Aku memandang beberapa plastik bungkusan berupa makanan itu dengan nanar. Ya Allah ... Uangku ... Ingin menangis tapi rasanya malu dilihat ibu-ibu kompleks. Inilah yang disebut sakit tak berdarah. Ingin marah tapi marah ke siapa? El malah bakalan nangis-nangis tak jelas."Emangnya mau ada acara apaan, Mas? Pesan makanan segitu banyaknya? Buat syukuran ya?" tanya salah seorang ibu membuyarkan lamunanku."Kalau buat syukuran mah segitu gak cukup, kan penghuni rumah kompleks ini banyak," sahut yang lai .Aku tersenyum. Sudah tak mampu berpikir dengan jernih. Kuambil saja empat paket ayam geprek, empat cup strawberry milkshake dan empat kue pie susu dan kue browniesnya, sisanya kubagikan pada tetangga."Bu, ibu, ini sisanya buat kalian saja ya, dibagiin ke tetangga biar rata dan kebagian!" tukasku. Ibu-ibu tetangga langsung berkerumun."Beneran Mas, ini buat kami? Habis dapat bonus ya, Mas?""Iya, tapi bagi-bagi sama yang lainnya ya.""Beres Mas, terima kasih banyak ya. Sudah berbagi rez
"Maafkan aku El, aku terpaksa membawamu kesini, agar kamu bisa sembuh.""Tidak, Mas! Tidaaaakk! Aku gak gila, Mas!"Aku bergeming, rasanya tak tega juga melihatnya jadi seperti ini. Maafkan aku, El."Mas, aku gak gila! Bawa aku pulang, aku gak mau di sini, Mas. Aku mau pulang, aku mau pulang, Mas!" teriak Elvina sambil meronta. "Kamu baik-baik di sini ya, El. Aku janji akan selalu menjengukmu," sahutku."Mas, aku mau pulang! Aku mau pulang!" Petugas itu memeganginya dan akhirnya membawa Elvina ke kamar perawatannya. Setelah memastikannya berada di kamar akupun segera ke pusat informasi dan bagian administrasi. Kuembuskan napas kasar saat keluar dari Rumah Sakit ini. Ada rasa sesak di dalam dada. Tapi mau bagaimana lagi, takutnya Elvina bertambah depresi. Kalau di sini akan ada yang merawatnya. Cukup lama berada di dalam mobil. Sudah tepatkah keputusanku ini? Ya, tapi aku harus tega. Aku akan menjenguknya bila ada waktu.Untuk meredam segala kecamuk di dada, kuraih ponsel di saku
"Maaf Pak, uangnya belum terkumpul. Nih ikan-ikannya belum laku terjual," sahutku beralasan. Setidaknya agar mereka mengasihaniku agar dapat tambahan waktu."Kami gak mau tau ya Pak! Cepat bayar sekarang atau mobil anda kami sita!" Mereka menekanku tak ada habisnya."Tidak bisa, Pak! Saya berjanji akan membayarnya tapi tolong berikan kesempatan waktu," ucapku lagi dengan nada memohon."Aturan ditempat kami tidak mentolerir tunggakan pembayaran. Bayar sekarang atau mobil disita!" tegasnya lagi.Aaarrrggh! Benar-benar menjengkelkan sekali! Kupikir dengan melakukan usaha aku akan untung berlipat-lipat. Tapi nyatanya aku justru sial, rugi, apes. Haruskah kualami kebangkrutan lagi? Bangkrut yang kedua kali. Astaga!Kepala terasa pening luar biasa. Dalam keadaan genting seperti ini tak ada yang membantu. Semua menjauh, bahkan lalat sendiri pun enggan mendekat. Aku kembali masuk dalam jurang kehancuran.Setelah melakukan perdebatan yang cukup alot, apalagi mereka mengancam akan memasukkanku
Apa ini karma yang harus kuterima? Lagi pikiranku berkata seperti itu.Aku berjalan lunglai di atas jembatan. Berdiri sebentar untuk meredakan lelah dan penat. Melihat ke bawah, banyak orang tengah memulung sampah. Ya jembatan ini memang dekat dengan tempat pembuangan sampah, hingga baunya terasa tak sedap. Apa yang mereka lakukan? "Aku orang kaya! Aku orang kaya! Uangku banyak! Ada dimana-mana?!" teriak seseorang. Jantungku berdebar tak beraturan. Pasalnya suara itu mirip sekali dengan suara Elvina. Aku menoleh ke kanan dan kiri, tapi tak kutemui sosoknya."Aku orang kaya! Hahaha ..." teriaknya lagi dari arah bawah.Akhirnya, aku mendekat ke arah mereka yang seolah tengah berebut sampah-sampah plastik. Ternyata ini masuk ke area perkampungan kumuh, kenapa selama ini aku tak menyadari kalau ada tempat seperti ini di kota sebesar ini? Berbagai dimensi yang berbeda. Satu sisi orang berpenampilan mewah, di apartemen megah. Tapi di sisi yang lain ada yang bergelut dengan tumpukan sampah
"Jadi sekarang kamu mulai nerima aku nih?"Aku mengangguk samar."Serius, Rin?""Iya, aku menunggumu kembali."Kulihat ekspresinya terkejut mendengar jawabanku. "Hah? Benarkah? Aku gak sedang mimpi kan?"Entah kenapa setelah mengatakan hal itu aku jadi tersenyum sendiri. Jangan-jangan aku memang mulai jatuh cinta pada Fabian?***Keesokan harinya saat membuka pintu kulihat sosoknya tengah berdiri. Lelaki itu tersenyum sangat manis."Lho, kok ada di sini? Bukannya di Jakarta?" Aku menyambutnya dengan pertanyaan konyol."Demi masa depan," jawabnya santai."Eh? Maksudnya?""Kutinggalkan pesta pernikahan sepupu demi calon istriku."Aku tertawa geli mendengarnya. "Kayak judul sinetron aja!" celetukku..Dia tersenyum lebih lebar, memperlihatkan deretan giginya yang putih. Emang benar ternyata dia sedikit arogan tapi bisa bikin hati ini terhibur. Terhibur tingkah konyol dan ucapannya yang kadang garing."Ehem! Aku gak dipersilakan masuk dulu nih?!" "Oh i-iya, silakan duduk, Mm-mas ..." Sedi
"Terus kenapa kamu mencintaiku?" tanyaku lagi. Aneh saja sebenarnya dia yang terkenal playboy justru menyukaiku?"Entahlah, perasaan kan memang tak bisa dipaksakan. Aku jatuh cinta padamu karena karaktermu, entah kapan tepatnya akupun tak tahu. Yang jelas aku benar-benar jatuh cinta. Perasaan ini sungguh berbeda. Jantung yang selalu berdebar, hati yang selalu terbayang wajahmu, sampai-sampai gak bisa tidur karena terus memikirkan kamu," sahut Fabian lagi. Dia menatapku lekat, membuatku makin kikuk saja."Aku tahu itu, tapi kenapa kamu memilihku? Bukankah dari awal kamu tahu tentang aku? Aku bukan siapa-siapa, aku bukan yang terbaik bahkan aku hanya seorang yang pernah gagal dalam rumah tangga.""Aku tak peduli tentang masa lalumu, aku hanya ingin hidup denganmu saat ini dan juga di masa depan. Aku tidak mencari yang terbaik, tetapi aku hanya mencari yang bisa merubah aku menjadi lebih baik lagi. Akupun sama sepertimu, punya banyak kekurangan. Tapi kita bisa saling melengkapi satu sama
Hati yang hancurJantungku berdetak lebih cepat. Kenapa dada rasanya begitu sesak. Melihatnya bersanding dengan orang lain? Sakit, seolah ada ribuan duri yang menancap di hati ini."Maaf Mas, kenapa berdiri saja di situ? Ayo, silakan masuk ..." ajak penerima tamu itu saat tahu aku hanya berdiri di balik pagar. Aku terkesiap dan sadar dari lamunan.Meski ragu kaki ini untuk melangkah, akhirnya aku masuk juga. Aku memandangi mereka yang masih asyik berfoto mesra. Memang Arini dan Fabian tampak serasi sekali. Tapi aku sangat menyayangkan atas sikap Arini yang cepat sekali membuka hati untuk pria lain. Apa semudah itu dia jatuh cinta? Bukankah seperti yang kudengar dari Elvina, kalau Fabian itu suka dengan banyak perempuan? Aku hanya takut Arini kecewa karena dipermainkan oleh Fabian. Memang sih dia sangat kaya, tak seperti aku yang kini jadi gembel tak punya apapun. Bila seperti ini bukankah benar pandangan orang kalau Arini matre!Sesekali aku mencari sosok ibu yang tak kunjung kutemui
"Tolong maafkan kesalahan kami, Bu. Aku sudah sadar sekarang, segala hal yang kualami saat ini karena kesalahan fatalku pada ibu dan juga Arini."Kali ini aku berani mendongak, melihat wajah wanita yang telah melahirkanku. Wajahnya tampak sendu, dengan mata berkaca-kaca."Aku tahu, mungkin sangat berat bagi ibu untuk memaafkan kesalahanku dan Elvina. Tapi, aku hanya ingin meminta maaf yang tulus pada ibu. Aku tidak akan meminta apapun selain itu. Karena aku tak pantas mendapatkannya."Ibu masih mematung. Tak ada sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Aku beranjak, mengambil sesuatu dalam koper. Sebuah map yang berisi sertifikat sawah milik ibu. Untunglah aku tak jadi menggadaikannya. Jadi inilah yang masih tersisa dari sekian banyak harta yang kupunya."Bu, ini kukembalikan lagi surat sawah milik ibu. Aku pamit ya Bu, terima kasih sudah memberiku kesempatan untuk berbicara dengan ibu lagi."Kuraih tangannya yang sedikit gemetar. Lalu kucium punggung tangannya dengan takdzim."Jaga ke