Tujuh tahun pernikahan, dan hanya luka yang ia terima. Di malam ulang tahun pernikahan mereka, Nayla memergoki suaminya—Reyhan—bersama wanita lain. Bukan wanita asing, tapi sahabatnya sendiri. Diceraikan, ditinggalkan tanpa penjelasan, Nayla menghilang... dan kembali tiga tahun kemudian sebagai wanita yang berbeda: lebih kuat, lebih cerdas, dan lebih kejam. "Kau tidak hanya kehilangan aku, Reyhan. Kau akan kehilangan segalanya." Tapi bagaimana jika saat Nayla mulai menjalankan rencananya, cinta lama yang terkubur malah muncul kembali?
View MoreLangit Jakarta malam itu seperti ikut menangis bersamanya. Hujan turun deras, membasahi jalanan dan kaca mobil Nayla yang diparkir diam di depan sebuah restoran mewah. Tangannya gemetar, napasnya sesak. Di genggamannya, ada sebuket bunga mawar putih yang tadi dibelinya dengan hati berdebar.
Malam ini ulang tahun pernikahan mereka yang ketujuh. Tujuh tahun bukan waktu yang sebentar. Nayla sengaja berdandan cantik, mengenakan gaun biru navy kesukaan Reyhan, berharap suaminya akan tersenyum saat melihatnya datang dengan kejutan. Ia tak menyangka, malam itu justru akan menjadi titik balik hidupnya. Melalui kaca mobil, ia menyaksikan sesuatu yang menghancurkan seluruh dunianya. Reyhan. Suaminya. Duduk bersama seorang wanita di meja pojok restoran. Mereka tertawa—tertawa yang tak pernah Nayla lihat lagi sejak dua tahun terakhir. Tapi bukan itu yang membuatnya nyaris pingsan. Melainkan cara Reyhan menggenggam tangan wanita itu… dan mencium punggungnya dengan penuh kelembutan. Wanita itu—Rania. Sahabatnya sejak SMA. Wanita yang ia percaya, yang ia peluk saat hancur, yang ia ajak curhat tentang retaknya rumah tangganya sendiri. Air mata Nayla jatuh tanpa bisa dibendung. Mawar putih di tangannya perlahan jatuh ke lantai mobil. Bunga itu hancur seperti hatinya malam itu. Seketika, dunia menjadi sunyi. Tak ada suara. Tak ada hujan. Hanya satu yang tersisa dalam pikirannya: pengkhianatan. Ia membuka pintu mobil dengan tangan gemetar. Kakinya melangkah perlahan. Ia ingin menampar mereka. Ia ingin berteriak. Tapi ketika ia sampai di depan meja itu, hanya satu kalimat yang keluar dari bibirnya, lirih dan nyaris patah. "Selamat ulang tahun pernikahan, Reyhan… Sayangnya, aku yang salah datang." Reyhan terbelalak. Rania pucat pasi. Nayla tersenyum—senyum pahit yang hanya bisa dimengerti oleh orang yang kehilangan segalanya dalam satu malam. Tanpa menunggu jawaban, ia berbalik. Meninggalkan mereka. Meninggalkan segalanya. Tapi malam itu, saat hujan masih turun deras dan gaunnya basah oleh air mata serta amarah, Nayla bersumpah satu hal dalam hatinya: “Kalian menghancurkanku... Tapi aku akan kembali. Dan saat aku kembali, aku pastikan kalian tahu rasanya diinjak seperti aku malam ini.” * * * Langkah Nayla terpatah-patah ketika keluar dari restoran. Gaunnya berat oleh air hujan, tapi ia tidak peduli. Jalanan tampak kabur oleh air mata, namun ia terus melangkah. Di balik punggungnya, Reyhan memanggil samar—tapi Nayla tak lagi mengenali suara itu. Suara itu... bukan lagi suara suaminya. Itu suara pengkhianat. Ia membuka pintu mobil dengan kasar dan membantingnya begitu masuk. Kedua tangannya memukul-mukul setir, menggigit bibir kuat-kuat agar tidak menjerit. Tapi tangisnya akhirnya pecah, tumpah ruah bersama setiap luka yang selama ini ia tahan. “Kenapa...?” “Kurang apa aku, Reyhan…?” “Apa aku selama ini hanya pelengkap status?” Nayla meremas dadanya sendiri. Sakitnya bukan hanya di hati—tapi seakan menusuk sampai ke tulang. Ia memandang bayangannya sendiri di kaca spion. Matanya bengkak, makeup-nya luntur, rambutnya kusut oleh hujan. Lalu… semuanya mulai terputar dalam pikirannya. Tujuh tahun pernikahan Tujuh tahun penuh kesabaran. Reyhan yang dulu penuh janji—janji sederhana seperti “aku takkan pernah menyakitimu”. Tapi apa yang terjadi? Lima tahun pertama mereka masih tampak baik-baik saja, meski tanpa anak. Lalu sejak dua tahun lalu, Reyhan mulai berubah: pulang larut, lebih sering marah, bahkan tidur terpisah. Nayla mencoba memahami, mencoba bertahan. Ia bahkan menyalahkan dirinya sendiri. Dan sekarang, ternyata alasannya sesederhana itu. Wanita lain. Dan yang paling menyakitkan—wanita itu Rania. Rania yang dulu menyeka air matanya saat Reyhan mulai bersikap dingin. Rania yang selalu tahu jika Nayla bertengkar dengan suaminya. Ternyata, ia bukan sekadar sahabat... tapi juga perusak rumah tangga. "Aku yang bodoh," gumam Nayla sambil menyalakan mesin mobil. Mobil melaju dalam hujan, membawa Nayla ke arah yang belum jelas. Ia tak tahu ke mana akan pergi malam itu. Tapi satu hal ia tahu pasti—ia takkan kembali ke rumah itu. Rumah tempat Reyhan dan Rania mungkin sudah merencanakan segalanya. Di tengah derasnya hujan dan suara wiper mobil yang berdetak monoton, Nayla menghubungi seseorang. “Halo… Ma, aku boleh pulang malam ini?” Suara ibunya terdengar kaget di seberang. “Nak? Kamu kenapa? Kamu baik-baik saja?” Nayla menggigit bibir, menahan tangis yang kembali menggumpal. “Aku cuma... capek, Ma. Aku cuma ingin tidur di tempat yang benar-benar aman malam ini…” Dan untuk pertama kalinya dalam waktu lama, Nayla akhirnya membiarkan dirinya rapuh. Ia tak tahu apa yang akan terjadi besok. Tapi malam ini, dia hanya ingin menangis sampai tertidur. Besok, ia akan mulai kembali berdiri. Besok... balas dendamnya akan dimulai.Ruang rapat siang itu dipenuhi suara laptop yang menyala, gesekan pena, dan desahan napas yang berusaha tetap tenang. Nayla duduk di ujung meja panjang, bersebelahan dengan tim internal yang sudah ia kenal, tapi di seberangnya kini duduk dua orang yang membuat jantungnya berdetak lebih cepat dari yang ia harapkan.Reyhan. Dengan kemeja biru gelap dan tatapan tenang yang dulu pernah membuat Nayla jatuh. Kini, mata itu terasa seperti dinding batu. Kaku. Dingin. Tapi tidak bisa ia abaikan.Dan Rania. Duduk di sisi Reyhan dengan senyum tipisnya yang menyebalkan. Sikapnya masih angkuh, tapi kali ini lebih hati-hati. Seperti wanita yang tahu bahwa sesuatu telah berubah. Bahwa Nayla bukan lagi sekadar masa lalu yang bisa disingkirkan dengan mudah.Lalu ada Arga. Duduk di samping Nayla, dengan sikap profesional yang tak bercela. Tapi sesekali, Nayla menangkap sorot khawatir di matanya—sorot yang hanya bisa dimiliki seseorang yang benar-benar peduli.Diskusi dimulai. Nayla menyampaikan progres
Gedung itu tak berubah. Aroma ruangan yang steril, lantai marmer yang mengilap, dan senyum-senyum palsu dari para karyawan yang berpapasan. Tapi kali ini, ada satu hal yang berbeda—Nayla sudah tak lagi merasa kecil. Langkahnya terhenti saat pintu ruang rapat terbuka. Seseorang melangkah keluar dengan suara hak tinggi berderak pelan. Gaun midi biru laut yang elegan membalut tubuhnya sempurna. Rambut panjang terurai. Wajahnya bersih dan riasannya halus. Namun, matanya—tetap sama: menilai, meremehkan, dan menusuk dalam diam. Rania. Untuk sesaat, dunia terasa membisu. Mereka berdiri hanya beberapa meter, berhadapan, tapi tak satu kata pun keluar. Waktu seolah mengulur napasnya, mempermainkan denyut jantung Nayla yang entah kenapa terasa lebih cepat. Tapi ia berdiri tegak, dagu terangkat sedikit—tanda bahwa ia tak akan jatuh lagi hanya karena wanita ini. Rania tersenyum, sebuah senyum yang begitu manis... tapi pahit bagi yang tahu siapa dia sebenarnya. "Aku dengar kamu akan kerja bar
Langit sore menggantung kelabu di balik jendela kaca gedung tinggi tempat proyek besar itu dijalankan. Ruang rapat kini sudah kosong, hanya tersisa satu sosok wanita yang masih duduk diam menatap layar laptopnya—Nayla. Tangannya bergerak pelan, memencet huruf demi huruf di keyboard, namun pikirannya justru melayang ke wajah seseorang yang tadi duduk tak jauh darinya. Wajah yang dulu ia kenal sangat dekat. Wajah yang dulu bisa membuatnya tersenyum dalam hening, dan kini hanya menghadirkan gelombang sunyi yang membakar dari dalam. “Reyhan…” Ia menyebut nama itu dalam hati, bukan dengan rindu, tapi dengan rasa yang jauh lebih dingin. Seperti menyebut nama seseorang yang pernah tinggal dalam hidupnya, lalu diusir tanpa ampun. Dia menarik napas panjang, mencoba menenangkan degup jantung yang entah kenapa selalu berdetak lebih kencang setiap kali pria itu hadir dalam ruang yang sama. Bukan karena cinta yang masih tertinggal. Tidak. Ini bukan cinta. Ini luka yang belum sepenuhnya sem
Nayla memandangi layar laptopnya yang menyala di tengah malam. Beberapa data proyek terpampang di sana, namun fokusnya tidak benar-benar di situ. Tangannya tetap mengetik, tetapi pikirannya melayang entah ke mana.Sudah beberapa hari sejak ia kembali bertatap muka dengan Reyhan. Pria yang pernah menjadi segalanya dan sekaligus menghancurkan semuanya.Tapi kali ini… Nayla tidak merasakan getar itu lagi.Atau… dia hanya tak mengizinkan dirinya merasakannya.Ia bersandar di kursinya, menghela napas panjang.Satu hal yang tidak banyak orang tahu tentang Nayla: ia tidak mudah membenci. Bahkan orang yang menyakitinya sekalipun.Tapi bukan berarti ia ingin kembali.“Dendamku bukan tentang balas sakit,” bisiknya pada diri sendiri.“Tapi tentang menunjukkan… bahwa aku bisa hidup tanpamu, Rey.”Nayla bangkit dari kursinya, berjalan menuju jendela apartemennya. Hujan rintik-rintik mulai turun, menyapu kaca dengan lembut. Seperti malam itu malam ketika Reyhan meninggalkannya.“Kamu terlalu tenang
Rania menatap pantulan wajahnya di cermin. Wajah yang biasanya penuh keangkuhan dan percaya diri kini tampak cemas. Ia merapikan riasan tipis di wajahnya, namun tak bisa menyembunyikan sorot mata yang terus mengamati setiap perubahan dalam diri Reyhan akhir-akhir ini. Dua hari terakhir, pria itu… berbeda, sangat berbeada. Lebih diam, lebih banyak termenung, dan yang paling terasa yaita terasa jauh walauapun sosoknya di depan mata. Reyhan biasanya selalu mengirim pesan setiap pagi, entah hanya sekadar “hati-hati di jalan” atau “sarapan dulu.” Tapi dua hari ini? Hening. Bahkan saat mereka bertemu, Reyhan lebih sering menatap kosong ke layar ponsel, seolah pikirannya tak sepenuhnya ada di hadapannya, ia sudah seperti seseorang yang sulit di gapai. Dan yang membuat Rania benar-benar merasa tidak nyaman adalah… tatapan Reyhan. Bukan benci, bukan marah. Tapi…entahlah ini seperti suatu kesalahan. “Apa ada sesuatu yang terjadi di kantor?” pikir Rania mulai menebak-nebak Ia mencob
Langit perlahan mulai gelap saat Reyhan memandangi jendela kantornya. Dari lantai paling atas gedung Reyhan Group, lampu-lampu kota terlihat seperti bintang yang jatuh dan yang tebarang ke bumi... terlihat cantik, tapi tak pernah benar-benar bisa disentuh. Seperti Nayla. Ya, Nayla yang sekarang.Nama itu terus bergema di kepalanya. Suara, wajah, dan sorot mata yang menatapnya pagi tadi…sangat terekam jelas dipikirannya dan tak bisa ia hilangkan. Sorot itu menusuk jauh ke tempat yang sulit dan bahkan tak pernah bisa jangkau.Nayla.Wanita yang pernah ia cintai atau… masih ia cintai? Reyhan sendiri mulai bingung dengan perasaannya sekarang. Kenapa harus sekarang?Ia duduk di kursi kerja yang entah kenapa malam ini terasa terlalu dingin padahal tidak ada celah untuk angin malam masuk. Di atas meja, proposal yang tadi diserahkan Nayla terbuka begitu saja. Data-data tersusun rapi, presentasi tajam, logika keuangan yang presisi. Tidak ada celah untuk mengatakan dia wanita lemah.“Dia beruba
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments