“Rosaline?”
Berbeda dengan Gemintang yang tergagap, wanita bergaun merah itu justru memberikan seringaian kecil. Kedua tangannya bersedekap di depan dada dan tatapannya begitu tegas.
Entah apa yang akan dilakukan Rosaline kali ini. Raut wajahnya yang tenang membuat sikap wanita itu selalu tidak tertebak.
“Bagaimana kau tahu rumahku?” tanya Gemintang lagi.
Ia merasa belum pernah memberitahu alamat rumahnya kepada Rosaline. Mungkinkah wanita itu membuntutinya? Atau … dia sudah tahu sejak lama?
“Apa yang tidak aku ketahui sebagai istri pertama Janu? Rumah ini bahkan aku yang membelinya bersama Janu.”
Deg!
Tanpa permisi, Rosaline seketika menerobos masuk ke dalam rumah.
Dagunya terangkat tinggi saat mengedarkan pandangan ke sekeliling, mengamati teras rumah Gemintang yang dipenuhi tanaman hias.
Juga, beberapa bunga peony segar di hadapannya.
Sementara Gemintang, seolah kehilangan daya walau untuk bicara. Bahkan rumah yang selama ini ditempatinya, sekarang terasa bukan miliknya.
“Mantra apa yang kau punya hingga mampu mengubah suamiku yang tak suka bunga, kini menjadikan tanaman itu pajangan di rumah ini?” ucap Rosaline tiba-tiba.
Ia tampak menurunkan satu tangkai bunga yang dia ambil dan menaruhnya kembali ke dalam vas.
Mendengar itu, Gemintang menyatukan kedua alisnya, bingung.
Tidak suka bunga?
“Aku tidak tahu jika Janu tidak suka bunga. Dia tidak pernah keberatan,” lirih Gemintang pada akhirnya.
Ya, Janu bahkan langsung setuju saat Gemintang menaruh bunga diletakkan di dalam rumah.
Tidak ada penolakan sama sekali dari pria itu.
“Karena kau tak mengenal Janu sepenuhnya!” Rosaline menimpali, kemudian wanita itu melanjutkan langkah kakinya memasuki bagian lebih dalam rumah ini.
Gayanya begitu santai seolah menegaskan dirinya berhak di rumah Gemintang.
Dalam hati, Gemintang merasa pedih.
Selama ini, Gemintang selalu berpikir jika dirinyalah yang paling mengenal Janu, tetapi ia ternyata salah.
Rosaline, istri pertama suaminya, yang lebih memahami pria itu.
Lantas, apa guna dirinya ini?
Benarkah dirinya hanya mesin pencetak anak?
“Dia tak begini padaku,” gumam Rosaline tiba-tiba saat keduanya tiba di depan meja makan. Bibirnya tampak merapat tampak menahan emosi.
Lagi-lagi, Gemintang menahan bingung.
Di sana, memang ada sepiring nasi goreng salmon dan sebuah notes berwarna merah muda berisi tulisan tangan Janu untuk Gemintang.
Biasanya suaminya itu menuliskan pesan hangat di sana.
Tapi, bukankah Rosaline mengatakan Janu sangat mencintainya?
Bukankah seharusnya wanita itu mendapatkan perlakuan serupa atau mungkin lebih?
“Gemintang … hebat sekali dirimu? Kau tidak perlu bekerja keras di perusahaan, kau tidak perlu mencari kedudukan yang tinggi agar bisa merasakan hidup mewah. Cukup dengan menjadi wanita simpanan dan menghasilkan anak, kau mendapatkan perhatian dan uang dari suamiku. Bahkan ini jam berapa, kau baru bangun? Kau sangat kelelahan melayani suamiku di ranjang, ya?”
Deg!
Kedua tangan Gemintang terkepal erat.
Rasa bingungnya berganti menjadi emosi.
Dia bahkan sudah bersiap menampar bibir Rosaline itu sekuat tenaganya jika tak ingat bahwa posisinya sekarang dalam keadaan yang sulit. Namun, Gemintang masih cukup waras. Dia tak ingin gegabah dan membuat masalah.
Bagaimanapun, Janu belum tahu pertemuan mereka.
Salah langkah, Gemintang takut kehilangan putrinya.
“Aku bukan wanita simpanan!” tegas Gemintang.
Rosaline menarik kedua sudut bibirnya. “Lalu disebut apa, wanita yang dinikahi pria yang sudah beristri, hm?”
“Seandainya kau datang padaku lebih awal, pernikahanku dengan suamimu ini tidak akan pernah terjadi! Jika aku tahu Janu sudah memiliki istri, aku tak akan pernah melanjutkan hubungan dengannya. Kau bahkan turut menyembunyikan identitas suamimu sendiri. Kalian yang menjebakku dalam urusan yang rumit ini!”
Gemintang tidak bisa lagi menyembunyikan amarahnya yang ditahan sejak beberapa hari lalu.
Entah mendapat keberanian dari mana, tetapi ia tidak diterima jika harga dirinya direndahkan, apalagi dituduh seolah dia yang memiliki niat jahat kepada Rosaline dan Janu. Sementara dia sendiri sebenarnya adalah korban!
“Kalau kau memang tidak ingin terlibat dengan urusan yang rumit, maka pergilah! Tinggalkan suamiku! Bukankah sudah kubilang kau seharusnya enyah sejak lama? Apa lagi yang mau kau tunggu?” balas Rosaline tak kalah nyalang menatapnya.
Lirikan mata itu bagai busur yang siap meluncurkan ribuan panah ke jantung Gemintang.
“Jadi, kau datang hanya untuk membahas ini?” tanya Gemintang, pelan.
“Ya! Kemarin aku memintamu berpikir! Kuharap kau benar-benar melakukannya! Tapi kau malah menggoda suamiku untuk makan di restoran mahal dan membeli perhiasan edisi terbaru? Jangan kau kira aku tak tahu!”
Seketika Gemintang terhenyak, Ia lantas menggelengkan kepalanya. “Bukan aku yang minta, tapi Janu sendiri yang mengajakku ke sana. Dia ingin menyenangkan Maura karena dapat bintang lima di sekolahnya.”
“Apa aku bisa percaya begitu saja?”
“Rosaline, sejak aku tahu bahwa aku bukan satu-satunya istri Janu, aku sudah berniat untuk pergi. Tetapi, ada banyak hal yang aku pikirkan. Aku mungkin bisa menanggung rasa sakit ini, tetapi tidak dengan putriku.” Gemintang meremas bajunya dengan kuat.
Istri kedua Januartha Dananjaya itu membuang napas panjang, meredam emosinya. Berdebat dengan Rosaline tidak akan pernah ada habisnya. Bagaimanapun juga, Rosaline yang akan menang, mendapatkan haknya.
“Dia tidak tahu apa pun, yang dia tahu selama ini, ayah dan ibunya baik-baik saja. Tidak mungkin aku menghadapkannya pada masalah ini dengan tiba-tiba. Aku butuh waktu, untuk memberinya pengertian. Bukankah Maura juga belum mengenal dan nyaman denganmu?” imbuh Gemintang lagi.
Rosaline tampak terdiam sejenak dan berkutat dengan pikirannya.
Ucapan Gemintang agaknya menjadi pertimbangan bagi wanita itu.
“Baiklah. Jika itu yang menjadi alasanmu, aku memberimu sedikit kelonggaran waktu. Aku akan sabar menunggu. Tetapi kau harus ingat, aku akan menggunakan caraku sendiri jika kau tidak juga bertindak!”
Usai berkata demikian, Rosaline melenggang pergi tanpa basa-basi, meninggalkan Gemintang yang terduduk kini lemas di kursinya.
Wanita itu berusaha melanjutkan sarapan yang tertunda meski tak ada tenaga.
Sekarang, apa yang harus ia lakukan sekarang?
Rosaline terus memintanya pergi, sementara Janu malah ingin mengikatnya dengan ingin menghadirkan satu anak lagi.
Jika mereka satu tujuan, mengapa keinginan mereka bertentangan? Apa maksud ini semua?
Beberapa bulan setelah itu, Baskara sedang menyimak berita yang sedang trending di media. Soal Janu dan Gemintang yang sedang naik bisnisnya. Juga hubungan mereka yang diperdebatkan banyak orang. Entah bagaimana ia harus merasa. Dia tak rela, tetapi itulah menjadi pilihan Gemintang. Aruna yang tahu perasaan lelaki itu menyandarkan tubuhnya di kursi sebelah Baskara yang sedang menatap layar ponselnya, memperhatikan berita tentang Janu dan Gemintang. Semburat senyum tipis terlihat di wajahnya, tetapi matanya menunjukkan kesedihan yang tak tersembunyikan.“Kenapa Bapak masih melihat berita mereka?” Aruna bertanya lembut, mengambil alih perhatian Baskara yang sepertinya larut dalam pikirannya sendiri.Baskara menghela napas, mengunci layar ponselnya dan meletakkannya di meja. “Entahlah, mungkin aku hanya ingin memastikan bahwa dia bahagia di sana.”Aruna tersenyum lembut, mencoba mengusir suasana muram di wajah Baskara. “Gemintang memang sudah memilih jalannya sendiri, Pak. Terkadang, m
“Kalian memang manusia tidak tahu diuntung! Awas saja! Awas saja kalian!”Usai mengatakan demikian, Bu Dewi gegas pergi dari ruangan itu, meninggalkan Janu dan Rosaline yang kini berdiri pada posisinya masing-masing. “Bibirmu berdarah.” Janu menunjuk setitik darah yang tampak di sudut bibir Rosaline.Janu lalu menghubungi sekretaris untuk meminta kotak obat lewat sambungan pararel.“Duduklah, sekretaris akan datang bawakan obat.”Rosaline kemudian duduk di sofa, sementara Janu mengambilkan satu botol air mineral dan membukakan tutupnya untuk Rosaline, bersamaan dengan itu pula, sekretaris Rosaline mengantar obat. Saat sekretarisnya memberikan kotak obat, Rosaline menunduk sambil mengambilnya dari tangan sang sekretaris. "Terima kasih, tapi saya bisa obati sendiri," ucapnya pelan yang kemudian dijawab dengan anggukan oleh sang sekretaris.Janu menyerahkan botol air mineral yang baru saja ia buka untuk Rosaline. “Ini, minumlah dulu,” ujarnya dengan nada lembut. Rosaline mengucapkan te
“Kau yakin aku ingin membahas hal itu?” Rosaline memelankan suaranya. Dia sedikit terkejut dengan permintaan Janu. “Lakukan saja, pancing hingga dia mengatakan semuanya.”Rosaline mengangguk.Janu lantas beringsut mundur, mencari tempat strategis, tak lupa membawa pena perekam yang diberikan oleh Rosaline dan memastikan dirinya tak meninggalkan jejak apapun. “Rosaline!”Seruan Bu Dewi semakin jelas dan keras, hampir memekakan telinganya. Rosaline lalu membawa dirinya duduk di kursi direktur, membuka laptopnya dan bersikap seolah ia sedang bekerja. Hingga akhirnya ….Brakk! Pitu ruangannya dibuka dengan kasar, Rosaline menghentikan gerakan jarinya di atas papan ketik. Dia mendongak menatap Bu Dewi yang memberikan ekpsresi marahnya. “Bisa-bisanya meminta sekretarismu untuk berbohong dan mengatakan kau sedang menemui tamu, padahal kau sedang tidak bertemu dengan siapa-siapa?” Wanita paruh baya itu berjalan mendekat ke arah Rosaline dengan wajah penuh amarah, kedua tangan juga mengep
Pagi-pagi sekali, Janu segera pergi ke kantor Ferinco.Empat tahun tidak pernah mengunjunginya, gedung pencakar langit itu masih sama, tidak banyak hal yang berubah, hanya mengalami renovasi di beberapa titik denah. Janu mengikuti arah langkah Manggala yang berjalan lebih dulu di depannya, mengantarnya menuju tempat tujuan. Setelah beberapa saat menyusuri lorong, dan menaiki lift, mereka bedua akhirnya tiba di depan ruang milik Rosaline.Sementara Manggala menghela napas panjang sebelum menepuk pundak Janu. Pria yang berusia lebih muda darinya itu merentangkan tangan. “Akhirnya, kau kembali. Welcome back to work!”“Thanks, Brother! Kau harus menemaniku memulai semuanya dari awal,” ucap Janu membalas pelukan Manggala. “Itu pasti! Oh iya, Kau langsung masuk saja, biasanya Rosaline akan datang sebentar lagi.” Manggala melepas peluknya, lalu melirik arloji perak pada tangan kirinya. Pria berjas itu lalu mengambil sebuah kartu dari dalam saku jasnya.“ID card milikmu, mulai hari ini kau
Selepas bertemu dengan Manggala di kafe, menjelang makan siang Janu kembali ke rumah. Kedatangan pria itu disambut oleh si kembar yang berlari ke arahnya seraya memanggil, “Ayah!”“Yeeeay! Ayah pulang!”Janu pun menggendong mereka berdua. “Kamu sudah selesai, Mas?” tanya Gemintang ketika melihat Janu menggendong putra dan putrinya. Dia melihat sekilas ke arah Janu, sebelum mengembalikan pandangan pada untaian daun bawang di hadapannya.“Sudah,” jawab Janu ketika menurunkan Keenan dan Kinara di ruang tengah. Kedua bocah itu segera menghampiri mainan mereka lagi. Sementara Janu mendekat ke arah Gemintang yang sedang sibuk di dapur. “Apa yang kalian bahas? Sepertinya kamu ceria sekali setelah bertemu dengan mantan istri?” mendengar itu Janu terkekeh. Selanjutnya melingkarkan lengannya di tubuh Gemintang. Dagunya bersandar di pundak kanan wanita itu. “Kamu cemburu, hm?”“Tidak. Hanya penasaran, apa yang dibahas suamiku ketika bertemu mantan sehingga ketika pulang wajahnya bisa sumring
Janu memandangi surat itu dalam diam. Hatinya berkecamuk antara kaget dan heran. Satu sisi, ia merasa diberi kesempatan untuk memperbaiki semuanya. Namun di sisi lain, ada keraguan yang masih muncul dalam hatinya. Apakah ini semua bisa dipercaya? Atau hanya akal-akalan Rosaline saja?"Aku mengerti keraguanmu. Awalnya, aku tidak ingin percaya dengan Rosaline, tetapi, jika dipikirkan ulang, untuk apa dia rela untuk melepas ini semua, kalau bukan karena dia memang ingin berubah?"Janu masih membisu, mencoba mempertimbangkan kata-kata sang sepupu. Hingga akhirnya, pria itu membuka suara. “Jika aku menerima kembali ini semua, lantas bagaimana dengan Rosaline?”“Dia sudah punya tujuannya sendiri. Kau tidak perlu cemaskan itu, yang penting sekarang dia sudah berada di pihakku, dia juga sudah bersedia bersaksi atas semua kesalahan Bu Dewi.”“Dia bersedia?” ulang Janu, tak percaya. “Iya, yang aku tahu hubungannya dengan Bu Dewi memburuk. Anak buahku melapor jika Rosaline tinggal di aparteme