya sedari tadi. Raut wajahnya mulai berubah.
“Ke mana dia? Apa ada yang melihatnya?” tanya Alva.
“Tidak, tidak ada yang melihatnya sejak tadi. Kami pikir dia sudah mengatakan kepadamu mau ke mana,” jawab penduduk yang sedang menyaksikan pembicaraan mereka.
“Ya ampun. Apa aku ditinggal? Aku tidak percaya ini,” bisik Alva.
“Maaf Pak. Sepertinya saya harus pergi dulu. Sepertinya dia sudah tidak sabaran...ha...haa….”
“Permisi,” sambungnya.
Alva semakin mempercepat langkahnya saat keluar dari gerbang desa. Sekarang pikirannya teralihkan oleh Bian yang menghilang secara tiba-tiba. Tanpa dia sadari, dia sudah berlari cukup jauh tanpa berhenti. Hingga nafasnya tersengal-sengal ia memutuskan untuk beristirahat disebuah danau. Danau itu memang sudah mulai surut, namun pesona musim kemarau tetap memamerkan keindahan danau tersebut. Air jernih yang sangat suka menipu mata dan membuat orang berpikir jika danau itu dangkal.
Danau luas yang bersembunyi di dalam hutan ini diam-diam suka membuat orang jatuh cinta pada pandangan pertama kepada siapa pun yang melihatnya. Jika dilihat lebih seksama, terlihat beberapa jembatan yang sengaja dibangun. Mungkin penduduk desa sengaja membangunnya untuk mempermudahkan warga yang ingin mengambil air bersih saat musim kemarau melanda. Lantas dari mana datangnya sumber air tambahan di danau ini? Ternyata danau ini terhubung langsung oleh salah satu anak sungai yang merupakan bagian dari air terjun yang bersembunyi di balik bukit yang cukup jauh dari desa. Setidaknya selama musim kemarau warga tidak perlu khawatir akan stok air bersih di tempat mereka. Setidaknya pula, air di danau itu cukup untuk memenuhi kebutuhan makan minum satu desa, bahkan lebih sambil menunggu air hujan turun dan mengisi tempat penampungan air warga kembali.
Alva kembali mengambil nafas dengan beratnya. Ia berjalan disalah satu jembatan kecil, di tempat itu sudah tersedia ember bertali untuk memudahkan siapa pun yang mau mengambil air. Alva mengambilnya dan melempar benda tersebut ke danau yang sudah mulai menjauh. Setelah ember dipenuhi air, ia menariknya kembali. Satu ember air yang jernih kini ada dihadapannya.
“Bisa-bisanya aku kehilangan emas yang sudah susah payah aku temukan,” gerutunya. Ia mengeluarkan sebuah botol minuman kosong. Ia mengisinya dengan air danau yang jernih hingga penuh. Seketika, suara derap kaki di jembatan kayu mengejutkan Alva. Ia segera berbalik untuk melihat siapa yang datang mendekatinya.
“Bi-Bian?” Bian tidak menjawab. Ia berdiam diri di ujung jembatan.
“Kau dari mana? Apa aku yang meninggalkanmu? Ja-jangan bilang jika aku yang meninggalkanmu. Ya ampun, aku minta maaf.”
“Tunggu sebentar!” Alva mengembalikan sisa air di ember ke danau dan meletakkan ember itu ke tempatnya semula.
“Ayo!” Mereka pun mulai melangkahkan kaki dan memutari danau agar bisa melewati hutan yang dipenuhi oleh pohon akasia dan karet. Pohon Karet yang sudah mulai menggugurkan daunnya memberi kesan seolah musim gugur sedang terjadi. Dedaunan kering yang terinjak mengeluarkan suara renyah seolah sedang mengunyah kerupuk yang nikmat.
“Apa aku boleh tanya sesuatu? Kenapa kau tidak berkelana dengan kuda? Bukannya lebih mudah?” tanya Alva.
“Sulit,” jawabnya singkat.
“Hanya itu? Baiklah. Walaupun kau tidak bertanya balik padaku aku tetap akan menjawab pertanyaanku sendiri. Sebenarnya aku pernah mengembara dengan berkuda, tetapi lama-lama aku berpikir jika berkuda tidak efektif untuk medan tertentu. Pada akhirnya aku memutuskan untuk berjalan kaki. Walaupun berkat berjalan kaki aku menjadi lebih mendapatkan masalah.”
