"Tapi tidak bisa begitu, Bu." Bu Aisyah menahan lengan Marisa.
"Kenapa tidak bisa?" Mata Marisa melotot marah ke arah rekan gurunya itu.
"Bu Marisa tidak bisa pergi dalam kondisi syok begini! Lihat kaki Ibu! Bahkan Ibu tidak mengenakan sepatu karena masih terguncang. Sebaiknya ibu menghubungi keluarga dan meminta mereka mengantar Ibu. Bahaya kalau Ibu pergi sendirian."
Marisa terdiam mendengar ucapan rekannya itu.
"Bu Aisyah ada benarnya," batin Marisa. Jadi, dia berusaha keras menguasai dirinya dengan menarik napas dan mengembuskannya perlahan-lahan. Perempuan itu juga menurut ketika Bu Aisyah membimbingnya duduk di sofa di ruang UKS.
"Ibu mau memastikan korban kecelakaan Tol SUMO ke mana? Apa Bu Marisa sudah tahu tujuannya di Mojokerto?" tanya Bu Aisyah sambil mengelus pelan lengan Marisa.
"Sudah, Bu. Saya mau ke Rumah Sakit Citra Medika Mojokerto. Polisi yang menelepon saya tadi pagi bilang kalau korban dibawa ke sana."
"Kalau sudah jelas alamat yang dituju, Bu Marisa bisa hubungi saudara atau kerabat. Minta bantuan mereka untuk mengantar. Ibu jangan pergi sendiri, ya." Bu Aisyah menasihati sambil terus mengelus lengan Marisa. Bagaimanapun juga kondisi emosional rekannya yang belum stabil itu membuatnya prihatin.
Marisa hanya mengangguk mendengar saran dari Bu Aisyah. Dia membuka tas yang ada di pangkuannya dan merogoh mencari ponsel. Jari lentiknya menggulir layar dan mencari sebuah nomor kontak. Setelah menemukannya dia segera menekan tombol hijau.
Mulut mungil Marisa mengeluarkan gumaman tak jelas ketika panggilannya tidak segera diangkat sampai nada dering habis. Dengan sedikit kasar dia menutup panggilan dan menekan tombol panggil kembali. Ketika nada dering hampir habis panggilannya diterima.
"Ke mana aja, sih, Mas. Aku hubungi kok tidak diangkat terus!" cerca Marisa.
"Mana yang tidak diangkat terus? Kamu kan baru dua kali telepon? Jangan suka lebay, ah."
"Jangan bercanda, Mas. Ini tuh kondisinya sudah gawat!" Marisa sedikit berteriak dengan suara serak bekas menangis.
"Lho memangnya ada apa kok gawat?" Orang yang dipanggil Mas oleh Marisa itu mulai mengubah nada bicaranya menjadi lebih serius.
"Kamu menangis, Risa?" tanya lelaki lawan bicara Marisa di telepon.
"Siapa yang tidak menangis, Mas kalau polisi bilang Mas Irawan kecelakaan?" Marisa menjawab lalu kembali menangis sesenggukan.
"Hah? Irawan kecelakaan? Kapan?"
"Tadi pagi ada orang dari kepolisian menghubungiku. Katanya Mas Irawan kecelakaan. Aku diminta datang untuk melihat langsung kondisinya. Tolong temani aku ya. Mas Rian bisa, kan?"
"Datang? Ke mana? Kamu yakin berita itu benar? Jangan-jangan ada yang mau mencoba menipu kamu?" Lelaki yang dipanggil Mas Rian itu mencecar Marisa dengan pertanyaannya.
"Enggak, Mas Rian. Aku sudah cek. Kecelakaan itu benar-benar terjadi. Cuma aku tuh bingungnya Mas Irawan itu dinas ke Malang, tapi kok polisi bilang kecelakaan terjadi di Tol SUMO."
"Jadi … kecelakaannya di Tol SUMO, ya? Kecelakaannya karena apa? Dia sendirian atau bareng orang lain?"
"Iya di Tol SUMO. Risa enggak tahu gimana kecelakaannya tapi harusnya dia sendirian, Mas. Memangnya kenapa kok Mas Rian tanya seperti itu?"
"Gak ada apa-apa. Cuma heran aja kok di radio beritanya seperti itu."
"Seperti itu bagaimana, Mas?" tukas Marisa.
"Eh anu … gak apa-apa Ris. Sudahlah gak perlu dibahas. Sekarang aku jemput kamu di mana?"
Marisa tahu Rian mengelak menjawab pertanyaannya, tetapi dia tidak mau mendesaknya lagi. Fokusnya saat ini adalah bisa segera sampai di Mojokerto dan mencari tahu kebenaran tentang suaminya.
"Di mana lagi. Jam segini pasti aku ada di sekolah tempatku mengajar!"
"Ya sudah kamu tunggu. Sekitar tiga puluh menit aku sampai di sana."
Marisa menutup telepon dari Rian, sepupu yang selama ini dekat dengannya.
"Saya … saya mau minta izin kepala sekolah, Bu."
"Perlu saya antar, Bu Marisa?"
"Tidak perlu, Bu. Saya sudah kuat, kok. Terima kasih Bu Aisyah sudah menemani saya dari tadi."
"Sama-sama. Memang tugas saya hari ini jadi guru piket UKS. Semoga urusannya dimudahkan Allah ya, Bu." Bu Aisyah tersenyum menguatkan dan dibalas anggukan pelan Marisa.
Tiga puluh menit kemudian Marisa melihat SUV hitam milik Rian memasuki halaman sekolahan. Dia segera menghampiri dan membuka pintu penumpang di sebelah Rian. Sementara itu sepupunya hanya melihat dan tidak turun dari mobil untuk membantunya.
"Jadi, kita ke mana dulu? Ke rumah orang tuamu atau mertua kamu dulu?"
"Tidak, kita langsung ke Mojokerto." Marisa menjawab cepat sambil memasang sabuk pengamannya.
"Kamu sudah cerita ke ibumu atau ke mertuamu tentang kabar ini?" Rian mengemudikan mobil meninggalkan sekolah Marisa.
"Aku belum cerita apa pun ke mereka. Aku mau mastikan dulu, Mas. Sebagian hatiku berharap berita itu tidak benar dan tiba-tiba Mas Irawan menelepon mengabarkan sudah sampai …." Marisa tidak melanjutkan ucapannya karena air mata kembali membanjiri pipinya.
Rian menatap prihatin ke arah Marisa. Meski sepupunya itu lebih tua tiga tahun dibanding dirinya, tetapi kedudukannya sebagai anak dari kakak lelaki ayah marisa membuatnya dipanggil Mas. Selain itu almarhum Om Ridwan, ayah marisa hanya mempunyai dua anak perempuan sehingga dia merasa harus melindungi adik-adik perempuannya itu.
"Ini. Hapus air matamu." Rian menyodorkan beberapa lembar tisu kepada Marisa.
Marisa menerima tisu itu lalu mengusap air mata yang membasahi pipi. Lantas, tangannya terulur ke dashboard mobil. Sebelum sempat menyalakan radio tangannya ditepis oleh Rian.
"Aduh!" jerit Marisa.
"Kok Mas Rian mukul tanganku. Aku mau nyalakan radio," protesnya.
Bukannya menjawab, Rian justru membentak Marisa. "Jangan! Kamu tidur saja!"
"Mas Rian apa-apaan, sih!" Marisa balas membentak. Dia merasa kesal dengan ulah Rian yang absurd. Tangannya sampai memerah karena ditepis tangan Rian yang besar. Ditambah masih harus menerima bentakan."Maaf Risa tadi itu spontan." "Memangnya kenapa kalau ada suara radio di mobil? Biar nggak sepi, Mas. Pikiranku sekarang ini lagi sumpek, jadi pengen dengar lagu-lagu gitu." "Cuma dengar lagu, kan? Bisa dengerin lewat HP. Mau Mas pinjemin ponsel Mas? Koleksi lagunya banyak dan bagus-bagus," bujuk Rian. "Gak cuma lagu, sih. Risa juga mau dengerin berita. Biasanya kan di E-100 ada berita macam itu." "Sudahlah Risa. Lebih baik kamu tidur. Pulihkan dulu kondisi mental kamu. Perjalanan masih jauh. Kalau bisa istirahat, kamu akan lebih tenang." Marisa terdiam mendengar perkataan kakak sepupunya itu. Dia menoleh dan menatap sepupunya dari samping. Lelaki itu tampak serius dengan permintaannya. "Iya kamu benar, Mas. Lebih baik aku tidur. Lumayan bisa satu jam." Rian mengangguk. "Katakan
"Aku belum nemu fotonya di google.""Ada yang tahu akun medsosnya?"Rasa dingin menjalari tengkuk Rian. Apa yang dia khawatirkan terjadi. "Sialan," umpatnya pelan. "Mas … ada apa?" tanya Marisa yg merasakan ketegangan Rian. "Tidak ada apa-apa. Terus jalan aja, Ris," jawab Rian. Tangannya merangkul bahu Marisa dan menggamitnya untuk berjalan cepat. Meski merasa penasaran dengan sikap Rian yang berubah tegang dan gugup. Juga keheranan mendengar nama suaminya disebut-sebut oleh sekelompok orang tadi. Marisa menuruti permintaan Rian untuk melangkah lebih cepat. Lagi pula dia juga ingin secepatnya mendapat kejelasan tentang berita yang diperolehnya tadi pagi. Marisa dan Rian masuk ke IGD dan segera mendekati meja perawat. "Maaf suster apa benar ada korban kecelakaan Tol SUMO yang dibawa ke mari? Namanya Irawan," tanya Rian."O iya benar. Tadi ada polisi yang menunggunya tapi baru saja kembali ke markas. Maaf bapak dan ibu ini siapa ya?" "Saya kakak iparnya dan ini istrinya.""O kala
"Tolong hargai privasi kami atau kalian saya tuntut!" ancam Rian. Namun ancamannya itu dianggap angin lalu saja oleh para wartawan. Terbukti mereka tetap merangsek maju dan membombardir Marisa dengan segudang pertanyaan. Hal itu membuat Rian kembali berteriak, "Pak satpam tolong jauhkan mereka dari kami!" Tiga orang satpam Rumah Sakit Citra Medika segera berlari mendekat setelah mendengar teriakan Rian untuk kedua kalinya. Mereka membantu Rian dan Marisa menjauh dari kepungan wartawan dan terus mengawalnya sampai ke mobil. Setelah melihat Marisa mengenakan seat belt, Rian pun tancap gas meninggalkan halaman Rumah Sakit Citra Medika. "I-itu ta-tadi apa, Mas?" Rian menoleh dan melihat tangan Marisa gemetar di atas tasnya. "Sst … sudah tak apa-apa. Itu cuma wartawan yang lagi cari berita." "Tapi berita apa? Kecelakaan kan bukan berita yang kudu di buat heboh." Rian terdiam mendengar bantahan Marisa. Dia bingung harus menjelaskan mulai dari mana. Sebenarnya dia tahu alasan wartaw
"Loh, lipstik itu bukan punya Ibu? Kamera juga bukan punya Pak Irawan?" Aiptu Rizal menatap Marisa dengan pandangan kebingungan. "Bukan, Pak. Saya tidak suka lip cream warna merah menyala seperti ini." Marisa membuka penutup lipstik berbentuk cair itu dan menunjukkan kuasnya yang berwarna merah terang. "Setahu saya, Mas Irawan juga tidak mempunyai kamera digital seperti itu tapi saya juga tidak tahu pasti," lanjut Marisa. "O begitu. Berarti barang-barang itu milik penumpang." "Penumpang? Ada penumpang di mobil suami saya?" Aiptu Rizal menatap Marisa dengan pandangan tidak percaya, "Ibu tidak tahu? Saya kira Ibu sudah tahu karena ramai diberitakan media massa dan media sosial." "Shit!" Rian menoleh ke kanan sambil mengumpat pelan. "Apa yang harus terjadi, terjadilah," gumam Rian, pasrah. Setelah menarik napas perlahan dia kembali memasang wajah datar dan menghadapkannya ke depan. "Memangnya siapa penumpang mobil suami saya, Pak? Perempuan?" "Iya, perempuan. Dia seorang p
"Marisa? Iya aku Sandhyawan." "Kamu … terlihat sedikit berbeda, Mas." Marisa melangkah perlahan mendekati lelaki yang disapanya itu. "Kamu juga, Risa." "Tapi dalam artian bagus, kok," lanjut Sandhy dengan cepat. Dia tidak ingin Marisa salah paham dengan kata-katanya. Marisa tersenyum. Meski terlihat lebih kurus dan ada beberapa kerut samar di dahinya, tetapi wajah tampan Sandhy masih tersisa. "Sudah lama, ya, kita tidak bertemu?""Iya. Sekitar sepuluh tahun ya, Risa?""Dua belas tahun sejak Mas Sandhy lulus SMA lebih dulu.""O iya betul. Kamu pasti sudah menikah, Ris. Berapa anakmu? Apa itu suami kamu?" Tatapan Sandhy terarah ke belakang punggung Marisa. Rian yang berdiri di belakang Marisa dengan kotak di tangannya balik menatap lelaki yang sedang mengobrol dengan sepupunya itu. Dia mengamati penampilan lelaki yang tampak seperti seniman itu dari atas sampai ke bawah. "O bukan. Ini kakak sepupuku. Mas Rian, kenalkan ini Mas Sandhy kakak kelasku waktu SMA," jawab Marisa, sambil
