Share

Karyawan Baru

Rendra tercekat. Pria itu langsung mengurai pelukannya. Mencipta jarak di antara keduanya. Sudah sering bagi Aleesha untuk menyuruh Rendra menikah lagi, dan mendapatkan keturunan dari wanita lain. Namun, Rendra tak pernah menyetujui ide gila dari istrinya.

Ia tidak pernah terpikir untuk mendua sedikit pun. Mengkhianati rumah tangganya. Hal itu tidak ada dalam prinsipnya untuk tidak setia.

"Jangan bodoh, Sha. Aku nggak akan melakukan itu, sampai mati pun," tukas Rendra. 

Aleesha menundukkan kepalanya. Menyusut air mata yang mulai mengering. Ia benar-benar tidak tahu lagi bagaimana caranya untuk membujuk suaminya agar mau menikah lagi.

"Mas, ini semua demi kebaikan kita. Mas tahu sendiri, kan kalau aku tak mungkin bisa hamil lagi. Kemungkinannya 0,1 persen. Hanya keajaiban yang dapat mewujudkan hal itu. Tetapi, aku nggak percaya akan keajaiban itu." Penuh emosi, Aleesha menumpahkan semua keluh kesahnya. 

Malam pekat yang dingin menjadi saksi bisu perdebatan mereka di dalam mobil. Angin malam kian menambah kesan dingin pada dua sejoli itu.

"Kumohon, sekali saja, kabulkan permintaanku ini." Rendra bergeming. Tak berniat menjawab ucapan Aleesha. 

Rendra menekan kuat pedal gas, dan melajukan mobilnya meninggalkan jalanan sepi. Mobil pajero itu melaju membelah malam yang gulita. 

Selama kembali dalam perjalanan pulang, keduanya diam seribu kata. Tidak ada lagi yang membuka suara. 

Tatapan mata Aleesha kosong menatap jalanan yang sepi. Hatinya terasa hampa. Untuk apa memiliki segalanya dan hampir sempurna. Percuma saja, jika dia tidak bisa mengandung dan melahirkan benih sebagai penerus keturunan Kusuma. 

*

"Pokoknya aku nggak boleh telat besok." gumam gadis itu pelan. Ia tersenyum, menampakkan gigi rapinya.

Amira Azzahra, nama gadis itu. Biasa dipanggil Amira. Besok adalah hari pertamanya bekerja sebagai karyawan tetap di sebuah perusahaan. Setelah sebelumnya, ia magang di tempat itu selama tiga bulan. Di training dengan begitu ketat, hingga akhirnya usahanya membuahkan hasil. Ia diterima menjadi karyawan tetap. 

"Amira, kamu belum tidur, Nak?" tanya sang Ibu, saat mendapati putrinya belum mematikan lampu kamarnya.

"Belum, Bu," sahut Amira, setengah berteriak. 

"Ibu boleh masuk, Nak?" 

"Boleh, Bu. Masuk aja."

"Besok berangkat jam berapa, Nak?" tanya Bu Rima.

"Kayaknya pagi banget, Bu. Aku takut telat soalnya," jawab Amira singkat. Ia masih fokus menyetrika blouse yang akan dipakainya besok.

Bu Rima tersenyum memperhatikan putrinya yang sangat bersemangat. Meski begitu, dalam hatinya terselip rasa iba. Sejak muda, Amira sudah bekerja keras, membanting tulang untuk menghidupinya. 

Mereka hanya tinggal berdua di sebuah rumah kontrakan yang sempit. Dulu, hidup mereka bisa dibilang berkecukupan. Namun, saat usaha ayahnya bangkrut dan menyisakan hutang yang begitu banyak. Amira harus menjalani hidup yang sangat keras. 

Ayahnya jatuh sakit, dan uang yang masih tersisa hanya cukup untuk biaya hidup sehari-hari. Hutang-hutang kian menumpuk, semakin mencekik kehidupannya yang menyedihkan.

Ayahnya meninggal saat Amira berada di semester terakhir sekolah menengah atasnya. Pukulan terberat bagi hidup Amira yang memaksanya harus bangkit dari masa-masa sulit itu. 

Dengan prestasinya yang gemilang, Amira berhasil lulus dengan nilai yang memuaskan. Namun, dengan berat hati dia mengorbankan keinginannya untuk melanjutkan kuliahnya. Ia memilih untuk bekerja. Keputusan itu sangat disayangkan oleh guru-guru yang mengenalnya.

Meski begitu, Amira tak menyerah berkat kegigihannya dan kepandaiannya. Ia melamar kerja di sebuah kafe. Amira pun memutuskan untuk menabung sedikit demi sedikit untuk bisa kuliah lagi. 

Impiannya terwujud dan ia baru menyelesaikan kuliahnya enam bulan yang lalu. Kini, dirinya sudah diterima bekerja di sebuah perusahaan bonafid. Itu merupakan pencapaian tertinggi dalam hidupnya. 

"Ibu nggak tidur?" Lamunan Bu Rima buyar saat Amira bertanya. 

"Eh, Iya. Ini ibu mau tidur, Nak. Jangan malam-malam tidurnya, Nak." Bu Rima berpamitan dan keluar dari kamar putrinya.

Amira mengantar sang Ibu hingga di ambang pintu. Ia me m eluk ibunya. Amira terkadang menunjukkan sisi manjanya. Meski dari luar, ia terlihat kuat dan tegar. Amira hanya seorang wanita biasa mempunyai sisi rapuhnya.

"Bu, doakan Amira, supaya pekerjaan Amira lancar," bisik Amira lirih. Ia hanya memiliki sang ibu dalam hidupnya. Ia adalah orang yang akan mengesampingkan keinginannya, dan lebih mementingkan keinginan orang terdekatnya lebih dulu. 

"Tentu, Sayang. Doa ibu selalu mengalir untukmu." Bu Rima meraih pergelangan tangan Amira. Wajahnya yang mulai dihiasi keriput itu, tersenyum. 

"Nah, Ibu tidur sekarang. Amira juga mau tidur, Bu. Sudah ngantuk." Usai mengatakan itu, keduanya masuk ke kamar masing-masing. 

Amira membuka jendelanya sedikit, mendongakkan wajah menatap langit bertabur bintang, dengan rembulan yang bersembunyi di balik awan. Angin sepoi membelai wajahnya.

"Aku harap, besok akan menjadi hari baikku," bisiknya seraya menatap langit malam yang pekat. Ia langitkan doa dan harapannya setinggi angkasa agar apa yang menjadi keinginannya tercapai. Meski akan banyak aral dan rintangan yang menanti di jalan yang akan ia lalui. Amira sudah siap untuk melewati semuanya.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status