Sekelompok orang tiba-tiba mengelilingi mereka. Tiga orang wanita dan dua orang pria. Masing-masing dari mereka sudah siap dengan senjata dan kuda-kuda untuk menyerang.
“Jangan sia-siakan kesempatan ini. Cepat, tangkap dia!” titah seorang wanita yang terlihat paling muda diantara mereka. Dibanding yang lainnya, dia sendirilah yang memakai pakaian paling mewah. Sebuah gaun biru tua berpadu biru muda dengan kilatan disetiap sisinya tampak lebih indah ketika ia kenakan. Ditambah lagi dengan parasnya yang indah membuatnya terlihat seperti boneka hidup yang menghipnotis orang lain dengan kecantikannya. Siapapun yang melihatnya akan tahu jika dia bukanlah orang biasa.
Mendengar perintah dari gadis itu, kelima anak buahnya segera menyerang mereka berdua. Alva yang dari tadi sudah bersiaga ikut terbawa pertarungan yang tidak ia ketahui alasannya. Pedang kecil ia kenakan untuk menahan serangan senjata lawan yang beragam. Beberapa kali ia melempar pisaunya untuk membuat lawan menjauh. Di tempat yang sama, Bian sedang bertarung dengan seorang pria dewasa. Tubuhnya yang tinggi dan berotot serta pakaiannya yang menampilkan ciri khas seorang kesatria istana memberi tanda jika dia adalah salah satu prajurit dari salah satu kerajaan. Terlebih lagi, pakaiannya terlihat berbeda dibanding keempat temannya yang lain.
“Tuan Putri. Ikut saja dengan kami. Kita tidak perlu bertarung seperti ini.”
Bian tidak menggubrisnya, dia melancarkan serangan dengan berlari mendekati pria itu. Berulang kali ia melancarkan pukulan ke arah pria itu, namun semuanya ditangkis dengan mudah. Didetik selanjutnya, pria itu menyerang balik dengan tendangan kaki kirinya dan pada saat yang sama pula Bian mencoba menahan dengan pergelangan tangannya. Disaat ia menoleh ke arah Alva, barulah ia menyadari jika telah terjadi sebuah pertarungan yang tidak seimbang di sana. Tanpa apa pilihan lagi, dia mengambil kedua kipasnya dan melemparnya ke arah yang berbeda. Kipas dongker berputar dan bergerak menuju Alva, sedangkan kipas maroonnya melayang ke arah pria yang ada di hadapannya.
“Nguuuung,” begitulah suara saat kipas itu dilempar. Ketika melihat kipas itu mendekat, semuanya spontan menghindar. Semuanya tahu, jika sedikit saja terkena goresan dari kipas itu maka kulit, daging dan tulang mereka akan berpisah begitu saja. Bahkan yang lebih berbahaya, kipas itu tidak hanya bergerak seperti boomerang yang begitu dilepaskan akan kembali lagi, tetapi kipas itu akan terus berputar secara acak hingga penggunanya mengambilnya kembali.
Disaat yang lain lengah dengan bergerakan kipasnya, Bian segera berlari mendekati Alva dan menggendongnya secara paksa. Dia merangkul pinggang Alva lalu mengangkatnya ke atas pundak, persis seperti penculikan yang sering dilakukan oleh penjahat di televisi.
“Hei, ada apa ini? kenapa tiba-tiba..,” ribut Alva yang terkejut oleh perlakuan Bian. Tanpa memberi tahu apa-apa, Bian segera membawanya menjauh dari lokasi pertarungan tersebut. Anehnya, Bian berlari sangat cepat sehingga dalam hitungan satu menit saja mereka sudah meninggalkan tempat itu.
“Hei, turunkan aku. Sesak jika terus begini… turun..,” keluhnya secara paksa. Bian pun akhirnya menghentikan langkahnya dan menurunkan laki-laki yang dari tadi terus mengeluh.
“Eh..eh… itu kipas-kipasmu datang. Awas kepalamu!”
“Kltak,” kedua kipas itu kembali ke tangan Bian dengan sempurna. Tanpa melukai tangan Bian sedikit pun. Alva terkagum-kagum, ia bahkan menepuk tangannya meskipun tak bersuara.
“Bagaimana caramu mengendalikan benda itu? Saat kemaren aku memegang itu sangat berat. Bagaimana caranya? Katakan padaku!”
“Kenapa kau tenang-tenang saja disaat kau baru saja diserang oleh sekelompok orang yang tidak kau kenal?”
“Entahlah. Aku juga tidak tahu. Mungkin karena aku sudah terbiasa tiba-tiba dihadang oleh orang asing. Atau mungkin karena aku pernah menghadapi yang lebih parah dari itu? Hmm.. aku juga tidak terlalu memikirkannya. Karena sekarang aku ada kau, aku yakin kau akan membantuku..ha..ha…”
“Terserahmu, aku tidak akan bertanggung jawab jika kau mati karena hal seperti itu.”
“Wah, kau memperdulikan aku? Aku tidak tahu kau bisa berbicara lebih dari dua kata ha..ha..haa..,” Alva mulai mengejek keberanian Bian untuk berbicara.
“Tidak apa-apa, seperti yang aku katakan tadi. Aku sudah terbiasa, bahkan aku pernah diculik oleh orang yang tak kukenal, jadi biasa saja he..he…”
Alva sedikit menyikut Bian yang terus memandanginya dengan pandangan yang menghakimi jika dia adalah laki-laki yang aneh. Dia bahkan mencoba mendorong badan Bian agar melangkah pergi dan tidak memberinya kesempatan untuk menatapnya lebih lama lagi. Disaat dia menyentuh punggung gadis itu, ia mendadak menarik tangannya dengan sangat cepat.
“Ya ampun, ini diluar dugaanku. Hanya dengan sedikit menyentuh punggungnya saja aku bisa tahu jika yang aku sentuh itu adalah otot yang sudah berbentuk. Padahal badannya kurus begitu. Bagaimana bisa? Aku benar-benar iri,” pikir Alva sambil memandangi punggung Bian.
Mereka kembali berjalan mengikuti arah matahari terbit. Sinar mentari yang kian terik memaksa mereka untuk berjalan di bawah lindungan pohon yang tumbuh berjejeran di hutan. Hanya melewati satu jenis hutan saja sudah membawa kesan yang berbeda di tempat tersebut. Hutan pertama yang berlokasi di sekitaran desa sudah mulai gundul dan terang akibat musim kemarau. Sedangkan hutan yang kini mereka lewati masih tampak hijau dan gelap di bawah bayang-bayang dedaunan pohon. Entah sejauh apa Bian membawa Alva untuk melarikan diri sehingga hutan yang mereka lalui saja sudah berbeda.
“Jadi, sudah berapa lama kau hidup sendiri? Sepertinya kau benar-benar kurang bersosialisasi,” tanya Alva sambil menoleh ke arah gadis tersebut. Tampaknya Alva sudah mulai terbiasa jika tak menerima jawaban langsung dari temannya. Namun itu tak menyulutkan semangatnya untuk terus berbicara.
“Kau tahu, ada satu aturan dasar di dunia medis. Bahkan aku rasa setiap orang bahkan yang paling awam sekali pun sudah mengetahui hal ini. Aturan itu mengatakan jika seorang tenaga medis dilarang untuk memulai pertarungan maupun terlibat pertarungan. Dalam kata lain, seorang tenaga medis dilarang terlibat dalam segala bentuk kekerasan. Bahkan disaat perang pun mereka mendapat hak istimewa untuk tetap dibiarkan hidup. Namun, semua itu tidaklah semudah yang dibayangkan. Konsekuensinya, mereka harus bersiap sedia mengobati siapa pun yang membutuhkan bahkan musuh sekalipun,” Alva menghentikan ucapannya lalu sedikit melirik Bian untuk memastikan apakah gadis itu masih mendengarkannya.
“Karena hal itu banyak orang yang berpikir jika tenaga medis itu lemah karena dilarang mengangkat pedang. Tetapi dilain sisi tak sedikit pula yang berminat untuk bergelut dibidang ini karena… ya… hak istimewa itu. Tetapi untung saja aku termasuk salah satu golongan istimewa, karena itu aku diizinkan untuk bertarung,” Alva kembali melirik Bian. Dia meletakkan kepalan tangan kanannya di depan mulut lalu sedikit berdehem.
“Ehem… Jadi, maksudku jika kau pikir aku lemah kau salah. Selain belajar ilmu kesehatan aku juga belajar ilmu bela diri. Aku bahkan bisa menggunakan pedang, busur dan tombak. Aku sengaja tidak menggunakan salah satunya ya.. agar tidak ketahuan saja. Apalagi aku memakai pita ini ke mana-mana. Karena jika ada yang melihatku menggunakan pita pengenal medis ini sambil membawa senjata besar kemana-mana, bisa-bisa mereka malah melaporkanku dan membunuhku karena mengira aku perampok. Lagian juga bagaimana bisa aku mengembara tanpa persiapan ilmu bela diri,” secara tiba-tiba Bian berhenti dan berdiri sedikit menghadap Alva. Alva sedikit terkejut dan sedikit menelan ludahnya karena tatapan dingin yang diberikan oleh Bian.
“Aturan ada untuk dilaksanakan. Jangan sombong hanya karena istimewa,” ucap Bian. Seketika mata Alva terbelalak saat mendengar pernyataan Bian. Dia ikut memperbaiki posisi berdirinya hingga berhadapan sejajar dengan si Bian. Dia menghela nafas lalu berkata.
“Wah..kau bisa berkomentar padaku. Tenang saja! Jika aku adalah dokter yang bekerja untuk negara saja aku bisa dikatakan melanggar aturan. Tetapi aku bekerja bukan hanya untuk negara saja, aku juga bekerja dibawah naungan dua organisasi besar. Karena itu sistem kami sedikit berbeda. Kami tidak hanya bekerja di rumah kesehatan saja, tetapi kami dikirim untuk menangani penyakit-penyakit yang membutuhkan penelitian secara langsung,” jelasnya panjang lebar. “Lingkar Hijau?” pikir Bian. “Intinya, pertarunga
Wanita yang berpangkat sebagai ibu tersebut terlihat kaget saat diberikan pertanyaan oleh Alva. Seketika Alva langsung merespon mimik wajah mereka.“Maaf, saya tidak seharusnya bertanya itu. Maaf.. tidak perlu menjawab,” ucap Alva.“Tidak apa-apa, aku saja yang berekspresi berlebihan. Toh kejadiannya sudah lama, mau ditangisi juga tidak akan mengubah masa depan. Ayah Hari dan Haru pergi lima belas tahun yang lalu, tepatnya saat anak-anakku masih berumur lima tahu. Tapi aku tidak punya waktu untuk bersedih, aku punya anak-anak yang harus kunafkahi,” setelah mendengar jawaban itu, Alva menjadi tersenyum. Selama dia mengembara dan menjumpai banyak orang hanya satu sosok yang membuatnya selalu terkagum-kagum. Seorang ibu yang bisa menjadi apa dan siapa pun untuk sang anak.“Seorang ibu itu hebat ya,” pujinya senang. Hari, Haru dan ibunya seketika menolehkan wajah ke arah Alva yang terlihat senang.“Ha..ha.. baru perta
Alva dan Haru berpisah saat tiba di tujuan. Sebuah bangunan yang penuh dengan kemewahan. Bukan tanpa alasan, karena bangunan itu adalah sebuah klinik yang berdiri kokok di antara sawah dan perumahan warga. Belum sempat Alva mendorong pintu klinik, pintu itu tiba-tiba terbuka. Seorang pria dewasa muncul dari sebalik pintu tersebut. Matanya langsung terbelalak saat melihat wajah Alva. “K-kau… kenapa kau di sini? Apa jangan-jangan kau dokter yang dikatakan oleh si Haru?” “Hmm… ya...tapi bagaimana kalau dokter izinkan aku masuk dulu sebelum bercerita panjang lebar?” “Ba-baiklah...ikuti aku!” Mereka berjalan menuju sebuah ruangan. Ruangan khusus yang memiliki papan nama “dr. Adi,”. Alva menyeringai saat membaca papan nama tersebut. “Silahkan duduk! Aku akan mengambil dokumennya dulu,” pria bernama Adi tersebut berpindah ke rak buku dan mengambil sebuah dokumen. Lantas dia menyerahkannya kepada Alva. “Kau...anggota lingkar hijau’kan?”
Setelah Alva meninggalkannya pergi, Bian hanya bisa berkeliling rumah tanpa ada sesuatu yang jelas bisa dia kerjakan. Sebenarnya dia sudah menawarkan jasa kepada si ibu. Tetapi wanita itu menolak dan hanya memintanya untuk menemani anaknya di rumah. Beberapa saat yang lalu dia masih bersama Hari di pondok kecil belakang rumah namun kini laki-laki itu entah ke mana perginya. Karena dia lelah berada di dalam rumah, dia pun memutuskan untuk keluar untuk mencari Hari. Seketika Hari memutar kepalanya saat terdengar suara langkah kaki mendekat. Bian memandanginya dengan wajah datarnya. Hari yang sudah menebak watak gadis itu sejak awal langsung menerima kehadirannya dengan kembira. “Duduklah di sampingku! Kau mencariku’kan?” ajaknya dengan penuh percaya diri. Bian segera membungkuk dan duduk di samping laki-laki yang sudah turun dari kursi rodanya. “Aku lebih suka menyelesaikan sovenir ini di tempat ini. Karena aku tetap bisa melihat Haru dan ibu yang sedang bersaw
“Aku sudah mendengarnya. Kau yang akan menjadi dokter penggantinya’kan?” pertanyaan dari Hari membuat Alva terdiam. Dia tahu Hari hanya ingin memastikan kebenaran, hanya saja dia merasa jika Hari sedang menyudutkannya. Hari tidak melanjutkan pembicaraannya. Dia tetap menunggu jawaban dari pria yang ada di hadapannya tersebut. Mulut yang terasa berat untuk menjawab terus membungkam Alva dalam perasaan bersalah. Padahal niatnya adalah untuk membantu pria tersebut, tetapi setelah merasakan kerapuhan jiwa Hari dia menjadi bingung dengan keyakinannya. Dengan gerakan yang secara tak sadar ia lakukan, Alva mendekati laki-laki itu lalu menyentuh bahu kirinya. Sebuah kebiasaan spontan yang ia lakukan. Senyuman manis yang selalu ia lontarkan kepada siapapun. Senyuman yang ia gunakan untuk menghadapi kondisi yang ia sendiri belum tahu cara menghadapinya. “Aku tahu, Kak Hari adalah salah satu dari orang hebat yang kutemui selama ini. Manusia yang
Hari yang paling mendebarkan pun tiba. Suara debar jantung yang kuat benar-benar membuat telinga bisa mendengarnya. Namun, itu bukanlah alasan bagi mereka untuk tidak tersenyum. Mereka hanya bisa tersenyum untuk saling menyemangati dari rasa khawatir dan ketakutan. Si ibu sibuk mencari Alva untuk menunjukkan rasa hormatnya.“Ada apa Bi? Apa terjadi sesuatu dengan Kak Hari?” tanya Alva yang baru saja keluar dari ruang gantinya. Kini dia sudah mengenakan pakaian khusus operasinya dengan segala persiapannya. Bahkan rambut panjangnya dia ikat seperti sanggul agar tidak mengganggu.“Dia tidak apa-apa. Hanya saja…Bibi mau mau mengucapkan terima kasih padamu. Terima kasih sekali,” si ibu sedikit membungkukkan badannya. Hal itu membuat Alva terkejut.“Tidak-tidak perlu. Ini sudah kewajiban saya. Bibi sebaiknya juga bersiap ya. Apa pun hasilnya semoga kita semua bisa menerimanya.”“Ya. Aku sudah menunggu hari ini se
Hari keempat tiba. Hari yang dijanjikan Alva untuk segera berangkat dari tempat tersebut. Sebelum pergi Alva menyempatkan untuk bertemu dengan dokter pemilik klinik si Dokter Adi.“Tidak apa-apa, aku benar-benar berterima kasih. Aku akan merawat Hari semampuku.”“Jika…seandainya terjadi sesuatu segeralah mencari dokter untuk membantumu. Jika perlu tambahlah pekerja di sini. Ya ampun…apa yang aku katakan kepada seniorku sendiri…aku minta maaf.”“Tidak apa-apa. Akan segera kuusahakan. Terima kasih masukannya. Oh iya… kau akan segera pergi?”“Iya…temanku itu sudah tidak sabaran. Tetapi sebelum pergi aku akan melihat Hari sebentar dan pamitan. Aku pamit dulu.”“Ah…iya…terima kasih atas bantuanmu. Semoga kita bisa berjumpa lagi.”Lokasi pun berganti di kamar Hari. Si ibu sedang menenteng sebuah bungkusan lalu memberikannya kepada Bian.
“Ya ampun, sejak kapan rambutku sudah sepanjang ini? Aku pikir rambutku sependek rambut Bian, ternyata sudah sebahu saja. Hmmm…aku harus segera memotongnya…jika aku ingat,” gerutunya. Setelah selesai membersihkan diri Alva segera bergantian dengan temannya itu. “Aku pikir dia tidak mau mandi. Em…setidaknya sekarang letihku sudah berkurang. Sebaiknya kami makan nanti saja,” pikir Alva. “Aku jadi penasaran kenapa dia tidak mau mandi bersama. Apa aku harus mengintipnya? Emmm…apa yang kupikirkan sih…ya ampun.” “Cepatlah kita harus segera bertemu desa berikutnya,” Alva mulai mendesak temannya itu, namun seketika dia terpikirkan sesuatu. “Eh, maksudku mandi saja sesukamu tak perlu terburu-buru,” tentu saja percakapan satu arah itu dia lakukan dengan bersorak. Karena secara pandangan mata lokasi mereka berada cukup jauh terlebih lagi suara berisik air terjun yang ikut mengoceh. Seusai membersihkan diri mereka segera melanjutkan perjalanan karena mere