Share

Bab 6

Penulis: Syaard86
last update Terakhir Diperbarui: 2024-07-12 18:54:59

Sandara menatap piring berisi makanan yang telah ia buat dengan susah payah di meja makan. Meskipun tak pandai memasak, namun ia berusaha membuatkan sarapan spesial untuk Bima. Dari kejauhan, terdengar suara langkah kaki Bima yang baru saja keluar dari kamarnya dengan setelan jas rapi yang menambah ketampanannya.

"Om, kalau nggak mau sarapan, minum kopinya aja, Om. Ayolah Om, mau ya, please!" ucap Sandara dengan nada memelas sambil mengejar langkah Bima menuju pintu.

Bima hanya melirik sejenak ke arah Sandara, kemudian melanjutkan langkahnya tanpa menggubris ajakan Sandara. Seolah tak peduli dengan perasaan Sandara yang telah bersusah payah membuatkan sarapan untuknya.

"Om Bima wangi banget," ujar Sandara yang mencoba mengalihkan perhatian Bima dengan menghirup dalam-dalam aroma wangi parfum yang dipakai Bima. Ia berharap pujian itu akan membuat Bima berhenti sejenak dan mencicipi sarapan yang telah ia siapkan.

Namun, Bima hanya melangkah datar dan tanpa ekspresi, seakan tak terpengaruh oleh rayuan Sandara. Hati Sandara merasa kecewa dan sedih melihat sikap Bima yang terkesan dingin dan acuh tak acuh. Ia berdiri di dekat meja makan dengan rasa kecewa yang menggelayut, menatap piring berisi makanan yang tak tersentuh.

Bima berhenti sejenak di ambang pintu apartemennya, dengan raut wajah kesal yang terpancar jelas. Sandara berlari menuju ke pintu dengan langkah kaki yang bergegas, menghalangi Bima untuk keluar.

"Om harus minum sedikit aja kopi buatan gue. Dikit aja!" ucap Sandara memaksa, sambil menggoyangkan secangkir kopi buatan tangannya. Wajahnya tampak memelas, namun penuh tekad.

"Minggir!" seru Bima dengan menatap tajam Sandara. Nada suaranya tegas dan menggelegar, mencoba untuk menakut-nakuti gadis itu agar mengalah.

Namun, Sandara tetap kekeuh dan berdiri tegak di depan pintu utama apartemen. "Nggak. Sebelum Om Bima minum kopi buatan Dara, Dara nggak akan minggir!" ujarnya dengan suara yang berani. Matanya berkilat dan kedua tangannya mengepal, seolah siap bertarung.

Bima sangat kesal ingin mendorong Sandara, namun dia tahu bahwa dia tidak boleh berbuat kasar pada wanita. Bima menarik nafas dalam-dalam, mencoba mengendalikan amarahnya. "Baiklah, berikan kopi itu," ucapnya akhirnya, menyerah.

Senyum kemenangan terukir di wajah Sandara. Dia memberikan secangkir kopi buatannya ke tangan Bima, yang dengan terpaksa mengambilnya.

Bima menyesap kopi yang berada di tangan Sandara. Begitu kopi masuk ke mulutnya, seketika wajahnya berubah merah padam dan tanpa ragu, ia menyemburkan kopi itu. Amarah tak tertahankan terpancar dari matanya.

"Apa-apan kamu! Kamu mau membunuh saya!" bentak Bima dengan emosi yang memuncak karena kopi buatan Sandara begitu sangat manis.

Sandara, yang merasa tak bersalah, panik seketika. Ia segera mengambil tisu dan menyodorkannya kepada suami kontraknya. "Nggak Om, apa ada yang salah sama kopinya?" tanyanya dengan nada khawatir.

"Kamu minum sendiri saja!" seru Bima kesal, sambil mengelap mulutnya dengan tisu yang diberikan Sandara.

Sandara merasa bingung, namun ia pun menyeruput kopi yang ada di tangannya. Setelah merasakannya, ia tersenyum lebar. "Manis, kayak gue yang cantik dan manis, Om," ucapnya sambil menatap Bima dengan polos.

Namun, Bima tak terpengaruh oleh kelucuan Sandara. Ia tetap marah dan menatap Sandara dengan tajam, menandakan bahwa ia tak terima dengan kecerobohan Sandara kali ini.

"Sekarang, minggir!" ucap Bima dengan suara yang masih bergetar kesal. Sandara akhirnya mengalah dan menggeser tubuhnya ke sisi, membiarkan Bima melangkah keluar dari apartemennya. Namun, dalam hati Sandara, dia merasa senang karena berhasil meyakinkan Bima untuk mencoba kopi buatannya, meskipun pada akhirnya Bima marah padanya.

"Apa Om Bima nggak suka kopi manis?" gumam Sandara sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Oh, gue tau, berarti Om Bima suka kopi pahit," gumamnya lagi dengan senyum-senyum sendiri. Ia pun segera membawa cangkir kopi itu ke dapur. "Nanti gue bikinin kopi pahit, Om Bima yang tampan," gumamnya sambil tertawa kecil.

Sementara itu, Bima yang sudah tidak tahan dengan sikap Sandara pun bergegas keluar dari apartemennya.

Namun, ketika ia hendak melangkah lebih jauh, ia terhenti oleh sosok yang tiba-tiba muncul di depannya. "Reva," ucap Bima dengan suara yang tercekat. Matanya membulat, tak menyangka akan bertemu dengan kekasihnya yang sudah beberapa hari berada di luar kota karena pekerjaannya sebagai model. 

Reva tersenyum manis, merengkuh lengan Bima dan menghampirinya. "Sayang, kenapa kamu kaget seperti itu? Apa kamu nggak suka lihat aku datang?" tanyanya dengan suara lembut, lalu memeluk Bima erat. Aroma wangi tubuhnya yang khas memenuhi indera penciuman Bima, membuat hatinya berdebar kencang. 

Bima membalas pelukan Reva, sambil berusaha mengatur nafasnya yang terengah-engah. "Aku hanya terkejut karena kamu nggak kasih kabar sebelumnya. Kapan kamu pulang?" tanya Bima, mencoba menyembunyikan kegugupannya. 

Reva melepaskan pelukannya, lalu menatap Bima dengan mata bersinar. "Aku baru saja pulang tadi pagi. Aku ingin memberi kejutan untukmu, Sayang. Tidak menyangka akan membuatmu kaget seperti ini," jawabnya dengan senyum menggoda. 

Bima menundukkan kepalanya, merasa bersalah karena reaksinya yang berlebihan. Namun, di balik perasaan itu, ada rasa bahagia yang menghiasi hatinya. Kedatangan Reva bagaikan angin segar yang menyapu kepenatan pikirannya akibat kedatangan Sandara yang telah mengacaukan kehidupannya.

"Apa kamu nggak menyuruhku masuk?" tanya Reva sambil bergelayut manja di lengan Bima yang masih berdiri di depan pintu apartemen. Reva mengerlingkan matanya, menatap wajah Bima dengan penuh harap. 

"Tapi sayang.." ucapan Bima terhenti saat Reva melangkah masuk dengan santai ke dalam apartemennya. Reva terkejut, matanya membulat. Di depannya ada Sandara yang sedang duduk di sofa. 

"Siapa kamu!" seru Reva dengan menatap tajam, tubuhnya menegang. Rasa cemburu dan penasaran mulai memenuhi hatinya.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Kontrak Cinta Dengan CEO Dingin   Bab 142

    Sandara menggigit bibirnya, ragu untuk melangkah dan membantu asisten yang sedang mengemas pakaian di dalam kamar. Bima, dengan tangan terbuka, menghalangi Sandara. "Sayang, duduk saja di sini, biarkan bibik yang menangani semuanya," ujarnya lembut, sambil menunjuk ke sofa empuk di sudut ruangan. Bu Laras menoleh, menghela nafas ringan, dan tersenyum mengerti. "Nggak apa, Dara, kamu cukup tunjukkan saja pakaian mana yang ingin kamu bawa. Biar bibik yang mempersiapkan semuanya," katanya, suaranya menyiratkan keinginan agar Sandara tidak terlalu memaksakan diri. Sandara menarik napas panjang dan kembali menempati tempatnya di samping sang mama mertua, yang sudah terlihat antusias dengan persiapan. "Ma, nanti perlengkapan buat di rumah sakit taruh di tas besar ini saja ya. Jadi kita nggak perlu repot cari-cari lagi saat waktunya tiba," saran Sandara, matanya berbinar memikirkan segala kemungkinan yang bisa terjadi. Bu Laras, mama mertuanya mengangguk, dan bibik kembali sibuk deng

  • Kontrak Cinta Dengan CEO Dingin   Bab 141

    Hari itu, Sandara bersiap dengan gaun pesta yang anggun tapi terhambat oleh perutnya yang membuncit karena kehamilan. Dia mendekati Bima yang tengah duduk termenung di tepi ranjang, penuh penantian. "Sayang, bisa tolong aku?" rayunya lembut, tangan mungilnya mencoba meraih resleting di bagian punggung bawah gaunnya namun sia-sia. Bima menoleh, matanya berbinar saat melihat punggung istrinya yang terbuka dari resleting yang belum tertutup. Dengan senyuman, dia bangkit dan perlahan menarik resleting itu sambil berbisik, "Kamu memikat sekali hari ini, sayang." Sementara Sandara tersenyum, merasa berbunga dengan pujian dan sentuhan penuh cinta dari Bima."Dan kamu terlihat begitu seksi." Bima berkata sambil tersenyum, segera membantu Sandara menaikkan resleting gaun yang elegan itu. Sandara merasa lega sekaligus tersipu, cintanya pada Bima semakin dalam. Dengan perlahan, Bima membantu Sandara berdiri dan membenarkan gaunnya.Mereka berdua kemudian berangkat ke tempat Alin dan Leo akan

  • Kontrak Cinta Dengan CEO Dingin   Bab 140

    Leo dan Alin, yang beberapa saat lalu masih terkurung dalam pelukan hangat, tiba-tiba terpisah seperti dua kutub yang terdorong oleh kekuatan magnet. Wajah mereka semakin memerah saat Bima, dengan ekspresi yang tidak terima, memberikan teguran yang tajam. "Nggak sengaja Bos," kata Leo, suaranya terdengar lembut dan berusaha menenangkan suasana. Namun, Bima hanya mencibir dengan tatapan yang skeptis. "Mana ada berpelukan tapi nggak sengaja," balasnya, nada suaranya meninggi penuh ketidakpercayaan. Sementara itu, Leo hanya bisa tersenyum kikuk, senyum yang tampak dipaksakan untuk menyembunyikan kebingungannya. Alin, di sisi lain, menunduk dalam-dalam, rasa malu menggelayuti dirinya. Hatinya berdebar, khawatir atas apa yang baru saja terjadi dan bagaimana persepsi Bima terhadap situasi tersebut. Ia bahkan tidak berani mengangkat kepala untuk menatap Bima atau Sandara, takut akan pandangan yang mungkin akan semakin menambah rasa bersalah di hatinya. Keduanya, meski tak terucap, sali

  • Kontrak Cinta Dengan CEO Dingin   Bab 139

    Sandara terdiam, duduk di kursi roda yang didorong oleh Bima di sepanjang jalur pemakaman yang dipenuhi oleh deretan batu nisan. Wajahnya yang pucat dan lelah semakin membuatnya terlihat rapuh. Pada tangannya yang satu, masih terpasang jarum infus yang meneteskan cairan ke dalam pembuluh darahnya, sebuah pengingat dari sakit yang dia derita tidak hanya secara fisik tetapi juga emosional.Mata Sandara memandang tanpa fokus ke arah makam ayahnya yang baru saja ditutupi tanah. Air mata terus menderas tanpa henti, menciptakan jalur basah di kedua pipinya. Alin dan Bu Laras, yang telah seperti keluarga sendiri, berdiri di sampingnya, memberikan dukungan.Bu Laras, dengan lembut, mengusap punggung Sandara, mencoba memberikan kenyamanan sebisa mungkin. "Sayang, kamu yang sabar. Ayah kamu sudah di tempat yang nyaman," katanya dengan suara yang bergetar, mencoba menahan emosi sendiri.Alin, dengan mata yang juga berkaca-kaca, merangkul bahu Sandara. "Sabar ya Dar. Lo masih punya gue," bisiknya

  • Kontrak Cinta Dengan CEO Dingin   Bab 138

    "Bos jangan membuat kami iri dong. Kasihanilah kami," ucap Leo dengan mendramatisi keadaan.Bima tak menghiraukan ucapan asistennya itu, ia bahkan mencium bibir Sandara sekilas. Ia begitu takut kehilangan Sandara. Dua kali sudah Reva telah mencoba membunuh wanita yang akan menjadi ibu dari anaknya itu.Bima menatap Leo dengan tatapan yang sinis. "Jangan pura-pura, Leo. Kenapa kamu nggak langsung nikahi Alin aja? Bukannya kamu naksir berat sama dia," ujarnya, dengan nada menyudutkan. Leo tergagap, pipinya memerah terbakar malu, hatinya dipelintir ketidakberdayaan saat dia berusaha menyembunyikan wajahnya dari Alin yang saat itu juga tak berani menatap mata mereka berdua. Ia malah menundukkan kepala, pipinya menyala seperti membara. Sandara, yang juga di situ, melirik Alin, tersenyum kecil melihat reaksi sahabatnya itu. "Ada apa nih? Kok kayak yang sedang dimabuk asmara?" candanya, suaranya perlahan tetapi cukup terdengar. Bima tertawa terbahak-bahak, menambahi ejekan. "Lihat tuh,

  • Kontrak Cinta Dengan CEO Dingin   Bab 137

    Sandara terbangun dengan tiba-tiba, matanya membulat ketakutan saat melihat sosok perawat yang berdiri di hadapannya dengan bantal di tangan. Nafasnya tercekat, tubuhnya bergetar hebat saat mendengar suara serak itu."Aku adalah malaikat yang akan mencabut nyawamu!" seru Reva dengan senyum menyeringai di balik maskernya. Sinar mata Reva memancarkan kegilaan, membuat jantung Sandara semakin berdegup kencang."Reva!" pekik Sandara dalam kepanikan. Namun, ia tak bisa berbuat banyak. Tangannya yang terinfus dan tubuhnya yang masih lemah membuatnya tak berdaya. Ia hanya bisa menggelengkan kepalanya, berharap ini hanya mimpi buruk."Tidak Reva, pergi!" teriak Sandara, suaranya bergetar, mengusir Reva yang semakin mendekat. Air mata mulai mengalir di pipinya, ketakutan menguasai setiap inci tubuhnya saat dia menyadari situasi mengerikan yang sedang dihadapinya.Di dalam kamar mandi, Alin menghentakkan tubuhnya ke pintu kamar mandi yang tertutup rapat. Keringat dingin mengucur deras di pelipi

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status