“Wah..wah…apa yang kita dapatkan di tempat seperti ini?“ Suara seorang wanita yang diiringi suara tepuk tangan tiba-tiba mengejutkan mereka.
Sekelompok orang tiba-tiba mengelilingi mereka. Tiga orang wanita dan dua orang pria. Masing-masing dari mereka sudah siap dengan senjata dan kuda-kuda untuk menyerang. “Jangan sia-siakan kesempatan ini. Cepat, tangkap dia!” titah seorang wanita yang terlihat paling muda diantara mereka. Dibanding yang lainnya, dia sendirilah yang memakai pakaian paling mewah. Sebuah gaun biru tua berpadu biru muda dengan kilatan disetiap sisinya tampak lebih indah ketika ia kenakan. Ditambah lagi dengan parasnya yang indah membuatnya terlihat seperti boneka hidup yang menghipnotis orang lain dengan kecantikannya. Siapapun yang melihatnya akan tahu jika dia bukanlah orang biasa. Mendengar perintah dari gadis itu, kelima anak buahnya segera menyerang mereka berdua. Alva yang dari tadi sudah bersiaga ikut terbawa pertarungan yang tidak ia ketahui alasannya. Pedang kecil ia kenakan untuk menahan serangan senjata lawan yang beragam. Beberapa kali ia melempar pisaunya untuk membuat lawan
“Wah..kau bisa berkomentar padaku. Tenang saja! Jika aku adalah dokter yang bekerja untuk negara saja aku bisa dikatakan melanggar aturan. Tetapi aku bekerja bukan hanya untuk negara saja, aku juga bekerja dibawah naungan dua organisasi besar. Karena itu sistem kami sedikit berbeda. Kami tidak hanya bekerja di rumah kesehatan saja, tetapi kami dikirim untuk menangani penyakit-penyakit yang membutuhkan penelitian secara langsung,” jelasnya panjang lebar. “Lingkar Hijau?” pikir Bian. “Intinya, pertarunga
Wanita yang berpangkat sebagai ibu tersebut terlihat kaget saat diberikan pertanyaan oleh Alva. Seketika Alva langsung merespon mimik wajah mereka.“Maaf, saya tidak seharusnya bertanya itu. Maaf.. tidak perlu menjawab,” ucap Alva.“Tidak apa-apa, aku saja yang berekspresi berlebihan. Toh kejadiannya sudah lama, mau ditangisi juga tidak akan mengubah masa depan. Ayah Hari dan Haru pergi lima belas tahun yang lalu, tepatnya saat anak-anakku masih berumur lima tahu. Tapi aku tidak punya waktu untuk bersedih, aku punya anak-anak yang harus kunafkahi,” setelah mendengar jawaban itu, Alva menjadi tersenyum. Selama dia mengembara dan menjumpai banyak orang hanya satu sosok yang membuatnya selalu terkagum-kagum. Seorang ibu yang bisa menjadi apa dan siapa pun untuk sang anak.“Seorang ibu itu hebat ya,” pujinya senang. Hari, Haru dan ibunya seketika menolehkan wajah ke arah Alva yang terlihat senang.“Ha..ha.. baru perta
Alva dan Haru berpisah saat tiba di tujuan. Sebuah bangunan yang penuh dengan kemewahan. Bukan tanpa alasan, karena bangunan itu adalah sebuah klinik yang berdiri kokok di antara sawah dan perumahan warga. Belum sempat Alva mendorong pintu klinik, pintu itu tiba-tiba terbuka. Seorang pria dewasa muncul dari sebalik pintu tersebut. Matanya langsung terbelalak saat melihat wajah Alva. “K-kau… kenapa kau di sini? Apa jangan-jangan kau dokter yang dikatakan oleh si Haru?” “Hmm… ya...tapi bagaimana kalau dokter izinkan aku masuk dulu sebelum bercerita panjang lebar?” “Ba-baiklah...ikuti aku!” Mereka berjalan menuju sebuah ruangan. Ruangan khusus yang memiliki papan nama “dr. Adi,”. Alva menyeringai saat membaca papan nama tersebut. “Silahkan duduk! Aku akan mengambil dokumennya dulu,” pria bernama Adi tersebut berpindah ke rak buku dan mengambil sebuah dokumen. Lantas dia menyerahkannya kepada Alva. “Kau...anggota lingkar hijau’kan?”
Setelah Alva meninggalkannya pergi, Bian hanya bisa berkeliling rumah tanpa ada sesuatu yang jelas bisa dia kerjakan. Sebenarnya dia sudah menawarkan jasa kepada si ibu. Tetapi wanita itu menolak dan hanya memintanya untuk menemani anaknya di rumah. Beberapa saat yang lalu dia masih bersama Hari di pondok kecil belakang rumah namun kini laki-laki itu entah ke mana perginya. Karena dia lelah berada di dalam rumah, dia pun memutuskan untuk keluar untuk mencari Hari. Seketika Hari memutar kepalanya saat terdengar suara langkah kaki mendekat. Bian memandanginya dengan wajah datarnya. Hari yang sudah menebak watak gadis itu sejak awal langsung menerima kehadirannya dengan kembira. “Duduklah di sampingku! Kau mencariku’kan?” ajaknya dengan penuh percaya diri. Bian segera membungkuk dan duduk di samping laki-laki yang sudah turun dari kursi rodanya. “Aku lebih suka menyelesaikan sovenir ini di tempat ini. Karena aku tetap bisa melihat Haru dan ibu yang sedang bersaw
“Aku sudah mendengarnya. Kau yang akan menjadi dokter penggantinya’kan?” pertanyaan dari Hari membuat Alva terdiam. Dia tahu Hari hanya ingin memastikan kebenaran, hanya saja dia merasa jika Hari sedang menyudutkannya. Hari tidak melanjutkan pembicaraannya. Dia tetap menunggu jawaban dari pria yang ada di hadapannya tersebut. Mulut yang terasa berat untuk menjawab terus membungkam Alva dalam perasaan bersalah. Padahal niatnya adalah untuk membantu pria tersebut, tetapi setelah merasakan kerapuhan jiwa Hari dia menjadi bingung dengan keyakinannya. Dengan gerakan yang secara tak sadar ia lakukan, Alva mendekati laki-laki itu lalu menyentuh bahu kirinya. Sebuah kebiasaan spontan yang ia lakukan. Senyuman manis yang selalu ia lontarkan kepada siapapun. Senyuman yang ia gunakan untuk menghadapi kondisi yang ia sendiri belum tahu cara menghadapinya. “Aku tahu, Kak Hari adalah salah satu dari orang hebat yang kutemui selama ini. Manusia yang
Hari yang paling mendebarkan pun tiba. Suara debar jantung yang kuat benar-benar membuat telinga bisa mendengarnya. Namun, itu bukanlah alasan bagi mereka untuk tidak tersenyum. Mereka hanya bisa tersenyum untuk saling menyemangati dari rasa khawatir dan ketakutan. Si ibu sibuk mencari Alva untuk menunjukkan rasa hormatnya.“Ada apa Bi? Apa terjadi sesuatu dengan Kak Hari?” tanya Alva yang baru saja keluar dari ruang gantinya. Kini dia sudah mengenakan pakaian khusus operasinya dengan segala persiapannya. Bahkan rambut panjangnya dia ikat seperti sanggul agar tidak mengganggu.“Dia tidak apa-apa. Hanya saja…Bibi mau mau mengucapkan terima kasih padamu. Terima kasih sekali,” si ibu sedikit membungkukkan badannya. Hal itu membuat Alva terkejut.“Tidak-tidak perlu. Ini sudah kewajiban saya. Bibi sebaiknya juga bersiap ya. Apa pun hasilnya semoga kita semua bisa menerimanya.”“Ya. Aku sudah menunggu hari ini se
Hari keempat tiba. Hari yang dijanjikan Alva untuk segera berangkat dari tempat tersebut. Sebelum pergi Alva menyempatkan untuk bertemu dengan dokter pemilik klinik si Dokter Adi.“Tidak apa-apa, aku benar-benar berterima kasih. Aku akan merawat Hari semampuku.”“Jika…seandainya terjadi sesuatu segeralah mencari dokter untuk membantumu. Jika perlu tambahlah pekerja di sini. Ya ampun…apa yang aku katakan kepada seniorku sendiri…aku minta maaf.”“Tidak apa-apa. Akan segera kuusahakan. Terima kasih masukannya. Oh iya… kau akan segera pergi?”“Iya…temanku itu sudah tidak sabaran. Tetapi sebelum pergi aku akan melihat Hari sebentar dan pamitan. Aku pamit dulu.”“Ah…iya…terima kasih atas bantuanmu. Semoga kita bisa berjumpa lagi.”Lokasi pun berganti di kamar Hari. Si ibu sedang menenteng sebuah bungkusan lalu memberikannya kepada Bian.