Rasanya sedikit perih bahkan setelah ditutup luka itu dengan plester luka, Arum kemudian memandang perekam suara itu sejenak lantas menekan tombol kecil yang berada di sampingnya untuk dinyalakan.["Coba kau jawab jujur, tidak. Aku ingin kau menjawab dengan jujur. Di mana saja kau pada tanggal xx?"]["Tentu saja aku di kantor. Kantorku terbilang baru jadi ada banyak hal yang harus aku lakukan."]["Aku sudah bertanya ke beberapa pegawai di sana. Katanya kau sempat pergi selama beberapa jam pada tanggal itu."]["Itu pasti karena aku terlalu lama menemui istriku."]Percakapan itu tidak menimbulkan kesan negatif apa pun terhadap Julvri sendiri, ia mengatakannya secara lugas namun tanpa bukti. Sedikitnya ia mendengar Julvri tertawa pelan, Arum dibuat bingung karena Julvri sendiri. “Percakapan antara Julvri dan Jean. Ini memang berbeda dari interogasi polisi sewaktu itu. Aku ingat dengan jelas Julvri hampir mengatakan hal yang sama tapi dengan membawa saksi sebagai bukti tentang alibi kami
Arum merasa kecewa sekaligus marah terhadap Jean yang memperlakukan Julvri, suaminya sebagai seorang kriminal. Ia tidak menyangka bahwa Jean akan berpikir seburuk itu meski kenyataannya bahkan lebih jauh dari hanya sekadar seorang penculik.“Jangan sebut dia penculik! Seenaknya saja kamu bicara, Jean!” pekik Arum. “Memangnya salah aku berpikir begitu? Dia telah memperlakukanmu sangat buruk. Mengurungmu bahkan menyakitimu secara mental maupun fisik.”“Ya, aku tahu. Tapi meskipun begitu dia tidaklah sejahat yang kamu kira!”“Kenapa kamu masih saja membela dia setelah semua perlakuan buruknya padamu?!” bentak Jean, meninggikan suara. Arum berdecak kesal, sorot mata tajam hanya tertuju pada Jean seorang. Dahinya pun berkerut. Mereka saling bertukar tatap satu sama lain dan tak pernah berhenti saling adu argumen dengan emosi tinggi.“Jean, tarik kata-katamu!”“Itu fakta.”“Bukan, dia tidak akan melakukan itu. Lagi pula sebutan "penculik", itu tidak pas.”“Oh iya benar.” Jean mengulas sen
Sudah cukup lama Jean menyukainya bahkan mengungkapkan perasaan itu secara langsung tanpa berbasa-basi lagi. Jean Caspiro adalah orang kedua yang menyukai Arum, tapi kenyataannya hubungan lebih dari sekadar teman tidak akan pernah terwujud. Mungkin amat disayangkan namun Jean tak kenal menyerah.“Aku memang curang, membawanya tanpa seijin suaminya tapi itu aku lakukan demi keselamatan Arum. Terlebih tinggal satu atap dengan seorang pembunuh, mana mungkin aku biarkan begitu saja.”Mereka bertiga sudah pulang ke rumah, Jean saat itu sedang menyendiri di taman yang berada di belakang rumah. Duduk termenung sembari berpikir baik-baik tentang apa yang seharusnya ia lakukan untuk menjauhkan Arum dari Julvri.Amarah, kebencian, dendam dan rasa iri. Emosi negatif yang terus menggulung di dalam dada. Sesak rasanya jika memikirkannya bahwa Arum akan kembali pada Julvri, suaminya.“Ck!&r
Sepekan telah berlalu. Bulan Desember pada minggu terakhir, menjelang pergantian tahun malam nanti akan diadakan sebuah festival. Kota yang berdekatan dengan pantai dan laut sebelumnya sepi, kini telah ramai dari berbagai macam orang berdatangan. Entah dari kota lain, pedesaan atau bahkan dari luar negeri. Para turis asing bersemangat.Daya tarik kota ini tentu saja adalah sebuah pantai dengan keindahan laut tak tertandingi. Deburan ombak menerpa lembut ke bibir pantai, membasahi pasir hingga berubah warna menjadi gelap. Fajar telah menyingsing, setiap orang dari rumah mereka mulai beraktivitas tuk menyiapkan festival malam nanti.Begitu pula dengan Benedetta, Jean dan Arum yang berada satu rumah. Agar tidak menimbulkan kecurigaan, Arum dianggap sebagai kerabat dari kejauhan sehingga takkan memancing sebuah kesalahpahaman begitu para tetangga mendapati keberadaannya.“Kakak, sepertinya sudah terla
Pemandangan di senja hari tak kalah cantik dengan matahari yang baru saja terbit, matahari perlahan mulai tenggelam menampakkan keindahan yang sulit diungkapkan lewat kata-kata. Embusan angin menerpanya lembut, seolah sadar, Arum yang merasakan sakit di kedua pergelangan tangannya itu lantas menoleh ke belakang. “Aku kira Julvri sudah datang,” pikirnya yang merasa kecewa.Kontak batin tersalurkan dalam sadar, meski berupa dugaan nampaknya Arum yakin bahwa Julvri benar-benar telah datang meski tidak mendapati keberadaannya itu.Berjalan di atas pasir tanpa alas terasa lembut dan basah. Cuaca pun mendukung festival yang diadakan. Para pengunjung mulai tak sabar malam nanti, begitu juga dengan Arum. “Arum, kamu sedang menunggu siapa?” Dari samping Jean muncul dan membuat Arum sedikit terkejut, reflek ia menghindar. Sesaat mereka sama-sama terdiam. Dalam beberapa waktu setelahnya barulah Arum angkat bicara. “Apa maksudmu? Kamu membuatku terkejut saja, Detektif Jean.” Sekaligus bertan
Julvri mengenakan pakaian biasa, seperti orang-orang pada umumnya yang pergi ke pantai. Ia juga mengenakan topi guna menutupi wajahnya saat datang kemari. Berharap pertemuan dengan Arum berjalan lancar justru ia mendapati istrinya yang hendak menjatuhkan diri ke laut dari atas tebing.Julvri sangat terkejut dan lekas menghampiri dan menarik lengannya mundur agar tidak terjatuh sesuai harapan Arum sendiri. Wajah yang pertama kali dilihat setelah sepekan tidak berjumpa adalah wajah sedih.Air mata mengalir deras dari kedua matanya, berkaca-kaca sampai sulit melihat keadaan sekitar. Jika tidak mendengar suaranya saat berbicara maka mungkin Arum tidak akan tahu bahwa itu Julvri.“Julvri. Katakan padaku, apakah aku yang sudah berbohong ini tetap berharga di matamu?” tanya Arum.Keningnya mengerut, kelopak matanya bergetar, pupil yang hendak menghindari tatapan seorang p
Tidak adil. Satu kata yang paling pantas bagi Arum untuk dirinya sendiri ketika menghadapi kenyataan akan perasaan Julvri yang sebenarnya. Sosok pria yang seharusnya tidak punya hati, bahkan membunuh orang dengan mudah. Wajah yang tidak memperhatikan siapa yang dibunuh dan dengan apa."Bagaimana kamu bisa mengatakannya semudah itu?" Arum bertanya-tanya dalam hatinya saat ini.Tidak memahami dengan jelas apa maksud ucapan Julvri, Arum hanya bisa diam di sana. Air laut yang dingin membuat tubuh mereka gemetar kedinginan. Didekap di dada serta merasakan embusan napas darinya. Aneh tapi Arum merasa nyaman.“Aku sudah berbohong. Justru aku sudah siap jika kamu akan membunuhku karena itu jangan pernah menyakiti orang lain,” ucap Arum.“Tidak. Jangan mengatakan hal yang tidak masuk akal. Aku 'kan hanya sekadar mendorong kita berdua ke laut agar kamu tahu bahwa kemat
Mulut senjata api diarahkan langsung pada Julvri. Percuma saja hal seperti ini disembunyikan dan Julvri melepas pelukannya agar Arum mengerti situasi yang terjadi saat ini. “Semua wanita mengatakan hal yang sama. Kau itu sampah dan penipu ulung yang hanya bisa mempermainkan mereka,” sindir Jean sembari menatapnya tajam. “Jahat sekali. Mengatakan aku seperti itu, tapi itu hanya setengah benar saja.” Julvri sedikit tertawa. Arum mengernyitkan dahi, mendengar suara seseorang selain Julvri dan ia sadar suara siapa itu. Perlahan menoleh ke belakang dengan perasaan ragu, Arum berharap ini bukan seperti yang dipikirkannya. “Astaga ...,” Sayang seribu sayang, hal yang tak diinginkan ternyata sudah terjadi. Jean berada persis di belakang mereka dan mengetahui pertemuan ini secara langsung, namun yang membuatnya heran adalah untuk apa Jean menodongkan pistol?“Jean?” “Arum, cepat menyingkirlah dari sana!” pinta Jean setengah berteriak.Arum terdiam kebingungan, tidak begitu memahami apa m