LOGINDania Isabella Hartono rela menukar kehidupan mewah dan penuh kebahagiaan demi menikah dengan seorang pria sederhana bernama Reno. Keputusan itu ditentang keras oleh kedua kakak lelakinya, namun Dania tetap teguh mempertahankan cintanya. Sayang, setelah pernikahan berlangsung, kedua kakaknya menindak tegas dengan mencoret nama Dania dari daftar ahli waris keluarga. Sejak saat itu, sikap Reno berubah drastis. Ia menjadi kejam, sering menyiksa Dania, mengabaikannya, bahkan membiarkannya kelaparan setiap hari. Mampukah Dania bertahan menghadapi penderitaan yang menjeratnya?
View MoreTamparan keras itu mendarat di pipi kanan Dania, membuat kepala wanita itu terhuyung ke samping. Bunyi tepukannya terdengar jelas di ruangan sempit itu, menyisakan panas yang menjalar di kulit pipinya.
Sakitnya seperti terbakar, tapi yang jauh lebih perih adalah rasa sesak di hati. Air mata langsung menggenang di sudut matanya, namun ia tak sanggup mengucapkan sepatah kata pun untuk membela diri. Tangannya refleks menekan perutnya yang membuncit, seolah ingin melindungi janin yang tengah ia kandung. Nafasnya berat, bibirnya bergetar. “Dasar wanita tak tahu diuntung! Bersyukur aku masih mau menampungmu di sini,” bentak Reno dengan mata menyala, nafasnya terengah akibat emosi yang memuncak. Dania hanya menunduk. Lidahnya kelu, tenggorokannya terasa kering. Semua yang dia lakukan tadi hanyalah meminta buah-buahan saja, keinginan sederhana yang muncul karena rasa ngidamnya. Tetapi di rumah ini, bahkan permintaan sekecil itu bisa menjadi alasan baginya untuk menerima kekerasan. “Aku cuma mau buah, Ren. Selama hamil … kamu tak pernah memenuhi ngidamku sekalipun,” ucapnya lirih. Suaranya nyaris tak terdengar, seakan takut bahwa nada yang sedikit lebih tinggi akan memancing amarah yang lebih besar. Ia mencoba bangkit, menopang tubuhnya dengan kedua tangan yang sedikit gemetar. Reno mendengus kasar. “Minta saja sana ke kakakmu! Mereka kan yang menjerumuskan kita ke jurang kemiskinan ini!” Dania terperangah. “Kenapa kamu jadi berubah seperti ini? Bukannya dulu kamu sangat mencintaiku?” Pertanyaan itu membuat Reno terdiam. Tatapannya beralih dari wajah istrinya ke dinding, seolah menghindar dari kontak mata. Rahangnya mengeras, namun ia tak mengucapkan sepatah kata pun. Hanya hening yang menggantung di antara mereka, sampai akhirnya Reno memilih berbalik, melangkah pergi sambil membanting pintu kamar dengan keras. Keheningan yang tersisa terasa mencekik. Dania menatap pintu yang baru saja tertutup itu dengan mata berkaca-kaca. Nafasnya berat, pikirannya melayang pada masa-masa awal mereka bertemu. Kehidupan Dania Isabella Hartono pernah dipenuhi kemewahan. Sebagai bungsu dari keluarga Hartono, keluarga konglomerat yang menguasai banyak bisnis, ia tak pernah tahu rasanya kekurangan. Semua kebutuhannya terpenuhi, semua keinginannya dipenuhi, hingga satu hari takdir mempertemukannya dengan seorang pria sederhana yang mengubah segalanya. Hari itu hujan deras mengguyur pusat kota. Mobil yang ia kendarai mogok di tengah jalan, dan semua orang hanya berlalu begitu saja. Reno, pria yang kala itu sedang mengamen di pinggir jalan, tiba-tiba datang menolong tanpa diminta. Meski pakaiannya basah kuyup, ia tetap berusaha memperbaiki mobilnya. Dari situlah kedekatan mereka berawal. Reno tampak tulus, hangat, dan penuh perhatian. Semua hal yang membuat hati