“Duduk, ada sesuatu yang ingin aku bahas.”Jantung Yura berdegup kencang mendengar perintah itu. Bagaimana tidak? Sangat jarang, Sarah mengatakan ingin membahas sesuatu bersamanya. Kecuali …. Beliau ingin mengutarakan sebuah keinginan—yang harus dipenuhi. Tentu Yura tidak lupa ingatan dengan perjanjian mereka pada waktu itu. Ia bahkan sadar ini sudah terlalu lama dari waktu yang seharusnya. Dan ia takut, Sarah menagih janji itu kepadanya hari ini. “Jangan pura-pura tidak dengar, Yura. Aku memintamu duduk, bukan malah melamun.” Titah Sarah kepadanya saat Yura terlihat ragu melaksanakan perintahnya.Ditegur demikian, Yura lantas segera menaruh kembali nampan yang dipegangnya ke tempat semula. Lalu, mendudukan dirinya ke tempat yang diperintahkan oleh Sarah. “Ada apa, Bu?”Sebuah senyum singkat terbit di bibir sang mertua. Wanita paruh baya itu membuang pandangan ke arah cucunya. “Berapa usia Raya sekarang?” Deg!Tenggorokan Yura mendadak kering. Ketakutannya semakin bertambah saat S
Wira menapaki lempengan andesit di halaman villa miliknya dengan tergesa-gesa. Pikirannya sejak semalam tak tenang. Bahkan, urusan rumah sakit ia selesaikan cepat-cepat demi bisa bertemu dengan Martha. Satu yang ada di dalam benaknya, bertemu dengan wanita itu dan meminta maaf. Lalu, melepas rindu barang hanya beberapa waktu. Sudah lama ia mengabaikan Martha. Meski ia tahu bahwa istri keduanya itu mampu memaklumi apa yang terjadi, tetapi hatinya tetap saja tak bisa rela jika meninggalkannya lama-lama. Saat melangkah ke dalam rumah, Wira menemukan bangunan itu dalam keadaan sepi. Biasanya saat ia datang, Martha akan langsung menyambutnya dengan senyuman hangat. Tetapi kali ini, tidak. Entah dimana wanita itu. “Ibu dimana, Bi?” tanya Wira kepada salah satu pembantu yang baru saja muncul. “Ibu sedang ada di kolam memberi makan ikan, Pak.”Mendengar itu, Wira lantas bergegas menuju sudut rumah tempat dimana kolam itu berada. Benar saja, ketika ia membuka pintu belakang, dua netranya
“Nona Raya sudah tidur, Nyonya?” Yura mendongak ke arah dua pembantu yang sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing. Bi Rati, orang yang bertanya padanya sedang berkutat dengan sayuran segar bersama satu orang lagi yang lebih muda—yang Yura belum hafal namanya. Ia memang baru saja menidurkan putrinya. “Oh, iya, Bi, sudah habis asi satu botol langsung tidur,” jawab Yura lalu berjalan mendekat ke kitchen set bergabung dengan para asisten rumah tangga, hendak mencuci botol.Akan tetapi baru saja ia ingin menyalakan keran wastafel, sebuah suara pintu terbuka menggema serempak menjeda kegiatan mereka. Dari dapur itu, Yura bisa melihat Sarah keluar dari kamar. Dengan tertatih-tatih, sang mertua menggunakan dinding sebagai bantuan.Tak ada satu pun orang yang menemaninya. Bahkan Wira yang selalu stand by di rumah tidak terlihat bersamanya kali ini. “Bi, aku titip ini sebentar, ibu keluar dari kamar,” pamitnya kepada sang binatu dan segera meninggalkan dapur menghampiri sang mertua. Mel
Bukan hanya Yura yang ketakutan dan panik. Gin yang baru saja meeting bersama para pemegang saham terpaksa pamit undur diri lebih awal dan menunda pertemuan itu di esok hari. Di tengah meeting yang cukup penting itu, ia mendapatkan kabar dari istrinya jika Sarah pingsan setelah muntah darah. Dengan segala kecepatan yang ia bisa, Gin akhirnya berhasil membawa mobilnya di rumah sakit tujuan. Pria itu segera mencari UGD tempat Sarah di rawat sementara. “Sayang!” Begitu melihat istrinya, Gin berlari ke arah yang sedang duduk di kursi tunggu. Wanita itu tampak melonggarkan pernapasannya ketika melihat Gin tiba di rumah sakit. “Gin! Akhirnya kau datang juga!” Yura memeluk erat tubuh suaminya. Bibirnya pucat dan kedua tangannya dingin ketika permukaan kulit mereka bersentuhan. Entah apa yang terjadi, tetapi melihat air muka istrinya , Gin sudah bisa meyimpulkkan separah apa kondisi Sarah saat ini. “Hei. Tidak apa-apa, tenanglah. Aku tak akan memarahimu.” Gin berkata pelan seraya melep
Ketika membuka mata, Sarah terkejut saat melihat seorang wanita sedang terlelap di sampingnya. Yura sedang duduk dan menggunakan kedua tangannya untuk menyangga kepala di sisi brankar yang kosong. Entah sejak kapan menantunya itu ada di tempat ini. Sarah tidak tahu. Semalam bahkan Wira tidak mengatakan jika pagi harinya akan digantikan oleh Yura.“Ah, ibu sudah bangun?” Yura sama terkejutnya. Ia segera menegakkan tubuh dan mengusap wajah. “Apa ibu perlu sesuatu?”Sarah tidak memberikan jawaban. Wanita berambut uban itu berusaha bangun dari tidurnya, tetapi Yura melarang.“Ibu tiduran saja, biar Yura atur brankarnya supaya ibu bisa duduk.” Yura lantas bangkit berdiri kemudian menekan beberapa tombol yang ada samping sehingga bagian kepala brankar terangkat menjadi empat puluh lima derajat.“Kenapa kau di sini? Dimana Ayah?” Untuk kali ini, Sarah melayangkan pertanyaan kepada Yura dengan nada rendah meski terkesan datar. Setidaknya bukan nada tinggi seperti yang sudah-sudah. “Ayah se
“Kau tahu tak bisa meninggalkan putra dan cucuku, dan kau tahu putraku akan gila jika kau meninggalkannya. Jika kau mengaku cinta mengapa kau tetap menyanggupi permintaanku? Cinta macam apa yang kau berikan untuk putraku?”Pertanyaan Sarah membuat Yura mematung. Ia bingung, harus menjawab apa? Rasanya semua hal yang ia lakukan tak pernah benar. Sarah merasa tersiksa dengan kehadirannya dan meminta Yura untuk pergi, ia menyanggupi bahkan mengabaikan perasaan putri dan suaminya. Namun, ketika Yura telah setuju, Sarah justru mempertanyakan ketulusan cintanya.Sebenarnya apa yang Sarah inginkan?“Aku yakin kau tak akan pernah pergi. Kau tidak akan pernah bisa sanggup memutuskan hubungan dengan putraku. Walau kau berjanji dan meminta waktu kepadaku selama apa pun.”Sampai detik ini Yura belum mampu bicara. Wanita itu hanya menunduk dalam. Sesekali mengusap air mata yang terjun bebas di pipinya.Sementara Sarah yang melihat itu lantas membuang napas panjang. Menyadari bahwa menantunya itu ke
Hari ini, Sarah diperbolehkan untuk pulang. Meski sebenarnya para medis tidak menganjurkan hal itu terjadi. Sebab, kondisinya masih lemah. Sarah butuh pengawasan khusus tetapi karena permintaan pasien mereka tak bisa memaksa. Entah apa yang dimau Sarah, Wira, Gin, bahkan Yura, tidak mengerti mengapa ia tak ingin mendapatkan pengobatan. Di saat semua orang menginginkan penyakitnya sembuh dan berlomba-lomba untuk mendapatkan dokter dan penanganan yang terbaik, Sarah tidak demikian. “Aku tidak habis pikir kenapa kau pulang secepat ini. Kau bahkan belum satu minggu di rumah sakit. Kalau hanya masalah biaya, bukankah kita sudah bicara sebelumnya?” Wira yang baru saja pulang karena urusan kantor menggerutu. Bagaimana tidak? Wira tidak tahu rencana itu. Sarah tak berunding dan meminta persetujuannya sama sekali. Hanya tiba-tiba, saat datang ke rumah sakit, ia tak menemukan Sarah di sana. Dan sekarang dia malah menemukan istrinya sedang duduk memangku cucu pertama mereka. “Aku bosan di ru
Petang hari, Yura membuka kedua matanya yang berat. Tidak tahu kapan terlelap, ia hanya ingat jika setelah mandi, ia menyusui Raya di dalam box bayi. Wanita itu meraih ponsel dan melihat alat penunjuk waktu. Ternyata sudah cukup lama ia terlelap. Yura lantas menjauh dari badan putrinya yang sedang tertidur lelap, kemudian mengganjal tubuh bayi gembul itu dengan sebuah guling kecil. Tiba-tiba terdengar suara pintu terbuka dari kamar mandi membuat Yura segera menoleh ke arah sumber suara.Gin yang masih berbalut handuk keluar dari kamar mandi. Dadanya telanjang dan rambut yang setengah basah membuatnya semakin mempesona. Siapa pun yang melihat ini tak akan sanggup menahan bibirnya untuk tidak menjerit bahagia. “Sudah bangun?” tanyanya dengan suara pelan seraya berjalan mendekat ke arah istrinya. Mengambil ponsel dan memeriksanya.“Maaf, aku tidak tahu kalau kau sudah pulang. Sebentar aku akan ambilkan baju.” Yura segera bangkit berdiri dan menutup box bayinya. Lalu berjalan ke arah war