“Hei, kita mau ke mana?” tanya Alva. Meskipun Bian tidak mengindahkan keberadaannya, laki-laki itu tetap bersikeras mengikuti Bian. Mereka berjalan sepanjang hari menelusuri hutan yang mulai menggugurkan daunnya akibat kemarau yang mulai melanda. Hingga beberapa meter kedepannya, terlihat beberapa bagian yang sudah gundul ditebangi manusia. Mereka menyeberangi sungai yang mulai kehilangan sebagian airnya, hingga hidung mulai mencium bau tengik asap dari udara yang tak lagi segar. Alva dan Bian terus berjalan menyusuri jalan setapak di tepian sungai yang masih menemani perjalanan sedari tadi.
Bau asap semakin menguat ketika sepasang manusia itu tiba di lokasi yang menghasilkan aroma tersebut. Hutan di depan mereka juga sudah habis dilalap api. Terlihat beberapa warga masih berusaha untuk memadamkan api di wilayah yang masih mengeluarkan asap dengan air seadanya. Para warga pun sudah tampak kelelahan, tampak keringat sudah membasahi sekujur tubuh. Bahkan beberapa warga sudah ada yang mulai berteduh di bawah pondok kecil nan sederhana yang mereka bangun.
“Bian, lihatlah hutan ini! Sudah habis terbakar, kasihan sekali,” ucapnya. Bian tidak menanggapi, dia terus berjalan hingga melewati kerumunan warga. Alva menarik lengan kirinya dengan paksa ke tempat warga berkerumun.
“Paman, apa yang terjadi dengan hutan ini? Apa sudah lama terbakar?” tanya Alva pada salah seorang warga.
“Ah itu, kejadiannya sekitar dua hari yang lalu. Sekarang api dibagian sini sudah bisa dijinakkan. Selanjutnya hutan terdekat dari desa yang dalam bahaya,” ucap salah seorang warga yang bertubuh kekar.
“Di daerah mana? Apa sudah mencoba menangani?” tanya Alva lagi. Pria itu mengangguk.
“Tapi tetap saja, kami masih membutuhkan air. Hanya sekedar menebas rumput liar maupun memotong ranting tidak akan mematikan api itu. Warga yang di sana juga sedang kewalahan. Musim kemarau seperti ini sulit sekali mencari air. Kami juga harus menghemat air untuk kebutuhan lainnya,” jelasnya.
“Kalau kalian mau ke sana, kalian terus saja ikut aliran sungai ini. Ketika sungai ini sudah berbelok ke kanan kalian pergilah ke arah yang berlawanan. Di sana kalian akan menemukan jejak api ini,” jawab pria yang berada di sebelahnya.
Alva berterima kasih kepada mereka dan berpamitan. Dia kembali menarik tangan Bian agar mengikutinya.
“Kita harus membantu mereka, kebakaran ini baru dua hari terjadi tetapi pasti ada warga yang membutuhkan pertolongan kita. Lihatlah jejak api ini, sangat mengerikan. Aku penasaran apa penyebab api ini bisa ada. Apa ada yang membuka lahan secara sengaja atau karena hal lain?” ucap Alva.
“Sungainya berbelok, berarti kita harus ke kiri…. Dan menjumpai desa. Itu dia,” ucapnya senang. Mereka menjumpai desa yang dimaksud. Desa itu masih terlihat normal, hanya saja jauh di belakang desa mereka terlihat kepulan asap hitam yang terlihat makin menebal. Warga yang melihat hal itu semakin panik karena lokasinya yang tak jauh dari desa mereka.
“Bian, kita harus membantu mereka yang ada di sana, ayo!” Alva kembali menarik lengan Bian, mereka segera berlari menuju lokasi kebakaran.
Api mulai terlihat, para warga dewasa sibuk menyiramkan api dan memotong beberapa dahan agar tidak menjalar.
“Hei, di mana Pak Ari dan yang lain? Apa mereka belum keluar?” teriak seorang warga pada yang lain. Mereka saling memandangi mencari pria yang dimaksud.
“Apa mereka belum kembali juga? Berarti mereka terjebak di dalam kobaran api? Gawat!” teriak warga yang lain.
“Mereka di mana Pak?” Alva spontan mendekati mereka. Pria itu hanya menunjuk ke area kobaran api. Tanpa pikir panjang Alva berlari menuju lokasi tersebut. Melihat Alva yang tiba-tiba berlari ke arah hutan yang dipenuhi kobaran api, Bian mencoba mengejar lalu menghalangi jalannya.
“Bagaimana bisa kau ada di depanku?” tanyanya kaget.
“Kau berniat masuk ke dalam kobaran api itu?” tanya Bian.
“Apa pilihan yang aku punya? Mereka dalam bahaya. Aku harus menyelamatkan mereka,” ucapnya. Bian memberinya sebuah kipas berwarna dongker dan sabuk pengikatnya.
“Untuk apa? Aku tidak butuh kipas,” ucapnya.
“Ambil! Kita berpencar. Sebelum matahari ke barat kembalilah ke tempat warga tadi!” ucapnya tegas. Alva terlihat ragu. Bian mendekati Alva yang masih mencoba memahami apa yang dikatakan oleh gadis di hadapannya itu, ia berlutut dan menarik kaki kiri Alva. Alva sontak terkejut dan mundur beberapa langkah untuk menghindar.
“Hei, disaat begini apa yang kau lakukan?” teriaknya. Bian kembali menarik kakinya dengan paksa dan memasangkan sabuk pengikat di paha kiri Alva lalu menyarungkan kipas besinya itu.
“Baiklah, aku tidak tahu juga apa gunanya. Kau berhati-hati jugalah. Gunakan kain sebagai maskermu,” Alva sedikit menepuk pundak Bian lalu berlari ke dalam hutan.
***
Alva masih berlarian ke sana sini, tetapi tak ada seorang pun yang ditemuinya. Bara api masih menyala, bahkan dibeberapa bagian api masih berkobar. Dahan-dahan yang terbakar mulai berjatuhan ke tanah.
“Aku harus segera menemukan mereka sebelum aku sendiri yang kehabisan oksigen,” pikirnya.
Tiba-tiba ia mendengar suara lenguhan sapi yang parau. Seperti mendapat angin segar, Ia segera mencari sumber suara itu.
“Ada sapi di sini? Apa aku salah dengar? “ pikirnya lagi sambil berlari menghindari pijakan berbahaya. Suara dahan yang patah terdengar jelas, ia mencari sumber suara itu lagi. Tepat di atasnya, ia terpana melihat itu. Hitungan detik dahan itu patah dan hendak menimpanya, ia tak dapat mengelak karena terkurung oleh bara api yang menyala. Ia meletakkan kedua tangannya di atas kepala dan menunduk. Seketika, suara angin terdengar jelas di telinganya.
“Ada sesuatu yang melewatiku’kan? “ ia menoleh ke atas. Dahan itu sudah terpotong dan terhempas menjauh darinya.
“Apa..itu?” dia melihat paha kirinya.
“Kipas itu, bergerak sendiri dan melindungiku?” gumamnya. Tak lama kipas itu melayang ke arahnya dan kembali ke tempat semula,
“Apa aku salah lihat?” tanyanya sendiri. Suara sapi kembali terdengar, ia kembali melanjutkan pencariannya. Di balik pohon tumbang dia melihat beberapa warga dan dua ekor sapi sedang berusaha mencari jalan keluar. Alva memutar arah dan berlari ke arah mereka.
“Kalian tidak apa-apa?” tanya Alva. Mereka mengangguk.
“Hanya saja, anak sapi ini sudah tidak bisa berdiri lagi,” ucap seorang pria yang sedang menggendong seekor anak sapi.
“Jangan bilang kalian masuk kobaran api ini karena sapi-sapi ini,” Alva mulai berang. Dia melihat sekitar, berusaha melihat celah yang ada.
“Sial, aku tidak melihat adanya celah, jalannya terlalu sempit untuk dilalui sapi ini,” ucapnya. Dia kembali mendengar dengungan angin, kipas itu bergerak dengan cepat. Memotong dan menyingkirkan apa pun yang menghalanginya.
“Ini, kesempatan kita. Ayo Pak!” Soraknya. Induk sapi tidak mau bergerak, ia terlalu takut untuk melewati kobaran api. Mereka pun memaksanya agar mau berjalan.
“Ayolah, masih ada beberapa bagian yang bisa dipijak. Kita harus keluar dari sini jika tidak ingin menjadi daging panggang,” ucap seorang yang sedang mendorong sapi itu dengan sekuat tenaga. Sapi itu tetap menolak, tak berapa lama dia menyerah karena anaknya sudah dibawa duluan oleh tuannya. Tak berapa lama juga, kipas itu kembali ke sabuknya.
“Gyahhh, ya ampun, apa kau barusan memotong api? Panas sekali,” lirih Alva menahan sakit. “Ayo Pak! kita harus cepat sebelum jalannya tertutup lagi,” soraknya. Mereka mengikuti jalan yang sudah dibuka oleh kipas tadi. Butuh waktu sepuluh menit bagi mereka untuk keluar dari tempat itu. Mereka tiba di ujung jalan, mereka selamat meski pun beberapa dari mereka mendapat luka bakar.
Syuut!Trang!Bian berhasil menangkis satu peluru yang hampir mengenainya. Ruangan itu tampak hening meskipun pasukan profesor telah bersiap-siap untuk pergi.“Dua? Tiga? Mereka hanya sedikit namun mereka menyebar dalam ruangan ini. Aku tidak tahu pasti di mana mereka. Yang bisa kulakukan adalah menunggu mereka menyerang,” pikir Bian.Profesor dan yang lain mulai bergerak.Trang!“Ketemu!”Wuush!Ngiiing!“Arrrgh!”Teriakan itu pun seketika berhenti.“Dia berniat mengejar mereka. Setidaknya itu bisa memperingatkan yang lain jika mereka lebih aman jika diam di tempat!”Syyut!Trang!“Arrgh!” Bian terduduk ketika salah satu peluru mengenai perut bagian bawahnya. Darahnya mulai mengalir deras.“Setidaknya aku menemukan satu dari mereka!”Wuush!“Arrrgh!”“Tinggal satu lagi. Aku harus mencarinya sebelum aku kehabisan darah. Di mana kau?” gerutunya. “Perasaanku mulai tidak tenang! Aku harap dia baik-baik saja!” pikir Alva.“Alva! Jangan melamun!” sorak Kevin.Dor!Suara pistol mulai kemba
Pulau Gati telah terlihat. Mereka mulai memenuhi pelabuhan yang tetap ramai seperti biasa.“Prof. Pulau ini memang memiliki banyak pelabuhan. Tetapi … melihat mereka yang sudah tahu dengan kedatangan kita. Bukannya hal yang mungkin jika mereka sudah melarikan diri atau pun mereka membunuh kita saat tiba?” bisik Alva.“Benar. Tetapi … lihatlah sekitar laut! Kapal-kapal itu bukan berlayar tanpa alasan. Mereka berpatroli dan mengepung pulau ini agar tidak ada yang melarikan diri.”“Lalu … kenapa mereka bisa menyerang kita kemaren?”“Itu karena kita sudah masuk wilayah dalam penjagaan. Maksudnya kita sudah masuk dalam sarang mereka, sedangkan para kapal hanya berjaga dalam jarak tertentu agar mereka tidak keluar. Mereka harus menjaga jarak agar tidak mudah diserang musuh. Kemungkinan besar, kemaren mereka masuk melalui penyusupan.”“Apa kalian semua tahu soal kapal penjaga itu?”“Tidak. Aku tidak percaya dengan anak buahku sekarang. Aku merasa salah satu dari teman-temanmu itu ada yang me
Angin laut mulai berhembus kencang. Dua kamar yang dipesan, satu untuk Bian dan satu untuk Alva dan Kevin secara bergantian. Cara terbaik untuk lebih menghemat uang, mengingat mereka masih harus menyewa satu kapal lagi. Namun, sebuah pertemuan yang tidak diduga. Alva kembali bertemu dengan rombongan sang profesor.“Kau … masih hidup?” tanya profesor yang melihat Bian diantara mereka.“Umurnya lebih panjang dari dugaan. Kenapa? Kalian hendak membunuhnya lagi? Jika iya, maka langkahi dulu mayatku!” terang Kevin memasang badan dengan nada tegasnya.“Kau … siapa?” tanya anggota yang lain.“Aku adalah orang yang mengobatinya setelah terjatuh dari tebing itu. Karena itu … aku tidak akan terima jika ada orang yang akan melukainya lagi!”Deg!“Sudahlah … kita tidak ada urusan lagi dengan Lingkar Hitam. Sekarang misi kita hanyalah Regu Venom,” terang profesor.“Kebetulan sekali Prof! Kami memang hendak ikut membantu penyerangan itu!” ucap Alva.“Dari mana kau tahu soal penyerangan itu?”“Seseo
Alva sedikit menenggak ludah lantaran jendral membicarakan soal Lingkar Hijau.“Tuan … apa anda mengetahui semua urusan istana?” tanya Kevin.“Beberapa. Terkadang mereka merahasiakannya dariku!”“Apa Tuan … tahu soal Ariana?” sambung Alva.“Tentu saja. Aku sangat kecewa pada diriku sendiri yang tidak bisa ada untuknya. Saat pemindahan ke Rubi bahkan saat pengirimannya ke perbatasan … aku tidak tahu soal kebijakan itu karena aku sibuk mengurus daerah Timur. Tahu-tahu … dia sudah tidak ada di tempat. Saat aku ingin menjenguknya di Istana Rubi … aku dilarang keras oleh Petinggi. Karena itu … aku hanya bisa mengirim sedikit hadiah dariku melalui pelayan untuknya. Aku pun tidak tahu apa itu benar – benar tersampaikan padanya atau tidak.”“Bahkan anda tidak mengetahui soal pemindahan itu?”“Iya. Rasanya sedih, aku tidak tahu kenapa. Sepertinya mereka berniat menjauhkanku darinya. Padahal aku sangat menyayanginya. Meskipun banyak muncul gosip yang tidak mengenakkan, bagiku … aku sudah menga
Ting!Bian berhasil menangkis pedang yang hampir memenggal leher pangeran.Buk!Penyusup itu tertatih – tatih lantaran kakinya yang terasa amat nyeri. Alva dan Kevin pun segera keluar dan membantu mereka.“Alva! Anak itu!” panggil Bian.Alva menoleh dan melihat pangeran yang mulai memucat. Dia mendekat dan mengecek keadaannya.Sreet!Dia pun menyobek lengan baju pangeran yang telah berlumuran darah.“Membiru!” batinnya.Dia pun menoleh kesekitaran yang terlihat sepi.“Ck … keadaan seperti ini pun tidak ada medis yang berjaga?” gumamnya.“Aku harus memberikan pertolongan pertama padanya!” sambungnya.“Arrgh!”Anindira pun mulai terkena sayatan pedang.“Mereka hanya bertiga … tetapi menjadi sulit karena mereka pengguna racun meskipun memang satu lawan satu,” batin kevin.Dengan matanya yang mulai berkunang-kunang, Anindira tetap berusaha melihat pertarungan di sekitarnya. Musuh yang mulai mengabaikannya mulai mengambil ancang-ancang untuk menyerang yang lain.Matanya terbelalak saat mel
Semuanya langsung terfokus pada suara yang berasal dari tempat duduk sekitaran ratu. Pedang Ro telah menancap di langit-langit setelah dihadang oleh kipas Bian. Alva yang merupakan sasaran pedang itu seketika menjadi panas dingin setelah melihat kipas Bian yang menancap pada dinding batu. “Cerdik sekali Tuan Puteri! Sebaiknya jangan lakukan itu lagi! Jangan sembrono! Semua tempat ini dalam jangkauan kami!” gertak Kevin yang sebenarnya terkejut dengan kejadian itu. “Itu … karena kemampuannya! Kau sudah membunuhnya tadi! Dia menggunakan semacam sugesti pada Yang Mulia Ratu! Kami memang merubah sistem kerajaan semenjak pemerintahan Ratu Indriana. Kami memang mengasingkan Puteri Ariana karena kami takut ramalan itu benar. Kami hanya melakukan tugas kami untuk melindungi kerajaan!” “Ramalan ya! Sepertinya ramalan itu benar! Sebuah kebetulan! Dia datang kembali setelah enam tahun lamanya dengan kemampuannya yang tidak bisa dinalar oleh otak. Bagaimana menurutmu? Dia benar-benar datang unt
Srak!Drap!Dua ekor kuda kembali berpacu. Bedanya kini Bian menunggangi kuda yang sama bersama Kevin. Alva yang telah kembali normal telah mendengar semua cerita beberapa hari yang lalu. Malu dan bersalah, setidaknya itulah yang dia rasakan saat menatap mata Bian.“Maaf, aku tidak pernah tahu apa yang terjadi ketika tubuhku berusaha melawan racun!”Itulah pembelaan yang dia katakan ketika tangan Bian mendadak dingin saat ia tarik agar mau mendengarnya berbicara. Sesudah itu, mereka masih belum ada bicara hingga saat ini.Canggung!“Aku penasaran siapa yang menyerang kita kemaren!” ucap Alva.“Sepertinya hanya perampok! Aku tidak menemukan apapun yang mencurigakan dari salah satu anggota mereka.”“Hmm … mereka hebat juga!”“Kuakui itu. Mungkin mereka mantan dari suatu perkumpulan!”“Ngomong-ngomong … kita akan masuk dari mana? Penjagaan di istana itu pasti sangat ketat!”“Aku sudah tahu jalan masuknya. Kita akan masuk dari Istana Rubi. Tempat itu sangat dekat dengan ruang kerja peting
Drap!Srak!Dua ekor kuda berlari dengan kencang ke arah ibu kota Kerajaan Amara. Tempat yang harus di tempuh selama tiga hari dengan berkuda tanpa halangan.“Kau benar – benar sudah tidak apa-apa?” tanya Alva.“Tentu saja, aku baik-baik saja. Perasaanku jauh lebih baik setelah memukulmu!”“Haa? Tidak terdengar seperti pujian untukku!” jawab Alva.“Yaa … setidaknya kau harus meningkatkan bentuk tubuhmu agar bisa bertahan dengan serangan mendadakku. Kulihat tanganmu membiru!”“Tak bisakah sedikit saja kau merasa berdosa padaku setelah melakukan hal itu?”“Kenapa? Kau sendiri yang memanasiku! Kau harus terima resikonya!”Alva hanya bisa tersenyum mengiyakan pernyataan Kevin yang benar.“Pinggangmu tidak sakit duduk menyamping begitu?” tanya Alva pada Bian.“Ini lebih baik!”“Alva, awas!” teriak Kevin.“Ngiiik!” Kuda yang mereka tunggangi sontak menukik. Dengan sigap Alva memeluk Bian dan memposisikannya agar tidak langsung terjatuh ke tanah.Trak!Kevin melepas anak panahnya ke tempat k
“Ternyata begini caramu memandangi nasib ya?” ejek Alva.Kevin hanya berdecak dan mengabaikannya.“Aku kira kau akan memilih balas dendam seperti sebelumnya!”Pria itu tampak terkejut dan memandangi Alva yang telah duduk di sampingnya.“Tidak ada yang memberitahuku. Aku hanya menebak ke mana kau pergi selama dua tahunan itu. ““Kenapa aku harus mencari jauh-jauh jika orang yang kucari ada di depan mata?” tanya Kevin dengan tatapannya yang tajam.“K-kau bercanda’kan?”Srak!Brak!“Uggh!” Alva terhempas jauh setelah berhasil menangkis serangan Kevin yang mendadak.“Sebaiknya kau jangan ikut campur!” gertak Kevin pada Bian yang hendak mendekat.“Sialan. Ternyata kau serius … baiklah jika itu maumu! Akan aku layani dengan serius!” ucap Alva riang.Syuut!Trak!Bian hanya bisa diam memandangi Alva dan Kevin saling beradu pukulan. Beberapa kali mereka saling terhempas akibat serangan bertenaga mereka. Dia pun berpindah ke atas pohon yang lebih teduh.Setelah tiga puluh menit berlalu, pertar