Dania luluh. Namun, dunia yang penuh warna itu mulai memudar setelah pernikahan. Reno mengetahui bahwa Dania telah dicoret dari daftar ahli waris karena memilih menikah dengannya. Keputusan keras keluarganya itu membuat Dania benar-benar terlepas dari harta dan pengaruh keluarga Hartono. Tidak ada uang, tidak ada rumah, tidak ada kemewahan, hanya Reno yang kini menjadi sandarannya. Awalnya, Dania berpikir mereka bisa memulai hidup sederhana dengan cinta. Tetapi kenyataan jauh lebih kejam. Reno berubah. Ia tak pernah mengembangkan senyumannya lagi, kata-katanya menjadi tajam, dan tangan yang dulu selalu menggenggam penuh kehangatan kini kerap melayang keras pada dirinya. Ironisnya, ketika Dania berjuang menyesuaikan diri dengan kehidupan yang jauh dari kata layak, Reno justru mendapatkan pekerjaan di sebuah perusahaan besar, pekerjaan yang ia peroleh berkat koneksi terakhir Dania sebelum semua pintu tertutup untuknya. Bukannya membuat keadaan lebih baik, Reno justru semakin merendahkan istrinya. Siang itu, setelah Reno meninggalkan rumah, Dania duduk di tepi ranjang dengan mata kosong. Suara hujan rintik di luar jendela membuat suasana semakin muram. Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar di luar pintu. Tok! Tok! Tok! Dania mengerjap. Perlahan ia berdiri dan membuka pintu. Seorang pria yang belum pernah ia lihat sebelumnya berdiri di depan, membawa dua kantong besar di tangannya. Salah satunya berisi buah-buahan segar yang masih mengembun, dan satunya lagi berisi makanan hangat yang aromanya langsung memenuhi udara. “Mbak Dania, ya?” tanya pria itu sopan. Dania mengangguk ragu. “Iya, saya.” “Paket makanan buat Mbak.” Ia menyerahkan kedua kantong itu dengan hati-hati. Dania menerima keduanya, masih bingung. “Dari siapa, Mas?” Pria itu mengangkat bahu. “Kurang tahu, Mbak.” Kening Dania berkerut. “Loh, gimana sih, Mas. Pengirimnya lelaki, bukan?” Pria itu mengangguk cepat, lalu tersenyum canggung. “Iya, Mbak. Tinggi, tampan, dan … bau uang.” Ucapannya terhenti, seolah sadar ia telah berbicara terlalu jauh, dan refleks menutup mulutnya sendiri. Senyum tipis muncul di wajah Dania. “Terima kasih, Mas.” Pintu tertutup kembali, meninggalkan Dania yang kini menatap kedua kantong di tangannya. Aroma buah itu begitu menggoda, dan rasanya seperti mimpi bisa mendapatkan apa yang diidamkan. Dalam hati, ia berpikir hanya ada dua kemungkinan, Axel atau Davin, dua kakak lelakinya yang mungkin diam-diam mengawasinya meski hubungan mereka renggang. Namun, dugaannya meleset. Bukan Axel, bukan Davin. Pengirim itu adalah seseorang yang tak pernah ia bayangkan, seseorang yang tanpa sadar akan membuka lembar baru dalam hidup Dania. Dania duduk di lantai ruang tengah, membuka kantong buah itu satu per satu. Tangannya sedikit bergetar, bukan hanya karena lapar atau ngidam, tapi karena rasa penasaran yang menggerogoti pikirannya. Siapa yang peduli padanya disaat semua orang menjauh? Ia memotong sepotong mangga, menggigitnya perlahan. Rasa manis asam itu meledak di lidahnya, dan air mata kembali mengalir, bukan hanya karena rasa syukur, tapi juga karena teringat betapa sederhananya kebahagiaan yang kini ia rasakan. Namun, rasa itu tak bertahan lama. Pintu rumah kembali terbuka, kali ini tanpa ketukan. Reno berdiri di ambang pintu, wajahnya keras, matanya langsung menatap kantong buah di meja. “Apa itu?” suaranya datar, namun