Ulang tahun pertama Elio--putra mereka--seharusnya jadi perayaan cinta bagi Nadine dan Arvan. Namun yang datang justru duka, nisan, dan pengkhianatan. Nadine berdiri di pemakaman anaknya, menggenggam boneka beruang kecil, satu-satunya peninggalan yang masih mengandung aroma tubuh Elio. Anak itu bisa diselamatkan—kalau sang ayah, Arvan, bersedia mendonorkan sumsum. Namun yang Nadine dapatkan bukan pertolongan, melainkan penolakan dan penghinaan serta perselingkuhan dua orang terdekat. Seketika dunia Nadine runtuh, saat sebuah pesan video dari nomor tak dikenal mengungkap perselingkuhan antara Arvan dan sepupunya sendiri, Raline. Lalu, pesan lain menyusul: "Kau terlihat cantik dalam balutan duka. Lihatlah ke belakangmu." Dari situ, semuanya berubah menjadi lebih gelap. Didorong dari tangga pemakaman dan dituduh mencoba bunuh diri, Nadine terbangun di rumah sakit tanpa suara, tanpa anak, tanpa keluarga, tanpa apa-apa. Bahkan suaminya telah menceraikannya dalam keadaan koma. Dunia menghapusnya, satu demi satu. Namun ketika ia nyaris mengakhiri hidup dari rooftop rumah sakit, seorang pria asing menariknya kembali dari jurang kematian. Pria itu keras, dingin, dan penuh rahasia—tetapi juga satu-satunya orang yang tampaknya melihat Nadine … sebagai manusia, bukan sebagai tragedi berjalan. Siapa dia? Kenapa dia muncul di titik terendah hidup Nadine? Dan apa maksudnya dengan kalimat: "Kita belum selesai membicarakan tentang hidup"? Ketika luka lama terbuka dan rahasia demi rahasia terbongkar, Nadine menyadari: kematian Elio mungkin bukan akhir—melainkan awal dari sesuatu yang jauh lebih kelam.
View MoreHari itu seharusnya menjadi momen penuh kebahagiaan—ulang tahun pertama Elio. Namun alih-alih balon, kue dan lilin, yang hadir adalah tangis dan bunga duka. Nadine berdiri kaku di depan nisan mungil yang baru saja ditancapkan ke tanah basah. Dalam genggaman tangannya ada sebuah boneka beruang kecil milik putranya, satu-satunya peninggalan yang masih menyimpan aroma bayi Elio.
“Elio bisa diselamatkan kalau dapat donor sumsum, 'kan?” bisik salah satu tamu pemakaman. “Benar. Sebenarnya ayahnya, Arvan, satu-satunya yang cocok. Tapi katanya mereka sudah pisah ranjang sejak Nadine hamil. Arvan bahkan menolak jadi donor.” “Ya Tuhan! Jadi anak itu mati karena ayahnya sendiri menolak menyelamatkannya?” Kata-kata itu mengiris hati Nadine. Ia menggigit bibir untuk menahan isak. Mereka tak paham kebenaran di baliknya. Mereka tak tahu betapa ia sudah memohon, mengemis, bahkan mencium kaki pria yang dulu pernah ia cintai itu. “Aku tak mau urusan dengan anak itu,” ucap Arvan dulu. “Bayi itu adalah hasil dari malam sial, dan aku tidak akan mempertaruhkan hidupku untuknya.” Kini, jadi kenyataan pahit, Elio pergi. Bukan karena penyakit yang tak bisa disembuhkan, tetapi karena kebencian seorang ayah yang terlalu dalam. Satu-satunya keluarga yang tersisa kini hanya tinggal luka. Saat para pelayat telah meninggalkan pemakaman, Nadine duduk sendiri di tepi nisan. Suara notifikasi dari ponselnya memecah kesunyian. Ada sebuah pesan video dari nomor tak dikenal. Jari Nadine gemetar menekan tombol putar. Dalam rekaman itu, Arvan terlihat sedang bercinta dengan seorang wanita—Raline--sepupu Nadine. Di tengah tawa dan desahan, suara mereka terdengar begitu jelas. “Aku lebih baik denganmu, Raline. Nadine membosankan.” “Lupakan dia, Arvan! Aku yang kau butuhkan,” bisik Raline seraya mencium leher pria itu. Napas Nadine tercekat. Dadanya sesak bukan hanya karena kemarahan, tetapi juga karena pengkhianatan yang kini terasa begitu nyata. Saat anaknya meregang nyawa, dua orang terdekatnya justru bersenang-senang dalam kubangan dosa. Belum sempat ia menyeka air mata, pesan teks lain masuk. [Kau terlihat cantik dalam balutan duka. Lihatlah ke belakangmu, Nadine.] Dengan hati-hati, ia menoleh. Raline berdiri tak jauh dari tempatnya, mengenakan gaun hitam dengan senyum licik terpulas di wajah. “Apa lagi maumu?” tanya Nadine dengan suara rendah. Raline berjalan pelan, menyentuh nisan Elio seolah benar-benar berduka. “Hanya ingin melihat keponakanku terakhir kali. Sayang sekali, dia tak sempat mengenalku lebih lama.” “Kau sudah merampas suamiku, kebahagiaanku, dan kini putraku mati. Kau masih belum puas juga?” Raline menatapnya penuh kemenangan. “Aku belum puas… karena kamu masih hidup.” Napas Nadine tercekat. Seketika, tubuhnya didorong keras ke arah belakang. Ia terguling menuruni tangga pemakaman. Dunia berputar. Benturan keras di kepalanya membuat dunia perlahan menggelap. Namun samar, di antara jeritan pura-pura Raline yang memanggil pertolongan, Nadine melihat senyum Elio—di ujung pandangan, seolah menantinya. “Mama akan segera datang…” bisik Nadine, sebelum kesadarannya sirna. --- “Dokter! Pasien di kamar 187 sadar!” Seruan itu mengoyak keheningan, menarik Nadine dari tidur panjangnya yang terasa seperti seabad. Kelopak matanya terasa berat, cahaya menyilaukan menusuk retinanya begitu ia mencoba membuka mata. Suara langkah kaki tergesa-gesa mendekat. “Cepat hubungi keluarganya. Nona Nadine sudah sadar,” ujar sang perawat. Nadine hanya mampu menggerakkan bola matanya, mengamati langit-langit putih yang asing. Beberapa menit kemudian, pintu bangsal terbuka. Nadine berharap melihat wajah yang ia kenal—mungkin mama, atau… siapa pun yang mencintainya. Tapi bukan. Yang masuk adalah bibinya, Hestia, bersama suaminya, Danu. “Nadine… syukurlah…” Hestia langsung memeluknya. Namun, setelah pelukan itu, suara bibinya berubah menjadi sesenggukan. “Kenapa kamu mencoba mengakhiri hidupmu, Sayang?” Nadine mengerutkan kening. Mencoba bunuh diri? Tidak. Dia tidak mencoba… dia tidak melompat sendiri. Raline yang mendorongnya. Tapi suaranya tak keluar. Tenggorokannya kering, dan lidahnya terasa lumpuh. Dia mencoba bersuara, namun yang keluar hanya desah parau. “Kenapa suaranya serak seperti itu?” Danu menatap dokter yang baru saja masuk. Dengan ekspresi serius, dokter mempersilakan mereka keluar ruangan. Nadine hanya bisa melihat bayangan mereka dari balik kaca jendela. Lalu tangis Hestia meledak. “Kau bilang dia kehilangan bayinya… suaminya menceraikannya saat dia masih koma… dan sekarang dia alami trauma?!” Apa? Nadine membeku. Bisakah suaramu pulih? Tangannya menggigil, meraih selimut, berusaha bangkit. Tapi tubuhnya terlalu lemah. Dia jatuh dari ranjang. Infus tercabut, darah mengalir. Semua panik, termasuk dokter dan perawat yang berlari masuk. Setelah ditenangkan dan dikembalikan ke ranjang, Nadine hanya bisa menatap langit-langit kosong. Sampai akhirnya, Hestia menyerahkan sebuah kotak kecil. “Ini satu-satunya yang Tante bisa selamatkan dari rumah…” ucapnya lirih. Di dalamnya ada pakaian mungil berwarna biru—kaus milik bayi Nadine, Elio. Aroma sabun bayi masih tertinggal. Nadine mencium kain itu, menahan isak yang mendesak dari tenggorokan bisunya. Dengan tangan lemah, Nadine menulis di kertas. Cerai? Hestia mengangguk, matanya merah. “Arvan menceraikanmu tak lama setelah kamu koma. Dia juga meninggalkan semua utang atas namamu. Rumah, mobil, aset—semua atas nama perusahaan. Kau… tak punya apa-apa lagi.” Nadine memejamkan mata. Luka itu dalam. Terlalu dalam. Tapi Hestia belum selesai. “Ada satu lagi…” bisik Hestia. “Orang tuamu… mereka mengalami kecelakaan saat dalam perjalanan pulang dari pemakaman Elio. Mereka… tidak selamat, Nadine.” Tubuh Nadine menggigil. Tangisnya meledak tanpa suara. Seakan dunia benar-benar menghapus keberadaannya satu demi satu—anaknya, suaminya, suaranya, orang tuanya. --- Beberapa Hari Kemudian Nadine tidak pernah benar-benar pulih. Ia menjalani fisioterapi, makan dengan dipaksa, hidup dengan tubuh yang bergerak tanpa jiwa. Suatu malam, ia menunggu hingga malam berganti dini hari. Ia tahu jadwal petugas. Ia tahu rooftop rumah sakit akan terbuka selama lima belas menit untuk inspeksi udara. Angin dingin menyambutnya saat ia berdiri di tepi pembatas. Rambutnya beterbangan, gaun rumah sakitnya tipis melambai. Tangannya terbuka, seakan menyambut Elio di langit. “Elio … mama akan pulang.” Namun tepat ketika tubuhnya hendak melompat, sebuah tangan kuat menariknya ke belakang. Nadine terhuyung dan jatuh ke pelukan seseorang. “Gila,” gumam suara berat seorang pria. “Kalau mau mati, cari tempat lain. Jangan di sini. Aku tidak punya waktu menjelaskan pada polisi kenapa wanita setengah hidup ada di tanganku.” Nadine terbelalak. Pria itu berdiri dengan kemeja lusuh, mata cokelatnya tajam, penuh luka, namun tak ada sedikit pun iba dalam sorotnya. “Apa hidupmu semenyedihkan itu?” tanyanya. Nadine tak bisa menjawab. Hanya air mata yang mengalir dan kepala yang tertunduk. “Baiklah,” ucap pria itu sambil membalik badan. “Kalau kamu masih ingin mati besok malam, aku akan menunggumu. Tapi untuk malam ini, ikut aku. Kita belum selesai membicarakan tentang hidup.”Sebelum pintu kamar tertutup rapat, Nadine yang baru datang, buru-buru masuk. Rayhan tersenyum melihat kehadirannya. Ia menarik tangan wanita itu dengan kasar. Gerakan spontan itu membuat tubuh mereka bersamaan terempas ke atas ranjang empuk hotel bintang lima ini.Nadine meringis sejenak, bukan karena sakit semata, tetapi karena kejutan atas betapa buasnya sisi Rayhan yang baru saja dilihatnya.“Enggak bisakah kau sedikit lebih lembut?” bisik Nadine, setengah protes. Sisi kelakian Rayhan semakin tertantang karenanya.Rahyan tak menjawab. Tatapannya yang gelap penuh nafsu seakan-akan menelan semua protes dari Nadine. Tubuh Nadine dibalik dengan mudah, seolah-olah wanita itu tak lebih dari boneka di tangannya. Helaan napas Nadine tercekat ketika Rayhan membuka pahanya, memperjelas jarak di antara mereka yang semakin menguap—tak ada lagi ruang bagi logika, hanya letupan yang semakin membakar.Rayhan membungkuk, mencengkeram pinggang Nadine dengan kuat. Mata pria itu menatap wanitanya da
Sore itu, setelah memastikan baby sitter pergi, Nadine berdiri di balik jendela sambil menatap wanita yang masih mondar-mandir di gerbang paviliun. Meski penampilannya lebih glamor dari terakhir kali mereka bertemu, Nadine sangat mengenali wanita itu—Raline.Matanya membulat penuh emosi. Wajah yang sama yang pernah merenggut suaminya, yang bahkan berkonspirasi dalam kematian Elio. Nadine menutup tirai perlahan, berusaha mengatur napas yang mulai memburu.Ponselnya bergetar. Panggilan dari Rayhan.“Sayang, aku baru selesai rapat. Mau kutemani pemeriksaan Arsa di rumah sakit?” tanya Rayhan.Nadine menjawab dengan nada datar, “Nggak usah, Arsa lagi tidur. Aku ada hal penting yang harus kubereskan di rumah. Nanti aku kabari.”“Ada masalah?” Rayhan bertanya pelan, tanggap pada nada Nadine.“Belum tentu … tapi kemungkinan iya.”Selesai menutup telepon, Nadine langsung menghubungi security paviliun.“Pak, minta tolong. Jangan sampai perempuan di depan gerbang itu masuk! Saya tidak izinkan di
“Ini cukup untuk memutarbalikkan kenyataan,” gumamnya sambil tersenyum sinis.Tak lama, ponselnya berdering. Tampak Leonardo sedang menghubunginya.“Sudah siap untuk konferensi pers?” tanya suara di seberang.Raline mengangguk, meski ia tahu Leonardo tak melihat itu. “Setelah ini, Nadine akan terlihat seperti wanita yang menjebak dua pria demi harta. Kita hanya perlu satu ledakan terakhir.” Leonardo tertawa pelan. “Dan saat ledakan itu terjadi, tak ada yang bisa menyelamatkannya. Apalagi ketika polisi menemukan ‘barang bukti’ di tempatnya.” **Sejak Rayhan merasa keselamatan Nadine dan Arsa terancam, ia mengajak mereka pindah ke rumah mewahnya. Keamanan mereka lebih terjamin di rumah pribadi dengan pengawasan ekstra.Nadine baru akan menyusui Arsa, ketika terdengar suara mobil berhenti di luar pagar. Interkom dari pos jaga menghubunginya."Ada kurir mencari Anda, Nyonya."Nadine segera menatap layar pengawas. Seorang kurir berdiri di depan gerbang."Amati dia! Benar kurir atau bukan
Rayhan menerima kiriman email dari pengirim anonim. Kali ini, bukan dokumen medis—melainkan sebuah rekaman CCTV buram, dari lorong hotel di malam yang sama yang diceritakan Nadine.Dalam rekaman itu, terlihat Arvan yang setengah mabuk berjalan sempoyongan ke sebuah kamar hotel. Tak lama, seorang wanita muncul—bergaun gelap, membawa gelas minuman. Wajahnya hanya terlihat sebagian, tetapi Rayhan mengenali gaya berjalan dan siluet rambutnya, Raline.Ia menonton video itu dengan pandangan tajam. Kemudian di video kedua, yang membuat kedua matanya hampir terlepas, tampak seorang wanita dengan penampilan berantakan keluar dari kamar yang dimasuki oleh Arvan semalam.Detik demi detik terasa menusuk hati Rayhan. Tidak hanya karena kemungkinan jebakan itu nyata—tetapi juga karena bagaimana kehidupan Nadine telah dihancurkan oleh orang yang mengaku “keluarga”.***Beberapa Hari KemudianDi ruang kerjanya, Rayhan menatap layar komputer dengan tatapan kosong. Video dari email anonim itu terus ber
Beberapa Saat KemudianDi dalam mobil hitam yang berhenti di ujung jalan menuju paviliun, Raline duduk sambil menatap lurus. Matanya menyipit melihat tampilan Nadine yang terlihat lebih cantik dan bugar dari terakhir kali mereka bertemu.Wajahnya memerah menahan amarah. Kehidupan Nadine di luar ekspektasinya. Bahkan yang membuat Raline sakit hati, sepupunya itu tinggal di paviliun milik Rayhan."Aku pengen kasih kejutan buat Rayhan. Justru aku yang dibuat terkejut sama wanita tak tahu diri ini. Aku gak menyangka, dia tinggal di paviliun. Dasar jalang! Berlagak kayak nyonya besar lagi," gumam Raline geram. Jemarinya mengepal. "Jangan sebut namaku, Raline ... kalo gak bisa bikin hidupmu lebih hancur!"Ia membuka tas kecil, mengeluarkan sebatang rokok elektronik, mengisapnya dalam-dalam, lalu tertawa sinis."Aku akan datang lagi. Saat itu, gak cuma buat ketemu Rayhan. Tapi juga ngasih pelajaran buat kamu, Nadine."---Sementara Itu, di KantorRayhan baru saja keluar dari ruang rapat keti
Beberapa Hari KemudianPagi itu, langit cerah untuk pertama kalinya setelah berminggu-minggu hujan. Cahaya matahari menembus jendela paviliun, membingkai siluet Nadine yang tengah menimang Arsa di kursi goyang.Rayhan berdiri di ambang pintu. Tanpa sadar ia tersenyum melihat pemandangan itu—sebuah ketenangan yang selama ini terasa asing. Nadine tidak menyadari kehadirannya sampai pria itu berdehem pelan."Kau tahu,” ujar Rayhan, menyandarkan tubuh di kusen pintu, “aku pernah membayangkan momen seperti ini, saat bersama istriku.”Nadine terdiam, jadi canggung dan tak tahu harus merespon apa. Matanya hanya tertuju pada Arsa yang telah lelap dalam pelukan."Aku tidurkan Arsa dulu," ucap Nadine sambil beranjak menuju ranjang bayi. Setelah menaruh si mungil, ia balik badan. Rayhan masih berdiri mematung di ambang pintu.Pria tampan ini tersenyum samar dan itu membuat Nadine jadi semakin salah tingkah. Bagaimanapun, dirinya wanita dewasa dan sudah pernah mengarungi hidup berumah tangga.Ia
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments