Pertemuan pertama yang terjadi enam bulan yang lalu. Disaat seorang gadis sedang melewati perkampungan seorang diri. Rambutnya hitam pendek bergelombang, dengan kulit kuning langsat dan tubuh yang tinggi. Poni panjang yang sama panjangnya dengan rambutnya disibakkannya ke samping agar tidak mengganggu penglihatan. Pertemuan itu akan menjadi pertemuan yang akan disesali oleh laki-laki yang sedang berjalan di belakangnya sekarang. Ya, Alva sedang mengikutinya.
“Hei, kau bahkan tidak penasaran siapa yang mengikutimu?” dia mulai bersuara namun dia tidak mendapatkan respon sama sekali.
“Sombong sekali,” Alva mempercepat lagkahnya. Dia menghadang Bian dengan merentangkan kedua lengannya.
“Kau mau ke mana? Apa aku boleh ikut?” lagi-lagi dia tidak menerima jawaban, justru gadis itu berjalan menghindarinya.
“Namaku Alva. Aku dokter pengelana. Siapa namamu?” Alva mencoba menyeimbangi langkah kaki Bian yang lebar.
“Kau baru saja melewati desa itu bukan? Kau tidak melihatku tadi? Oh iya, aku baru saja mendapatkan makanan dari mereka. Ayo makan bersamaku,” ajaknya. Lagi dan lagi dia tidak mendapat jawaban dari Bian, bahkan ditoleh pun tidak. Rasa kesal menyelimuti dada laki-laki itu.
“Ya ampun, aku tidak percaya ada lagi satu orang sepertimu yang hidup di dunia ini. Ini membuatku mengingat masa lalu saja,” tiba-tiba suara perut yang kelaparan terdengar. Alva yang mendengar hal itu menjadi tersenyum lebar. Dia memandangi Bian dengan tatapan liciknya.
“Ayolah. Kita bisa memakan makanan ini bersama-sama. Tenang saja, ini tidak beracun kok aku jamin itu. Tapi sebelumnya ayo cari tempat berteduh! Seperti di bawah pohon itu,” dengan riang Alva menarik lengan Bian dan mengarahkannya untuk berteduh di bawah sebuah Pohon Akasia. Mereka pun duduk dan mulai menikmati roti yang diberikan oleh penduduk desa kepada Alva. Sambil mengunyah roti, Alva memandangi wajah Bian dengan seksama. Tak cukup itu, dia bahkan memperhatikannya dari ujung rambut hingga ujung kaki meskipun dia tidak bisa melihatnya secara sempurna dikarenakan mereka dalam posisi duduk.
“Kau cantik juga ya. Siapa namamu?” tanya Alva dengan polosnya. Bian terlihat terkejut dan memandangi Alva.
“Kenapa? Ada yang aneh dari ucapanku? Ada kok laki-laki yang cantik. Kau tidak perlu malu-malu. Jadi siapa namamu?” sambungnya lagi.
“Bian,” gadis itu kembali mengunyah rotinya. Untuk sesaat dia terlihat lega.
“Oh itu namamu ya. Aku ada satu pertanyaan. Apa kau tidak merasa panas menggunakan pakaian seperti itu? Pakaian berlapis-lapis, kita hidup di daerah tropis,” Alva mulai memberikan komentar kepada orang yang baru pertama kali dijumpainya. Sifatnya yang ramah dan terkesan tidak tahu malu justru membuatnya mudah mendekati orang lain.
Namun, benar yang dikatakan oleh laki-laki itu. Pakaian Bian sangat tidak biasa untuk daerah tropis. Tiga lapis pakaian yang dikenakan benar-benar membuat orang lain merasa kepanasan saat melihatnya. Kaos hitam yang cukup tebal yang hampir menutupi seluruh badannya. Bahkan kaos itu hampir tidak memperlihatkan bagian leher penggunanya. Lengan kaos itu juga membalut lengannya dengan sempurna. Lapisan kedua yaitu baju biasa yang berukuran lebih longgar dari kaos dalamannya. Dengan lengan yang lebih pendek sehingga masih memperlihatkan lengan baju kaos hitamnya. Dan lapisan terakhir sebuah rompi tipis selutut yang mudah bergerak saat terkena terpaan angin.
Bian menatapnya dengan dingin, namun Alva bukannya risih justru dia tersenyum lebar dan meletakkan jari telunjuk dan jempolnya di dagunya. Senyum manis tergambar begitu saja dari wajahnya. Bibirnya yang merah menambah pesona tersendiri disenyumannya yang mendebarkan hati. Berdebar saat melihat senyumannya mungkin berlaku jika gadis lain yang melihatnya, Bian tidak memperlihatkan respon apa-apa saat melihat hal tersebut.
“Kenapa? Kau baru menyadari jika aku tampan?” tanyanya dengan penuh percaya diri. Alva yang memperkenalkan dirinya sebagai seorang dokter berpenampilan sesuai dengan profesinya. Meski dia tidak mengenakan jas putih, tetapi dia berpakaian yang sangat sesuai dengan orang yang akan selalu terjebak dalam keadaan darurat. Cukup satu baju dan sebuah jubah yang disimpan di dalam ransel kecilnya. Ransel kecil yang selalu berisi peralatan kedokteran yang menjadi senjatanya untuk melawan keadaan yang tak diingini.
“Kau ini sangat cerewet ya!” ujar Bian dengan santainya. Alva kaget. Seketika dia tertawa lepas mendengar pendapat Bian. Bahkan berulang kali dia memegang perutnya yang mulai kram.
“Kau tidak menjawab pertanyaanku, tetapi justru mengataiku. Ha...ha…itu diluar dugaan. Apa kau memandangiku seperti tadi hanya untuk mencari kata-kata yang tepat untuk mengejekku?”
Bian yang tidak mengerti alasan laki-laki itu tertawa hanya kembali memakan rotinya.
“Hei, umurmu berapa? Eh tunggu, biar kutebak. Kau memang tinggi bahkan lebih tinggi dariku, tetapi sepertinya kau belum mengalami perkembangan fisik. Tubuhmu seperti perempuan, bahkan suaramu juga masih kecil. Eits...tunggu dulu! Jangan tersinggung. Aku juga punya masalah dengan fisikku. Meski suaraku sudah besar seperti ini tetapi tinggiku itu masih jauh dari tinggi laki-laki seumuranku. Padahal aku sudah bersusah payah mempertahankan fisikku agar tetap ideal. Asal kau tahu, menjadi dokter dizaman ini itu penuh tantangan. Setidaknya kau harus punya tubuh yang kekar atau setidaknya kau harus menumbuhkan otot lenganmu agar sewaktu-waktu ketika harus mengangkat pasien seorang diri kita bisa melakukannya. Tetapi tetap saja aku tidak mau memiliki tubuh yang aneh-aneh, cukup tidak buncit dan kuat mengangkat beban saja,” Alva mengangkat lengan kanannya sambil berlagak seolah memamerkan otot lengannya. Seperti yang dipikir Alva, ia mengira jika Bian adalah seorang laki-laki sama sepertinya.
“Ya ampun. Padahal tadi aku mau menebak umurmu. Karena umurku sudah tujuh belas… mungkin...kau masih lima belas enam belas?” Alva memandangi Bian yang sedang mengunyah roti dengan santai. Bian tak meresponnya, dia hanya memandangi Alva dan memasang raut yang siap mendengar ocehan laki-laki tersebut.
“Ya ampun. Apa gunanya mulutmu itu? Hanya untuk makan? Oh iya, kau mau ke mana?”
“Entahlah.”
“Kau tidak tahu mau ke mana? Kalau begitu bagaimana jika kau ikut bersamaku saja. Sebenarnya aku juga dalam tugas sih. Tetapi hampir selesai. Sesudah selesai misi ini, aku akan pergi ke tanah kelahiranku. Eh…maksudku tempat bermainku saat kecil. Katanya negara itu sudah merdeka dan sudah maju. Bahkan teknologi seperti telepon, pembangkit tenaga listrik, dan pakaian yang multifungsi berasal dari sana. Namanya Negeri Anggrek. Bagaimana?”
“Setelah aku tiba di sana aku mau membangun klinikku sendiri. Membangun usaha sendiri tanpa terikat oleh apapun. Aku juga akan memperkenalkanmu kepada teman-temanku. Maksudku jika mereka masih hidup. Bagaimana?” sambungnya lagi. Bian tiba-tiba berdiri sehingga membuat Alva terkejut dan segera mengemasi barang-barangnya.
“Terima kasih makanannya. Lupakan soal pergi bersama-sama, aku akan melanjutkan perjalananku,” Bian mulai melangkahkan kakinya. Alva semakin kaget. Roti yang belum sepenuhnya dihabiskan tetap ia gigit dan menggerutu seperti wanita tua.
“Kkkhmmmmamphhh,” gerutunya yang tidak dapat dimengerti oleh siapa pun. Meski tak diizinkan, dia tetap mengikuti langkah kaki gadis itu.
Bayang-bayang sudah lebih panjang dari bentuk aslinya. Matahari sudah bersiap untuk kembali kepengaduan yang ditandai dengan rona orange menghiasi angkasa sore yang menyejukkan mata. Warna hijau hutan yang semakin menggelap dibalik bayang memerintahkan seluruh makhluk untuk bersiap menghadapi dinginnya malam. Begitu juga dengan Alva dan Bian yang menyadari hari semakin malam. Bian tampak mencari potongan-potongan kayu yang hendak ia gunakan sebagai bahan bakar api unggun. Alva yang sadar dengan aktivitas gadis itu ikut membantu tanpa dipinta. “Jadi, kita akan berkemah di mana?" “Urus saja urusanmu. Jangan ikuti aku!” “Sepertinya di bawah pohon itu bagus juga. Di sana juga cukup luas untuk membuat api unggun,” tanpa rasa bersalah Alva tetap melanjutkan pencarian kayu bakarnya. Kebetulan Bian juga memiliki ide yang sama untuk bermalam. Dia meletakkan kayu bakar di tempat tersebut dan mulai menyalakan api unggun. “Aku masih ada roti untuk dimakan malam i
“Hei, kita mau ke mana?” tanya Alva. Meskipun Bian tidak mengindahkan keberadaannya, laki-laki itu tetap bersikeras mengikuti Bian. Mereka berjalan sepanjang hari menelusuri hutan yang mulai menggugurkan daunnya akibat kemarau yang mulai melanda. Hingga beberapa meter kedepannya, terlihat beberapa bagian yang sudah gundul ditebangi manusia. Mereka menyeberangi sungai yang mulai kehilangan sebagian airnya, hingga hidung mulai mencium bau tengik asap dari udara yang tak lagi segar. Alva dan Bian terus berjalan menyusuri jalan setapak di tepian sungai yang masih menemani perjalanan sedari tadi.Bau asap semakin menguat ketika sepasang manusia itu tiba di lokasi yang menghasilkan aroma tersebut. Hutan di depan mereka juga sudah habis dilalap api. Terlihat beberapa warga masih berusaha untuk memadamkan api di wilayah yang masih mengeluarkan asap dengan air seadanya. Para warga pun sudah tampak kelelahan, tampak keringat sudah membasahi sekujur tubuh. Bahkan beberapa wa
Para warga lain yang melihat mereka berhasil keluar dari kobaran api segera mendekat untuk memerika keadaan mereka. “Segera bawa mereka ke desa...juga sapi-sapinya, lalu siapkan air dan kain yang bersih. Aku akan mengobati mereka,” pesan Alva. Masyarakat yang mendekat langsung melaksanakan perintah Alva tanpa bertanya lagi. Alva kembali menoleh ke tempat yang dilaluinya tadi. Jalan tersebut perlahan tertutupi oleh reruntuhan pohon. “Lokasi yang tadinya menghitam sudah mereda. Kenapa cepat sekali? Kupikir api itu sudah menjalar ke sini,” pikirnya. Ia menoleh ke tepian hutan. Banyak dahan yang panjang sudah terpotong, dan juga ia menemukan sosok Bian di sana. “Oh, jadi begitu. Selama aku mencari warga, dia berusaha memutuskan penyebaran api ini. Apa dia juga yang mengarahkan kipas ini agar melindungiku? Hmmm...menarik.” “Mas. Air dan kain bersihnya sudah dipersiapkan di desa,” seorang pria mendekatinya. “Oh, baik terima kasih. Saya akan ke
Sekelompok orang tiba-tiba mengelilingi mereka. Tiga orang wanita dan dua orang pria. Masing-masing dari mereka sudah siap dengan senjata dan kuda-kuda untuk menyerang. “Jangan sia-siakan kesempatan ini. Cepat, tangkap dia!” titah seorang wanita yang terlihat paling muda diantara mereka. Dibanding yang lainnya, dia sendirilah yang memakai pakaian paling mewah. Sebuah gaun biru tua berpadu biru muda dengan kilatan disetiap sisinya tampak lebih indah ketika ia kenakan. Ditambah lagi dengan parasnya yang indah membuatnya terlihat seperti boneka hidup yang menghipnotis orang lain dengan kecantikannya. Siapapun yang melihatnya akan tahu jika dia bukanlah orang biasa. Mendengar perintah dari gadis itu, kelima anak buahnya segera menyerang mereka berdua. Alva yang dari tadi sudah bersiaga ikut terbawa pertarungan yang tidak ia ketahui alasannya. Pedang kecil ia kenakan untuk menahan serangan senjata lawan yang beragam. Beberapa kali ia melempar pisaunya untuk membuat lawan
“Wah..kau bisa berkomentar padaku. Tenang saja! Jika aku adalah dokter yang bekerja untuk negara saja aku bisa dikatakan melanggar aturan. Tetapi aku bekerja bukan hanya untuk negara saja, aku juga bekerja dibawah naungan dua organisasi besar. Karena itu sistem kami sedikit berbeda. Kami tidak hanya bekerja di rumah kesehatan saja, tetapi kami dikirim untuk menangani penyakit-penyakit yang membutuhkan penelitian secara langsung,” jelasnya panjang lebar. “Lingkar Hijau?” pikir Bian. “Intinya, pertarunga
Wanita yang berpangkat sebagai ibu tersebut terlihat kaget saat diberikan pertanyaan oleh Alva. Seketika Alva langsung merespon mimik wajah mereka.“Maaf, saya tidak seharusnya bertanya itu. Maaf.. tidak perlu menjawab,” ucap Alva.“Tidak apa-apa, aku saja yang berekspresi berlebihan. Toh kejadiannya sudah lama, mau ditangisi juga tidak akan mengubah masa depan. Ayah Hari dan Haru pergi lima belas tahun yang lalu, tepatnya saat anak-anakku masih berumur lima tahu. Tapi aku tidak punya waktu untuk bersedih, aku punya anak-anak yang harus kunafkahi,” setelah mendengar jawaban itu, Alva menjadi tersenyum. Selama dia mengembara dan menjumpai banyak orang hanya satu sosok yang membuatnya selalu terkagum-kagum. Seorang ibu yang bisa menjadi apa dan siapa pun untuk sang anak.“Seorang ibu itu hebat ya,” pujinya senang. Hari, Haru dan ibunya seketika menolehkan wajah ke arah Alva yang terlihat senang.“Ha..ha.. baru perta
Alva dan Haru berpisah saat tiba di tujuan. Sebuah bangunan yang penuh dengan kemewahan. Bukan tanpa alasan, karena bangunan itu adalah sebuah klinik yang berdiri kokok di antara sawah dan perumahan warga. Belum sempat Alva mendorong pintu klinik, pintu itu tiba-tiba terbuka. Seorang pria dewasa muncul dari sebalik pintu tersebut. Matanya langsung terbelalak saat melihat wajah Alva. “K-kau… kenapa kau di sini? Apa jangan-jangan kau dokter yang dikatakan oleh si Haru?” “Hmm… ya...tapi bagaimana kalau dokter izinkan aku masuk dulu sebelum bercerita panjang lebar?” “Ba-baiklah...ikuti aku!” Mereka berjalan menuju sebuah ruangan. Ruangan khusus yang memiliki papan nama “dr. Adi,”. Alva menyeringai saat membaca papan nama tersebut. “Silahkan duduk! Aku akan mengambil dokumennya dulu,” pria bernama Adi tersebut berpindah ke rak buku dan mengambil sebuah dokumen. Lantas dia menyerahkannya kepada Alva. “Kau...anggota lingkar hijau’kan?”
Setelah Alva meninggalkannya pergi, Bian hanya bisa berkeliling rumah tanpa ada sesuatu yang jelas bisa dia kerjakan. Sebenarnya dia sudah menawarkan jasa kepada si ibu. Tetapi wanita itu menolak dan hanya memintanya untuk menemani anaknya di rumah. Beberapa saat yang lalu dia masih bersama Hari di pondok kecil belakang rumah namun kini laki-laki itu entah ke mana perginya. Karena dia lelah berada di dalam rumah, dia pun memutuskan untuk keluar untuk mencari Hari. Seketika Hari memutar kepalanya saat terdengar suara langkah kaki mendekat. Bian memandanginya dengan wajah datarnya. Hari yang sudah menebak watak gadis itu sejak awal langsung menerima kehadirannya dengan kembira. “Duduklah di sampingku! Kau mencariku’kan?” ajaknya dengan penuh percaya diri. Bian segera membungkuk dan duduk di samping laki-laki yang sudah turun dari kursi rodanya. “Aku lebih suka menyelesaikan sovenir ini di tempat ini. Karena aku tetap bisa melihat Haru dan ibu yang sedang bersaw