Devan mempunyai kekayaan mencapai kuadriliun, dia menyembunyikan kekayaannya tersebut dari saudara dan keluarganya dikarenakan keserakahan mereka. Semua warisan yang Devan punya dia atas namakan istrinya, Niara. Niara yang selalu tak dianggap oleh saudara Devan dan diejek dengan kata perempuan mandul. Sehari setelah pembalikkan nama, Devan dikabarkan meninggal karena kecelakaan tunggal. Niara tidak mau menerima berita tersebut, dia yakin jika korban kecelakaan itu bukan suaminya. Niara pun mencari tahu dimana keberadaan suaminya. Kira-kira apakah yang Niara yakini itu benar? Apakah dia benar-benar akan menemukan suaminya?
Lihat lebih banyak“Semua hak warisan Devan jatuh kepada Niara, termasuk dengan villa. Ada yang mau protes? Silakan mengangkat tangan!” Lelaki berjas hitam dengan dasi polkadot sedang mengadakan rapat keluarga besarnya.
Namanya Devan, pemilik salah satu perusahaan besar di Asia. Dia mempunyai kekayaan mencapai kuadriliun. Devan adalah anak kedua dari empat bersaudara, namun dialah pemegang saham sepenuhnya yang mana adalah hasil pembagian warisan dari almarhum ayah mereka yang Devan kembangkan hingga menjadi sebesar sekarang. Tidak ada yang mengetahui tentang kekayaan Devan dari pihak keluarganya ini. Saudara Devan hanya tahu Devan bekerja menjadi direktur di suatu perusahaan dan beberapa buah villa yang cukup menghasilkan. “Apa, perempuan mandul itu?” sanggah kakak tertua. Kakak tertua mempunyai watak yang paling kers dan pemarah, namanya Erwin dengan sedikit jabis di dagunya, mempunyai dua orang anak yang tinggal di Australia bersama istrinya. Erwin bekerja tak menetap dikarenakan wataknya yang keras itulah membuatnya kerap kali dipecat dalam pekerjaan yang digelutinya. “Jaga mulutmu, Kak!” Devan mengacungkan jari telunjuknya tepat di depan mata sang kakak. Seorang perempuan bernama Niara sedang asyik mencuci piring di dapur, dia adalah istri Devan satu-satunya. Niara tidak mendengar apa yang dibincangkan di ruang kerja milik Devan. Pernikahan Niara dengan Devan baru saja menginjak usia pernikahan yang ke-lima tahun, pada awalnya rumah tangga mereka harmonis saja. Namun, setelah satu tahun belakangan ini ketiga saudara Devan tinggal di rumah Devan dan menjadikan Niara layaknya seorang pelayan mereka, mereka bertindak seenaknya saja membuat Devan merasa sangat geram dengan kelakuan keluarganya itu pada istrinya. “Apa, benar kan Niara itu mandul? Nggak bisa ngasih kamu keturunan. Coba lihat kami semua punya anak, kamu?” Plak... Tamparan mendarat di pipi Erwin. Dia juga mendapatkan harta warisan dari almarhum ayah mereka, namun dia tidak pandai mengelola dan akibat hobinya bermain judi online itu membinasakan karirnya, beruntung dia punya istri yang bekerja di luar negeri sehingga anak-anak mereka tidak terlantar. “Berani kamu menamparku, Devan?” Erwin memicingkan matanya pada Devan. “Apa? Kenapa? Kakak sudah berani menghina istriku, mengapa aku tidak boleh menamparmu?” tantang Devan. “Sudah, cukup!” Adik perempuan Devan menengahi. Adik perempuan Devan baru saja menikah dan sedang mengandung. Namanya Ratna, perempuan berbadan tinggi dengan rambut yang ikal bergelombang. Suaminya bekerja di kapal, sudah beberapa bulan menjelang kehamilan Ratna ini dia belum pulang yang membuat Ratna harus tinggal di rumah Devan. “Kalian ini kenapa sih berantem kaya anak kecil?” “Kamu Kak Devan, memangnya kakak sudah pikirkan ini dengan matang? Gimana nanti kalau si Niara itu ternyata cuman ngincar harta Kak Devan? Jangan tertipu dengan wajah lugunya!” “Aku sangat mengenal Niara, dia istriku, kalian tidak akan tahu bagaimana dia. Keputusanku sudah bulat. Vila, rumah dan semua hartaku atas nama Niara, titik!” Devan menghentakkan kakinya dengan keras ke lantai, kemudian ia beranjak pergi meninggalkan kedua saudaranya. Devan menuju dapur, berniat mendatangi sang istri untuk pamit pergi ke tempat kerja. Niara yang telah selesai mencuci piring kotor, dia lanjut menyapu dan mengepel rumah . Devan menatap Niara yang sedang memunggunginya, air mata Devan kerap kali ingin jatuh setip kali melihat tangan lembut istrinya itu harus memegang pekerjaan rumah. Devan memeluk Niara dari belakang. “Sayang,” ucap Devan lembut. Niara pun tersenyum lembut. “Mas, Ara lagi keringetan, Lepas! Nanti kamu ikutan bau keringat.” Niara melepaskan dekapan tangan suaminya. “Sayang, berapa kali Mas bilang kalau kamu jangan ngerjain ini semua. Mas mohon, tolong hentikan!” Ucapan itu sudah ratusan kali Devan ucapkan pada Niara, namun tetap saja tiada mempan dengan kelembutan jawaban Niara. Niara membalikkan badan, menghadap suaminya dengan senyuman yang mengembang. “Mas, aku senang ngelakuin ini semua. Niara suka. Mas mau ngelarang apa yang bikin Ara senang?” Devan menggeleng cepat. “Jangan kalimat itu lagi sayang!” “Sudahlah, Mas. Sekarang sudah jam segini kok kamu belum berangkat ngantor?” tanya Niara lembut sembari merapikan dasi Devan. “Astagfirullah kelupaan. Kalau gitu Mas berangkat sekarang. Kamu banyak-banyak istirahat dan jangan terlalu kecapean, oke!” “Oke, Mas.” Niara mengantar Devan sampai ke depan rumah, Devan berangkat menggunakan mobil hitam lusuh yang sudah ketinggalan jaman yang selalu dibawa Devan untuk berangkat kerja, sebenarnya dia punya tiga buah mobil. Namun, dua buah mobilnya rusak, yang pertama akibat Erwin yang menabrak pohon akibat menyetir dalam keadaan mab*k dan yang satunya lagi rusak akibat ulah Levi yang dia gunakan untuk balap liar bersama teman-temannya. Sebenarnya, sangat mudah bagi Devan untuk membeli beberapa buah mobil mewah terbaru sekaligus, namun demi menyembunyikan kekayaannya dari tangan-tangan serakah saudaranya, Devan mengurungkan itu semua. “Hati-hati, Mas!” *** Brak... Kecelakaan terjadi di jalan raya. Sebuah mobil ber-plat XXXXX hancur setelah menabrak pembatas jalan. Polisi dengan cepat mengevakuasi tempat kejadian, garis polisi telah terpasang di tempat kejadian. (Hallo, apa benar ini dengan keluarga Pak Devan?) Niara yang mengangkat telepon pun merasakan sesuatu yang tidak nyaman di dalam lubuk hati kecilnya. (Iya, saya isterinya. Ini siapa?) (Kami dari kepolisian. Baru saja terjadi kecelakaan di jalan raya dengan mobil ber-plat XXXXX, kami menemukan kartu identitas korban. Ibu bisa segera datang untuk memastikan apakah benar korban adalah suami Ibu) Niara langsung terduduk lesu, hatinya bertalun-talun dengan kesedihan yang teramat mendalam. “Innalillahi wainna ilaihi roji’un, ya Allah Mas Devan.” Niara menyeka air matanya lalu bergegas untuk pergi ke tempat kejadian. Sebelum itu, Niara memberitahukan terlebih dahulu kepada saudara/i Devan tentang berita duka tersebut. “Apa, Kak Devan kecelakaan? Gimana keadaannya sekarang?” tanya Ratna dengan ketus. “Aku enggak tau, bisa kita berangkat ke lokasi kejadian?” Niara meminta bantuan karena dia trauma mengendarai motor ataupun mobil setelah kejadian yang menimpanya di waktu silam. “Kamu pergi aja sendiri, kan banyak tukang ojek di luar. Aku males panas-panasan.” Dengan berat hati Niara beranjak mencari ojek. Tidak ada yang peduli dengan Devan dan dirinya, semua saudara Devan membenci Niara. Setelah berjalan kurang lebih sembilan puluh meter dari rumah, akhirnya Niara menemukan tukang ojek dan mengantarkannya menuju lokasi. Di lokasi, banyak orang bergerombolan melingkari tempat kejadian di balik batas polisi, Niara perahan menyibak gerombolan itu dan mencari suaminya. “Mas Devan,” panggil Niara. "Pak polisi, dimana suami saya?” ringis Niara berderai air mata. Pak polisi memperlihatkan mayat yang sudah berada di dalam kantong may*t. Badan Niara semakin tidak bisa ditopang, lututnya tertancap ke tanah. Suaranya tersekat dengan tangisan yang tidak bisa diteriakkan. Dunia Niara terasa hancur, warna dunia hanya ada kelabu dan kesedihan semata melihat sosok yang dicinta terkujur tidak berdaya. “Mas Devan jangan tinggalkan Niara!” “Ibu bisa cek untuk memastikan apakah benar korban adalah suami ibu.” Niara menggeleng, perlahan ia mendekat dan polisi membuka penutup kantong may*t, namun wajah korban sudah tidak bisa dikenali dikarenakan pecahnya bagian kepala. “Bukan, saya yakin dia bukan Mas Devan. Saya yakin sekali dia bukan suami saya,” ucap Niara yakin. “Apa benar, Bu? Tapi, identitas dan mobil benar milik Pak Devan.” “Enggak, dia bukan Mas Devanku...” Niara berlari meninggalkan semuanya, hatinya masih tidak kuat untuk memungkiri bahwa may*t itu bukanlah Devan, suaminyaMentari pagi menyusup pelan ke sela tirai putih yang bergoyang lembut diterpa angin. Di halaman belakang rumah, Niara duduk di bangku taman sambil menyiram tanaman kesayangannya. Di sebelahnya, secangkir teh hangat mengepul, menguarkan aroma menenangkan.Dari kejauhan, langkah kaki mendekat. Devan muncul dengan kemeja putih santai, wajahnya bersih, damai, jauh berbeda dari lelaki yang dulu pulang dalam luka dan kemarahan.“Aku pikir kamu masih tidur,” kata Niara tanpa menoleh.Devan duduk di sebelahnya. “Mana bisa tidur kalau istriku nggak di samping.”Niara tersenyum kecil. “Gombalmu pagi-pagi tetap saja.”Mereka terdiam sebentar, menikmati suara burung dan desir angin.“Niara,” Devan memecah keheningan, menatap istrinya lekat-lekat. “Kamu tahu... kadang aku masih merasa bersalah.”Niara menoleh, bingung. “Bersalah kenapa?”“Karena aku pergi terlalu lama. Karena aku membiarkanmu terluka di rumah yang seharusnya jadi tempatmu berlindung.”Niara menggeleng. “Kamu nggak pernah benar-ben
Kebenaran yang Tak Bisa DikuburLangit malam tampak mendung, angin bertiup pelan saat Devan duduk di ruang kerjanya, menatap selembar foto usang.Foto itu memperlihatkan dirinya bersama tiga pria lain—mantan kolega bisnis lama. Mereka dulu sahabat, kini dua di antaranya telah memusuhi Devan sejak ia memutuskan menarik semua sahamnya dan membentuk DPM Group sendiri.Dan salah satunya adalah pria yang baru saja muncul kembali lewat ancaman: Juan Arvanio.Beberapa hari setelah konferensi pers, Devan menerima informasi dari orang kepercayaannya bahwa Juan—pria licik yang dulu hampir membuat perusahaan bangkrut—telah kembali ke Indonesia. Juan yang dulu pernah mengancam akan “menghilangkan” Devan karena dianggap mengkhianati kesepakatan bisnis kotor mereka.Kini ia kembali. Dan tak hanya itu, dia tahu tentang Niara.Sementara itu, Niara sedang berbelanja bahan makanan di supermarket. Ia memilih buah dengan santai, tak sadar bahwa ada mata yang mengikuti dari kejauhan.Seseorang dengan ja
Rumah Devan dan Niara terasa lebih tenang sejak konferensi pers. Udara di dalamnya tak lagi terasa menyesakkan seperti dulu. Tapi di balik ketenangan itu, ada sesuatu yang menggantung di udara—seperti bayangan yang belum sepenuhnya pergi.Pagi itu, Niara sedang merapikan meja makan saat suara pintu depan diketuk.“Mas, ada orang,” serunya.Devan menghampiri. Begitu membuka pintu, ia menemukan seorang kurir berdiri dengan amplop cokelat besar di tangan.“Untuk Pak Devan.”Setelah menerima dan menandatangani bukti serah terima, Devan membawa amplop itu ke ruang tamu. Tatapannya tajam saat membuka isinya.Niara mendekat. “Surat apa itu?”Tak ada suara.Devan hanya memegang selembar kertas putih dengan tulisan tangan:“Kami tahu siapa yang membuatmu koma. Dan mereka belum puas.”Niara memucat. “Apa maksudnya... ini ancaman?”Devan menatapnya lama, lalu menatap kertas itu lagi.“Sepertinya... permainan ini belum selesai.”Sementara itu, di rumah yang dulu mereka tinggali bersama, Ratna se
Hotel bintang lima di pusat kota sore itu tak seperti biasanya. Lobi dipenuhi awak media, kamera, dan suara bisik-bisik penasaran. Tak ada yang benar-benar tahu siapa yang akan muncul. Tapi satu nama kini memenuhi berita sejak pagi:“Devan Pemilik DPM Group– Hidup atau Tipu Daya?”Ruangan konferensi telah disiapkan dengan megah. Latar panggung menampilkan logo DPM Group dalam warna emas mengilap. Beberapa petinggi perusahaan terlihat duduk di barisan depan, namun kursi di tengah panggung masih kosong.Dan kemudian, tepat pukul 17.00, pintu utama terbuka.Langkah kaki berderap masuk—pelan tapi mantap.Devan berjalan ke depan, mengenakan setelan jas abu gelap yang membentuk siluet percaya diri. Di sampingnya, seorang wanita dengan gaun putih sederhana namun elegan, berjalan tenang di sisinya.Niara.Kilatan kamera langsung menyambar seperti petir. Bisik-bisik tak percaya meledak.“Itu istrinya?”“Yang katanya Cuma pembantu rumah tangga?”“Serius? Cantik banget, tapi kelihatan lugu...”
Pagi baru saja menjingga ketika Niara terbangun, namun Devan sudah tidak ada di sebelahnya. Sejenak ia mengira semuanya hanya mimpi—kehadiran Devan, keberaniannya, dan perlindungan yang kini mulai membungkusnya perlahan. Tapi suara pintu terbuka membuyarkan lamunannya. “Mas?” panggil Niara pelan. Devan masuk, mengenakan kemeja lengan panjang berwarna navy dan celana bahan hitam. Di tangan kirinya, ia memegang sebuah map coklat tebal. “Maaf, aku bangunin kamu?” tanyanya sambil duduk di tepi ranjang. Niara menggeleng. “Kamu dari mana?” “Ketemu seseorang. Sekalian ambil ini.” Ia menunjukkan map itu. “Ada beberapa hal yang aku pikir kamu berhak tahu sekarang.” Niara menatap map itu, lalu memandang wajah suaminya. “Mas... kamu sebenarnya siapa?” Devan menatap istrinya dalam-dalam. Mata itu, mata yang dulu begitu jernih saat ia menikahi Niara secara sederhana di masjid kecil, kini penuh luka yang tak semestinya ada. “Aku Devan, suamimu,” jawabnya pelan. “Tapi aku juga Deva
Malam itu, Niara duduk di teras belakang sambil memeluk lututnya. Angin berembus lembut, membawa aroma bunga kamboja dari pekarangan, tapi hatinya masih belum sepenuhnya tenang. Sudah bertahun-tahun ia dianggap tak lebih dari pelengkap rumah tangga orang lain. Kini, dalam waktu kurang dari dua hari, segalanya terasa berubah begitu cepat—tapi perubahan itu terasa seperti mimpi. “Sayang.” Suara berat itu membuatnya menoleh. Devan datang membawa dua cangkir coklat hangat. “Mas bikinin buat kamu. Aku masih ingat kamu selalu minum ini tiap malam waktu kamu susah tidur.” Niara tersenyum, walau matanya masih menyimpan lelah yang panjang. Ia menerima cangkir itu dengan dua tangan. “Terima kasih, Mas.” Devan duduk di sebelahnya, menatap langit gelap yang mulai bertabur bintang. “Maafin aku, Niara. Aku ninggalin kamu di rumah ini terlalu lama. Aku kira... kalau aku jauh, kamu akan lebih tenang. Aku nggak nyangka mereka setega itu padamu.” Niara hanya diam. Ia bukan tak
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen