"Kalau enam bulan lagi, Mas Yoga sudah jatuh miskin! Kan seru tuh kalau misal dia miskin, pulang kampung, eh, mantan istrinya ini malah bisa buka usaha," lanjutku. Bahkan, aku sampai senyum-senyum sendiri membayangkan jika apa yang aku ucapkan itu menjadi kenyataan. Pasti seru dan lucu kan?Apalagi nanti akan ada adegan Mas Yoga yang ngamuk-ngamuk kayak orang gila karena hartanya sudah kugadaikan. Belum lagi kalau si perempuan murahan itu meninggalkannya dalam keadaan miskin. Aku yakin, nanti pasti keluarga Mas Yoga akan demo ke sini, tak terima dengan apa yang aku lakukan. Sedangkan aku, akan berdiri di depan mereka sambil mengibas-ibaskan lembaran merah pada wajahku. Euhm ... harum uangnya saja rasanya aku sudah bisa menciumnya. "Heh, Nduk! Itu kenapa senyum-senyum sendiri sambil kipas-kipas pakek seikat kangkung gitu?!" pekikan Ibu seketika menyadarkan aku dari lamunan. Aku menoleh ke arah tanganku, benar saja, kangkung itu kugunakan untuk mengipasi wajahku. Aku tersenyum nyeng
Jam yang menggantung di dinding di dalam kamarku menunjukkan pukul delapan pagi. Bergegas aku kembali berkaca, memastikan jika penampilanku saat ini tidak terlihat begitu memalukan. Hanya pakaian gamis berwarna abu-abu dengan jilbab pashmina berwarna senada yang membalut tubuhku ini. Setelah selesai memastikan penampilanku, aku pun bergegas menuju ke arah ranjang. Di mana aku menumpuk berkas-berkas keperluanku untuk menggugat cerai Mas Yoga. Ya, pagi ini aku akan pergi ke pengadilan. Tentu ditemani oleh seseorang. Seorang perempuan yang dulu adalah teman sekelasku. Sudah berumah tangga akan tetapi nasibnya sama seperti diriku. Belum dikarunia keturunan oleh Sang Maha Pemberi Rejeki. Bedanya, kehidupan rumah tangganya begitu harmonis. Apalagi ia memiliki mertua dan ipar yang sabar dan begitu menyayanginya. Menurutku, dia perempuan yang beruntung. Meskipun keadaan ekonominya tergolong pas-pasan.Namanya Laila. Dia seumuran denganku. Pekerjaannya setiap hari akan menemani orang
"Iya, Mbak. Tadi Laila? Kenapa, Mbak? Mbak mau minta nomornya? Mbak mau suruh temenin dia buat antarin ke pengadilan?""Kamu ini timbang ditanyain gitu aja jawabnya malah nyumpahin!" sungut Mbak Seli yang sepertinya mengerti maksud dari ucapanku. Aku hanya terkikik. "Kamu serius mau gugat suamimu? Sah jadi janda dong nanti?" ucap Mbak Seli. "Memangnya kenapa, Mbak, kalau saya jadi janda? Mbak mau nyari madu? Wah ... boleh juga tuh, Mbak. Apalagi Mas Rifai bekerja sebagai mandor di pabrik besar. Tentu bisa lah ya kalau nafkahin kita berdua?" Kedua bola mata Mbak Seli melotot sempurna ke arahku. "Siapa yang sudi punya madu?! Ogah lah, ya! Dasar gatel! Belum juga cere udah nawarin jadi madu!" sungut Mbak Seli yang tak bisa menyembunyikan kekesalannya. Sedangkan kulihat sekilas, Mas Rifai yang merupakan suaminya itu hanya tertawa sembari geleng-geleng kepala. "Loh, Mbak. Siapa tahu kan Mbak butuh madu. Biar kerjaan Mbak Seli ada yang bantuin. Termasuk urus Mas Rifai. Gimana, Mbak?
Sayup-sayup kudengar suara adzan berkumandang dari arah masjid yang tak jauh dari tempat tinggalku. Kurenggangkan otot-otot di tubuhku dengan kuangkat kedua tanganku ke atas. Setelahnya, kusibak selimut tipis yang masih bertengger di atas tubuhku sebatas dada dengan sempurna. Aku mengubah posisi menjadi duduk, menunggu kesadaran kembali dengan sepenuhnya. Kuturunkan kedua kakiku, setelahnya aku pun berjalan menuju ke arah kamar mandi yang ada di belakang rumah setelah menyambar handuk yang menggantung di tempatnya. Kuguyur seluruh tubuhku, dan cepat-cepat kuselesaikan ritual mandiku, sebab udara dingin terasa menusuk hingga ke tulang. ****Ponsel yang ada di atas ranjang berdering, membuat tanganku yang sedang mengumpulkan pakaian kotor seketika terhenti. Kutolehkan kepalaku ke arah sumber suara, setelahnya aku pun melangkah ke arah sana. Saat aku meraih ponsel tersebut, ada nomor asing yang menghubungiku. Nomor itu tak tersimpan di ponselku. Bahkan, saat foto profil yang terpa
"Heh, janda gatel! Apa maksudmu goda suamiku, ha?!" Tanpa diduga dan dengan gerakan yang cepat, Mbak Seli langsung menarik rambutku yang berkuncir kuda itu ke belakang. Tentu hal itu membuat kepalaku mendongak ke atas. "Apa sih, Mbak, maksudnya?" Aku berusaha melepaskan jambakan Mbak Seli. Akan tetapi, semakin aku berusaha melepaskan, semakin dia memperkuat cengkraman. Rasa nyeri begitu terasa di kulit kepalaku hingga membuatku meringis kesakitan. "Jangan bersikap seperti itu, Sel. Semua bisa dibicarakan baik-baik," ucap ibu sembari berusaha melepaskan jambakan tangan Mbak seli di rambutku. "Mbak, lepaskan dong!" pekikku saat rasa nyeri semakin terasa. "Apanya yang bisa dibicarakan baik-baik?! Anakmu ini perempuan gatel! Dia goda suamiku! Dia menawarkan diri untuk dijadikan istri simpanan! Apa maksudnya seperti itu?! Apa hal itu bisa dibicarakan baik-baik?!""Mbak! Lepaskan! Fitnah macam apa lagi yang Mbak ciptakan ini?!"Bugh!"Auw!""Lepaskan jambakanmu itu! Aku yang ibunya saj
Tok!Tok!Tok!Suara ketukan pintu terdengar dari pintu utama. Aku yang sedang melipat pakaian pun lantas bangkit dari tempat dudukku, meletakkan sehelai kain di tanganku lalu melangkah keluar kamar. "Assalamualaikum, Mbak Rena," ucap seseorang yang saat ini berada di hadapanku setelah pintu kubuka. "Waalaikumsalam, Bu RT. Silahkan masuk, Bu RT," ucapku dengan lembut sembari membuka lebar pintu rumah. "Nggak usah, Mbak. Saya ke sini cuma mau samperin pesan Bapak, katanya Mbak Rena nanti sore diminta datang ke rumah." Aku mengernyitkan dahi saat mendengar penuturan Bu RT. "Ada apa ya, Bu? Sepertinya ada sesuatu yang sangat penting," ucapku dengan segudang rasa penasaran. "Saya juga kurang tahu, Mbak. Nanti jam tiga langsung datang saja ke rumah.""Oh, baik, Bu. Nanti saya akan ke sana.""Ya sudah, Mbak. Hanya ingin menyampaikan itu saja. Saya permisi dulu. Assalamualaikum.""Waalaikumsalam," jawabku. Bu RT pun melangkah pergi dari rumahku. Setelah langkahnya sudah lumayan jauh,
"Baiklah, biar aku saja yang bicara." Aku menghela napas dalam-dalam lalu kukeluarkan secara perlahan."Begini, Pak Rt, memang saya akui saya bersalah ....""Tuh, kan, Pak RT! Dia ngaku salah! Saya mau dia dipermalukan ke seluruh kampung ini, Pak Rt!" "Diamlah, Mbak! Aku belum selesai berbicara! Jangan potong atau pun menyela!" ucapku sedikit membentak Mbak Seli karena menyela ucapanku. Mbak Seli melirikku sinis sembari memainkan bibirnya. Tak suka. "Kemarin, sewaktu teman saya yang mengantarkan saya ke pengadilan untuk mengurus gugatan perceraian saya pulang dari rumah. Dan di situ berpapasan dengan Mbak Seli." Aku menjeda ucapanku. Menghela napas dalam untuk ke sekian kali. Pak RT mendengarkan kalimat demi kalimat yang meluncur dari bibirku dengan seksama. "Mbak Seli beserta suaminya berhenti tepat di depan rumah saya bersama suaminya. Waktu itu, Mbak Seli malah menghinaku karena status janda yang akan aku sandang. Di situ saya bercanda untuk memberikan tawaran Mas Rifai untuk
Pov Yoga (2 Minggu Kemudian)**Tok!Tok!Tok!"Bik! Ada tamu tuh," teriak Mutia yang saat ini sedang duduk di sofa tepat di sampingku dengan kedua pahaku digunakan sebagai bantalnya. "Bibik lagi cuci piring kayaknya, Sayang. Mas buka dulu pintunya." "Nggak mau!" ucap Mutia menahan tanganku yang ingin memindahkan kepalanya dari kedua pahaku. "Udah enakan gini, Mas!" ucap Mutia. "Bibik!" teriak Mutia lagi. Tak berselang lama, terlihat lah seorang wanita berusia empat puluh lima tahun berjalan dengan tergopoh-gopoh sembari menyincingkan daster bermotif bunga yang saat ini ia kenakan. "Budek banget, sih, Bik!" "Maaf, Bu. Bibik tadi lagi nyuci piring nggak kedengeran," ucap Bibik lalu melanjutkan langkahnya menuju ke arah pintu. "Alasan!" lirih Mutiara. Ya, semenjak aku dan Mutia sudah sama-sama bekerja, aku mencari seseorang yang siap bekerja sebagai ART di rumahku. Belum lama, kurang lebih baru dua minggu, berjalan tiga minggu. Seorang janda dengan satu anak yang masih duduk d