 เข้าสู่ระบบ
เข้าสู่ระบบAzam akhirnya mengikuti permintaan ibunya untuk mencari istri kedua, karena pernikahannya dengan Alya yang sudah tujuh tahun belum juga memiliki anak. Ibunya sangat ingin memiliki cucu dari Azam, putra sulungnya. Karena itu, Alya sering mendapat perlakuan buruk dari mertua dan adik iparnya. Ia dianggap wanita miskin dan mandul. "Heh, Alya! Harusnya kamu tahu diri, kamu itu miskin, mandul pula! Tak setara dengan Azam yang tampan dan mapan, atau jangan-jangan kamu main dukun biar bisa morotin Azam ya?" ujar Bu Mayang suatu sore ketika Azam mengajak Alya berkunjung ke rumah mereka. Dan reaksi Azam seperti biasa, hanya diam. Alya sangat sakit hati, tapi ia tak bisa melawan karena masih menghormati mertua. Azam yang masih mencintai Alya bingung memilih antara istrinya atau Dina, calon istri kedua pilihan ibunya yang juga cantik dan menawan. Azam pun akhirnya setuju menikah lagi demi memiliki keturunan. Diam-diam, Alya memilih melepaskan Azam. Ia tak sanggup jika harus berbagi suami, terlebih ia selalu mendapat perlakuan buruk dari keluarga suaminya. Selama ini Alya bertahan karena cinta pada Azam, dan Azam yang selalu menjaga cintanya.Tapi kini, Azam sendiri yang telah membagi cinta itu. Akhirnya Alya memilih menggugat cerai dan bertekad membuktikan bahwa semua tuduhan itu salah. Dalam hati Alya berkata, "Lihat saja Mas, aku pastikan kamu dan keluargamu akan menyesal."
ดูเพิ่มเติมPOV Alya
"Apa, Mas?!"
“Mas bercanda kan?” lanjutku, dengan suara yang mulai bergetar. Tapi begitu melihat rautnya yang kaku, tanpa senyum sedikit pun, air mataku langsung jatuh. Mengalir deras, tanpa bisa kucegah.
“Mas serius, Sayang,” ucapnya pelan.
Aku menatapnya tak percaya. Suara tawaku pecah, tapi getir.
Hatiku seperti dihujam ribuan pisau. Sakitnya gak bisa dijelasin.
“Sayang, tolong dengerin Mas dulu,” katanya cepat. “Cinta Mas ke kamu gak berubah, sumpah! Mas masih sayang banget sama kamu. Tapi Mas juga pengen punya anak, Sayang. Kamu tau kan, Ibu dan Bapak tiap hari nanya cucu. Jadi, tolonglah... izinkan Mas menikah lagi sama Dina. Mas janji akan adil ke kalian berdua.”
Aku terdiam sejenak, lalu tersenyum miring. “Adil?”
Mataku menatapnya lurus. “Jadi selama ini Mas juga berpikir, aku mandul?”
Mas Azam menunduk. “Bu... bukan gitu maksud Mas. Tapi... di keluarga Mas gak ada yang mandul, baik laki-laki atau perempuan. Jadi...”
Aku langsung memotong. “Jadi kamu yakin, aku yang mandul?”
Mas Azam langsung panik. “Loh loh, kok jadi ke dokter segala. Ya udah, iya, Mas minta maaf. Maksud Mas bukan nuduh kamu mandul. Cuma... sampai kapan Mas harus nunggu? Mas pengen banget punya anak, Sayang. Jadi... satu-satunya jalan ya ini. Mas terima aja tawaran Ibu buat nikah sama Dina.”
Dia menatapku, memohon. “Mas tahu kamu sakit hati. Tapi cobalah tenangkan diri. Mas tetap cinta kamu, meski nanti ada Dina.”
Aku tercekat. Dadaku sesak.
Aku mengunci diri di kamar tamu. Tubuhku gemetar hebat, air mata tumpah tanpa bisa kucegah.
Tujuh tahun.
Ternyata aku salah.