"Kamu kok tanya seperti itu, sih, Ris?" "Jawab aja, Mas. Enggak perlu berbelit-belit!" sergah Marisa. Rian berdiri dari kursi dan berjalan mondar mandir di depan Marisa. Lelaki bertubuh sedikit berotot itu mendengkus. Tangannya mengacak-acak rambutnya yang hitam tebal. Gestur tubuhnya jelas menunjukkan kata-kata Marisa yang sedikit kasar itu mengganggu hatinya.Kalau menuruti kata hati, Rian pasti segera memilih pulang kembali ke Surabaya dan membiarkan Marisa sendirian. Namun, logika mengalahkan perasaannya. Marisa butuh teman dan saat ini hanya dia yang bisa menemaninya. Emosi Marisa sekarang ini sedang tidak stabil dan dia butuh pelampiasan. Tentu saja Rian yang berada di dekatnya adalah sasaran yang empuk untuk menumpahkan kekesalan Marisa.Beberapa menit kemudian setelah mengatur napas dan mondar-mandir mengitari kamar hotel, Rian mulai tenang. Kemudian dia kembali duduk di hadapan Marisa. Dia menatap tajam Marisa sebelum berkata, "Aku abaikan kata-katamu yang menyalahkan aku.
"Marisa … Marisa … ada apa? Kenapa kamu berteriak? Marisaaa …." Rian yang baru sampai di depan pintu kamar hotel menjadi panik ketika mendengar teriakan Marisa. Dia menggedor pintu sambil memanggil nama Marisa. Namun, tidak ada jawaban sama sekali dari dalam kamar. Rian semakin gelisah ketika sepupunya itu tidak juga membuka pintu kamar meski sudah digedor berulang kali. Merasa tak sabar, akhirnya Rian berlari menuju lift dan kembali ke lantai bawah. "Tolong … tolong buka kamar adik saya di kamar 510. Saya tadi keluar sebentar dan ketika balik ke kamar saya mendengar dia berteriak. Saya sudah gedor pintu dan memanggil namanya, tapi tidak ada reaksi. Tolong cepetan!" Resepsionis yang mendengar suara panik Rian segera bertindak cepat. Dia menghubungi housekeeping dan memintanya menuju kamar Marisa. Sementara Rian ditemani seorang satpam juga bergegas kembali ke kamar Marisa. Mereka berdua datang bersamaan dengan dua orang housekeeper. Petugas housekeeper laki-laki segera membuka pin
"Ayolah … Mas, kenapa kamu berdiri saja di situ? Apa kamu nggak pengen mendekati aku?" "Ini sudah hampir jam tujuh. Kita harus segera kembali ke Surabaya." "Sebentar lagi, Mas. Aku masih pengen di sini. Bisa berduaan dengan kamu selama beberapa hari itu sulit, loh. Makanya lingerie merah ini sengaja aku beli khusus untuk ketemu kamu, Mas. Lihat aku dong, Mas. Apa penampilanku ini tidak menggodamu?" Irawan menghentikan aktivitas berkemasnya dan menoleh ke ujung kasur. Di sandaran kasur ada beberapa bantal yang sengaja ditumpuk. Tampak seorang perempuan bertubuh sintal bersandar di tumpukan bantal itu. Rambut hitamnya sengaja diangkat dan dibiarkan tergerai di bantal untuk memperlihatkan leher jenjangnya. "Sini, dong, Mas," Perempuan itu kembali merayu. Dia membiarkan salah satu tali lingerie merahnya melorot hampir ke siku. Ulahnya itu dia lakukan dengan sengaja untuk mengumbar bahu mulusnya.Irawan menghembuskan napas dengan keras. Jakunnya naik turun melihat pemandangan itu.