Bayang-bayang sudah lebih panjang dari bentuk aslinya. Matahari sudah bersiap untuk kembali kepengaduan yang ditandai dengan rona orange menghiasi angkasa sore yang menyejukkan mata. Warna hijau hutan yang semakin menggelap dibalik bayang memerintahkan seluruh makhluk untuk bersiap menghadapi dinginnya malam. Begitu juga dengan Alva dan Bian yang menyadari hari semakin malam. Bian tampak mencari potongan-potongan kayu yang hendak ia gunakan sebagai bahan bakar api unggun. Alva yang sadar dengan aktivitas gadis itu ikut membantu tanpa dipinta.
“Jadi, kita akan berkemah di mana?"
“Urus saja urusanmu. Jangan ikuti aku!”
“Sepertinya di bawah pohon itu bagus juga. Di sana juga cukup luas untuk membuat api unggun,” tanpa rasa bersalah Alva tetap melanjutkan pencarian kayu bakarnya. Kebetulan Bian juga memiliki ide yang sama untuk bermalam. Dia meletakkan kayu bakar di tempat tersebut dan mulai menyalakan api unggun.
“Aku masih ada roti untuk dimakan malam ini. Oh iya, apa kau ada selimut untukmu? Aku hanya punya satu jubah. Kalau kau tidak keberatan aku mau berbagi.”
Tanpa menjawab pertanyaannya, Bian mengeluarkan sebuah jubah dari tas yang melilit di pinggangnya. Tiba-tiba Alva mengulurkan lengan kanannya yang berisi potongan roti kepada gadis tersebut. Tanpa basa basi Bian menerimanya dengan senang hati. Malam semakin larut, bulan sabit mulai tampak dibalik rimbunan dedaunan pohon. Suara burung hantu dan jangkrik mulai terdengar memecah keheningan malam. Alva mulai melepas ikat rambut kuncirnya hingga rambutnya terurai. Rambutnya yang sebahu bisa membuat orang mengira dia adalah seorang wanita. Karena bukan hanya rambutnya yang panjang saja, tetapi karena kulit yang putih kemerah-merahan dan bibirnya yang tak kalah merona membuat orang mana pun bisa salah kira.
“Aku harap besok kau tidak meninggalkanku sendirian di sini,” ucapnya. Lalu seketika dia tertidur lelap.
Bian yang masih terjaga memandanginya. Namun, tak lama kemudian Bian berdiri dan berjalan mendekati laki-laki itu. Ia pun memandangi dan mengambil ransel Alva yang berada di samping laki-laki itu. Ia merogohnya dan menemukan sebuah buku yang bertuliskan klorofil. Buku itu tebal, namun sangat ringan. Ia membuka dan mencoba untuk membaca isinya. Karena ia tidak bisa memahami tulisan di lembar pertama dia membalikkannya ke lembar kedua, lalu ke lembar ketiga dan seterusnya. Tetapi itu hanya menambah rasa kesal baginya. Ia tidak bisa membaca apalagi memahami isi dari buku tersebut. Ia melatakkan kembali buku itu ke tempatnya semula. Tetapi ia kembali menemukan dua buku yang lainnya. Yang ketika ia buka hanya berisi tulisan yang tidak bisa ia baca dan mengerti, tulisan abstrak yang menjadi ciri khas seorang dokter. Rasa jengkel benar-benar membuatnya kesal. Dia mengangkat ransel Alva dan melemparnya ke badan laki-laki itu sehingga terdengar sedikit rintihan.
***
Matahari memang masih belum menampakkan dirinya. Namun, alam sadar jika fajar akan segera menjelma. Tubuh Alva yang terus dibuai dengan dinginnya udara segar perlahan sadar dari tidurnya. Terlebih ketika sebuah pikiran terbesit begitu saja dan membuatnya sontak terbangun dan melihat keadaan sekitar.
“Aku benar-benar terlelap. Uhuk...uhukk,” asap perapian mulai menusuk hidungnya dan membuatnya sadar jika perapian itu menginginkan kayu bakar lagi. Ia merangkak mendekati potongan ranting dan menumpuknya di perapian yang mulai membakar kayu tersebut secara perlahan.
“Rasanya seperti ada yang hilang. Apa ya? Jubahku? Masih ada. Ransel? Ada. Isinya juga masih lengkap, apa ya?” dia kemudian melihat sekitaran. Seketika ia terbayang wajah Bian dan membayangkan gadis itu sedang duduk di seberang api unggun.
“Ke mana perginya dia? Apa dia diam-diam meninggalkanku saat aku tertidur? Cerobohnya aku….”
Ia segera berdiri dan mengemasi bawaannya, seketika itu pula rasa kantuk dan malas-malasan yang masih ingin tinggal hilang begitu saja.
Krak!
Suara ranting pohon yang patah terdengar. Alva yang sedang berkemas langsung bersiap dengan senjata pisau kecilnya. Perlahan sosok Bian terlihat saat melewati cahaya dari api unggun.
“Ternyata kau. Aku pikir kau pergi meninggalkanku. Percuma saja aku panik begini,” gerutu Alva. Dia mulai melepas senjatanya dan menyarungkannya kembali di tempatnya yang berada di kedua paha laki-laki tersebut. Alva seketika menyadari rambut Bian yang basah dengan dua ekor ikan di tangannya.
“Apa yang terjadi padamu? Kau mandi jam segini? Apa ikan itu untuk dimakan?”
“Ya.”
Suasana tiba-tiba hening. Hal itu membuat Alva tidak nyaman. Ia kembali berdiri dan merenggangkan badannya. Ia kembali menoleh ka arah Bian yang sedang memanggang ikan tadi.
“Hei, kalau aku boleh tahu, kau mandi di mana? Apa di situ aman? Aku mau mandi juga,” Bian mengangkat tangan kanannya dan mengarahkan jari telunjuknya ke arah kanannya.
“Oh di sana. Terima kasih, aku mau mandi dulu. Kau jangan meninggalkanku ya.”
***
“Bagaimana bisa dia mandi di air yang sedingin ini? brrr,” Alva mulai berendam di sungai yang berarus cukup deras. Dia membalur tubuhnya dengan sabun dan kembali menyelam dan membersihkan sisa-sisa sabun yang menempel.
“Jangan-jangan…dia sudah meninggalkanku,” pikiran jahatnya kembali berbicara. Dia segera keluar dari air dan menenteng pakaian lalu berlari ke tempat mereka berkemah. Dengan keadaan tubuh yang masih basah kuyup dan nafas yang masih tersengal-sengal dia menjumpai Bian yang masih berada di tempat. Karena kehadiran Alva yang tiba-tiba, tentu saja Bian spontan melihatnya. Sedangkan Alva yang melihat Bian masih berada di tempat menjadi sadar jika dirinya masih belum benar-benar berpakaian. Dirinya hanya berbalut celana mandi pendek diatas lutut, hal itu membuatnya malu dan segera bersembunyi di balik pohon untuk berpakaian.
“Ma-maaf. Aku tidak bermaksud begini. Aku berpakaian dulu,” ujarnya sembari memakai pakaian di belakang pohon.
“Sepertinya hanya pikiranku saja yang berlebihan,” gerutunya.
Saat cahaya matahari mulai membuka tirai gelapnya malam, dua manusia itu mulai menyantap ikan hasil tangkapan Bian. Setelahnya mereka bersiap-siap untuk berangkat dan melanjutkan perjalanan. Sambil bersiap-siap mengemasi barang bawaan mereka, Alva terfokus oleh sebuah benda yang terletak di samping Bian. Untuk melepas rasa penasarannya, ia mendekati benda itu dan mengangkatnya. Benda itu masih menyatu dengan sabuk yang biasa direkatkan di paha penggunanya. Saat ia memegang tangkai benda itu, benda itu langsung terlepas dari sarungnya.
“Kipas besi?” ucapnya kaget. Sebuah kipas dongker yang terbuat dari besi kini berada di tangannya. Kipas itu benar-benar berat jika untuk sebuah benda yang bernama kipas yang biasanya digunakan untuk mendinginkan badan. Kipas dongker itu memiliki sisi yang tajam dibagian atasnya.
“Bagaimana caramu bertarung dengan benda ini?” tanyanya. Bian tidak menjawab, justru dia mengulurkan tangan kanannya untuk meminta kipas tersebut. Dengan raut kesal Alva menyerahkan benda itu kepemilik aslinya.
“Eh, kau punya dua? Kenapa warnanya berbeda? Sepertinya ukurannya juga berbeda,” tanyanya dengan santai. Seperti biasa, Bian tidak akan merespon jika menurutnya tidak penting.
“Hei, kita mau ke mana?” tanya Alva. Meskipun Bian tidak mengindahkan keberadaannya, laki-laki itu tetap bersikeras mengikuti Bian. Mereka berjalan sepanjang hari menelusuri hutan yang mulai menggugurkan daunnya akibat kemarau yang mulai melanda. Hingga beberapa meter kedepannya, terlihat beberapa bagian yang sudah gundul ditebangi manusia. Mereka menyeberangi sungai yang mulai kehilangan sebagian airnya, hingga hidung mulai mencium bau tengik asap dari udara yang tak lagi segar. Alva dan Bian terus berjalan menyusuri jalan setapak di tepian sungai yang masih menemani perjalanan sedari tadi.Bau asap semakin menguat ketika sepasang manusia itu tiba di lokasi yang menghasilkan aroma tersebut. Hutan di depan mereka juga sudah habis dilalap api. Terlihat beberapa warga masih berusaha untuk memadamkan api di wilayah yang masih mengeluarkan asap dengan air seadanya. Para warga pun sudah tampak kelelahan, tampak keringat sudah membasahi sekujur tubuh. Bahkan beberapa wa
Para warga lain yang melihat mereka berhasil keluar dari kobaran api segera mendekat untuk memerika keadaan mereka. “Segera bawa mereka ke desa...juga sapi-sapinya, lalu siapkan air dan kain yang bersih. Aku akan mengobati mereka,” pesan Alva. Masyarakat yang mendekat langsung melaksanakan perintah Alva tanpa bertanya lagi. Alva kembali menoleh ke tempat yang dilaluinya tadi. Jalan tersebut perlahan tertutupi oleh reruntuhan pohon. “Lokasi yang tadinya menghitam sudah mereda. Kenapa cepat sekali? Kupikir api itu sudah menjalar ke sini,” pikirnya. Ia menoleh ke tepian hutan. Banyak dahan yang panjang sudah terpotong, dan juga ia menemukan sosok Bian di sana. “Oh, jadi begitu. Selama aku mencari warga, dia berusaha memutuskan penyebaran api ini. Apa dia juga yang mengarahkan kipas ini agar melindungiku? Hmmm...menarik.” “Mas. Air dan kain bersihnya sudah dipersiapkan di desa,” seorang pria mendekatinya. “Oh, baik terima kasih. Saya akan ke
Sekelompok orang tiba-tiba mengelilingi mereka. Tiga orang wanita dan dua orang pria. Masing-masing dari mereka sudah siap dengan senjata dan kuda-kuda untuk menyerang. “Jangan sia-siakan kesempatan ini. Cepat, tangkap dia!” titah seorang wanita yang terlihat paling muda diantara mereka. Dibanding yang lainnya, dia sendirilah yang memakai pakaian paling mewah. Sebuah gaun biru tua berpadu biru muda dengan kilatan disetiap sisinya tampak lebih indah ketika ia kenakan. Ditambah lagi dengan parasnya yang indah membuatnya terlihat seperti boneka hidup yang menghipnotis orang lain dengan kecantikannya. Siapapun yang melihatnya akan tahu jika dia bukanlah orang biasa. Mendengar perintah dari gadis itu, kelima anak buahnya segera menyerang mereka berdua. Alva yang dari tadi sudah bersiaga ikut terbawa pertarungan yang tidak ia ketahui alasannya. Pedang kecil ia kenakan untuk menahan serangan senjata lawan yang beragam. Beberapa kali ia melempar pisaunya untuk membuat lawan
“Wah..kau bisa berkomentar padaku. Tenang saja! Jika aku adalah dokter yang bekerja untuk negara saja aku bisa dikatakan melanggar aturan. Tetapi aku bekerja bukan hanya untuk negara saja, aku juga bekerja dibawah naungan dua organisasi besar. Karena itu sistem kami sedikit berbeda. Kami tidak hanya bekerja di rumah kesehatan saja, tetapi kami dikirim untuk menangani penyakit-penyakit yang membutuhkan penelitian secara langsung,” jelasnya panjang lebar. “Lingkar Hijau?” pikir Bian. “Intinya, pertarunga
Wanita yang berpangkat sebagai ibu tersebut terlihat kaget saat diberikan pertanyaan oleh Alva. Seketika Alva langsung merespon mimik wajah mereka.“Maaf, saya tidak seharusnya bertanya itu. Maaf.. tidak perlu menjawab,” ucap Alva.“Tidak apa-apa, aku saja yang berekspresi berlebihan. Toh kejadiannya sudah lama, mau ditangisi juga tidak akan mengubah masa depan. Ayah Hari dan Haru pergi lima belas tahun yang lalu, tepatnya saat anak-anakku masih berumur lima tahu. Tapi aku tidak punya waktu untuk bersedih, aku punya anak-anak yang harus kunafkahi,” setelah mendengar jawaban itu, Alva menjadi tersenyum. Selama dia mengembara dan menjumpai banyak orang hanya satu sosok yang membuatnya selalu terkagum-kagum. Seorang ibu yang bisa menjadi apa dan siapa pun untuk sang anak.“Seorang ibu itu hebat ya,” pujinya senang. Hari, Haru dan ibunya seketika menolehkan wajah ke arah Alva yang terlihat senang.“Ha..ha.. baru perta
Alva dan Haru berpisah saat tiba di tujuan. Sebuah bangunan yang penuh dengan kemewahan. Bukan tanpa alasan, karena bangunan itu adalah sebuah klinik yang berdiri kokok di antara sawah dan perumahan warga. Belum sempat Alva mendorong pintu klinik, pintu itu tiba-tiba terbuka. Seorang pria dewasa muncul dari sebalik pintu tersebut. Matanya langsung terbelalak saat melihat wajah Alva. “K-kau… kenapa kau di sini? Apa jangan-jangan kau dokter yang dikatakan oleh si Haru?” “Hmm… ya...tapi bagaimana kalau dokter izinkan aku masuk dulu sebelum bercerita panjang lebar?” “Ba-baiklah...ikuti aku!” Mereka berjalan menuju sebuah ruangan. Ruangan khusus yang memiliki papan nama “dr. Adi,”. Alva menyeringai saat membaca papan nama tersebut. “Silahkan duduk! Aku akan mengambil dokumennya dulu,” pria bernama Adi tersebut berpindah ke rak buku dan mengambil sebuah dokumen. Lantas dia menyerahkannya kepada Alva. “Kau...anggota lingkar hijau’kan?”
Setelah Alva meninggalkannya pergi, Bian hanya bisa berkeliling rumah tanpa ada sesuatu yang jelas bisa dia kerjakan. Sebenarnya dia sudah menawarkan jasa kepada si ibu. Tetapi wanita itu menolak dan hanya memintanya untuk menemani anaknya di rumah. Beberapa saat yang lalu dia masih bersama Hari di pondok kecil belakang rumah namun kini laki-laki itu entah ke mana perginya. Karena dia lelah berada di dalam rumah, dia pun memutuskan untuk keluar untuk mencari Hari. Seketika Hari memutar kepalanya saat terdengar suara langkah kaki mendekat. Bian memandanginya dengan wajah datarnya. Hari yang sudah menebak watak gadis itu sejak awal langsung menerima kehadirannya dengan kembira. “Duduklah di sampingku! Kau mencariku’kan?” ajaknya dengan penuh percaya diri. Bian segera membungkuk dan duduk di samping laki-laki yang sudah turun dari kursi rodanya. “Aku lebih suka menyelesaikan sovenir ini di tempat ini. Karena aku tetap bisa melihat Haru dan ibu yang sedang bersaw
“Aku sudah mendengarnya. Kau yang akan menjadi dokter penggantinya’kan?” pertanyaan dari Hari membuat Alva terdiam. Dia tahu Hari hanya ingin memastikan kebenaran, hanya saja dia merasa jika Hari sedang menyudutkannya. Hari tidak melanjutkan pembicaraannya. Dia tetap menunggu jawaban dari pria yang ada di hadapannya tersebut. Mulut yang terasa berat untuk menjawab terus membungkam Alva dalam perasaan bersalah. Padahal niatnya adalah untuk membantu pria tersebut, tetapi setelah merasakan kerapuhan jiwa Hari dia menjadi bingung dengan keyakinannya. Dengan gerakan yang secara tak sadar ia lakukan, Alva mendekati laki-laki itu lalu menyentuh bahu kirinya. Sebuah kebiasaan spontan yang ia lakukan. Senyuman manis yang selalu ia lontarkan kepada siapapun. Senyuman yang ia gunakan untuk menghadapi kondisi yang ia sendiri belum tahu cara menghadapinya. “Aku tahu, Kak Hari adalah salah satu dari orang hebat yang kutemui selama ini. Manusia yang