Beranda / Romansa / Kontrak Cinta Si Tuan Dingin / Bab 20: Hati yang Mulai Retak

Share

Bab 20: Hati yang Mulai Retak

Penulis: Gema senja
last update Terakhir Diperbarui: 2025-07-04 21:55:49

Alvano menatap layar laptopnya yang sudah terbuka sejak dua jam lalu. Laporan keuangan di depannya hanya berisi angka-angka yang mengambang, tak satupun masuk ke kepalanya.

Fokusnya hilang. Sejak pagi.

Sejak Aira keluar dari rumah tanpa sarapan, tanpa sepatah kata pun, hanya meninggalkan suara pintu yang tertutup pelan. Tak seperti biasanya. Biasanya gadis itu akan tetap menyindir atau menyemburkan omelan kecil. Tapi hari ini… hanya diam.

Dan itu jauh lebih mengganggu.

Alvano memijit pelipisnya. Ia bukan tipe pria yang memusingkan hal-hal remeh. Tapi sekarang, hatinya terasa sesak. Seolah ada yang hilang, dan ia tak tahu apa.

Suara ketukan pintu membuatnya tersadar.

"Masuk," ucapnya datar.

Sekretaris pribadinya muncul. "Pak Alvano, ini draft kerja sama dari klien Jepang—"

"Letakkan saja di meja," potongnya cepat.

Sang sekretaris mengangguk, tapi sempat melirik Alvano dengan ragu. “Anda kelihatan lelah, Pak. Mau saya ambilkan kopi?”

Alvano hanya mengangguk. Lalu kem
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terbaru

  • Kontrak Cinta Si Tuan Dingin   Bab 42: Tempat Itu, dan Jawaban di Antara Hening

    “Aku gila,” gumam Aira sambil memandangi pantulan dirinya di kaca etalase minimarket. Ia berdiri di seberang bangunan tua yang kini sudah berubah jadi galeri pameran resmi milik perusahaan Alvano. Tempat pertama kali mereka bertemu. Tempat ia dulu datang hanya untuk wawancara, tanpa tahu bahwa hidupnya akan jungkir balik sejak hari itu. Aira mengecek jam tangannya. Tujuh lewat lima menit. “Kalau dia serius, dia akan menunggu,” bisiknya. Dengan napas yang terasa berat, Aira menyeberang. Setiap langkahnya seperti mengoyak sisa-sisa harga diri yang tersisa. Tapi bukan karena ia menyerah—melainkan karena ia mulai berani jujur pada dirinya sendiri. Ia membuka pintu kaca galeri perlahan. Ruangan itu sepi, hanya diterangi lampu-lampu gantung yang lembut. Dan di tengahnya—berdiri seorang pria dengan jas hitam elegan, memunggunginya. “Alvano.” Pria itu berbalik. Matanya—mata yang biasanya dingin dan tak terbaca—kali ini tampak penuh emosi yang disembunyikan terlalu lama. “K

  • Kontrak Cinta Si Tuan Dingin   Bab 41: Permintaan yang Tak Terduga

    “Aira… boleh aku bicara sebentar?” Suara itu datang dari arah pintu ruang istirahat kantor, lirih tapi cukup membuat Aira menoleh cepat. Langkahnya sempat terhenti, matanya membulat saat melihat siapa yang berdiri di sana—Alvano. Pria yang selama ini selalu bersikap tenang dan dominan itu kini tampak berbeda. Wajahnya lelah, rambutnya agak berantakan, dan matanya... begitu kosong. “Aku sibuk,” jawab Aira cepat, berusaha mengabaikan debar jantungnya sendiri. “Kalau soal proyek, bicaralah dengan manajer tim.” “Bukan soal kerjaan,” sahut Alvano cepat. “Ini tentang kita.” Aira menghela napas. “Nggak ada ‘kita’, Tuan Alvano. Yang ada hanya kontrak, dan kontrak itu sudah selesai.” Ia melangkah hendak pergi, tapi Alvano menahan pergelangan tangannya. “Sebentar saja, kumohon.” Aira diam. Untuk pertama kalinya, pria itu memohon. Tak ada nada perintah, tak ada sikap dingin yang menyebalkan. Yang ada hanya ekspresi rapuh dan sorot mata penuh luka. “Apa lagi yang ingin kamu bicara

  • Kontrak Cinta Si Tuan Dingin   Bab 40: Bukan Lagi Tentang Kontrak

    Tok. Tok. Aira terdiam. Suara ketukan itu terdengar pelan tapi tegas. Siang itu, Bandung diguyur hujan. Rumah kontrakan mungil tempatnya berlindung dari dunia terasa lebih dingin dari biasanya. Siapa yang datang siang-siang begini? Aira mengenakan hoodie lusuh dan menyeret langkah ke pintu. Ia tidak berharap siapa-siapa. Bahkan Dinda, satu-satunya yang tahu tempatnya, sudah ia peringatkan agar tidak membocorkan apa pun. Saat pintu terbuka, Aira membeku. Alvano berdiri di ambang. Basah kuyup. Nafasnya naik turun. Matanya merah, entah karena dingin atau karena... menangis? "Aira." Nama itu meluncur dari bibir Alvano seperti doa. Aira buru-buru menutup pintu. Tapi Alvano menahan dengan telapak tangan. "Tunggu." Aira mendongak, menatapnya dengan mata tajam. "Apa lagi? Mau bawa aku balik ke rumah itu? Kontrak kita sudah selesai." "Aku tahu." "Nah, kalau tahu, kenapa masih datang?" "Aku ke sini bukan karena kontrak." Suara Alvano berat, tapi jujur. Aira bisa mend

  • Kontrak Cinta Si Tuan Dingin   Bab 39: Saat Semua Terlambat

    “Alvano, fokuslah! Tanda tanganmu meleset lagi!” Suara sekretarisnya terdengar kesal. Kertas-kertas dokumen berserakan di atas meja, beberapa bahkan belum dibaca. Alvano hanya diam, menatap kosong ke arah jendela kaca kantor lantai atas yang menghadap langsung ke langit Jakarta yang kelabu. Sejak Aira pergi, ia seperti kehilangan arah. Hari-harinya penuh rapat yang tak ia mengerti, keputusan yang ia tunda, dan malam yang ia habiskan sendiri di ruang kerjanya. Ia tidak pernah menyangka bahwa kehilangan seseorang bisa membuatnya lumpuh. Dulu, ia percaya cinta hanya akan melemahkan. Sekarang, ia tak bisa tidur tanpa suara Aira yang menggerutu karena cerealnya habis. Ia tak bisa makan tanpa mengingat bagaimana Aira mencuri ayam goreng dari piringnya diam-diam. Dan yang paling menyakitkan… ia tak bisa memaafkan dirinya sendiri. Pintu ruangannya terbuka tiba-tiba. Alvano tidak menoleh. Tapi langkah kaki yang terburu-buru membuatnya menengok juga. Matanya menyipit saat melihat soso

  • Kontrak Cinta Si Tuan Dingin   Bab 38: Namamu Masih Tertulis di Detak Jantungku

    “Aira… kamu tahu dia ke mana?” Pertanyaan itu kembali mengudara. Untuk kesekian kalinya hari ini, Alvano bertanya pada siapa pun yang pernah mengenal Aira. Sekretaris lamanya. Sopir rumah. Bahkan satpam perusahaan. Tapi semua jawabannya sama: tidak tahu. Sial. Alvano menyandarkan tubuhnya di kursi mobil, matanya merah dan wajahnya lebih tirus dari biasanya. Ia belum makan, belum tidur cukup. Sudah dua minggu sejak Aira pergi, dan hidupnya benar-benar berantakan. Rapat penting ia lewatkan. Presentasi dengan investor nyaris gagal. Beberapa mitra menarik kerja sama. Saham perusahaannya pun sempat anjlok. “Aira…” gumamnya, seperti doa yang tak kunjung dikabulkan. --- Di tempat lain, Aira menatap ponselnya yang mati total. Ia memang sengaja mengganti nomor dan menjauh dari semua hal yang berbau ‘Alvano’. Namun, bukan berarti pikirannya bisa tenang. Satu demi satu notifikasi email tetap masuk lewat laptop kerjanya. Termasuk satu surel dari seorang rekan media yang ingin

  • Kontrak Cinta Si Tuan Dingin   Bab 37: Runtuhnya Tuan Dingin

    "Pak Alvano belum datang lagi?" Suara sekretaris muda itu terdengar cemas saat membuka pintu ruang rapat yang sudah dipenuhi manajer departemen. "Kita sudah tunggu hampir satu jam," keluh kepala divisi keuangan. "Investor sudah mulai gelisah." “Sudah dua minggu seperti ini. Dia cuma masuk setengah hari, itu pun diam, marah-marah, terus ngilang lagi.” Semua menatap satu sama lain. Situasi perusahaan sedang genting. Proposal merger tertunda. Penjualan turun. Dan CEO mereka—Alvano Mahendra—tiba-tiba menjadi bayangan dari dirinya yang dulu. --- Sementara itu, di penthouse megah yang biasanya berdiri gagah sebagai simbol kesempurnaan, kini hanya menyisakan keheningan dan kekacauan. Tumpukan dokumen berserakan di lantai. Laptopnya menyala tapi tak disentuh. Layar memperlihatkan email-email penting yang belum dibalas. Alvano duduk di sofa, rambutnya acak-acakan. Dasi masih tergantung di leher, tapi kemejanya kusut seperti tak pernah diganti sejak dua hari lalu. Wajahnya tirus,

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status