Ibu mertua memang tak pernah menyukaiku sejak awal. Ia ingin Mas Azam menikahi Dina, gadis manis putri sahabatnya. Tapi waktu itu, Mas Azam menolak. Ia bilang, cintanya cuma buatku. Ia bahkan menentang ibunya demi menikah denganku. Aku pikir perjuangan kami dulu akan berakhir bahagia.
Tapi sekarang?
Pertanyaan demi pertanyaan berkecamuk di kepalaku. Air mata belum juga kering sampai akhirnya aku terlelap karena lelah menangis.
Aku terbangun saat cahaya matahari menembus jendela, menampar wajahku lembut.
Kepalaku berat, mataku bengkak. Tapi aku memaksa bangun.
Aku melangkah ke dapur, berniat membuat sarapan. Tapi langkahku terhenti.
“Jangan lupa dimakan sarapannya ya, Sayang.
I love you. — Azam.”
Tanganku gemetar saat membacanya. Seketika mataku panas.
Air mataku jatuh lagi. Tapi perutku menolak diajak berdrama. Ia berbunyi minta diisi.
Ya, aku tetap makan.
Setelah selesai, aku beranjak ke kamar mandi. Air shower yang dingin mengguyur seluruh tubuhku.
Karena mungkin, satu-satunya cara untuk menyelamatkan diriku… adalah pergi.
Siang itu matahari terasa lembut, tidak terlalu terik, tapi cukup hangat untuk membuat suasana jadi nyaman. Sebelum pulang ke rumah Ibu, aku dan Alina memutuskan mampir ke sebuah warung soto Betawi yang sangat akrab dalam ingatanku.Warung kecil di pinggir jalan itu tidak pernah berubah sejak dulu. Dindingnya masih dipenuhi foto-foto lama pelanggan, aroma rempah dan santan masih sama seperti ketika almarhum Ayah dulu sering mengajak kami makan di sini tiap habis gajian.Aku masih ingat betul, momen ketika Ayah duduk di kursi panjang dekat jendela, menyeruput soto sambil bercanda dengan Ibu. Hari itu selalu jadi hari yang ditunggu. Hari libur masak bagi Ibu, dan hari makan enak bagi kami sekeluarga.Kini, bertahun-tahun berlalu, hanya aku dan Alina yang datang. Tapi setiap kali menginjakkan kaki di sini, rasanya seperti k
“Tunggu, Mbak Alya!”Suara Laras memecah langkahku yang sudah hampir sampai di gerbang. Aku menoleh cepat. Wajahnya pucat pasi, napasnya terengah seperti habis berlari maraton.“Apa lagi?” tanyaku dingin.“T-tolong... jangan laporkan kami ke polisi, Mbak. Oke, ini... ini kami kembalikan semuanya,” katanya terbata, suaranya nyaris bergetar. Ia menoleh ke arah ibunya. “Ayo, Bu... lepas semua.”Bu Mayang terperangah. “Apa? Kamu ini ngomong apa sih, Laras? Gak usah nurutin perempuan mandul ini! Kita gak salah apa-apa!”Namun tatapan Laras penuh ketakutan. “Bu, Ibu mau kita masuk penjara?” desisnya lirih tapi cukup tajam untuk
Ingatanku langsung melesat ke peristiwa kemarin sore, saat Bu Mayang dan Laras datang ke rumah, meminta uang dengan wajah memelas. Kala itu Mas Azam masuk ke kamar dan sempat membuka lemari. Aku memang tak curiga, kukira dia hanya mengambil dompet atau pakaian ganti. Tapi sekarang, setelah tahu semua perhiasanku hilang, pikiranku tak bisa berhenti memutar kemungkinan itu.Apa mungkin… saat itulah Mas Azam mengambil semua perhiasanku dan menyerahkannya pada mereka?Hatiku bergetar hebat. Tak bisa dibiarkan! Itu jelas pencurian, mengambil barang milik orang lain tanpa izin, bahkan milik istrinya sendiri!Aku berpikir keras mencari kemungkinan lain, tapi nihil. Di rumah ini hanya ada aku dan Mas Azam. Tidak ada orang luar yang punya akses ke kamar kami. Beberapa hari lalu mema
Mas Azam baru saja masuk kamar ketika aku masih senyum-senyum sendiri di depan laptop. Refleks, aku menutup tab yang sedang kubuka dan cepat-cepat menggantinya dengan halaman berita lain.Untung dia tak melihat apa yang sebenarnya sedang kubaca, artikel tentang kasus orang tua Dina yang akhirnya viral di media. Entah kenapa, membaca tentang kesialan mereka memberiku sedikit rasa lega… seperti keadilan kecil dari semesta."Lihat apa sih, sampai senyum-senyum sendiri gitu?" tanya Mas Azam sambil melepas jam tangannya."Ah, nggak, cuma konten lucu aja, Mas," jawabku cepat, berusaha terdengar santai.Mas Azam cuma mengangguk tanpa rasa ingin tahu. Ia lalu membuka lemari dan mulai memilih baju. Aku kira dia cuma mau ganti pakaian, jadi aku kembali fokus ke layar laptop. Jari-jariku mengetik asal, tapi pikiranku tetap tak bisa lepas dari rencana perceraian ini. Semoga saja semua berjalan sesuai yang sudah kususun dengan Bang Will.*****Seminggu kemudian, tiba saatnya sidang pertama percera
Sudah beberapa hari Bu Mayang tak muncul. Biasanya aku justru bersyukur kalau beliau tak datang, karena setiap kedatangannya selalu diiringi ribut-ribut yang menguras tenaga dan emosi. Tapi hari ini, suara khas langkah kakinya yang cepat dan berat kembali terdengar di depan rumah.Aku baru saja menyiapkan teh hangat ketika pintu terbuka tanpa diketuk. Dan benar saja, Ibu mertuaku muncul diambang pintu. Di belakangnya ada Laras, adik iparku, menunduk dengan wajah gelisah.“Assalamu’alaikum,” ucap mereka tanpa ekspresi.“Waalaikumsalam,” jawabku datar. Belum sempat aku mempersilakan duduk, Bu Mayang sudah lebih dulu membuka suara dengan nada tinggi.“Mana, Zam, uang lima juta yang Ibu minta kemarin? Ibu udah kirim pesan berapa kali, tapi kamu gak jawab-jawab!”Mas Azam yang sedang membaca koran sontak menegakkan badan. “Lho, Bu, Azam belum gajian. Lagian, buat apa sih uang sebanyak itu?”“Buat kuliahnya Laras, Zam! Ya kan, Ras?” tanya Bu Mayang, melirik anaknya dengan tatapan tajam.Lar
Dari dalam kamar, samar-samar kudengar dering ponsel Bu Mayang. Suaranya nyaring dan berulang-ulang, tapi tak juga diangkat. Padahal biasanya, kalau yang menelepon anaknya, dia akan cepat-cepat menjawab sambil menyalakan mode drama.Aku tahu persis, kali ini yang menelepon pasti Mas Azam. Dia pasti sudah melihat sendiri seluruh kejadian tadi lewat tayangan CCTV yang langsung terkoneksi ke ponselnya. Aku bahkan bisa membayangkan bagaimana paniknya Bu Mayang saat tahu kebohongannya terbongkar. Pasti dia sekarang sedang bingung harus berkata apa kalau anaknya bertanya.“Biarin aja,” gumamku pelan sambil menatap layar laptop. “Biar dia panik sendiri.”Aku sudah terlalu lelah menghadapi ibu mertua yang selalu cari gara-gara itu. Sekarang fokusku hanya satu: bebas dari rumah ini, tanpa harus membuat Mas Azam curiga.Beberapa jam terakhir kuhabiskan untuk mencari informasi di internet. Aku mengetik kata kunci: cara mengajukan gugatan cerai online.Begitu hasilnya muncul, mataku langsung berb












Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

ความคิดเห็น