Istri Yang Kau Anggap Mandul

Istri Yang Kau Anggap Mandul

last updateปรับปรุงล่าสุด : 2025-10-31
โดย:  Eladzakyอัปเดตเมื่อครู่นี้
ภาษา: Bahasa_indonesia
goodnovel18goodnovel
คะแนนไม่เพียงพอ
14บท
8views
อ่าน
เพิ่มลงในห้องสมุด

แชร์:  

รายงาน
ภาพรวม
แค็ตตาล็อก
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป

Azam akhirnya mengikuti permintaan ibunya untuk mencari istri kedua, karena pernikahannya dengan Alya yang sudah tujuh tahun belum juga memiliki anak. Ibunya sangat ingin memiliki cucu dari Azam, putra sulungnya. Karena itu, Alya sering mendapat perlakuan buruk dari mertua dan adik iparnya. Ia dianggap wanita miskin dan mandul. "Heh, Alya! Harusnya kamu tahu diri, kamu itu miskin, mandul pula! Tak setara dengan Azam yang tampan dan mapan, atau jangan-jangan kamu main dukun biar bisa morotin Azam ya?" ujar Bu Mayang suatu sore ketika Azam mengajak Alya berkunjung ke rumah mereka. Dan reaksi Azam seperti biasa, hanya diam. Alya sangat sakit hati, tapi ia tak bisa melawan karena masih menghormati mertua. Azam yang masih mencintai Alya bingung memilih antara istrinya atau Dina, calon istri kedua pilihan ibunya yang juga cantik dan menawan. Azam pun akhirnya setuju menikah lagi demi memiliki keturunan. Diam-diam, Alya memilih melepaskan Azam. Ia tak sanggup jika harus berbagi suami, terlebih ia selalu mendapat perlakuan buruk dari keluarga suaminya. Selama ini Alya bertahan karena cinta pada Azam, dan Azam yang selalu menjaga cintanya.Tapi kini, Azam sendiri yang telah membagi cinta itu. Akhirnya Alya memilih menggugat cerai dan bertekad membuktikan bahwa semua tuduhan itu salah. Dalam hati Alya berkata, "Lihat saja Mas, aku pastikan kamu dan keluargamu akan menyesal."

ดูเพิ่มเติม

บทที่ 1

Bab 1 - Titik Kehancuran

POV Alya

"Apa, Mas?!"

Suaraku tercekat di tenggorokan.

“Kamu mau... menikah lagi?” tanyaku tak percaya.

Kupandangi wajah Mas Azam dalam-dalam, berharap semua ini hanya lelucon yang kelewatan batas. Tapi tatapan matanya serius, nyaris tanpa ekspresi.

“Mas bercanda kan?” lanjutku, dengan suara yang mulai bergetar. Tapi begitu melihat rautnya yang kaku, tanpa senyum sedikit pun, air mataku langsung jatuh. Mengalir deras, tanpa bisa kucegah.

“Mas serius, Sayang,” ucapnya pelan.

“Ibu memaksa Mas untuk menikahi Dina, biar Mas bisa punya keturunan. Kamu tahu kan, Ibu dan Bapak sudah sepuh... mereka ingin banget punya cucu.”

Aku menatapnya tak percaya. Suara tawaku pecah, tapi getir.

“Halaah... bilang aja Mas juga suka sama Dina itu, kan?!” suaraku meninggi. “Janji-janji Mas selama ini ke mana? Katanya cuma cintain aku, katanya gak bakal ninggalin aku... tapi sekarang?!”

Hatiku seperti dihujam ribuan pisau. Sakitnya gak bisa dijelasin.

Tujuh tahun aku setia, tujuh tahun aku berjuang di tengah hinaan mertua dan adik ipar, dan sekarang... suamiku sendiri yang menghancurkan semuanya.

“Sayang, tolong dengerin Mas dulu,” katanya cepat. “Cinta Mas ke kamu gak berubah, sumpah! Mas masih sayang banget sama kamu. Tapi Mas juga pengen punya anak, Sayang. Kamu tau kan, Ibu dan Bapak tiap hari nanya cucu. Jadi, tolonglah... izinkan Mas menikah lagi sama Dina. Mas janji akan adil ke kalian berdua.”

Aku terdiam sejenak, lalu tersenyum miring. “Adil?”

Suara tawaku pecah lagi, kali ini penuh sarkas.

“Mas, di dunia ini gak ada poligami yang adil. Dimana-mana, madu selalu lebih manis. Dan aku tahu, pada akhirnya, akulah yang bakal tersingkir.”

Mataku menatapnya lurus. “Jadi selama ini Mas juga berpikir, aku mandul?”

Suaraku bergetar, tapi nadanya tajam. “Emang kita pernah periksa ke dokter? Belum kan? Jadi, dari mana kesimpulan itu datang?”

Mas Azam menunduk. “Bu... bukan gitu maksud Mas. Tapi... di keluarga Mas gak ada yang mandul, baik laki-laki atau perempuan. Jadi...”

Aku langsung memotong. “Jadi kamu yakin, aku yang mandul?”

Suaraku mulai meninggi. “Mas, kemampuan punya anak itu bukan diturunkan! Keluargaku juga sehat semua. Kalau berani, ayo kita periksa ke dokter, biar jelas siapa yang mandul!”

Mas Azam langsung panik. “Loh loh, kok jadi ke dokter segala. Ya udah, iya, Mas minta maaf. Maksud Mas bukan nuduh kamu mandul. Cuma... sampai kapan Mas harus nunggu? Mas pengen banget punya anak, Sayang. Jadi... satu-satunya jalan ya ini. Mas terima aja tawaran Ibu buat nikah sama Dina.”

Dia menatapku, memohon. “Mas tahu kamu sakit hati. Tapi cobalah tenangkan diri. Mas tetap cinta kamu, meski nanti ada Dina.”

Aku tercekat. Dadaku sesak.

“Cinta?” aku hampir tertawa. “Cinta apa yang tega berbagi ranjang dengan orang lain?”

Seketika amarahku memuncak.

“Mas, denger baik-baik. Sampai kapanpun aku gak akan pernah rela dipoligami!” teriakku keras, sebelum membanting pintu kamar dan berlari keluar.

Aku mengunci diri di kamar tamu. Tubuhku gemetar hebat, air mata tumpah tanpa bisa kucegah.

Kulempar bantal ke dinding, lalu terkulai lemas di ranjang.

Tangisku pecah sejadi-jadinya.

Tujuh tahun.

Tujuh tahun aku jadi istri yang setia.

Tujuh tahun menelan hinaan keluarga suamiku yang selalu menyebutku wanita mandul, rahim kosong, rahim rusak. Tapi aku bertahan, karena Mas Azam. Karena aku pikir cinta kami cukup kuat untuk melawan segalanya.

Ternyata aku salah.

Ternyata cinta saja tak cukup.

Ibu mertua memang tak pernah menyukaiku sejak awal. Ia ingin Mas Azam menikahi Dina, gadis manis  putri sahabatnya. Tapi waktu itu, Mas Azam menolak. Ia bilang, cintanya cuma buatku. Ia bahkan menentang ibunya demi menikah denganku. Aku pikir perjuangan kami dulu akan berakhir bahagia.

Tapi sekarang?

Mas Azam justru kembali pada pilihan Ibunya.

Apa artinya semua pengorbanan kami dulu?

Apa cintanya padaku cuma selemah itu?

Pertanyaan demi pertanyaan berkecamuk di kepalaku. Air mata belum juga kering sampai akhirnya aku terlelap karena lelah menangis.

Aku terbangun saat cahaya matahari menembus jendela, menampar wajahku lembut.

Pukul tujuh lewat sepuluh.

Biasanya jam segini Mas Azam sudah berangkat kerja.

Kepalaku berat, mataku bengkak. Tapi aku memaksa bangun.

Saat keluar dari kamar, rumah terasa sepi. Mungkin dia memang sudah pergi.

Biasanya, meski sedang haid pun aku tetap bangun pagi, menyiapkan sarapan untuknya, menyetrika bajunya, memastikan dasinya rapi. Tapi hari ini… tidak. Aku terlalu lelah untuk pura-pura baik-baik saja.

Aku melangkah ke dapur, berniat membuat sarapan. Tapi langkahku terhenti.

Di atas meja sudah ada sepiring roti panggang dan segelas susu hangat, kesukaanku.

Di sebelahnya, secarik kertas dengan tulisan tangan yang sangat kukenal.

“Jangan lupa dimakan sarapannya ya, Sayang.

I love you. — Azam.”

Tanganku gemetar saat membacanya. Seketika mataku panas.

Kertas itu kuremas dan kulempar ke tempat sampah.

“Semua ini manis, Mas,” gumamku lirih, “tapi sayangnya aku udah gak bisa menelannya.”

Air mataku jatuh lagi. Tapi perutku menolak diajak berdrama. Ia berbunyi minta diisi.

Akhirnya aku duduk, mengambil roti panggang itu dan memakannya perlahan.

Ya, aku tetap makan.

Yang salah bukan rotinya, tapi dia yang menyiapkannya.

Dan aku gak mau menyiksa tubuhku sendiri hanya karena hatiku hancur.

Setelah selesai, aku beranjak ke kamar mandi. Air shower yang dingin mengguyur seluruh tubuhku.

Kupanjatkan doa dalam hati.

Bukan untuk mempertahankan pernikahan ini, tapi agar aku diberi kekuatan untuk melepaskannya.

Karena mungkin, satu-satunya cara untuk menyelamatkan diriku… adalah pergi.

แสดง
บทถัดไป
ดาวน์โหลด

บทล่าสุด

บทอื่นๆ

ถึงผู้อ่าน

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

ความคิดเห็น

ไม่มีความคิดเห็น
14
สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status