LOGIN“Jangan pernah berani menyimpan perasaan untukku atau aku kirim lagi kamu pada ayahmu yang Iblis itu!” Bagi Hamish Elias Adhirajasa, seorang miliarder berhati dingin berusia tiga puluh lima, wanita hanyalah sebuah objek yang bisa dibeli, disentuh, lalu dibuang sesuka hati. Cinta? Ketulusan? Ia tak pernah percaya dua hal itu. Sumpahnya hanya satu: tidak akan pernah terikat, tidak akan pernah menikah. Lalu Kalea datang. Gadis rapuh yang ia beli dari ayah kandungnya sendiri yang seorang penjudi kejam. Seharusnya Kalea hanya menjadi pelayan tak terlihat di rumah megahnya. Namun, kepolosan dan tatapan lugu gadis itu adalah anomali yang perlahan meruntuhkan dinding es yang Hamish bangun selama bertahun-tahun. Peringatan keras yang ia berikan pada Kalea justru menjadi jerat paling mematikan bagi dirinya sendiri. Semakin ia mendorong, semakin kuat hatinya yang beku ditarik mendekat. Ketika seorang pria yang terbiasa menghancurkan dihadapkan pada satu-satunya jiwa murni yang pernah ia temui, pilihan mana yang akan ia ambil? Menjadi iblis yang lebih kejam demi melindungi hatinya, atau mengambil risiko hancur demi merasakan cinta untuk pertama kalinya?
View More“Seratus juta! Saya lepas seratus juta!” seru seorang pria paruh baya lantang, menyebut harga untuk Kalea—putrinya yang kini menggigil ketakutan di belakang punggungnya.
Dion sudah gelap mata. Tumpukan utang akibat keranjingan judi online semakin mencekik. Semua jalan sudah buntu. Dia tak lagi tahu harus bagaimana menyelesaikan jeratan setan itu.
Segala yang dimilikinya telah habis. Rumah tergadai, harta benda ludes, pekerjaan pun hilang. Satu-satunya cara yang terlintas di pikirannya hanyalah mengorbankan Kalea. Putrinya sendiri.
“Bagaimana, Bos?”
Seorang pengawal berbadan besar yang berdiri di depan Dion menoleh pada tuannya. Dia sedikit membungkuk penuh hormat pada pria jangkung yang duduk bersilang kaki di kursi bersandaran tinggi.
Pria bertampang dingin itu tak segera menjawab. Matanya yang tajam melirik Kalea, yang terus berusaha menyembunyikan diri di balik tubuh ayahnya.
“Apa kelebihan putrimu, sampai berani-beraninya kamu datang padaku?” tanyanya dengan suara rendah namun menekan.
“Putri saya cantik, Tuan. Sangat cantik! Dan saya jamin seratus persen, Kalea masih segelan. Dia belum pernah disentuh lelaki mana pun. Masih suci. Pacaran saja belum pernah. Bonusnya, dia masih segar, masih muda, baru saja lulus SMA tahun ini. Dia pasti bisa memuaskan Anda.” Dion buru-buru menjelaskan, lalu menarik Kalea dan mendorongnya ke hadapan pria itu.
Dion tak ingin kesempatan ini hilang. Dia sudah bersusah payah menggunakan berbagai cara agar bisa bertemu langsung dengan pengusaha muda kaya raya bernama Hamish ini.
Baginya, tak ada orang yang lebih cocok untuk membeli Kalea selain Hamish. Bukan hanya karena uangnya tak berseri, tapi juga karena kegemarannya mengoleksi perempuan sudah terdengar ke mana-mana.
Kabar yang beredar, Hamish memiliki kediaman khusus berisi wanita-wanita simpanannya. Dion ingin Kalea menjadi salah satunya, agar kelak putrinya itu bisa berguna sebagai mesin uang.
“Aku tak yakin….” Hamish bersedekap, menilai Kalea. Gadis itu gemetar dengan pakaian sangat terbuka. Crop top tanpa lengan dan celana super mini, mengekspos kulit putih bersihnya.
Riasannya begitu mencolok. Bibirnya dilapisi lipstik merah terang, bedak tebal menutupi wajahnya, ditambah pemerah pipi yang tampak seperti bekas tamparan.
Hamish mendengkus. Senyum sinis muncul di bibirnya. Gadis di depannya jelas bukan seleranya.
Baginya, Kalea masih terlalu hijau. Apalagi usianya terlalu jauh dibanding dirinya yang sudah tiga puluh lima tahun.
Melihat ekspresi Hamish, sang pengawal langsung menyimpulkan.
“Pergilah! Bosku tidak suka anakmu!”
“Apa?” Dion terperangah.
“T-tapi… oh, Tuan! Lihatlah sekali lagi. Kalea cantik, tubuhnya bagus. Lihatlah!” Dion menarik tangan Kalea, berusaha melucuti pakaian putrinya.
“Jangan, Bapak! Jangan!” Kalea meronta dan menangis keras. Tapi Dion sudah tumpul rasa kemanusiaannya. Dia tak peduli, tak punya iba sedikit pun.
“Sudah kubilang! Berpakaian yang benar! Yang seksi! Tunjukkan tubuhmu pada Tuan Hamish!” Dion menggeram, memaksa melepaskan pakaian putrinya.
“Jangan, Pak!” Kalea meronta, terus melawan, hingga tanpa sengaja tangannya menampar wajah sang ayah.
“Kurang ajar kamu, Kalea!” Dion murka. Dia mendorong Kalea hingga jatuh tersungkur, lalu mengepalkan tangannya hendak memukul.
“Ampun, Pak! Jangan!” Kalea memohon dengan air mata bercucuran. Tubuhnya gemetar melihat tangan ayahnya yang siap menghantam.
Tepat sebelum tangan itu mendarat ke tubuhnya, Hamish tiba-tiba saja bersuara. “Berhenti!”
Tangan Dion langsung menggantung di udara.
“Berani-beraninya membuat keributan di tempatku. Kau kira siapa dirimu?” Hamish menggeretakkan gigi.
“A-ampun, Tuan!” Dion tersadar, lalu bersimpuh meminta maaf.
Hamish menghela napas kasar. Tatapannya berpindah ke Kalea yang menangis tersedu, memeluk dirinya sendiri.
“Jordi!” Hamish menoleh pada pengawal pribadinya, lalu memberikan kode lewat anggukan kepala.
Jordi mengangguk, lalu keluar. Tak sampai lima menit, dia kembali membawa sebuah paper bag cokelat. Saat Hamish mengayunkan dagunya, Jordi pun melemparkan paper bag cokelat itu ke lantai, tepat di hadapan Dion.
Bergepok-gepok uang di dalamnya pun terburai.
“Aku beli dia. Seratus lima puluh juta.”
Melihat itu, Dion tersenyum semringah. Wajahnya langsung berseri-seri saat dirinya berlutut dan mulai mengumpulkan uang yang berhamburan di lantai itu.
Saat Dion selesai mendapatkan uangnya, Hamish pun berkata, “Pergi, dan jangan pernah muncul lagi di hadapanku. Anakmu sudah jadi milikku. Jangan sekali pun mencarinya, atau kau akan menanggung akibatnya.”
“Hah? Ah! B-baik, Tuan! Baik!” balas Dion seraya cepat-cepat pergi. Tanpa menoleh, dia meninggalkan Kalea yang menangis gemetar.
Kalea beringsut. Wajahnya pucat saat Hamish berdiri menjulang di depannya. Dengan tangan gemetar, dia berusaha menarik celana pendeknya lebih ke bawah, sementara tangan lain menutupi bagian atas tubuhnya.
“A-ampun, Tuan,” ucapnya lirih ketika Hamish berjongkok dan menatapnya dengan begitu lekat.
Gadis itu memejam. Air mata jatuh membasahi pipinya. Dia sangat takut.
“Siapa namamu?” tanya Hamish.
“K-Kalea,” jawabnya terbata. Lidahnya kelu saking tak sanggupnya berhadapan dengan Hamish.
“Berapa usiamu?”
“D-delapan belas.”
Hamish menatapnya dalam. Dari dekat, dia melihat lebam samar di balik bedak tebal Kalea, juga di beberapa bagian tubuh.
“Jangan menangis, Lea.”
Kalea tertegun mendengar panggilan yang Hamish gunakan untuknya.
Lea... ah, dia sangat merindukan panggilan itu.
Sejak ibunya meninggal, tak ada lagi yang memanggilnya begitu.
Perlahan, Kalea membuka mata, memberanikan diri menatap Hamish. Dan di saat itulah, dia terpana. Baru kali ini dia melihat wajah pria itu dengan jelas. Kontur tegas, hidung mancung, dan sepasang iris cokelat terang.
Jadi, dia yang bernama Tuan Hamish….
Pria itu tampan dan berkarisma. Tak heran banyak wanita rela menyerahkan diri padanya.
“Jangan takut. Aku bukan monster.” Hamish menatap tubuh Kalea yang masih gemetar. Dia melepas jasnya, lalu menyodorkannya.
“Pakailah. Tutupi tubuhmu.”
Dengan takut-takut, Kalea menerima jas itu, lalu memakainya. Aroma parfum maskulin dengan sentuhan woody dan musk langsung menyergap inderanya.
“Aku ada meeting jam dua dengan orang pertambangan. Panggil asistenku dan siapkan mobil,” perintah Hamish.
“Baik, Tuan,” jawab Jordi sambil mengeluarkan ponsel untuk menghubungi seseorang.
“Oh iya, Tuan…”
“Apa?” Hamish menoleh singkat.
“Kalea. Maksud saya, Nona Kalea… Anda akan tempatkan di kediaman yang mana?”
“Di dapur.”
“D-dapur?” Jordi terkejut.
“Ya. Suruh saja dia jadi tukang cuci piring, atau apa pun terserah.”
“Bukan untuk dijadikan wanita…?” Ucapan Jordi menggantung.
Hamish berdecak pelan.
“Aku tak berminat. Dia terlalu muda. Terlalu polos. Aku membayarnya hanya karena kemanusiaan. Kalau tidak, ayahnya pasti tetap menjualnya, dan mungkin hidupnya akan berakhir jauh lebih buruk.”
Jordi terdiam, lalu mengangguk paham. Diam-diam dia melirik majikannya, menyimpan rasa heran. Tak pernah disangka, di balik sikap dingin itu, Hamish masih menyimpan secuil rasa iba pada orang asing.
Hal ini pun membuat Jordi bertanya-tanya, apa… hubungan Kalea dan Hamish hanya akan berhenti sebatas majikan dan pelayan saja?
Dengan alis tertaut, Jordi membatin, ‘Rasanya … tidak akan sesederhana itu ….’
Kalea baru saja menutup kedai kopi saat tiba-tiba seorang pria berkacamata menghampiri dan menepuk bahunya. Kalea yang akhir-akhir ini selalu cemas gara-gara kerap diikuti langsung berteriak. Berbalik dan memukuli tanpa ampun orang di belakangnya dengan ransel.“Rasakan! Rasakan! Berhenti mengikutiku!” Kalea membabi buta sambil berteriak-teriak sampai pria yang menepuk bahunya merunduk dengan kedua tangan melindungi kepala.“Sttoopp! Sttoop! Berhenti, Nona!” Seorang pria muda muncul. Berlari tergopoh-gopoh dan segera menyambar ransel Kalea.“Tuan, Anda tak apa-apa?” tanya pria muda itu.“Tuan?” Kalea mengerutkan dahi. Dan alangkah terkejutnya ia saat tahu jika orang yang dipukulinya tadi adalah Elias Adhirajasa.“Matilah!” erangnya dalam hati.“Pak Elias, astaga! Maafkan saya! Anda berdarah. Oh, Tuhan. Bagaimana ini?” Kalea panik. Belum lagi pria muda yang tak lain adalah asisten pribadi Elias itu, mulai memarahinya.“Sudah. Tak apa-apa.” Elias mengangkat tangannya dan tersenyum tenan
Kedai kopi sedang ramai-ramainya. Kalea yang bekerja paruh waktu sebagai waiter di kedai tersebut tak berhenti mondar-mandir. Sesekali membantu barista yang kewalahan, terkadang membantu kasir, disamping sibuknya melayani berbagai permintaan konsumen, membereskan meja kursi, serta menjaga kebersihan kedai.Ia belum duduk sama sekali. Pengunjung seperti tak ada hentinya. Ditambah lagi dengan rombongan pengunjung yang tiba-tiba datang berduyun-duyun. Mereka datang setelah menonton konser boy grup asal Korea Selatan yang digelar di stadium tak jauh dari kedai kopi tersebut.Kalea tak mengeluh. Ia malah semakin banyak tersenyum karena tak sedikit pengunjung yang berasal dari Indonesia.Gadis itu merasa senang melihat ada banyak saudara satu negara meski terselip di hatinya rasa rindu yang luar biasa. Sudah hampir tiga tahun penuh ia tak pernah menginjakkan kaki lagi ke tanah air.Bukan tak ingin, tetapi bingung. Hendak kemana ia akan pulang. Ia tak punya tujuan. Ibu sudah tiada, sanak ker
“Tolong selidiki siapa mahasiswa yang kemarin bersama suamiku.” Seorang wanita cantik dengan mata berlensa cokelat berbicara di telepon. Dia adalah Marissa. Istri Elias Adhirajasa.“Ya. Berikan detailnya. Aku ingin tahu, mengapa suamiku sampai memberikan kartu namanya,” ucapnya dengan dada naik turun. Perlahan, ia menoleh ke arah dinding ruang kerja suaminya. Menatap kesal sebuah lukisan besar yang terpajang di sana dan tak pernah diizinkan untuk diturunkan. Lukisan sebuah keluarga kecil dan tampak bahagia. Ada Elias, Saraswati dan anak lelaki berusia sepuluh tahun yang tak lain adalah Hamish.“Suamiku bukan orang yang mudah memberikan kartu namanya. Aku hanya penasaran. Gadis itu pasti ada nilai Istimewa untuknya.” Marissa pun menyebutkan tenggat waktu untuk orang suruhannya. Meminta dalam dua hari info lengkap gadis itu sudah ada di tangannya.“Dasar tua bangka! Sudah uzur pun masih saja mencari daun muda!” Wanita itu berdecak dan lagi-lagi menatap kesal pada lukisan itu. Ia tak suk
Elias Adhirajasa. Pria bertubuh jangkung dengan sisa-sisa ketampanan di masa mudanya itu tersenyum ramah. Sosoknya tampak sekali begitu kebapak-an. Berkharisma dan memiliki sorot mata tajam. Siapa saja, pasti merasa segan saat pria dengan rambut yang tersisir rapi serta disemir hitam legam itu menatap.Semua orang di ruangan itu pun begitu sopan padanya. Tak ada yang tak sungkan. Semua memberi gestur hormat.“Apakah … ini ayahnya Tuan Hamish?” batin Kalea. Matanya sejak tadi tak mengedip. Terus menatap Elias dengan penasaran.“Sepertinya begitu. Lihatlah, postur tubuh dan cara bicara pria itu. Bahkan gaya berjalan dan bersalamannya pun begitu mirip.” Kalea terus mengamati gerak-gerik Elias yang sedang berbincang dengan rektor serta para petinggi kampus lainnya.“Ya. Dia pasti ayahnya. Tertawanya pun mirip.” Kalea mendadak berdebar. Memperhatikan Elias malah membuatnya mengingat Hamish. Dan semakin mengingat Hamish, rasa rindu yang selalu ditahan-tahannya sepanjang hampir tiga tahun it
Tiga tahun berjalan dengan berbagai ceritanya. Kalea sudah di tahun terakhir program diploma Fashion Design di salah satu institut kesenian ternama di Singapura. Dan kini, ia sedang bergelut dengan tugas akhir yang sejak sebulan sudah membuat kepalanya seperti hendak pecah.Meski begitu, ia tetap menikmatinya. Karena itulah satu-satunya sumber kesenangannya.Hari-harinya tak pernah dibiarkan lengang. Setiap hari hanya berkutat dengan kesibukan dan kesibukan. Sejak di tahun pertama, ia memutuskan untuk tak hanya beraktivitas sebagai mahasiswa saja. Waktu luangnya ia gunakan untuk bekerja paruh waktu. Kerja apa saja. Dari mulai penjaga kedai makanan, tukang bersih-bersih, apa saja.Ia selalu menyetel tubuhnya seaktif mungkin, agar ketika pulang ke flat yang diisi enam orang kawan sesama mahasiswa itu, tubuhnya sudah lelah. Tujuannya agar ia mudah untuk tertidur dan tak ada waktu untuk melamunkan hal-hal yang sudah lalu.Ya. Meski tiga tahun hampir berlalu, rasa dan pikirannya masih tert
Harusnya Kalea bahagia. Jalan lebar telah dibukakan untuk menuju masa depannya yang lebih baik. Impiannya untuk mejadi seorang desainer tampak lebih dekat.Tetapi, hatinya merasa hampa. Sedih. Ia tak bisa untuk tak menangis. Rasa bersalah pada Hamish terasa mencucuk di hatinya.Ia sudah sangat marah dan kecewa tanpa memberi kesempatan sedikit pun pada pria itu untuk menjelaskan alasan soal diskualifikasi karyanya tersebut. Ia yang kadung dipenuhi ledakan emosi sudah tak bisa mendengar apa pun lagi. Dan kini, yang tersisa adalah penyesalan.Hamish tak pernah kembali ke rumah. Selama apa pun ia menunggu, pria itu benar-benar tak pernah muncul. Dan parahnya, Hamish sudah tak bisa dihubungi lagi sama sekali olehnya. Nomornya sudah diblokir pria itu.“Jordi, tak bisakah saya pergi setelah Tuan kembali? Saya masih ingin menunggunya. Saya … saya tak bisa pergi tanpa bertemu dengannya. Minimal, saya ingin berpamitan dengan benar. Saya ….” Kalea terisak. Dadanya begitu sesak saat Jordi datang






Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments