"Kapan ibu mengambil surat itu? di mana ibu menyembunyikannya?"
"Surat itu ...."
Mas Adi, Ibu, Mbak Ratna dan Nayla sedang berkumpul di kamar. Mereka sedang membahasa perihal serrifikat tanah milikku. Suasana malam yang sunyi, membuatku bisa mendengar jelas percakapan mereka. Semoga saja, ibu memberitahu keberadaan surat berharga itu. Cepat Bu, katakanlah!
"Surat itu, ibu simpan di ...."
"Dor, lagi ngapain Kakak ipar."
"Arrgh! demit!"
"Hahaha, sembarangan aku dibilang setan."
"Ya Allah Wi, ngagetin aja."
Jantungku hampir copot karena lelucon Tiwi. Dia datang bagai jalangkung. Tiba-tiba muncul di detik-detik penting. Hampir aku mendapatkan titik terang. Tiwi malah menggagalkannya.
"Eva?" tanya Ibu mertua.
Mereka keluar kamar. Menatap heran ke arahku. Lebih tepatnya, menampilkan raut tegang. Pasti mereka takut aku mendengar percakapan mereka.
"Dek, sejak kapan kamu di sini?"
"Baru lewat."
"Bohong. Orang Mbak Eva ngintip ke kamar dari tadi, hahaha."
"Apa benar, Eva?"
"Tidak, Bu. Baru saja aku lewat, terus datang deh, Tiwi. Harusnya Eva yang nanya, ngapain malam-malam ngobrol berempat di kamar ibu? ada pembantu segala lagi."
Aku beri penekanan di kata terakhir. Agar Si Pelakor itu tahu posisi yang seharusnya. Aku tak akan membiarkan gundik merasa jadi ratu. Enak saja.
"Kami cuman lagi ngobrol biasa aja Eva. Maklum, kangen sama Adi. Udah lama baru ketemu. Ya wajar dong kalau bercengkrama bersama di kamar ibu."
"Benar kata Mbak Ratna, Dek."
"Oh, Si Pembantu juga kangen sama kamu, Mas?"
"Ma-maksud kamu apa, Dek?"
"Iya maksudku, pembantu kamu juga kangen sama kamu? sampe dia ikut ngobrol bareng di kamar ibu. Nanti ngelunjak loh, pembantu digituin."
"Maaf Mbak, aku cuman dipanggil ibu suruh buatin minum."
"Oh gitu? ya udah, sana pergi. Harusnya aku yang ikut ngobrol di dalam, bukan kamu, pembantu. Sebenernya menantu di rumah ini, aku atau Nayla sih, Mas?"
"Dek, kamu nanya apa sih? ya tentu kamu menantu satu-satunya."
"Lah, ko, aku gak diajak kumpul, ngobrol bareng."
"Tadikan kamu lagi tidur, Dek."
"Alesan."
"Eva, benar kata Adi. Kamu menantu yang paling kami sayangi. Jangan berpikir negatif."
"Apa benar Bu?"
Aku bergelayut manja di tangan ibu. Bersikap ke kanak-kanakan seperti anaknya sendiri. Terpaksa aku melakukannya, demi rencana selanjutnya.
"Tentu benar, Eva sayang."
"Semoga gak bohong, ya Bu, hahaha," sindir Tiwi, lalu dia pergi begitu saja.
Anak bungsu Ibu memang berbeda. Dia jarang berkumpul dan berbaur dengan kakaknya yang lain. Semoga saja sikapnya juga tidak sejahat Ibu dan kakaknya. Jika demikian, aku bisa memanfaatkannya untuk membantuku. Namun, harus aku pastikan dulu. Bahwa dia bisa diajak kerja sama.
"Permisi, biar Nayla buatin minuman buat ibu."
"Tunggu, biar aku aja yang buatin minuman buat ibu."
"Tapi, Mbak ...."
"Pembantu tidak boleh membantah. Sana, kamu masuk kamar. Oh iya, aku lihat kamu masuk di kamar utama rumah ini. Mulai sekarang, pindah ke kamar pojok, khusus pembantu."
"Dek, kamu ngapain sih? jangan bersikap seperti itu."
"Kenapa? Mas gak rela pembantu ini tidur di kamar sempit? Lah, dia kan emang pembantu, apa salahnya?"
"Bukan gitu, Dek. Kesian Nayla kalau malem-malem harus mindahin barang-barangnya. Jadi, gak usahlah di suruh pindah segala."
