Share

Titik perkenalan

Bayang-bayang sudah lebih panjang dari bentuk aslinya. Matahari sudah bersiap untuk kembali kepengaduan yang ditandai dengan rona orange menghiasi angkasa sore yang menyejukkan mata. Warna hijau hutan yang semakin menggelap dibalik bayang memerintahkan seluruh makhluk untuk bersiap menghadapi dinginnya malam. Begitu juga dengan Alva dan Bian yang menyadari hari semakin malam. Bian tampak mencari potongan-potongan kayu yang hendak ia gunakan sebagai bahan bakar api unggun. Alva yang sadar dengan aktivitas gadis itu ikut membantu tanpa dipinta.

“Jadi, kita akan berkemah di mana?"

“Urus saja urusanmu. Jangan ikuti aku!”

“Sepertinya di bawah pohon itu bagus juga. Di sana juga cukup luas untuk membuat api unggun,” tanpa rasa bersalah Alva tetap melanjutkan pencarian kayu bakarnya. Kebetulan Bian juga memiliki ide yang sama untuk bermalam. Dia meletakkan kayu bakar di tempat tersebut dan mulai menyalakan api unggun.

“Aku masih ada roti untuk dimakan malam ini. Oh iya, apa kau ada selimut untukmu? Aku hanya punya satu jubah. Kalau kau tidak keberatan aku mau berbagi.”

Tanpa menjawab pertanyaannya, Bian mengeluarkan sebuah jubah dari tas yang melilit di pinggangnya. Tiba-tiba Alva mengulurkan lengan kanannya yang berisi potongan roti kepada gadis tersebut. Tanpa basa basi Bian menerimanya dengan senang hati. Malam semakin larut, bulan sabit mulai tampak dibalik rimbunan dedaunan pohon. Suara burung hantu dan jangkrik mulai terdengar memecah keheningan malam. Alva mulai melepas ikat rambut kuncirnya hingga rambutnya terurai. Rambutnya yang sebahu bisa membuat orang mengira dia adalah seorang wanita. Karena bukan hanya rambutnya yang panjang saja, tetapi karena kulit yang putih kemerah-merahan dan bibirnya yang tak kalah merona membuat orang mana pun bisa salah kira.

“Aku harap besok kau tidak meninggalkanku sendirian di sini,” ucapnya. Lalu seketika dia tertidur lelap.

Bian yang masih terjaga memandanginya. Namun, tak lama kemudian Bian berdiri dan berjalan mendekati laki-laki itu. Ia pun memandangi dan mengambil ransel Alva yang berada di samping laki-laki itu. Ia merogohnya dan menemukan sebuah buku yang bertuliskan klorofil. Buku itu tebal, namun sangat ringan. Ia membuka dan mencoba untuk membaca isinya. Karena ia tidak bisa memahami tulisan di lembar pertama dia membalikkannya ke lembar kedua, lalu ke lembar ketiga dan seterusnya. Tetapi itu hanya menambah rasa kesal baginya. Ia tidak bisa membaca apalagi memahami isi dari buku tersebut. Ia melatakkan kembali buku itu ke tempatnya semula. Tetapi ia kembali menemukan dua buku yang lainnya. Yang ketika ia buka hanya berisi tulisan yang tidak bisa ia baca dan mengerti, tulisan abstrak yang menjadi ciri khas seorang dokter. Rasa jengkel benar-benar membuatnya kesal. Dia mengangkat ransel Alva dan melemparnya ke badan laki-laki itu sehingga terdengar sedikit rintihan.

***

 Matahari memang masih belum menampakkan dirinya. Namun, alam sadar jika fajar akan segera menjelma. Tubuh Alva yang terus dibuai dengan dinginnya udara segar perlahan sadar dari tidurnya. Terlebih ketika sebuah pikiran terbesit begitu saja dan membuatnya sontak terbangun dan melihat keadaan sekitar.

“Aku benar-benar terlelap. Uhuk...uhukk,” asap perapian mulai menusuk hidungnya dan membuatnya sadar jika perapian itu menginginkan kayu bakar lagi. Ia merangkak mendekati potongan ranting dan menumpuknya di perapian yang mulai membakar kayu tersebut secara perlahan.

“Rasanya seperti ada yang hilang. Apa ya? Jubahku? Masih ada. Ransel? Ada. Isinya juga masih lengkap, apa ya?” dia kemudian melihat sekitaran. Seketika ia terbayang wajah Bian dan membayangkan gadis itu sedang duduk di seberang api unggun.

“Ke mana perginya dia? Apa dia diam-diam meninggalkanku saat aku tertidur? Cerobohnya aku….”

Ia segera berdiri dan mengemasi bawaannya, seketika itu pula rasa kantuk dan malas-malasan yang masih ingin tinggal hilang begitu saja.

Krak!

Suara ranting pohon yang patah terdengar. Alva yang sedang berkemas langsung bersiap dengan senjata pisau kecilnya. Perlahan sosok Bian terlihat saat melewati cahaya dari api unggun.

“Ternyata kau. Aku pikir kau pergi meninggalkanku. Percuma saja aku panik begini,” gerutu Alva. Dia mulai melepas senjatanya dan menyarungkannya kembali di tempatnya yang berada di kedua paha laki-laki tersebut. Alva seketika menyadari rambut Bian yang  basah dengan dua ekor ikan di tangannya.

“Apa yang terjadi padamu? Kau mandi jam segini? Apa ikan itu untuk dimakan?”

“Ya.”

Suasana tiba-tiba hening. Hal itu membuat Alva tidak nyaman. Ia kembali berdiri dan merenggangkan badannya. Ia kembali menoleh ka arah Bian yang sedang memanggang ikan tadi.

“Hei, kalau aku boleh tahu, kau mandi di mana? Apa di situ aman? Aku mau mandi juga,” Bian mengangkat tangan kanannya dan mengarahkan jari telunjuknya ke arah kanannya.

“Oh di sana. Terima kasih, aku mau mandi dulu. Kau jangan meninggalkanku ya.”

***

“Bagaimana bisa dia mandi di air yang sedingin ini? brrr,” Alva mulai berendam di sungai yang berarus cukup deras. Dia membalur tubuhnya dengan sabun dan kembali menyelam dan membersihkan sisa-sisa sabun yang menempel.

“Jangan-jangan…dia sudah meninggalkanku,” pikiran jahatnya kembali berbicara. Dia segera keluar dari air dan menenteng pakaian lalu berlari ke tempat mereka berkemah. Dengan keadaan tubuh yang masih basah kuyup dan nafas yang masih tersengal-sengal dia menjumpai Bian yang masih berada di tempat. Karena kehadiran Alva yang tiba-tiba, tentu saja Bian spontan melihatnya. Sedangkan Alva yang melihat Bian masih berada di tempat menjadi sadar jika dirinya masih belum benar-benar berpakaian. Dirinya hanya berbalut celana mandi pendek diatas lutut, hal itu membuatnya malu dan segera bersembunyi di balik pohon untuk berpakaian.

“Ma-maaf. Aku tidak bermaksud begini. Aku berpakaian dulu,” ujarnya sembari memakai pakaian di belakang pohon.

“Sepertinya hanya pikiranku saja yang berlebihan,” gerutunya.

Saat cahaya matahari mulai membuka tirai gelapnya malam, dua manusia itu mulai menyantap ikan hasil tangkapan Bian. Setelahnya mereka bersiap-siap untuk berangkat dan melanjutkan perjalanan. Sambil bersiap-siap mengemasi barang bawaan mereka, Alva terfokus oleh sebuah benda yang terletak di samping Bian. Untuk melepas rasa penasarannya, ia mendekati benda itu dan mengangkatnya. Benda itu masih menyatu dengan sabuk yang biasa direkatkan di paha penggunanya. Saat ia memegang tangkai benda itu, benda itu langsung terlepas dari sarungnya.

“Kipas besi?” ucapnya kaget. Sebuah kipas dongker yang terbuat dari besi kini berada di tangannya. Kipas itu benar-benar berat jika untuk sebuah benda yang bernama kipas yang biasanya digunakan untuk mendinginkan badan. Kipas dongker itu memiliki sisi yang tajam dibagian atasnya.

“Bagaimana caramu bertarung dengan benda ini?” tanyanya. Bian tidak menjawab, justru dia mengulurkan tangan kanannya untuk meminta kipas tersebut. Dengan raut kesal Alva menyerahkan benda itu kepemilik aslinya.

“Eh, kau punya dua? Kenapa warnanya berbeda? Sepertinya ukurannya juga berbeda,” tanyanya dengan santai. Seperti biasa, Bian tidak akan merespon jika menurutnya tidak penting.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status