LOGINDania Isabella Hartono rela menukar kehidupan mewah dan penuh kebahagiaan demi menikah dengan seorang pria sederhana bernama Reno. Keputusan itu ditentang keras oleh kedua kakak lelakinya, namun Dania tetap teguh mempertahankan cintanya. Sayang, setelah pernikahan berlangsung, kedua kakaknya menindak tegas dengan mencoret nama Dania dari daftar ahli waris keluarga. Sejak saat itu, sikap Reno berubah drastis. Ia menjadi kejam, sering menyiksa Dania, mengabaikannya, bahkan membiarkannya kelaparan setiap hari. Mampukah Dania bertahan menghadapi penderitaan yang menjeratnya?
View MoreI have always known that I was hated. I have always known that I was unloved. Unwanted.
But this— This was something else entirely. I stood there, hands clenched at my side as my father, mother, and sister looked at me like I was trash. Like I was nothing. Like they weren't talking about my life like it meant nothing. “You should be grateful to us." My father's voice said, bringing me out of my thoughts. Grateful? I couldn't help but scoff as my eyes met his. “Why? Why do you hate me so much?" I whispered, my chest squeezing in pain. “Oh please, stop with the drama, take a look at yourself, would you love you if you were you?" My sister Rosella asked and my mother chuckled like it was funny. “You're sending me to die and you're laughing about it?" I asked, my chest boiling in anger. "We're giving you redemption from your pathetic life, you've done nothing but disgrace us as a family. We're only doing what's best for our family.” My mother finally said, looking at me with disdain. She didn't need to say it directly but I knew I wasn't part of that family. “What about me? What's best for me?" I asked and my father took a threatening step towards me. “You ungrateful child, you should be happy we kept you alive, what gives you the right to think you can question us?!" My father boomed in anger and that made something in me snap. “I am your daughter! I am your daughter, and you've done nothing but hate me for twenty two years, what have I ever done to you?!" I yelled in anger and I didn't see it coming when his hand landed on my face with a hard slap. “How dare you?! How dare you raise your voice at me?!” My eyes burned, my mouth wobbled but I refused to let the tears fall. I wasn't going to give them that satisfaction. “Have you looked at yourself in the mirror? Do you know how disgusting and ugly you look?” He sneered and all I did was stand there and take his insult. "And you had to fucking come through my bloodline, do you know how embarrassing that is?! And as if that wasn't enough humiliation, you don't have a fucking wolf!” My heart squeezed. My eyes burned harder but I'd rather die than let the tears fall. "Father, father,” my sister said in her overly sweet voice she used in fooling everyone. "Don't let her upset you, she's not worth it," she said as she held his hand and he sighed looking at her like the moon and stars revolved around her. A look he'd never give me. Ever. “If only you were like your sister. Rosella is making us proud. She's not only beautiful, she's strong and talented, unlike you.” My father said as he turned from Rosella, the look of pride he earlier had for her vanishing to disgust immediately his eyes landed on me. "You will be sent to the King's palace with the other omegas and there's nothing you're going to do about it.” “You know what Emilia, you should be happy. You get to die in the King's bed. That's if he doesn't kill you on the spot because there's no way the Alpha king would want to touch a pathetic loser like you.” “You all are going to regret this." I said as I clenched my hands tightly, drawing blood. “What are you going to do? Crawl from the grave and haunt us?” Rosella asked and they all burst out laughing. To think that this was my family. They never really loved me. My father said I was a disgrace to his family. I didn't have a wolf and I wasn't as pretty as Rosella. So as punishment, he made me an omega. Imagine the daughter of an alpha being demoted to an omega. I became invisible. Treated like trash in my own pack. Called all manner of names. ‘Fat.’ ‘Ugly pig.’ ‘Pathetic loser.’ At some point I began to believe them. “I won't die." I suddenly said out of nowhere and they stopped laughing and all turned to me. “I will survive." I said with determination but my sister snickered. “Oh please, haven't you heard? No woman leaves his bed alive.” And yet they were offering me to him. "But I will survive.” I said again, determination wrapping around my chest like a chain. "You're delulu,” my sister said with a shake of her head. “You all will regret what you've done to me. I'll make you pay. I promise." "Stop with the drama and go pack whatever garbage you have, you're leaving tonight with the others.” My mother said, like it was the most natural thing to say. Rosella smirked as she looked me dead in the eye. “You'll die Emilia, you'll die."Julian berdiri di balik kegelapan lorong, memegang ponselnya yang baru saja selesai merekam. Wajahnya tak setenang yang Maria lihat tadi. Ada senyum kecil yang menyeringai tipis.“Permainanmu semakin menarik, Maria,” gumamnya.Ia menutup file rekaman dan bergerak cepat kembali ke kamar mereka. Namun ketika ia melangkah, lantai kayu berdecit pelan. Maria mendongak tajam. Ia khawatir jika ada seseorang yang berani bermain api dengannya di rumah itu.“Siapa di sana?” serunya.Lorong sunyi. Hanya suara hujan yang terdengar. Maria keluar dari kamar kecil itu, tatapannya menyisir seluruh lantai dua seperti mata predator yang mencari mangsa. Tak ada siapa pun. Hanya ketenangan palsu yang menutupi kecurigaan dalam dadanya.“Aneh …” gumamnya.Ia kembali ke kamar utama. Ketika pintu dibuka, Julian sudah terbaring dengan mata terpejam, napasnya teratur seperti orang yang benar-benar tertidur.Maria menatapnya lama. Semua terlihat aneh, tapi ia tak menemukan alasan kuat untuk mencurigainya. Ia me
Langit malam di atas rumah besar itu tampak gelap pekat, tapi suasana di ruang kerja lantai dua justru hangat oleh cahaya lampu yang kuning redup. Samudra yang semula menunduk pada tumpukan dokumen langsung menegakkan tubuh ketika pintu terbuka perlahan.Viska masuk dengan anggun, membawa bau parfum lembut yang langsung memenuhi ruangan. Wanita itu menatap putranya dengan senyum hangat yang tak pernah gagal membuat Samudra merasa dihargai.“Bagaimana hari ini? Dania sehat?” tanya Viska sambil melepas mantel panjangnya. “Mama sudah lama tak mengunjunginya.”Pertanyaan itu saja sudah cukup membuat senyum tipis Samudra muncul tanpa ia sadari. Ingatannya masih segar, tatapan Dania, pipinya yang memerah, dan momen ketika kotak cincin itu ia letakkan di meja kerja Dania, tanpa kata-kata resmi namun penuh makna.“Dania menerima kotak cincin itu, Mah,” jawab Samudra pelan namun tak bisa menyembunyikan kebahagiaannya. “Aku nggak memaksa dia untuk jawab sekarang. Melihat dia menerima itu saja …
Maria menatapnya tajam. “Kau tak seharusnya ikut campur urusanku dan keluarga Hartono. Kau bisa kulenyapkan dengan mudah kalau aku mau.”Alih-alih mundur, Reno justru mendekat lebih jauh hingga jarak mereka hanya satu langkah. Ia menunduk sedikit, suaranya nyaris berbisik di telinga Maria. “Silakan, Maria. Tapi sebelum kau melakukannya, ingat sesuatu … aku memegang semua yang bisa menjatuhkanmu.”Maria terdiam, pupil matanya menyempit. “Apa maksudmu?”Reno tersenyum licin. “Kau pikir aku bodoh? Tak perlu bawa dunia bisnis dalam persaingan kita. Kehidupan pribadimu ... aku tahu sesuatu tentang itu. Dan kalau aku kau, aku bisa adukan pada ayahmu tentang dukungan penuhmu pada perusahaan seseorang bernama ... Julian."Maria menelan ludah, mencoba menahan gemetar. “Omong kosong! Kau tidak punya bukti!”Reno mendekat lagi, kali ini menatapnya langsung. “Aku punya. Bukti tak seharusnya kau lihat sekarang, yang pasti ... aku bisa lumpuhkan kehidupan pribadimu secara perlahan. Jadi jangan cob
Samudra mengelus kening Dania setelah mengecupnya cukup lama. Sentuhannya lembut, tapi cukup untuk meninggalkan sesuatu yang berdenyut pelan di dada wanita itu. “Tidur nyenyak malam ini, Nona,” ucapnya lembut, seolah menutup malam itu dengan kehangatan yang tak bisa digambarkan dengan kata-kata.Dania tersenyum kecil, matanya menatap Samudra seperti enggan melepas. “Terima kasih,” ucapnya pelan, hampir seperti bisikan. Samudra hanya mengangguk, menatapnya sesaat lebih lama sebelum benar-benar berbalik menuju pintu. Ia tahu, masih banyak hal belum terucap di antara mereka, terutama tentang hubungan yang perlahan tumbuh tanpa pernah mereka rencanakan.Begitu pintu tertutup, Dania masih berdiri di tempat. Hujan di luar masih belum berhenti, menetes pelan di kaca jendela. Tangannya menggenggam kotak cincin itu erat-erat, seolah benda kecil itu punya arti besar yang tak bisa ia ungkapkan pada siapa pun.“Dia benar-benar tulus .…” gumamnya pelan, lalu tersenyum sendiri sebelum akhirnya be












Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
reviewsMore