"Ya barang-barangnya besok pindahinnya. Sekarang, orangnya tidur duluan di kamar pojok. Biar gak ngelunjak. Pembantu harus diperlakukan seperti itu."
Jujur, sebenernya sikap seperti ini bukan mencerminkan diriku sendiri. Aku tak tega jika merendahkan orang lain. Namun, kali ini orang yang aku hadapi berbeda. Nayla adalah perempuan yang tidak punya rasa malu dan kasihan. Dia tega merebut suamiku, bahkan memanfaatkan hartaku. Manusia seperti mereka, pantas diberi pelajaran. Agar tahu rasanya diposisi orang yang disakiti.Jangan berani menyakiti orang lain, jika kamu tak mau disakiti. Jika kita ingin dihargai maka hargai dulu orang lain. Bukan bersikap semena-mena, tapi ingin diperlakukan baik.
"Kamu berubah, Dek!" bentak Mas Adi.
"Iya Eva, kamu kenapa sih? tumben banget bersikap kaya gini. Kesianlah Nayla. Mending Nayla tidur sama Mbak aja. Kamu gak punya perasaan banget."
Tuh, 'kan keliatan sikap mereka lebih membela Nayla. Semua orang juga pasti curiga akan sikapnya. Dasar, keluarga tidak tahu diri.
"Diam!" bentak Ibu.
Baru kali ini aku lihat Ibu mertua marah. Wajahnya cukup menyeramkan. Menatap serius pada Mbak Ratna, Mas Adi dan Nayla. Semua orang hanya bisa membisu. Tak ada yang berani membantah.
"Nayla, lakukan perintah Eva."
"Tapi, Bu. Masa Nayla ha-"
"Jangan membantah, Ratna. Sekarang juga, Kamu masuk kamar."
Tanpa membantah lagi, Mbak Ratna pergi ke kamar. Dia menghentakkan kaki, sambil menampakan raut jengkel.
Nayla juga pamit masuk ke kamarnya. Wajahnya memang lebih kalem dibandingkan Mbak Ratna. Namun, aku yakin, hatinya penuh umpatan kepadaku. Hatiku bersorak gembira. Tenang , ini baru permulaan. Masih ada pelajaran lainnya.
"Dek, Mas gak nyangka kamu jadi kaya gini."
"Adi, diam."
"Bu, Eva keterlaluan."
"Adi, jangan banyak bicara. Eva, lebih baik kamu tidur, Nak. Lupakan masalah kecil ini."
"Eva mau tidur sama Ibu, yah. Males sama Mas Adi. Masa dia lebih belain pembantu dibanding istrinya sendiri."
"Baiklah. Kamu tidur sama Ibu, biar bisa menenangkan diri."
"Makasih, Bu."
Aku memeluk Ibu. Pura-pura bahagia atas sikapnya yang sudah berpihak padaku. Padahal, aku tahu, dia hanya berbohong. Hatinya pasti tidak terima atas perlakuanku pada menantu kesayangannya.
"Bela terus, menantu Ibu itu." Mas Adi berlalu dengan raut kesal.
Dasar pria tak tahu malu, harusnya dia sadar bahwa aku berubah karena dirinya sendiri. Kamu yang sudah bermain api, Mas. Jadi, jangan salahkan aku, jika dirimu ikut terbakar dalam api yang sudah kamu ciptakan.
"Bu, Eva buatin minum dulu, yah."
"Makasih, Eva."
"Masama ilIbuku tersayang."
Maaf Bu, aku hanya bersandiwara. Semua ini, aku lakukan karena ulahmu sendiri. Aku sengaja membuat Mas Adi marah, agar bisa cari alasan tidur bersamamu.
"Selama tidur pulas ibu."
Obat tidur aku masukan ke dalam minuman Ibu. Agar dia tak menganggu rencanaku untuk menggeledah kamarnya.
"Tehnya udah jadi. Diminum, Bu."
Ibu hanya tersenyum. Kemudian, menyeruput secangkir teh sampai tandas. Entah haus, atau terbawa emosi. Biarlah, yang terpenting obat tidur itu bisa bekerja maksimal.
"Eva, Ibu tidur duluan," ucap Ibu beberapa menit kemudian.
"Iya, Bu. tidur aja. Nanti Eva nyusul."
Ibu langsung berbaring. Aku pasang selimut ditubuhnya. Agar dia makin nyenyak.
Setengah jam berlalu, Ibu nampaknya sudah pulas. Aku bergegas melancarkan aksi. Sebelumnya, kamar aku kunci rapat. Agar tak ada yang mengacaukan rencanaku.
Aku cek lemari pakaian ibu. Membuka setiap laci yang ada. Mencari dengan teliti di setiap tumpukan baju. Namun, hasilnya nihil. Tak ada sertifikat tanah milikku. Hanya ada kotak perhiasan dan beberapa gepok uang.
Aku tak putus asa. Terus mengecek setiap bagian dari kamar ini. Sampai kamar mandi, tak luput dari indra penglihatanku. Hasilnya masih sama. Tak ada surat berharga. Bahkan, sertifikat rumah ini, yang aku beli dengan uangku, tidak ada juga.
"Si*l, dimana ibu menyimpan sertifikat milikku."
"Ya Allah.""Tenang, Sayang. Kita cek saja ke kantor polisi."Kami mengangguk setuju atas usulan Gilang. Lalu, masuk ke mobil masing-masing. Awalnya Mas Gibran melarang. Takut aku mual dan merasakan gejala kehamilan lainnya. Namun, aku yakinkan dia, bahwa kondisi tubuh ini baik-baik saja. Apalagi jarak ke kantor polisi hanya satu jam. "Sayang, kamu gak ada yang dirasa?" tanya Mas Gibran di tengah perjalanan."Aku baik-baik saja, Sayang. Mas fokus nyetir, yah.""Siap, sayang. Kalau pusing, atau mual, atau lapar, bilang aja yah.""Siap suamiku."Mas Gibran mencium tangan. Sementara matanya fokus menyetir mobil. Sepanjang jalan, suamiku sangat memperhatikanku. Dia memang sedikit berlebihan. Maklum, sudah lama kami menunggu kehadiran sang buah hati. Wajar, kalau suamiku begitu menjaganya. Ditambah lagi, dia sangat mencintaiku. "Mas, kasihan sekali Salwa.""Iya, Sayang. Ko, bisa dia malah masuk rumah sakit jiwa.""Mungkin, obsesi dia terlalu tinggi. Sampai meracuni pikiran. Ya, jadi gitu
"Garis dua. Ini benar-benar garis dua. Tapi garisnya tidak terlalu keliatan."Mataku melebar. Deru jantung tak karuan. Angin segar seakan berhembus kencang. Antara percaya dan tidak. Aku ngin ambruk. Badanku terduduk di kasur. Air mata berjatuhan. Bibir tersenyum. "Assalamualaikum.""Eva!"Teriakseseorang dari pintu depan, membuatku sadar. Aku hapus air mataku. Bergegas menuju pintu depan."Rani, kamu ada di sini?""Iya, Eva. Maaf aku gak ngabarin. Sekalian ada urusan bisnisnya Mas Gilang di daerah sini. Jadi, aku sengaja mampir ke sini.""Gilangnya mana?""Aduh, maaf, Va, kerjaan dia numpuk banget. Katanya nanti nyusul. Aku saja sampe dicuekin. Jadi, sengaja ke sini deh, biar gak gabut di hotel.""Owalah, ya sudah, ayok masuk."Rani aku suruh duduk di sofa. Sementara aku membawakan satu cangkir teh hangat. Udara di sini terasa dingin, meski sudah mau beranjak siang hari. Badanku sedikit lemas. Masih terbayang-bayang dua garis merah tadi. Namun, aku harus bersikap biasa di depan Ra
"Tidak, Di. Kamu beruntung sekali sudah punya bayi kecil yang lucu," jawab Mas Gibran dengan senyum sendu. Sambil menepuk pundak Mas Adi. "Sabar, Ran. Kamu orang baik. Pasti, banyak jalan biar kalian bisa dihadirkan apa yang kalian inginkan.""Aamiin."Aku menggandeng Mas Gibran dengan erat. Kami saling bertatapan. Kata-kata Mas Adi memberi semangat tersendiri untuk kami.Percaya, bahwa banyak jalan menemukan kebahagiaan. Masih banyak pejuang garis dua yang sudah berjuang hampir puluhan tahun. Maka, bagi kami yang belum lama berjuang, tak ada alasan untuk mencoba, apalagi menyerah.Semuanya butuh proses. Asal terus berusaha dan berdoa. Insyallah, hasil tidak akan menghianati. Pasrahkan diri, dan terus memohon. Semesta pasti memberi jalan."Kalian hebat, bisa bangkit lagi secepat ini."“Alhamdulilah, Mas. Semoga bisnis ini bisa terus berjalan lancar. Biar bisa terus membuka peluang usaha untuk orang lain.”"Aamiin. Tentu, dong. Termasuk membuka peluang usaha buatku. Aku yakin, dalam b
"Panggil Dokter, cepat!" perintah Pak Hakim.Gilang bergegas keluar ruangan. Sementara Mas Gibran malah memeluk pinggangku. Kami bagaikan penonton yang sedang menyaksikan adegan penuh haru. Saksi cinta seorang ayah kepada anaknya yang mampu memberi kekuatan tersendiri. Sehingga, Rani bisa berjuang keras melawan kondisinya yang sedang tidak baik-baik saja. "Sayang, bertahanlah. Ayah mohon."Suasana makin tidak karuan. Harapan dan kecemasan jadi satu. Apalagi saat melihat dokter tampak tegang memeriksa Rani, karena mendadak dia kejang. "Rani, bangunlah. Ayah menunggumu, Nak.""Dokter bagaimana kondisi istri saya?""Iya, Dok. Bagaimana kondisi anak saya. Kenapa dia tidak bangun, padahal tadi tangannya bergerak.""Maaf, Pak. Saya belum bisa memastikan secara pasti kapan Ibu Rani akan siuman. Namun, gerakannya tadi bisa menjadi pertanda baik. Dia merespon perkataan kalian. Maka, kita harus terus berdoa. Semoga secepatnya Ibu Rani bisa siuman.""Ya Allah, Rani. Bangun, Nak.""Sabar, Pak.
"Aku izin menghubungi Mas Adi dulu, Mas.""Iya sayang. Semoga Pak Hakim bisa ke sini.""Aamiin. Semoga kehadiran Pak Hakim bisa membuat Rani cepat sembuh."Aku bergegas menelepon Mas Adi. Sengaja menggunakan fitur pengeras suara, agar Mas Gibran ikut mendengar percakapan di antara kami. "Halo, Mas.""Iya, Eva. Bagaimana kondisi di sana.""Tidak baik-baik saja, Mas." Aku ceritakan kondisi yang terjadi di sini. Mas Adi ikut perihatin. Dia juga merasa was-was dengan keadaan kami di sini."Mas, tolong bilang pada Dokter Pak Hakim, beliau diajak ke sini. Agar bisa bertemu dengan anaknya.""Baiklah, Eva. Aku akan menanyakannya dulu. Kamu dan Gibran tenanglah di sana. Mas akan berusaha membantu kalian semaksimal mungkin.""Terima kasih, Di.""Sama-sama, Gibran. Kalian harus waspada. Takutnya perempuan gila itu melarikan diri.""Iya, Mas. Semoga saja tidak.""Ya sudah, aku langsung ke rumah sakit lagi. Semoga diizinkan. Aku yakin bisa, karena kondisi Pak Hakim tampak lebih baik.""Aamiin.
“Mbak Rani, Mas Gilang?” Salwa kaget dengan kehadiran kakaknya. Tentu semua ini di luar perkiraannya. Aku sudah memasang kamera tersembunyi di kamarnya. Agar bisa mengambil langkah lebih dulu dibandingkan Salwa.Mas Adi juga sudah berhasil mengamankan keberadaan Pak Hakim. Pria paruh baya itu sedang dirawat di rumah sakit dekat rumah Mas Adi. Sementara Rani dan gilang, aku perintahkan hadir ke sini, untum menjadi saksi di kantor polisi. Sekaligus membongkar kejahatan-kejahatan adiknya."Ke-kenapa ada Mbak Rani dan Mas Gilang. Aku sudah bilang, jangan mengundang mereka," ucap Salwa naik pitam.Wajahnya berubah seram. dia mulai menyadari kejahatannya akan terbongkar. Aku sudah siap siaga. Sebenarnya tamu yang hadir merupakan para polisi yang sedang menyamar. Area rumah ini juga sudah dijaga beberapa karyawan pria Mas Gibran. Agar bisa mengantisipasi kalau Salwa berani kabur."Ini hadiah dariku Salwa. Aku ingin dihari bahagi ini, disaksikan kakamu tercinta.""Tidak. Kamu sudah melanggar