Keesokan harinya.
Gemintang mengernyit kala menyadari sesuatu yang silau mengganggu tidurnya. Kesadarannya belum terkumpul penuh, tetapi ia tahu jika itu adalah sinar matahari yang menembus celah jendela kamarnya.
Wanita itu lantas menggerakkan tangannya merasa sisi ranjang yang lain, tetapi tak menemukan seseorang di sana.
“Matahari sudah menjulang tinggi dan kamar ini sudah kosong. Itu artinya, Janu sudah berangkat ke kantor,” gumamnya kemudian.
Menyadari sesuatu, Gemintang segera melompat dari kasur. Wanita itu gegas mencari keberadaan Maura di kamar sebelah. Bagaimana bisa dia bangun kesiangan seperti ini?
“Maura?” panggilnya, tetapi tidak ada jawaban, bocah itu sudah tidak ada.
Gemintang lalu kembali ke kamar dan memeriksa ponselnya. Ia baru menyadari jika ini sudah pukul delapan lebih. Ada pesan suara yang dikirimkan suaminya.
[“Ibu, aku sudah berangkat sekolah diantar Ayah. Jangan lupa jemput Maura ya.] Suara Maura terdengar ceria di sana. Lalu, ada sebuah pesan text yang dikirimkan oleh suaminya sendiri.
[Kalau sudah bangun, cek dapur.]
Bagai kerbau dicongok hidungnya, wanita berkulit kuning langsat itu beranjak ke dapur. Gemintang menemukan sepiring nasi goreng salmon yang masih hangat tersaji di meja makan. Juga sebuah notes pada kertas kecil: jangan lupa sarapan.
Di saat yang sama, sebuah panggilan masuk di ponsel yang sedang digenggamnya. Dari Janu, sang suami. Ia lalu segera menggeser tombol hijau untuk menjawabnya.
[“Hei, sudah bangun?”] tanyanya dari seberang sana.
“Maaf, aku kesiangan. Lagian, kenapa kamu tidak bangunkan aku?”
Lelaki itu memberikan respon kekehan. [“Kamu tidur nyenyak sekali, jadi tidak aku bangunkan, tapi kamu tenang saja, Maura sudah aku urus. Rumah juga sudah aku bersihkan.”]
“Iya. Terima kasih ya, Mas. Aku jemput dia nanti. Omong-omong, kamu yang masak nasi goreng ini?” tanya Gemintang sembari mengamati potongan daging salmon yang sangat presisi di piringnya.
[“Menurutmu? Apa aku ada waktu untuk memikirkan jenis bumbu yang harus aku pakai untuk membuat nasi goreng itu, hm?”] Janu tertawa lagi, sebelum melanjutkan kalimatnya. [“Aku beli di ahli gizi. Aku harap kamu suka rasanya, mereka bilang, nasi goreng salmon bisa mempercepat proses kehamilan. Jangan lupa dihabiskan, ya!”]
Mendengar itu senyum Gemintang memudar, ternyata ada maksud lain dibalik perlakuan manis Janu..
“Iya.” Gemintang menjawab pelan.
[“Ya sudah, kalau begitu, aku kembali kerja dulu. Sore ini aku sudah daftarkan kita periksa ke dokter. Setelah makan siang aku akan pulang dan menjemputmu ke sana. Jadi, kamu siap-siap ya.”]
“Baiklah. Aku akan bereskan pekerjaanku sebelum makan siang.”
Usai bertukar salam perpisahan, panggilan itu berakhir. Gemintang hendak menaruh ponselnya tetapi satu pesan masuk dalam ponselnya lagi. Dari Janu.
[Selamat makan, Istriku!]
Membaca itu, tanpa sadar Gemintang menarik sudut bibirnya. Ada perasaan hangat menguar dalam dadanya. Namun di saat yang bersamaan pula, ia teringat jika sikap romantis itu tak hanya dilakukan untuknya.
“Janu, aku tidak tahu, harus sedih atau senang dengan perlakuanmu ini. Namun, jika aku boleh memutar waktu, maka aku memilih untuk tidak mengenalmu. Aku bahkan tidak tahu, sampai kapan aku bisa menyimpan rahasia ini sendiri? Sampai kapan aku bisa berpura-pura bahagia di hadapanmu, sementara aku tahu kita sedang terjebak di antara dua pilihan: menyerah atau bertahan di atas kebohongan?” lirihnya dengan mata berkaca-kaca.
Gemintang lalu mengambil satu gelas kosong, mengisinya dengan air dingin, dan meneguknya pelan. Wanita itu ingin menyantap sarapan yang dibuatkan oleh Janu.
Namun, baru saja Gemintang meraih sendok dan mengaduk nasinya, suara bel berdering dari luar rumah menunda kegiatannya.
Siapa tamu yang datang sepagi ini?
Mengingat jarang ada tamu yang datang ke rumahnya. Jika dihitung, hanya satu atau dua kali orang asing berkunjung, itu pun karena orang suruhan Janu mengambil beberapa berkas yang tertinggal.
Gemintang pun meletakkan sendoknya kembali dan beranjak. Wanita itu segera melangkahkan kaki menuju pintu utama.
Dari dalam rumah, Gemintang mengernyit ketika mendengar suara ketukan pintu yang teramat keras.
“Tamu macam apa yang tidak sopan dan membuat keributan seperti ini? Tidak bisakah sabar sedikit?” gumamnya lirih.
Meski merasa kesal, Gemintang tetap membukakan pintu. Saat papan kayu berkelir putih itu terbuka. Kekesalannya bagai menguap begitu saja, napasnya tertahan kala mendapati seorang wanita berdiri di hadapannya sembari melipat tangan di depan dada.
“Terkejut aku berkunjung ke rumahmu?”
“Rosaline?”
Beberapa bulan setelah itu, Baskara sedang menyimak berita yang sedang trending di media. Soal Janu dan Gemintang yang sedang naik bisnisnya. Juga hubungan mereka yang diperdebatkan banyak orang. Entah bagaimana ia harus merasa. Dia tak rela, tetapi itulah menjadi pilihan Gemintang. Aruna yang tahu perasaan lelaki itu menyandarkan tubuhnya di kursi sebelah Baskara yang sedang menatap layar ponselnya, memperhatikan berita tentang Janu dan Gemintang. Semburat senyum tipis terlihat di wajahnya, tetapi matanya menunjukkan kesedihan yang tak tersembunyikan.“Kenapa Bapak masih melihat berita mereka?” Aruna bertanya lembut, mengambil alih perhatian Baskara yang sepertinya larut dalam pikirannya sendiri.Baskara menghela napas, mengunci layar ponselnya dan meletakkannya di meja. “Entahlah, mungkin aku hanya ingin memastikan bahwa dia bahagia di sana.”Aruna tersenyum lembut, mencoba mengusir suasana muram di wajah Baskara. “Gemintang memang sudah memilih jalannya sendiri, Pak. Terkadang, m
“Kalian memang manusia tidak tahu diuntung! Awas saja! Awas saja kalian!”Usai mengatakan demikian, Bu Dewi gegas pergi dari ruangan itu, meninggalkan Janu dan Rosaline yang kini berdiri pada posisinya masing-masing. “Bibirmu berdarah.” Janu menunjuk setitik darah yang tampak di sudut bibir Rosaline.Janu lalu menghubungi sekretaris untuk meminta kotak obat lewat sambungan pararel.“Duduklah, sekretaris akan datang bawakan obat.”Rosaline kemudian duduk di sofa, sementara Janu mengambilkan satu botol air mineral dan membukakan tutupnya untuk Rosaline, bersamaan dengan itu pula, sekretaris Rosaline mengantar obat. Saat sekretarisnya memberikan kotak obat, Rosaline menunduk sambil mengambilnya dari tangan sang sekretaris. "Terima kasih, tapi saya bisa obati sendiri," ucapnya pelan yang kemudian dijawab dengan anggukan oleh sang sekretaris.Janu menyerahkan botol air mineral yang baru saja ia buka untuk Rosaline. “Ini, minumlah dulu,” ujarnya dengan nada lembut. Rosaline mengucapkan te
“Kau yakin aku ingin membahas hal itu?” Rosaline memelankan suaranya. Dia sedikit terkejut dengan permintaan Janu. “Lakukan saja, pancing hingga dia mengatakan semuanya.”Rosaline mengangguk.Janu lantas beringsut mundur, mencari tempat strategis, tak lupa membawa pena perekam yang diberikan oleh Rosaline dan memastikan dirinya tak meninggalkan jejak apapun. “Rosaline!”Seruan Bu Dewi semakin jelas dan keras, hampir memekakan telinganya. Rosaline lalu membawa dirinya duduk di kursi direktur, membuka laptopnya dan bersikap seolah ia sedang bekerja. Hingga akhirnya ….Brakk! Pitu ruangannya dibuka dengan kasar, Rosaline menghentikan gerakan jarinya di atas papan ketik. Dia mendongak menatap Bu Dewi yang memberikan ekpsresi marahnya. “Bisa-bisanya meminta sekretarismu untuk berbohong dan mengatakan kau sedang menemui tamu, padahal kau sedang tidak bertemu dengan siapa-siapa?” Wanita paruh baya itu berjalan mendekat ke arah Rosaline dengan wajah penuh amarah, kedua tangan juga mengep
Pagi-pagi sekali, Janu segera pergi ke kantor Ferinco.Empat tahun tidak pernah mengunjunginya, gedung pencakar langit itu masih sama, tidak banyak hal yang berubah, hanya mengalami renovasi di beberapa titik denah. Janu mengikuti arah langkah Manggala yang berjalan lebih dulu di depannya, mengantarnya menuju tempat tujuan. Setelah beberapa saat menyusuri lorong, dan menaiki lift, mereka bedua akhirnya tiba di depan ruang milik Rosaline.Sementara Manggala menghela napas panjang sebelum menepuk pundak Janu. Pria yang berusia lebih muda darinya itu merentangkan tangan. “Akhirnya, kau kembali. Welcome back to work!”“Thanks, Brother! Kau harus menemaniku memulai semuanya dari awal,” ucap Janu membalas pelukan Manggala. “Itu pasti! Oh iya, Kau langsung masuk saja, biasanya Rosaline akan datang sebentar lagi.” Manggala melepas peluknya, lalu melirik arloji perak pada tangan kirinya. Pria berjas itu lalu mengambil sebuah kartu dari dalam saku jasnya.“ID card milikmu, mulai hari ini kau
Selepas bertemu dengan Manggala di kafe, menjelang makan siang Janu kembali ke rumah. Kedatangan pria itu disambut oleh si kembar yang berlari ke arahnya seraya memanggil, “Ayah!”“Yeeeay! Ayah pulang!”Janu pun menggendong mereka berdua. “Kamu sudah selesai, Mas?” tanya Gemintang ketika melihat Janu menggendong putra dan putrinya. Dia melihat sekilas ke arah Janu, sebelum mengembalikan pandangan pada untaian daun bawang di hadapannya.“Sudah,” jawab Janu ketika menurunkan Keenan dan Kinara di ruang tengah. Kedua bocah itu segera menghampiri mainan mereka lagi. Sementara Janu mendekat ke arah Gemintang yang sedang sibuk di dapur. “Apa yang kalian bahas? Sepertinya kamu ceria sekali setelah bertemu dengan mantan istri?” mendengar itu Janu terkekeh. Selanjutnya melingkarkan lengannya di tubuh Gemintang. Dagunya bersandar di pundak kanan wanita itu. “Kamu cemburu, hm?”“Tidak. Hanya penasaran, apa yang dibahas suamiku ketika bertemu mantan sehingga ketika pulang wajahnya bisa sumring
Janu memandangi surat itu dalam diam. Hatinya berkecamuk antara kaget dan heran. Satu sisi, ia merasa diberi kesempatan untuk memperbaiki semuanya. Namun di sisi lain, ada keraguan yang masih muncul dalam hatinya. Apakah ini semua bisa dipercaya? Atau hanya akal-akalan Rosaline saja?"Aku mengerti keraguanmu. Awalnya, aku tidak ingin percaya dengan Rosaline, tetapi, jika dipikirkan ulang, untuk apa dia rela untuk melepas ini semua, kalau bukan karena dia memang ingin berubah?"Janu masih membisu, mencoba mempertimbangkan kata-kata sang sepupu. Hingga akhirnya, pria itu membuka suara. “Jika aku menerima kembali ini semua, lantas bagaimana dengan Rosaline?”“Dia sudah punya tujuannya sendiri. Kau tidak perlu cemaskan itu, yang penting sekarang dia sudah berada di pihakku, dia juga sudah bersedia bersaksi atas semua kesalahan Bu Dewi.”“Dia bersedia?” ulang Janu, tak percaya. “Iya, yang aku tahu hubungannya dengan Bu Dewi memburuk. Anak buahku melapor jika Rosaline tinggal di aparteme