Share

Bab 3 Betulkah itu Suamiku?

Author: Ardhya Rahma
last update Last Updated: 2023-01-02 13:07:59

"Tapi tidak bisa begitu, Bu." Bu Aisyah menahan lengan Marisa. 

"Kenapa tidak bisa?" Mata Marisa melotot marah ke arah rekan gurunya itu. 

"Bu Marisa tidak bisa pergi dalam kondisi syok begini! Lihat kaki Ibu! Bahkan Ibu tidak mengenakan sepatu karena masih terguncang. Sebaiknya ibu menghubungi keluarga dan meminta mereka mengantar Ibu. Bahaya kalau Ibu pergi sendirian."

Marisa terdiam mendengar ucapan rekannya itu. 

"Bu Aisyah ada benarnya," batin Marisa. Jadi, dia berusaha keras menguasai dirinya dengan menarik napas dan mengembuskannya perlahan-lahan.  Perempuan itu juga menurut ketika Bu Aisyah membimbingnya duduk di sofa di ruang UKS. 

"Ibu mau memastikan korban kecelakaan Tol SUMO ke mana? Apa Bu Marisa sudah tahu tujuannya di Mojokerto?" tanya Bu Aisyah sambil mengelus pelan lengan Marisa. 

"Sudah, Bu. Saya mau ke Rumah Sakit Citra Medika Mojokerto. Polisi yang menelepon saya tadi pagi bilang kalau korban dibawa ke sana." 

"Kalau sudah jelas alamat yang dituju, Bu Marisa bisa hubungi saudara atau kerabat. Minta bantuan mereka untuk mengantar. Ibu jangan pergi sendiri, ya." Bu Aisyah menasihati sambil terus mengelus lengan Marisa. Bagaimanapun juga kondisi emosional rekannya yang belum stabil itu membuatnya prihatin. 

Marisa hanya mengangguk mendengar saran dari Bu Aisyah. Dia membuka tas yang ada di pangkuannya dan merogoh mencari ponsel. Jari lentiknya menggulir layar dan mencari sebuah nomor kontak. Setelah menemukannya dia segera menekan tombol hijau.

Mulut mungil Marisa mengeluarkan gumaman tak jelas ketika panggilannya tidak segera diangkat sampai nada dering habis. Dengan sedikit kasar dia menutup panggilan dan menekan tombol panggil kembali. Ketika nada dering hampir habis panggilannya diterima.

"Ke mana aja, sih, Mas. Aku hubungi kok tidak diangkat terus!" cerca Marisa. 

"Mana yang tidak diangkat terus? Kamu kan baru dua kali telepon? Jangan suka lebay, ah." 

"Jangan bercanda, Mas. Ini tuh kondisinya sudah gawat!" Marisa sedikit berteriak dengan suara serak bekas menangis. 

"Lho memangnya ada apa kok gawat?" Orang yang dipanggil Mas oleh Marisa itu mulai mengubah nada bicaranya menjadi lebih serius. 

"Kamu menangis, Risa?" tanya lelaki lawan bicara Marisa di telepon.

"Siapa yang tidak menangis, Mas kalau polisi bilang Mas Irawan kecelakaan?" Marisa menjawab lalu kembali menangis sesenggukan.

"Hah? Irawan kecelakaan? Kapan?"

"Tadi pagi ada orang dari kepolisian menghubungiku. Katanya Mas Irawan kecelakaan. Aku diminta datang untuk melihat langsung kondisinya. Tolong temani aku ya. Mas Rian bisa, kan?"

"Datang? Ke mana? Kamu yakin berita itu benar? Jangan-jangan ada yang mau mencoba menipu kamu?" Lelaki yang dipanggil Mas Rian itu mencecar Marisa dengan pertanyaannya. 

"Enggak, Mas Rian. Aku sudah cek. Kecelakaan itu benar-benar terjadi. Cuma aku tuh bingungnya Mas Irawan itu dinas ke Malang, tapi kok polisi bilang kecelakaan terjadi di Tol SUMO." 

"Jadi … kecelakaannya  di Tol SUMO, ya? Kecelakaannya karena apa? Dia sendirian atau bareng orang lain?" 

"Iya di Tol SUMO. Risa enggak tahu gimana kecelakaannya tapi harusnya dia sendirian, Mas. Memangnya kenapa kok Mas Rian tanya seperti itu?" 

"Gak ada apa-apa. Cuma heran aja kok di radio beritanya seperti itu." 

"Seperti itu bagaimana, Mas?" tukas Marisa.

"Eh anu … gak apa-apa Ris. Sudahlah gak perlu dibahas. Sekarang aku jemput kamu di mana?" 

Marisa tahu Rian mengelak menjawab pertanyaannya, tetapi dia tidak mau mendesaknya lagi. Fokusnya saat ini adalah bisa segera sampai di Mojokerto dan mencari tahu kebenaran tentang suaminya. 

"Di mana lagi. Jam segini pasti aku ada di sekolah tempatku mengajar!" 

"Ya sudah kamu tunggu. Sekitar tiga puluh menit aku sampai di sana." 

Marisa menutup telepon dari Rian, sepupu yang selama ini dekat dengannya. 

"Saya … saya mau minta izin kepala sekolah, Bu."

"Perlu saya antar, Bu Marisa?"

"Tidak perlu, Bu. Saya sudah kuat, kok. Terima kasih Bu Aisyah sudah menemani saya dari tadi." 

"Sama-sama. Memang tugas saya hari ini jadi guru piket UKS. Semoga urusannya dimudahkan Allah ya, Bu." Bu Aisyah tersenyum menguatkan dan dibalas anggukan pelan Marisa.

Tiga puluh menit kemudian Marisa melihat SUV hitam milik Rian memasuki halaman sekolahan. Dia segera menghampiri dan membuka pintu penumpang di sebelah Rian. Sementara itu sepupunya hanya melihat dan tidak turun dari mobil untuk membantunya. 

"Jadi, kita ke mana dulu? Ke rumah orang tuamu atau mertua kamu dulu?" 

"Tidak, kita langsung ke Mojokerto." Marisa menjawab cepat sambil memasang sabuk pengamannya. 

"Kamu sudah cerita ke ibumu atau ke mertuamu tentang kabar ini?" Rian mengemudikan mobil meninggalkan sekolah Marisa. 

"Aku belum cerita apa pun ke mereka. Aku mau mastikan dulu, Mas. Sebagian hatiku berharap berita itu tidak benar dan tiba-tiba Mas Irawan menelepon mengabarkan sudah sampai …." Marisa tidak melanjutkan ucapannya karena air mata kembali membanjiri pipinya.

Rian menatap prihatin ke arah Marisa. Meski sepupunya itu lebih tua tiga tahun dibanding dirinya, tetapi kedudukannya sebagai anak dari kakak lelaki ayah marisa membuatnya dipanggil Mas. Selain itu almarhum Om Ridwan, ayah marisa hanya mempunyai dua anak perempuan sehingga dia merasa harus melindungi adik-adik perempuannya itu. 

"Ini. Hapus air matamu." Rian menyodorkan beberapa lembar tisu kepada Marisa.

Marisa menerima tisu itu lalu mengusap air mata yang membasahi pipi. Lantas, tangannya terulur ke dashboard mobil. Sebelum sempat menyalakan radio tangannya ditepis oleh Rian.

"Aduh!" jerit Marisa.

"Kok Mas Rian mukul tanganku. Aku mau nyalakan radio," protesnya.

Bukannya menjawab, Rian justru membentak Marisa. "Jangan! Kamu tidur saja!" 

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (8)
goodnovel comment avatar
Sukadi Skd
terimakasih lanjut
goodnovel comment avatar
Yunior
kenapa nggak boleh? sama saja Rian menyembunyikan perselingkuhan. kasihan Marisa
goodnovel comment avatar
bestrahma73
Rian tahu sesuatu nih
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Kuminta Talak setelah Suamiku Mendua   Bab 137 Honeymoon

    "Mas Rian … jangan pergi! Jangan tinggalkan aku! Bangun, Mas! Aku membutuhkanmu!" ratap Marisa. Namun, lelaki yang dipeluk dan ditangisinya masih tetap mengatupkan matanya. Rapat. "Sudah, Mbak jangan nangis terus. Lebih baik kita doakan Mas Rian agar diberikan kesehatan." Marisa mengangguk mendengar saran Dokter Harun. Memang tangis tidak akan membuat Rian sembuh. "Alhamdulillah Allah masih melindunginya. Tusukan pisau itu tidak mengenai organ vital. Geser satu centi aja akan sangat berbahaya. Namun, mengingat dia ditusuk tiga kali dan mengeluarkan banyak darah, kondisinya belum terbilang stabil. Perlu banyak kantong darah untuk transfusi. Sementara stok golongan darah O di PMI menipis."Marisa mengusap wajah lega. "Ambil darah saya saja, Dok. Golongan darah saya O." "Jangan. Kamu butuh istirahat, Mbak. Darah saya saja, Dok. Saya juga bergolongan darah O," ucap Dokter Harun."Baiklah … nanti kita periksa dulu untuk melihat kecocokannya."Marisa menelepon ibunya untuk mengabarkan di

  • Kuminta Talak setelah Suamiku Mendua   Bab 136 Misi Penyelamatan

    "Ada apa dengan Marisa?" sambar Rian.Dokter Harun menatap Bu Rahmi dengan prihatin. "Sabar, ya, Bu. Mbak Marisa mengalami penculikan di dekat sekolah. Kasusnya sedang dalam penyelidikan polisi." "Apa diculik?" teriak Rian."Tidak! Jangan polisi. Nanti Marisa tidak selamat!" seru Bu Rahmi yang kemudian menangis. "Kenapa tidak selamat? Ibu tahu kalau Mbak Marisa diculik?" desak Dokter Harun. "Iya." Bu Rahmi mengusap wajahnya dan terduduk lemas di sofa. "Itu sebabnya tadi Bulek telepon kamu." Tatapan Bu Rahmi terarah ke Rian."Sebenarnya Bulek berharap itu cuma bercanda, tapi kabar yang dibawa Dokter Harun membuat Bulek tahu kalau orang itu sungguh-sungguh menculik Marisa." Air mata Bu Rahmi pun menderas di kedua pipinya. "Orang itu? Siapa?" "Siapa orang itu, Bu?"Dokter Harun dan Rian bertanya bersamaan. "Tadi ada telepon. Ngaku temannya Marisa ke Bik Siti. Setelah ibu angkat dia bilang sudah menculik Marisa dan melarang untuk melapor ke polisi kalau mau anak ibu selamat. Tapi ta

  • Kuminta Talak setelah Suamiku Mendua   Bab 135   Diculik

    "Apa-apaan ini? Siapa mereka?" tanya Marisa ketika melihat tiga orang lelaki turun dari mobil yang menghadangnya.Salah satu lelaki yang turun dari mobil penghadang itu kemudian menggedor jendela di samping Marisa. "Buka pintunya! Cepat!" Marisa terlonjak kaget dan mundur dari jendela. Untuk beberapa saat dia hanya diam dan memandang ketiga lelaki berwajah menyeramkan itu. Marisa tidak mau membuka pintunya. Berada di dalam mobil dengan pintu yang terkunci membuatnya sedikit merasa aman. Sayangnya rasa aman itu hanya bertahan sebentar, karena tak lama kemudian kaca jendela mobilnya pecah berhamburan. Salah satu lelaki menyeramkan itu memegang semacam palu yang besar dan berhasil memecah kaca. Belum hilang rasa kaget Marisa, lelaki yang sama berhasil membuka pintu mobilnya dari dalam dan menarik Marisa keluar. Kemudian dia diseret memasuki mobil milik ketiga lelaki itu. Meski Marisa meronta dan berteriak, tetapi itu tidak ada artinya. Karena tenaga Marisa jelas kalah dibanding ketig

  • Kuminta Talak setelah Suamiku Mendua   Bab 134   Ta'aruf

    "Iya betul, Bu. Dan kedatangan saya sekarang ini untuk meminta restu dari Ibu. Saya ingin melamar putri Ibu yang bernama Marisa." Bu Rahmi terpana melihat keterusterangan Dokter Harun. Dia tidak menyangka lelaki di hadapannya ini akan mengatakan hal tersebut di pertemuan pertama. "Alhamdulillah. Saya, sih, terserah kepada Marisa, saja, Nak Dokter. Tapi … kenapa terburu-buru? Apakah Nak Dokter nggak mau kenalan dulu dengan Marisa? Atau jangan-jangan kalian sudah kenal lama?" "Tidak, Bu. Saya baru bertemu dengan Mbak Marisa ketika saya merawat mantan suaminya. Saat itu tidak ada perasaan apa pun kecuali simpati seorang dokter kepada keluarga pasiennya." Bu Rahmi mendengarkan penjelasan Dokter Harun. "Lantas kapan mulai berubah?" Marisa mendelik mendengar pertanyaan ibunya. Dia menyenggol tubuh ibunya dengan siku untuk memintanya diam. Namun, Bu Rahmi tidak mempedulikannya. Sebenarnya Marisa juga penasaran seperti ibunya, tetapi dia terlalu malu untuk bertanya. Jadi, ketika Bu Rahm

  • Kuminta Talak setelah Suamiku Mendua   Bab 133   Dilamar Lagi

    Marisa berjalan mendekat. Mungkin karena mendengar suara langkah Marisa, lelaki itu mengangkat wajahnya dan Marisa pun berseru, "Kamu?"Lelaki itu kemudian bangkit dari kursinya dan berdiri dengan sikap sopan ala abdi kerajaan yang menunggu sang putri datang. Bibirnya menyunggingkan seulas senyum. Mata hitam yang dinaungi sepasang alis yang melengkung sempurna itu menatap Marisa lekat. Namun, ketika tatapan dua insan berlawanan jenis itu bertemu, keduanya sama-sama segera mengalihkan tatapannya. "Maaf kalau saya datang tanpa kabar lebih dulu, Bu Marisa," ucap lelaki itu. "Iya. Tidak apa-apa. Silakan duduk, Dok." Marisa pun duduk di seberang sofa yang ditempati Dokter Harun. "Ada yang bisa saya bantu, Dok? Ada apa dengan Amanda?" "Kedatangan saya kemari nggak ada hubungannya dengan Amanda, Bu."Marisa mengangkat wajahnya dan menatap mata Dokter Harun. Ada tatapan bertanya di mata Marisa.Melihat pandangan bertanya di mata hazel Marisa, tiba-tiba saja Dokter Harun menjadi gugup. "B

  • Kuminta Talak setelah Suamiku Mendua   Bab 132    Tamu tak Diundang

    Tiba-tiba Marisa berhenti melangkah. Raut wajahnya tampak seperti seseorang yang baru menyadari sesuatu. Dia kemudian berbisik, "Kenapa aku merasa senang mengetahui fakta terbaru tentang Suster Ratri? Apakah ini artinya aku mulai membuka hati untuk Dokter Harun?"Untuk beberapa saat Marisa berdiri termangu, lalu dia menghela napas dan kembali berbisik, "Aku nggak boleh linglung di sini. Lebih baik sekarang aku segera pulang. Tentang bagaimana perasaanku sebenarnya bisa aku pikirkan nanti saja kalau sudah di rumah."Lantas, Marisa pun memutar tubuh dan kembali ke halaman sekolah. Dia segera memasuki mobil kesayangannya dan memacunya menuju rumah. "Loh … katanya mau ke toko buku. Kok sudah pulang? Nggak jadi?" tegur Bu Rahmi ketika melihat Marisa turun dari mobil. "Enggak, Bu," jawab Marisa sambil melangkah menuju teras. Lalu dia duduk di salah satu kursi yang ada di teras. Marisa menyelonjorkan kaki dan memandang ibunya yang tengah merapikan rumpun mawar.Tidak adanya penjelasan atas

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status