Share

Bab 3 Betulkah itu Suamiku?

"Tapi tidak bisa begitu, Bu." Bu Aisyah menahan lengan Marisa. 

"Kenapa tidak bisa?" Mata Marisa melotot marah ke arah rekan gurunya itu. 

"Bu Marisa tidak bisa pergi dalam kondisi syok begini! Lihat kaki Ibu! Bahkan Ibu tidak mengenakan sepatu karena masih terguncang. Sebaiknya ibu menghubungi keluarga dan meminta mereka mengantar Ibu. Bahaya kalau Ibu pergi sendirian."

Marisa terdiam mendengar ucapan rekannya itu. 

"Bu Aisyah ada benarnya," batin Marisa. Jadi, dia berusaha keras menguasai dirinya dengan menarik napas dan mengembuskannya perlahan-lahan.  Perempuan itu juga menurut ketika Bu Aisyah membimbingnya duduk di sofa di ruang UKS. 

"Ibu mau memastikan korban kecelakaan Tol SUMO ke mana? Apa Bu Marisa sudah tahu tujuannya di Mojokerto?" tanya Bu Aisyah sambil mengelus pelan lengan Marisa. 

"Sudah, Bu. Saya mau ke Rumah Sakit Citra Medika Mojokerto. Polisi yang menelepon saya tadi pagi bilang kalau korban dibawa ke sana." 

"Kalau sudah jelas alamat yang dituju, Bu Marisa bisa hubungi saudara atau kerabat. Minta bantuan mereka untuk mengantar. Ibu jangan pergi sendiri, ya." Bu Aisyah menasihati sambil terus mengelus lengan Marisa. Bagaimanapun juga kondisi emosional rekannya yang belum stabil itu membuatnya prihatin. 

Marisa hanya mengangguk mendengar saran dari Bu Aisyah. Dia membuka tas yang ada di pangkuannya dan merogoh mencari ponsel. Jari lentiknya menggulir layar dan mencari sebuah nomor kontak. Setelah menemukannya dia segera menekan tombol hijau.

Mulut mungil Marisa mengeluarkan gumaman tak jelas ketika panggilannya tidak segera diangkat sampai nada dering habis. Dengan sedikit kasar dia menutup panggilan dan menekan tombol panggil kembali. Ketika nada dering hampir habis panggilannya diterima.

"Ke mana aja, sih, Mas. Aku hubungi kok tidak diangkat terus!" cerca Marisa. 

"Mana yang tidak diangkat terus? Kamu kan baru dua kali telepon? Jangan suka lebay, ah." 

"Jangan bercanda, Mas. Ini tuh kondisinya sudah gawat!" Marisa sedikit berteriak dengan suara serak bekas menangis. 

"Lho memangnya ada apa kok gawat?" Orang yang dipanggil Mas oleh Marisa itu mulai mengubah nada bicaranya menjadi lebih serius. 

"Kamu menangis, Risa?" tanya lelaki lawan bicara Marisa di telepon.

"Siapa yang tidak menangis, Mas kalau polisi bilang Mas Irawan kecelakaan?" Marisa menjawab lalu kembali menangis sesenggukan.

"Hah? Irawan kecelakaan? Kapan?"

"Tadi pagi ada orang dari kepolisian menghubungiku. Katanya Mas Irawan kecelakaan. Aku diminta datang untuk melihat langsung kondisinya. Tolong temani aku ya. Mas Rian bisa, kan?"

"Datang? Ke mana? Kamu yakin berita itu benar? Jangan-jangan ada yang mau mencoba menipu kamu?" Lelaki yang dipanggil Mas Rian itu mencecar Marisa dengan pertanyaannya. 

"Enggak, Mas Rian. Aku sudah cek. Kecelakaan itu benar-benar terjadi. Cuma aku tuh bingungnya Mas Irawan itu dinas ke Malang, tapi kok polisi bilang kecelakaan terjadi di Tol SUMO." 

"Jadi … kecelakaannya  di Tol SUMO, ya? Kecelakaannya karena apa? Dia sendirian atau bareng orang lain?" 

"Iya di Tol SUMO. Risa enggak tahu gimana kecelakaannya tapi harusnya dia sendirian, Mas. Memangnya kenapa kok Mas Rian tanya seperti itu?" 

"Gak ada apa-apa. Cuma heran aja kok di radio beritanya seperti itu." 

"Seperti itu bagaimana, Mas?" tukas Marisa.

"Eh anu … gak apa-apa Ris. Sudahlah gak perlu dibahas. Sekarang aku jemput kamu di mana?" 

Marisa tahu Rian mengelak menjawab pertanyaannya, tetapi dia tidak mau mendesaknya lagi. Fokusnya saat ini adalah bisa segera sampai di Mojokerto dan mencari tahu kebenaran tentang suaminya. 

"Di mana lagi. Jam segini pasti aku ada di sekolah tempatku mengajar!" 

"Ya sudah kamu tunggu. Sekitar tiga puluh menit aku sampai di sana." 

Marisa menutup telepon dari Rian, sepupu yang selama ini dekat dengannya. 

"Saya … saya mau minta izin kepala sekolah, Bu."

"Perlu saya antar, Bu Marisa?"

"Tidak perlu, Bu. Saya sudah kuat, kok. Terima kasih Bu Aisyah sudah menemani saya dari tadi." 

"Sama-sama. Memang tugas saya hari ini jadi guru piket UKS. Semoga urusannya dimudahkan Allah ya, Bu." Bu Aisyah tersenyum menguatkan dan dibalas anggukan pelan Marisa.

Tiga puluh menit kemudian Marisa melihat SUV hitam milik Rian memasuki halaman sekolahan. Dia segera menghampiri dan membuka pintu penumpang di sebelah Rian. Sementara itu sepupunya hanya melihat dan tidak turun dari mobil untuk membantunya. 

"Jadi, kita ke mana dulu? Ke rumah orang tuamu atau mertua kamu dulu?" 

"Tidak, kita langsung ke Mojokerto." Marisa menjawab cepat sambil memasang sabuk pengamannya. 

"Kamu sudah cerita ke ibumu atau ke mertuamu tentang kabar ini?" Rian mengemudikan mobil meninggalkan sekolah Marisa. 

"Aku belum cerita apa pun ke mereka. Aku mau mastikan dulu, Mas. Sebagian hatiku berharap berita itu tidak benar dan tiba-tiba Mas Irawan menelepon mengabarkan sudah sampai …." Marisa tidak melanjutkan ucapannya karena air mata kembali membanjiri pipinya.

Rian menatap prihatin ke arah Marisa. Meski sepupunya itu lebih tua tiga tahun dibanding dirinya, tetapi kedudukannya sebagai anak dari kakak lelaki ayah marisa membuatnya dipanggil Mas. Selain itu almarhum Om Ridwan, ayah marisa hanya mempunyai dua anak perempuan sehingga dia merasa harus melindungi adik-adik perempuannya itu. 

"Ini. Hapus air matamu." Rian menyodorkan beberapa lembar tisu kepada Marisa.

Marisa menerima tisu itu lalu mengusap air mata yang membasahi pipi. Lantas, tangannya terulur ke dashboard mobil. Sebelum sempat menyalakan radio tangannya ditepis oleh Rian.

"Aduh!" jerit Marisa.

"Kok Mas Rian mukul tanganku. Aku mau nyalakan radio," protesnya.

Bukannya menjawab, Rian justru membentak Marisa. "Jangan! Kamu tidur saja!" 

Comments (7)
goodnovel comment avatar
Yunior
kenapa nggak boleh? sama saja Rian menyembunyikan perselingkuhan. kasihan Marisa
goodnovel comment avatar
bestrahma73
Rian tahu sesuatu nih
goodnovel comment avatar
D'naya
Sepertinya Rian tahu sesuatu nih
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status