penuh kecurigaan. Dania menelan ludah. “Ada orang yang mengirim ini untukku.” Reno berjalan masuk, langkahnya berat. “Siapa?” “Aku … nggak tahu. Kurirnya juga nggak bilang jelas.” Reno mendekat, meraih kantong buah itu, dan memeriksanya seperti sedang mencari sesuatu yang tersembunyi. “Lelaki?” tanyanya tajam. Dania terdiam, tak ingin memancing masalah lagi. Reno menatapnya lama, lalu meletakkan kantong itu dengan kasar di meja. “Mulai sekarang, kalau ada orang asing kirim sesuatu, jangan diterima.” Dania hanya mengangguk pelan, menyembunyikan perasaan tertekan yang semakin menghimpit dadanya. Reno lalu melangkah masuk ke dalam kamarnya, ia mengganti pakaian kerjanya dengan pakaian lain. Terlihat rapi, wangi, sesekali ia tersenyum menatap pemandangan dirinya di depan cermin. Dania menyadari hal itu, ia beranjak dari kursi, lalu mendekati suaminya yang sudah bersiap lagi entah akan pergi kemana. “Mau ke mana lagi?” tanya Dania. Reno menghela nafas panjang, bola matanya berputar malas. “Ada makan malam sama klien penting malam ini. Mungkin akan pulang larut. Kamu tak perlu menunggu.” “Aku boleh ikut?” lanjut Dania bertanya, membuat amarah Reno nyaris meledak kembali. “Dengan keadaanmu yang seperti ini? Aku hanya akan menahan malu. Diam saja di rumah!” tegasnya. Reno tidak mengatakan apa-apa lagi setelah kata-kata tajamnya tadi. Ia hanya mengambil kunci mobil di meja dan melangkah menuju pintu. “Jangan ke mana-mana malam ini. Kamu sedang hamil, aku nggak mau kamu kenapa-kenapa dan malah bikin aku repot,” ucapnya singkat sebelum pintu tertutup di belakangnya. Dania berdiri mematung di ruang tengah. Kata-kata itu terdengar seperti perhatian, tetapi nada suaranya penuh sindiran. Ia menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri, namun rasa penasaran mulai menguasai pikirannya. Reno terlalu rapi malam ini, terlalu wangi, dan terlalu santai untuk sekadar makan malam dengan klien. Senja mulai merayap di langit, meninggalkan semburat jingga di balik jendela. Hatinya berdebat keras, haruskah ia tetap di rumah seperti yang diminta Reno, atau mengikuti nalurinya yang mengatakan ada sesuatu yang tidak beres? Pada akhirnya, rasa penasaran menang. Dania mengambil tas kecilnya, mengenakan cardigan tipis, lalu keluar dengan langkah perlahan, memastikan tidak ada tetangga yang memperhatikan. Reno sudah jauh dengan mobil kantor berwarna hitam mengkilap. Dania tidak memiliki kendaraan lagi sejak mobilnya dijual untuk menutup kebutuhan rumah tangga. Maka ia memutuskan naik kendaraan umum, matanya tak lepas dari pantulan lampu belakang mobil Reno di kejauhan. Setiap kali mobil itu berhenti di lampu merah, ia bergegas memastikan jarak mereka tidak terlalu jauh. Perjalanan terasa panjang, bukan hanya karena lalu lintas sore yang padat, tetapi karena dadanya yang berdegup kencang. Dalam benaknya, berbagai kemungkinan berkecamuk, mungkin Reno benar-benar bertemu klien, atau sesuatu yang jauh lebih buruk. Akhirnya, mobil Reno berbelok ke sebuah kawasan elit di pusat kota. Dania turun dari kendaraan umum beberapa meter sebelum tujuan Reno, memilih berjalan kaki agar tak mencolok. Langkah Dania terhenti di depan bangunan itu. Ia melihat Reno keluar dari mobil, wajahnya memancarkan senyum yang jarang ia lihat belakangan ini. Dari arah pintu restoran, seorang wanita melangkah keluar. Gaun hitamnya jatuh anggun hingga mata kaki, rambutnya terurai sempurna, dan di tangannya tergantung sebuah tas bermerk yang harganya cukup untuk membayar kontrakan Dania setahun. Namun yang membuat napas Dania tercekat bukanlah kemewahan itu, melainkan wajah wanita tersebut, ia mengenalnya. Wajah itu, Dania sempat mengenal wanita itu sebagai anak dari musuh bisnis keluarganya. Dania bersembunyi di balik pilar dekat parkiran, matanya tak lepas dari pemandangan itu. Reno meraih tangan wanita itu dengan santai, lalu menuntunnya masuk ke dalam restoran. Dadanya terasa sesak, bukan hanya karena rasa cemburu, tetapi juga karena sebuah firasat buruk mulai menggerogoti pikirannya, firasat bahwa semua yang ia curigai tentang Reno mungkin benar adanya.Julian berdiri di balik kegelapan lorong, memegang ponselnya yang baru saja selesai merekam. Wajahnya tak setenang yang Maria lihat tadi. Ada senyum kecil yang menyeringai tipis.“Permainanmu semakin menarik, Maria,” gumamnya.Ia menutup file rekaman dan bergerak cepat kembali ke kamar mereka. Namun ketika ia melangkah, lantai kayu berdecit pelan. Maria mendongak tajam. Ia khawatir jika ada seseorang yang berani bermain api dengannya di rumah itu.“Siapa di sana?” serunya.Lorong sunyi. Hanya suara hujan yang terdengar. Maria keluar dari kamar kecil itu, tatapannya menyisir seluruh lantai dua seperti mata predator yang mencari mangsa. Tak ada siapa pun. Hanya ketenangan palsu yang menutupi kecurigaan dalam dadanya.“Aneh …” gumamnya.Ia kembali ke kamar utama. Ketika pintu dibuka, Julian sudah terbaring dengan mata terpejam, napasnya teratur seperti orang yang benar-benar tertidur.Maria menatapnya lama. Semua terlihat aneh, tapi ia tak menemukan alasan kuat untuk mencurigainya. Ia me
Langit malam di atas rumah besar itu tampak gelap pekat, tapi suasana di ruang kerja lantai dua justru hangat oleh cahaya lampu yang kuning redup. Samudra yang semula menunduk pada tumpukan dokumen langsung menegakkan tubuh ketika pintu terbuka perlahan.Viska masuk dengan anggun, membawa bau parfum lembut yang langsung memenuhi ruangan. Wanita itu menatap putranya dengan senyum hangat yang tak pernah gagal membuat Samudra merasa dihargai.“Bagaimana hari ini? Dania sehat?” tanya Viska sambil melepas mantel panjangnya. “Mama sudah lama tak mengunjunginya.”Pertanyaan itu saja sudah cukup membuat senyum tipis Samudra muncul tanpa ia sadari. Ingatannya masih segar, tatapan Dania, pipinya yang memerah, dan momen ketika kotak cincin itu ia letakkan di meja kerja Dania, tanpa kata-kata resmi namun penuh makna.“Dania menerima kotak cincin itu, Mah,” jawab Samudra pelan namun tak bisa menyembunyikan kebahagiaannya. “Aku nggak memaksa dia untuk jawab sekarang. Melihat dia menerima itu saja …
Maria menatapnya tajam. “Kau tak seharusnya ikut campur urusanku dan keluarga Hartono. Kau bisa kulenyapkan dengan mudah kalau aku mau.”Alih-alih mundur, Reno justru mendekat lebih jauh hingga jarak mereka hanya satu langkah. Ia menunduk sedikit, suaranya nyaris berbisik di telinga Maria. “Silakan, Maria. Tapi sebelum kau melakukannya, ingat sesuatu … aku memegang semua yang bisa menjatuhkanmu.”Maria terdiam, pupil matanya menyempit. “Apa maksudmu?”Reno tersenyum licin. “Kau pikir aku bodoh? Tak perlu bawa dunia bisnis dalam persaingan kita. Kehidupan pribadimu ... aku tahu sesuatu tentang itu. Dan kalau aku kau, aku bisa adukan pada ayahmu tentang dukungan penuhmu pada perusahaan seseorang bernama ... Julian."Maria menelan ludah, mencoba menahan gemetar. “Omong kosong! Kau tidak punya bukti!”Reno mendekat lagi, kali ini menatapnya langsung. “Aku punya. Bukti tak seharusnya kau lihat sekarang, yang pasti ... aku bisa lumpuhkan kehidupan pribadimu secara perlahan. Jadi jangan cob
Samudra mengelus kening Dania setelah mengecupnya cukup lama. Sentuhannya lembut, tapi cukup untuk meninggalkan sesuatu yang berdenyut pelan di dada wanita itu. “Tidur nyenyak malam ini, Nona,” ucapnya lembut, seolah menutup malam itu dengan kehangatan yang tak bisa digambarkan dengan kata-kata.Dania tersenyum kecil, matanya menatap Samudra seperti enggan melepas. “Terima kasih,” ucapnya pelan, hampir seperti bisikan. Samudra hanya mengangguk, menatapnya sesaat lebih lama sebelum benar-benar berbalik menuju pintu. Ia tahu, masih banyak hal belum terucap di antara mereka, terutama tentang hubungan yang perlahan tumbuh tanpa pernah mereka rencanakan.Begitu pintu tertutup, Dania masih berdiri di tempat. Hujan di luar masih belum berhenti, menetes pelan di kaca jendela. Tangannya menggenggam kotak cincin itu erat-erat, seolah benda kecil itu punya arti besar yang tak bisa ia ungkapkan pada siapa pun.“Dia benar-benar tulus .…” gumamnya pelan, lalu tersenyum sendiri sebelum akhirnya be
Hening menyelimuti keduanya. Suara detik jam di dinding terdengar pelan, bersaing dengan deru angin malam yang berhembus melalui celah balkon. Lampu kota dari kejauhan menyorot lembut ke wajah Dania, membuat garis rahangnya tampak tegas namun anggun. Ia berdiri dengan kedua tangan masih menggenggam kotak cincin kecil itu, seolah tak ingin melepasnya. Sementara Samudra, hanya mampu menatap. Pandangan matanya dalam, menelusuri setiap detail wajah wanita yang selama ini hanya bisa ia kagumi diam-diam.Ia tersenyum samar. “Kau tahu,” ucap Samudra pelan, “di antara semua hal gila yang terjadi di dunia bisnis, aku baru sadar… hal paling berbahaya adalah ketika aku mulai memperhatikanmu terlalu dalam.”Dania menoleh, keningnya berkerut, tapi senyum kecil muncul tanpa bisa ia tahan. “Berbahaya karena aku bisa menghancurkan kariermu?” tanyanya setengah bercanda, namun nada suaranya terasa getir.Samudra menggeleng. “Berbahaya karena aku bisa kehilangan fokus. Dan kehilanganmu akan lebih menya
Samudra tersenyum tipis. “Lebih tepatnya … pengemis. Tapi bukan minta uang, hanya minta perhatian kecil dariku.”Axel tertawa pendek. “Kalau urusannya Reno, jangan ajak aku. Aku gak mau energi buruknya nular ke aku.”Samudra menepuk bahunya sekilas dan terus berjalan tanpa menoleh lagi.Di halaman depan, Reno sudah menunggu. Ia bersandar di mobilnya, r*kok lain di tangan, wajahnya tampak lelah namun penuh dendam. Begitu melihat Samudra mendekat, ia menyeringai sinis.“Apalagi?” tanya Samudra datar.Reno mengangkat wajahnya dengan senyum miring. “Jangan songong dulu. Aku datang karena punya informasi penting.” Ia menatap sekeliling seolah memastikan Dania tak ada. “Mana Dania?”“Dia tak perlu turun tangan. Katakan saja apa informasinya,” jawab Samudra.Reno menegakkan badan, menatap Samudra tajam. “Informasi penting ini … bisa mengubah posisi saya. Bisa mengembalikan jabatan saya di perusahaanmu. Tapi kalau kamu gak kasih apa-apa ...”Samudra memotong cepat, suaranya tegas. “Kalau tida


















Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments