"Aku sudah terlambat dua Minggu, Mas, dan aku belum pernah sekali pun terlambat sebelumnya."
"Maksudmu?"Aku menegakkan telinga, karena merasa kenal dengan dua pemilik suara itu. Menghentikan menyesap jus alpukat di hadapan, lantas menoleh demi memastikan.Astaghfirullah ... . Itu benar Mas Damar dan Lila. Aku segera memalingkan wajah. Jangan sampai mereka tau aku ada di dekat mereka saat ini."Aku hamil, Mas, kita harus segera menikah. Aku tak mau menunggu sampai perutku besar.""Kamu hamil?""Iya, aku hamil. Anak kita, Mas."Aku yakin kalau saat ini kedua mata Lila berbinar diiringi senyuman lebar.Hatiku memanas mendengar pengakuan Lila. Tanggal pernikahanku dengan Mas Damar baru saja ditentukan, tapi kenyataan ini membuatku hancur tak bersisa."Tidak mungkin! Kita hanya melakukannya satu kali, dan itu ... .""Mas Damar, jangan coba-coba berkilah! Aku melakukannya hanya denganmu, jadi anak i"Bungur … Bungur … !"Suara kernet bus memecah kesunyian malam. Melihat ke sekitar, lalu pandanganku berhenti pada plang besar bertuliskan terminal Bungurasih.Masih jam setengah tiga pagi. Lebih cepat satu jam dari perkiraanku semula. Penumpang mulai turun satu persatu. Hanya tersisa delapan orang saja, selain kernet bus dan sopirnya.Tiba-tiba saja aku bergidik, teringat perempuan hanya aku saja di dalam bus ini, dengan semua penumpang lainnya laki-laki. Lalu ucapan hamdalah meluncur dari bibirku.Aku mencari tempat istirahat, lalu pilihanku jatuh pada sebuah pohon besar, tak jauh dari pintu masuk. Pesan di ponsel mulai kubalas satu-satu. Kulakukan sambil memakan arem-arem, salah satu isi godie bag berisi bekal dari ibu.Setelah duduk beberapa saat lamanya sambil menekuri ponsel, kulihat seorang pria paruh baya bergerak mendekat. Dengan gerakan slow motion, aku menyimpan ponsel ke dalam tas ransel yang kuletakkan di depanku.
Sorenya, aku menuju tempat tinggal salah satu teman kerja di bagian produksi. Berniat melihat kondisi kosan."Jadi, Ika tinggal di sini?"Aku bertanya sambil menyapu pandang pada rumah berhalaman luas di depanku. "Iya. Masih ada kamar kosong satu, aku tanyakan ibu dulu, ya, Mbak."Aku mengangguk mengiyakan."Tunggu di sini, aku panggil ibu dulu."Ia sudah melesat masuk melewati lorong. Mbak Yuli mengajakku duduk di bangku panjang. Aku melihat sekeliling. Beberapa motor terlihat mengisi ruang parkir di samping tangga. Ada sebuah pintu di dekat sumur. Ada tangga di samping lorong, di mana Ika menghilang tadi. Kalau menurut cerita Ika, anak-anak kos tinggalnya di atas, sementara si empunya rumah tinggal di bawah."Ini, Bu, yang mau cari kos."Suara Yuli memenuhi ruang dengarku. Lalu pandanganku beralih pada wanita dengan alis bertaut. Hampir semua mahkotanya berwarna putih.Aku berdiri lalu ters
Printer tiga dimensi itu akhirnya datang setelah beberapa hari ditunggu. Seorang pria muda, membantu menjelaskan cara menggunakannya.Berdua dengan Mbak Yuli, meraba-raba cara pakainya, sebab ada bilangan angka yang harus disetting hingga printer dapat berfungsi sempurna. Mas Agus hanya datang selama dua jam saja. Ia harus berkeliling ke tempat lain, melakukan tugas yang sama.Aku diminta menjalankan program yang belum pernah kukenal sebelumnya, lalu diminta belajar membuat desain cincin laki-laki, berhias batu akik bermacam bentuk.Desain itulah yang nanti akan diprint dalam bentuk tiga dimensi, untuk kemudian dijadikan cetakan, lalu diperbanyak.Oh, kepalaku rasanya mau pecah melihat banyaknya tool yang berbaris rapi melambai-lambai. Untung saja Mbak Yuli sabar mengajari aku yang buta dengan desain perhiasan."Pelan-pelan saja, Mbak Dira, anggap saja lagi main-main," katanya, lalu terkekeh-kekeh.Ia lalu akan mengajakku mencari
Keluar dari kamar mandi, kudapati Erin duduk di ujung tangga paling bawah. Wajahnya kelam, dengan bibir mengerucut.Sebuah handuk mengalungi leher. Rambutnya yang lurus itu diikat asal, menyisakan banyak anak rambut berserakan ke sana kemari di atas kepalanya. Sesungguhnya ia gadis yang cantik, dengan bibir tipis belah tengah, serta kulit kuning langsat yang nampak berkilauan ditimpa cahaya lampu. "Maaf, ya, Mbak," sapaku saat bertemu mata dengannya.Ia melengos, lalu masuk ke kamar mandi dan membanting pintu kuat-kuat. Aku terjingkat, lalu melanjutkan langkah menaiki tangga."Arek sempel!" seru Mbak Ratna.Kepalaku mendongak, lalu melihat Mbak Ratna menatap pintu kamar mandi dengan tatapan setajam elang. "Biarin, Ra. Memang begitu anak itu!" kata Mbak Ratna dengan logat Surabaya yang kental begitu aku sampai di atas. Aku tersenyum sebagai jawaban, meski detak jantung rasanya berlompatan.Masih kudengar Mbak
"Pak Arfan datang, Mbak," seru Mbak Yuli mengagetkanku. Membuka pintu dengan tergesa. Napasnya terengah-engah. Ia pamit ke belakang sejak satu jam yang lalu. Ia lalu menyibukkan diri di balik meja. Sekitar sepuluh menit kemudian Pak Arfan baru masuk ke ruangan ini."Sudah diprint lagi?" sapa Pak Arfan langsung menuju mejaku.Aku menggeser bokong, karena beliau langsung duduk di kursi sampingku tanpa permisi."Sudah, Pak," jawabku, lalu mengamati jalannya mesin sejenak."Mati lampu ya, Pak, tadi malam?" tanya Mbak Yuli masih dari balik monitor.Terlihat dari sudut mataku, Pak Arfan mengangguk."Semalam saya ke sini jam delapan. Sudah berhenti mesinnya."Pak Arfan menghela napas, lalu meletakkan sebuah batu berwarna hitam legam, serta kertas kecil."Nanti kamu buat ini, ya, Nadira," ujar pria berkemeja biru muda itu, lalu beranjak ke kursinya.Me
"Mbak, masih belum kenyang?"Eh? Aku menoleh. Mbak Yuli menatapku tak berkedip. Lalu pandanganku beralih ke piring di depanku, yang tadi penuh oleh gorengan, sekarang tinggal satu. Piring yang tadi berisi tahu tek juga sudah tandas.Tanganku masih memegang mendoan. Ada bekas gigitan di sana. Tangan kiriku memegang cabe. Sungguh perpaduan yang mantap di siang yang mendung dengan angin sepoi-sepoi ini."Kecil-kecil makannya banyak juga, ya?" Tiara menimpali. "Ada yang ikut makan kali, di perutnya."Baru tersadar kalau di antara kami bertiga hanya aku yang masih sibuk mengunyah. Tapi, kenapa Tiara ini sibuk sekali berkomentar? Nggak tau apa, ini pengalihan rasa kesal sama dua saudaraku yang tak bisa dihubungi, hingga nafsu makanku berlipat-lipat. Entah sibuk apa Salma sama Mas Rudy, sampai tak menerima telponku. Kirim pesan pun belum dibalas juga. Jadilah melarikan diri sama makanan. Gegas kuhabiskan mendoan sama cabe, lalu mengunyah p
."Kiri, Pak!" Seseorang berseru, membuat pandanganku dari patung yang menjadi ikon kota Surabaya teralihkan.Di mana ini? tanyaku dalam hati.Lalu angkot melaju lagi. Di depan sebuah mall besar aku meminta turun. Bibirku melengkungkan senyum, membaca sekali lagi tulisan yang terpampang di depan mall ini. Pameran pariwisata.Oke, ayo kita lihat, ada apa di dalam sana. Hawa AC langsung menyapa kulit, begitu kaki ini melewati bibir pintu. Keningku mengernyit, melihat sebuah lukisan terpajang di sisi kanan.Jika saja tak malu, pasti aku sudah melompat-lompat seperti anak kecil karena kegirangan. Lukisan selalu punya daya magnet tersendiri bagiku, meski aku tak bisa membuatnya.Sebuah lukisan tangan dengan kulit berkilauan, dilengkapi garis-garis halus tanda penuaan, serta urat-urat yang terlihat menonjol, membuatku tertegun lama di depannya.Tangan emas, demikian judul lukisan tersebut. Lalu tanpa sadar, pand
Terus bergerak, saat berkelana, kelak pasti akan menemukan hasil.Wahyu Ramadhan. Aku membaca keduanya bergantian, lalu mencocokkan. Bola mataku seakan berlarian, dari foto ke kartu pos, diam sebentar, bergeser lagi. Baiklah, seperti dugaanku, ini memang tulisan dari tangan yang sama. Hmm … namanya bagus, kalimatnya juga bagus, menurutku. Itu juga yang membuat kartu terakhir ini kubawa serta.Kuperhatikan caranya membuat lengkungan di huruf pertama, sama persis. Pun pada huruf-huruf kecil, nyaris satu ukuran yang sama. Aku yakin tak salah kali ini. Untung saja sempat kufoto daftar tamu di pameran tadi.Ia ada di kota ini, dekat denganku, bukankah begitu. Tapi, siapa dia yang bersembunyi di balik kartu-kartu pos yang kuterima selama ini? Dan ada maksud apa sebenarnya?Aku masih bermonolog, sementara suara hujan terdengar berjatuhan menimpa atap rumah ini. Suara televisi dari kamar sebelah juga masih terdengar, berlomba deng