Share

Masalah pertama

“Hei, kita mau ke mana?” tanya Alva. Meskipun Bian tidak mengindahkan keberadaannya, laki-laki itu tetap bersikeras mengikuti Bian. Mereka berjalan sepanjang hari menelusuri hutan yang mulai menggugurkan daunnya akibat kemarau yang mulai melanda. Hingga beberapa meter kedepannya, terlihat beberapa bagian yang sudah gundul ditebangi manusia. Mereka menyeberangi sungai yang mulai kehilangan sebagian airnya, hingga hidung mulai mencium bau tengik asap dari udara yang tak lagi segar. Alva dan Bian terus berjalan menyusuri jalan setapak di tepian sungai yang masih menemani perjalanan sedari tadi.

Bau asap semakin menguat ketika sepasang manusia itu tiba di lokasi yang menghasilkan aroma tersebut. Hutan di depan mereka juga sudah habis dilalap api. Terlihat beberapa warga masih berusaha untuk memadamkan api di wilayah yang masih mengeluarkan asap dengan air seadanya. Para warga pun sudah tampak kelelahan, tampak keringat sudah membasahi sekujur tubuh. Bahkan beberapa warga sudah ada yang mulai berteduh di bawah pondok kecil nan sederhana yang mereka bangun.

“Bian, lihatlah hutan ini! Sudah habis terbakar, kasihan sekali,” ucapnya. Bian tidak menanggapi, dia terus berjalan hingga melewati kerumunan warga. Alva menarik lengan kirinya dengan paksa ke tempat warga berkerumun.

“Paman, apa yang terjadi dengan hutan ini? Apa sudah lama terbakar?” tanya Alva pada salah seorang warga.

“Ah itu, kejadiannya sekitar dua hari yang lalu. Sekarang api dibagian sini sudah bisa dijinakkan. Selanjutnya hutan terdekat dari desa yang dalam bahaya,” ucap salah seorang warga yang bertubuh kekar.

“Di daerah mana? Apa sudah mencoba menangani?” tanya Alva lagi. Pria itu mengangguk.

“Tapi tetap saja, kami masih membutuhkan air. Hanya sekedar menebas rumput liar maupun memotong ranting tidak akan mematikan api itu. Warga yang di sana juga sedang kewalahan. Musim kemarau seperti ini sulit sekali mencari air. Kami juga harus menghemat air untuk kebutuhan lainnya,” jelasnya.

“Kalau kalian mau ke sana, kalian terus saja ikut aliran sungai ini. Ketika sungai ini sudah berbelok ke kanan kalian pergilah ke arah yang berlawanan. Di sana kalian akan menemukan jejak api ini,” jawab pria yang berada di sebelahnya.

Alva berterima kasih kepada mereka dan berpamitan. Dia kembali menarik tangan Bian agar mengikutinya.

“Kita harus membantu mereka, kebakaran ini baru dua hari terjadi tetapi pasti ada warga yang membutuhkan pertolongan kita. Lihatlah jejak api ini, sangat mengerikan. Aku penasaran apa penyebab api ini bisa ada. Apa ada yang membuka lahan secara sengaja atau karena hal lain?” ucap Alva.

“Sungainya berbelok, berarti kita harus ke kiri…. Dan menjumpai desa. Itu dia,” ucapnya senang. Mereka menjumpai desa yang dimaksud. Desa itu masih terlihat normal, hanya saja jauh di belakang desa mereka terlihat kepulan asap hitam yang terlihat makin menebal. Warga yang melihat hal itu semakin panik karena lokasinya yang tak jauh dari desa mereka.

“Bian, kita harus membantu mereka yang ada di sana, ayo!” Alva kembali menarik lengan Bian, mereka segera berlari menuju lokasi kebakaran.

Api mulai terlihat, para warga dewasa sibuk menyiramkan api dan memotong beberapa dahan agar tidak menjalar.

“Hei, di mana Pak Ari dan yang lain? Apa mereka belum keluar?” teriak seorang warga pada yang lain. Mereka saling memandangi mencari pria yang dimaksud.

“Apa mereka belum kembali juga? Berarti mereka terjebak di dalam kobaran api? Gawat!” teriak warga yang lain.

“Mereka di mana Pak?” Alva spontan mendekati mereka. Pria itu hanya menunjuk ke area kobaran api. Tanpa pikir panjang Alva berlari menuju lokasi tersebut. Melihat Alva yang tiba-tiba berlari ke arah hutan yang dipenuhi kobaran api, Bian mencoba mengejar lalu menghalangi jalannya.

“Bagaimana bisa kau ada di depanku?” tanyanya kaget.

“Kau berniat masuk ke dalam kobaran api itu?” tanya Bian.

“Apa pilihan yang aku punya? Mereka dalam bahaya. Aku harus menyelamatkan mereka,” ucapnya. Bian memberinya sebuah kipas berwarna dongker dan sabuk pengikatnya.

“Untuk apa? Aku tidak butuh kipas,” ucapnya.

“Ambil! Kita berpencar. Sebelum matahari ke barat kembalilah ke tempat warga tadi!” ucapnya tegas. Alva terlihat ragu. Bian mendekati Alva yang masih mencoba memahami apa yang dikatakan oleh gadis di hadapannya itu, ia berlutut dan menarik kaki kiri Alva. Alva sontak terkejut dan mundur beberapa langkah untuk menghindar.

“Hei, disaat begini apa yang kau lakukan?” teriaknya. Bian kembali menarik kakinya dengan paksa dan memasangkan sabuk pengikat di paha kiri Alva lalu menyarungkan kipas besinya itu.

“Baiklah, aku tidak tahu juga apa gunanya. Kau berhati-hati jugalah. Gunakan kain sebagai maskermu,” Alva sedikit menepuk pundak Bian lalu berlari ke dalam hutan.

***

Alva masih berlarian ke sana sini, tetapi tak ada seorang pun yang ditemuinya. Bara api masih menyala, bahkan dibeberapa bagian api masih berkobar. Dahan-dahan yang terbakar mulai berjatuhan ke tanah.

“Aku harus segera menemukan mereka sebelum aku sendiri yang kehabisan oksigen,” pikirnya.

Tiba-tiba ia mendengar suara lenguhan sapi yang parau. Seperti mendapat angin segar, Ia segera mencari sumber suara itu.

“Ada sapi di sini? Apa aku salah dengar? “ pikirnya lagi sambil berlari menghindari pijakan berbahaya. Suara dahan yang patah terdengar jelas, ia mencari sumber suara itu lagi. Tepat di atasnya, ia terpana melihat itu. Hitungan detik dahan itu patah dan hendak menimpanya, ia tak dapat mengelak karena terkurung oleh bara api yang menyala. Ia meletakkan kedua tangannya di atas kepala dan menunduk. Seketika, suara angin terdengar jelas di telinganya.

“Ada sesuatu yang melewatiku’kan? “ ia menoleh ke atas. Dahan itu sudah terpotong dan terhempas menjauh darinya.

“Apa..itu?” dia melihat paha kirinya.

“Kipas itu, bergerak sendiri dan melindungiku?” gumamnya. Tak lama kipas itu melayang ke arahnya dan kembali ke tempat semula,

“Apa aku salah lihat?” tanyanya sendiri. Suara sapi kembali terdengar, ia kembali melanjutkan pencariannya. Di balik pohon tumbang dia melihat beberapa warga dan dua ekor sapi sedang berusaha mencari jalan keluar. Alva memutar arah dan berlari ke arah mereka.

“Kalian tidak apa-apa?” tanya Alva. Mereka mengangguk.

“Hanya saja, anak sapi ini sudah tidak bisa berdiri lagi,” ucap seorang pria yang sedang menggendong seekor anak sapi.

“Jangan bilang kalian masuk kobaran api ini karena sapi-sapi ini,” Alva mulai berang. Dia melihat sekitar, berusaha melihat celah yang ada.

“Sial, aku tidak melihat adanya celah, jalannya terlalu sempit untuk dilalui sapi ini,” ucapnya. Dia kembali mendengar dengungan angin, kipas itu bergerak dengan cepat. Memotong dan menyingkirkan apa pun yang menghalanginya.

“Ini, kesempatan kita. Ayo Pak!” Soraknya. Induk sapi tidak mau bergerak, ia terlalu takut untuk melewati kobaran api. Mereka pun memaksanya agar mau berjalan.

“Ayolah, masih ada beberapa bagian yang bisa dipijak. Kita harus keluar dari sini jika tidak ingin menjadi daging panggang,” ucap seorang yang sedang mendorong sapi itu dengan sekuat tenaga. Sapi itu tetap menolak, tak berapa lama dia menyerah karena anaknya sudah dibawa duluan oleh tuannya. Tak berapa lama juga, kipas itu kembali ke sabuknya.

“Gyahhh, ya ampun, apa kau barusan memotong api? Panas sekali,” lirih Alva menahan sakit. “Ayo Pak! kita harus cepat sebelum jalannya tertutup lagi,” soraknya. Mereka mengikuti jalan yang sudah dibuka oleh kipas tadi. Butuh waktu sepuluh menit bagi mereka untuk keluar dari tempat itu. Mereka tiba di ujung jalan, mereka selamat meski pun beberapa dari mereka mendapat luka bakar.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status