Mayang memandang nanar Bu Fatma. Ada pengertian samar yang perlahan masuk dalam benaknya. Hal pertama yang ingin ia lakukannya segera adalah kabur! Mayang berlari ke arah pintu. Herannya tidak ada seorang pun yang menahannya. Mereka semua malah tertawa. Padahal tidak ada hal lucu yang perlu mereka tertawakan. Dengan tangan gemetaran, Mayang memutar gagang pintu. Terkunci! Pantas saja mereka semua tertawa. Karena mereka sudah tau kalau perbuatannya itu sia-sia belaka.
"Sudahlah, Mayang. Terima saja takdirmu. Mulai hari ini, pintar-pintarlah kamu membawa diri. Bahagia atau sengsaramu di sini, kamulah yang menentukannya. Ibu pergi dulu." Bu Fatma melenggang pergi begitu saja, setelah salah seorang pengawal si ibu menor mengeluarkan serenceng kunci. Saat pintu dibuka dan Bu Fatma keluar, Mayang ikut menghambur ke arah pintu. Namun usahanya sia-sia. Secepat pintu dibuka, secepat itu pula pintu ditutup. Kini hanya tinggal lima orang saja di dalam ruangan. Si ibu menor pemiliknya. Empat orang pengawal si ibu menor, dan dirinya sendiri. Mayang mengkeret saat si ibu menor mendekatinya.
"Kamu tidak usah ketakutan begitu, Mayang. Nama kamu Mayang 'kan? Santai saja. Seperti yang telah kamu dengar tadi, saya adalah pemilikmu. Bahasa gampangnya adalah mucikarimu. Panggil saja saya dengan sebutan Mami Elsye." Wanita menor yang bernama Elsye tersebut, menghampiri Mayang. Mata tajamnya yang diberi celak hitam, memandang Mayang dingin.
"Mulai hari ini, apartemen ini adalah rumahmu. Di sini, kamu akan tinggal dengan tujuh orang wanita penghibur lainnya. Khusus hari ini kamu boleh libur. Karena hari ini kamu akan ditatar khusus oleh para seniormu tentang tata cara memuaskan tamu. Tetapi besok kamu sudah harus bekerja. Mengerti?"
"Tidak mau! Saya ingin pulang! Saya bukan milik siapa-siapa. Buka pintunya. Buka!" Mayang panik. Ia memutar-mutar gagang pintu sekuat tenaga. Ia tidak mempedulikan kata-kata Mami Elsye. Mami Elsye itu bukan siapa-siapanya. Ia tidak harus mendengarkan perkataannya.
"Jaya, Abdul, beri anak ini sedikit pelajaran. Kalau setelahnya ia masih membangkang, kurung dia di ruang khusus sampai dia menyerah. Ingat, jangan beri dia apapun sampai besok pagi. Saya ingin melihat. Sampai berapa lama ia sanggup membangkang."
Mami Elsye mendekati pintu. Seperti saat Bu Fatma keluar tadi, salah seorang pengawal dengan segera membuka pintu. Dengan cepat Mayang bergerak. Ia ingin ikut keluar. Namun seorang pengawal yang dipanggil Jaya, menahan laju tubuhnya. Mayang tidak mau menyerah. Dengan beringas ia berusaha melepaskan diri dari sang pengawal. Sang pengawal yang marah, membopongnya di punggung seperti sekarung beras. Mayang yang tidak mau menyerah, memukuli punggung si pengawal. Ia berteriak, memukul sembarang, hingga menggigit keras tangan si pengawal. Si pengawal yang kesakitan menurunkan Mayang dari punggungnya. Sebagai balasan atas kenekadannya, sang pengawal menamparnya keras bolak balik. Mayang terbatuk. Ia merasa kedua pipinya nyeri dan panas. Selain itu, ia mencecap rasa asin darah. Namun Mayang masih belum mau menyerah. Ia kembali menerjang ke depan, saat bayangan Mami Elsye berkelebat melewati ambang pintu.
"Tunggu! Jangan tinggalkan saya di sini! Saya mau pulang!" Mayang kembali berteriak histeris. Ia ketakutan. Bagaimana nasibnya jika ia terkurung di sini? Lebih dari itu, ia sedang hamil. Akan jadi apa kandungannya nanti saat ia harus bekerja? Senaif-naifnya dirinya, ia tahu akan dijadikan apa ia di sini. Namun teriakannya sia-sia. Mami Elsye dan dua orang pengawalnya telah pergi. Meninggalkannya di apartemen dengan Jaya dan Abdul yang sadis. Ketakutan memikirkan nasibnya, Mayang kembali menjerit-jerit histeris seraya menggedor-gedor daun pintu. Ia putus asa dan tidak tahu harus mencari bantuan ke mana.
"Lo bisa diem nggak hah?" Sebuah tamparan keras kembali melayang ke pipi Mayang. Kali ini kuatnya tamparan, menghempaskan kepala Mayang hingga ke sisi kanan. Seketika Mayang merasa kepalanya mendadak ringan. Detik berikutnya ia seperti tersedot ke dalam pusaran hitam yang menggulungnya kejam. Ia sudah tidak ingat apa-apa lagi.
***
Jakarta, 10 Januari 2014.
Mayang berjalan tergesa menghampiri Mami Elsye. Di belakangnya, Abdul, sang pengawal membayangi dalam diam. Air muka Mayang begitu masam. Berbanding terbalik dengan Mami Elsye yang tersenyum bahagia di sudut club. Mayang tahu, Mami Elsye sedang girang bukan kepalang karena para kupu-kupu kertasnya banyak mendapat bookingan. Mami Elsye bahkan tidak malu-malu menjemur gigi, sambil membuat gerakan mengipas-ngipas dengan lembaran uang. Mami Elsye puas karena anak didiknya laris manis semua. Mayang geram. Mereka semua yang sibuk bekerja tanpa kenal malu apalagi lelah, tetapi Mami Elsyelah yang menikmati hasil jerih payah mereka semua. Dasar germo keparat! Setelah langkahnya sampai di depan Mami Elsye, Mayang memuntahkan kekesalannya. Saat ini ia sudah tidak peduli pada apapun lagi. Mentalnya sudah jauh berbeda dengan mentalnya dua tahun lalu.
"Mengapa Mami ingkar janji?" tuntut Mayang tanpa tedeng aling-aling. Mami Elsye meliriknya sesaat. Namun germo keparat itu tidak menanggapi pertanyaannya sama sekali. Mami Elsye hanya menganggapnya seperti seekor lalat.
"Maksud kamu apa, Mayang? Mami tidak mengerti? Sudah sana kerja. Masalah lainnya nanti kita bicarakan saja di apartemen." Mami Elsye mengibaskan tangan. Tanpa mempedulikan Mayang lagi, Mami Elsye berjalan menghampiri seorang pemuda gagah tattoan yang baru masuk ke dalam club. Walau muda, tetapi Mami Elsye tampak sangat menghormati sang pemuda. Sepertinya Mami Elsye memang sudah menanti-nantikan kedatangan sang pemuda.
Mayang tidak mau kalah. Ia mengekori langkah Mami Elsye nekad. Ia sudah terlalu lama dimanfaatkan oleh germo keparat ini. Kini ia ingin bebas!
"Saya tidak mau bekerja lagi. Karena itulah saya mencari Mami di jam bebas saya ini." Kalimat Mayang sukses membuat Mami Elsye menyurutkan langkah. Mami Elsye kini berbalik menghadap Mayang dengan air muka bengis.
"Tidak mau bekerja lagi kamu bilang? Coba ulangi sekali lagi kata-katamu?"
"Saya tidak mau bekerja lagi," eja Mayang tegas. Ia tidak mempedulikan ekspresi Mami Elsye yang mendadak berubah beringas. Terlalu lama ditekan, bisa membuat seseorang nekad. Begitu juga dengan dirinya.
"Dulu Mami bilang saya bisa bebas dari tempat ini, kalau saya bisa membayar 100 juta rupiah. Karena sejumlah itulah Mami dulu membayar Bu Fatma. Dan hari ini, tepat setelah dua tahun saya berada di sini, saya baru mampu mengumpulkan uang sejumlah yang Mami minta. Uang simpanan saya tersebut, tadi sudah saya berikan pada Abdul. Itu artinya saya sudah bebas bukan? Tapi kata Abdul, Mami tidak mengizinkan saya keluar dari apartemen. Mengapa Mami ingkar?" Mayang meradang.
Mayang meluapkan segenap emosinya. Sejak hari pertama tinggal di apartemen, ia telah dipaksa bekerja. Akibatnya ia mengalami pendarahan dan keguguran di hari itu juga.
Saat memohon untuk dipulangkan ke Banjarnegara, Mami Elsye meminta satu syarat. Yaitu ia harus membayar 100 juta yang tentu saja tidak mampu ia bayar. Kala ia menolak bekerja, Abdul dan Jaya akan mengurungnya di ruangan khusus dan membiarkannya kelaparan. Kedua pengawal Mami Elsye tersebut juga tidak segan-segan memukulinya. Masalah perut sejengkal membuatnya menyerah. Dengan keluguan seorang remaja tujuh belas tahun, ia terpaksa menjalani profesi sebagai seorang wanita penghibur.
Begitulah, selama dua tahun penuh ia terkurung di dalam apartemen. Ia hanya boleh keluar apartemen untuk bekerja. Artinya melayani para laki-laki hidung belang di club. Dalam kurun dua tahun itu, ia diperlakukam bagai budak pemuas nafsu tamu-tamu club oleh Mami Elsye, yang letaknya tidak jauh dari apartemen. Mayang sadar. Tanpa membayar, mustahil ia bisa keluar dari pekerjaannya ini. Oleh karena itulah, siang dan malam ia terus bekerja. Ia menyisihkan 5 juta rupiah setiap bulan, untuk dibayarkan pada Mami Elsye. Ia juga mengirim sejumlah uang pada keluarganya di Banjarnegara. Kepada mereka, ia mengaku kalau telah mendapat pekerjaan tetap di Jakarta. Begitulah, selama dua tahun ia menjalani hidupnya di ibukota.
"100 juta itu hutang pokok Mayang. Bunganya adalah 10% setiap bulannya, yaitu 10 juta tiap bulan. Kalikan 2 tahun. Jadi kamu harus membayar membayar sejumlah 240 juta lagi kalau kamu ingin bebas hari ini. Tapi kalau besok-besok, lain lagi perhitungannya. Ngerti kamu?"
Bunganya 10% tiap bulan? Dasar germo lintah darat!
"Mami tidak mengatakan soal bunga pada saya dua tahun lalu! Mami hanya mengatakan 100 juta." Mayang mengkertakan geraham. Betapa ia putus harapan sekarang. Kemarin ia telah membusungkan dada dengan gembira. Berharap agar ia bisa secepatnya terbebas dari tempat ini. Namun kini semua harapannya buyar! Sepertinya ia akan terus membusuk di tempat ini.
"Kamu pikir kamu bisa makan, tidur, dan bera* gratis di Jakarta ini? Tidak bisa, Shay! Bunganya adalah biaya kompensasi kamu selama tinggal 2 tahun di apartemen saya! Sekarang kita sudahi omong kosong ini, dan kembalilah bekerja. Nanti malam pasti akan ramai. Banyak pejabat-pejabat dari luar kota yang meeting di Jakarta hari ini. Bersiaplah mendapat tangkapan ikan besar. Sana, dandan yang cantik!" Mami Elsye mengibaskan tangan ke udara. Ia menganggap pembicaraan konyol ini sudah selesai.
"Tidak mau! Mami boleh memerintahkan Abdul dan Jaya untuk memukuli, bahkan membunuh saya. Saya tidak takut. Toh saya memang sudah mati sejak dua tahun lalu," tantang Mayang nekad. Ia sudah tidak mempedulikan apapun sekarang. Mati hanya sekali. Sungguh, ia memang sudah seputus asa ini sekarang.
"Mati itu gampang, Mayang. Tapi apa kamu sampai hati membuat keluargamu di kampung menanggung malu berkali-kali lipat. Anak gadis tulang punggung keluarga, yang digadang-gadang sukses di ibukota mati dengan nista. Mati dalam profesi sebagai pelacu*. Tega kamu melemparkan setumpuk kotoran di wajah kedua orang tuamu? Lantas, mau jadi apa kedua adikmu yang masih sekolah dan ayahmu yang sakit-sakitan? Kamu mau kalau ayahmu mati juga? Mau kamu?" Mami Elsye menoyor kening Mayang dengan jari telunjuknya.
Mayang adalah primadona di clubnya. Mana mungkin ia akan melepaskan Mayang semudah itu? Dari pertama kali melihat Mayang, ia tahu kalau gadis ini kelak akan menjadi bintang. Wajahnya yang sendu namun seksi, mempunyai daya jual tinggi. Kecantikan Mayang menguras emosi laki-laki. Mayang tampak rapuh sekaligus menggairahkan. Perpaduan mematikannya selalu tidak pernah gagal dalam menjerat pelanggan. Hati laki-laki mana yang tidak bergetar melihat sendunya air muka Mayang? Ditambah dengan rambut ikal sepinggangnya, Mayang seperti hasrat terlarang yang diimpi-impikan semua kaum adam. Lihatlah, dalam busana tertutup dan wajah pucat seperti ini pun, aura seksi Mayang tidak terbantahkan.
Mendengar kalimat demi kalimat bernada provokasi dari Mami Elsye, Mayang meradang. Mami Elsye menyerang sisi emosionalnya. Topik tentang keluarganya itu terlarang baginya. Ia sanggup melakukan apapun demi keluarganya. Membawa-bawa nama keluarganya dalam masalah mereka, membuat Mayang kalap. Dengan membabi buta ia menjambak rambut panjang Mami Elsye dan membantingnya ke lantai club. Mami Elsye yang tidak menyangka kalau Mayang akan menyerang, tidak siap. Ia terjatuh dengan posisi Mayang yang kini menduduki perutnya.
"Dasar germo bejat! Lintah darat! Karena Mami lah, saya sekarang jadi seperti ini. Mami pikir Mami ini siapa hah? Sampai-sampai Mami berani menyumpahi ayah saya? Siapa?" Mayang yang kalap memukuli Mami Elsye yang terlentang di bawah tubuhnya. Namun aksinya tidak bertahan lama. Abdul dan dua pengawal lainnya muncul dan gantian menggampari Mayang. Mami Elsye dan sudah berdiri kembali, menyumpahi Mayang dengan rambut awut-awutan.
"Sudah berani kamu dengan saya, Mayang? Berani? Sekarang rasakan pembalasan saya melalui Abdul dan Jaya. Lihat, apa kamu besok masih bisa berdiri? Dasar lont* sialan!" Mami Elsye menyempatkan menghajar wajah Mayang yang sudah berdarah-darah. Abdul dan Jaya, memang terkenal sadis saat marah.
"Sudah pertunjukannya?" Sebuah suara menyela dari arah belakang Mami Elsye. Dengan mata yang sudah tertutup separuh karena bengkak, Mayang memandang si pemilik suara. Ternyata si pemuda gagah tattoan yang tadi ingin ditemui Mami Elsye.
"Maaf ya, Xander. Kamu sampai harus melihat drama-drama murahan seperti ini. Ayo Mami akan segera membayar minuman yang sudah papamu kirimkan. Uangnya sudah Mami siapkan kok." Mami Elsye buru-buru menghadap Xander. Anak Axel ini memang tidak banyak bicara. Karena itulah, setiap kata-kata yang keluar dari mulutnya berbahaya. Ia harus segera mengurus pembayaran minuman yang dipasok oleh papa Xander.
"Tidak perlu. Uang itu adalah pengganti kebebasan perempuan ini," Xander menunjuk Mayang dengan dagunya. Mami Elsye tercekat. Ia sama sekali tidak menyangka kalau Xander akan memberi Mayang kebebasan. Padahal tadi ia hanya menggertak. Rugi besar kalau ia melepaskan Mayang. Mayang adalah investasinya dalam jangka panjang.
Akan halnya Mayang, ia takut kalau pendengarannya salah. Makanya sekarang telinganya berusaha ia buka lebar-lebar. Tadi telinganya memang terasa berdenging akibat pukulan-pukulan Abdul dan Jaya.
"Maksudnya?" Mami Elsye berusaha mengelak. Otaknya dengan cepat berputar. Berusaha mencari alasan yang tepat untuk menggagalkan niat Xander.
"Anda mengerti sekali maksud saya. Tidak usah belagak pilon di depan saya. Jumlah yang harus ia bayar 240 juta rupiah bukan? Tagihan Anda adalah 250 juta. Ambil sepuluh juta kembaliannya. Dan urusan Anda dengan perempuan ini usai sudah," ucap si pemuda santai. Namun sorot matanya menjanjikan ancaman.
"Jangan main-main dengan saya. Saat saya katakan usai. Itu artinya usai. Paham?" Mami Elsye menahan kalimat yang sudah gatal, ingin ia ucapkan diujung lidah. Masalahnya ia tidak berani membantah Xander. Bukan rahasia umum lagi, kalau anak sulung Axel ini bahkan lebih sadis dari papanya. Sudahlah, ia relakan saja Mayang. Namun ia masih sedikit menekan mantan anak didiknya ini. Kala Mayang melewatinya di belakang Xander, ia membisikan sepenggal kalimat.
"Kamu pikir kamu sudah bisa jadi perempuan baik-baik? Kamu itu perempuan kotor. Kalau kamu kembali ke kampung, itu artinya kamu mengotori kampungmu dengan segala kekotoranmu. Bisa-bisa kampungmu terkena bencana alam karena didatangi manusia nista sepertimu. Cuih!"
"Para hadirin yang berbahagia. Pembangunan suatu negara hakikatnya adalah bertujuan untuk meningkatkan kemakmuran masyarakat dan pertumbuhan ekonomi agar stabil. Dan goalsnya adalah menunjukkan grafik yang terus naik. Oleh karena itu, target utama yang menjadi landasan munculnya program-program nasional adalah pengentasan kemiskinan dan pengurangan pengangguran."Mayang membuka pidato seminar kewirausahawan mandiri yang diselenggarakan oleh Dewan Pengurus Cabang Himpunan Penyelenggara Pelatihan dan Kursus Indonesia. DPCHPPKI ini secara khusus mengundangnya untuk memberikan pidato singkat tentang pengembangan Sumber Daya Manusia.Walaupun tengah hamil besar, Mayang tetap menerima undangan ini. Ia paling semangat jika diminta untuk memotivasi orang-orang. Ia ingin memberikan sedikit ilmu, namun banyak semangat kepada para generasi muda. Sudah saatnya kaum milenial ini berwiraswasta dan membuka lapangan pekerjaan. Daripada mereka ha
Enam bulan kemudian.Mayang memandangi rumahnya, yang kini telah menjadi rumah produksi usaha kecilnya. Kesibukan para teman-teman lamanya, yang dulu merupakan mantan PSK, membuatnya tersenyum haru.Sarah, Tikah, Yayuk, sibuk mengemas pakaian-pakaian yang telah selesai dijahit oleh Bu Nania dan Bu Syukri. Sementara Rita, Bu Renny dan Maria tengah asyik mencetak kue-kue. Bu Renny dan Bu Warsih sibuk memanggang. Beberapa mantan PSK yang dibawa oleh Sarah dan Tikah, terlihat dengan teliti menyusun kue-kue ke dalam toples. Mereka yang terakhir bergabung ini, memang belum mempunyai keahlian apa-apa. Yang mereka bawa hanyalah niat dan semangat untuk mengubah jalan hidup. Mayang sangat bangga dengan tekad kuat mereka semua.Mayang masih ingat, enam bulan lalu, ia memulai usaha kecil-kecilannya ini dengan Firdha. Ajang coba-coba kalau menurut istilah Firdha. Ia memulai bisnis dengan bakal kain tidak terpakai Fi
"Hallo, Pa. Kabar Nia baik. Papa tidak usah khawatir," getaran dalam suara Nia membuat hati Sena ikut bergetar. Ia sadar kalau ia sudah berlaku tidak adil pada Nia. Karena kisruhnya hubungan para orang-orang dewasa, hak-hak Nia hampir saja ia rampas."Iya, Pa. Nia juga kangen. Nia ngerti kok, Pa. Papa harus mencari uang yang banyak demi masa depan Nia. Nia sudah sudah besar sekarang. Jadi Nia sudah tahu kesulitan orang-orang dewasa. Hehehe." Sena membuang muka saat melihat Nia berusaha tertawa di tengah derai air matanya."Nggak apa-apa, Pa. Rindunya akan Nia tabung dulu biar banyak. Nanti kalau kita sudah boleh bertemu, akan Nia keluarkan semua rindu yang Nia kumpulkan. Papa tidak usah sedih. Perasaan Nia pada Papa tidak akan berubah di mana pun Papa berada. Di dunia ini, Nia cuma punya Papa. Mama kan sudah meninggalkan Nia lebih dulu. Jadi, Papa jangan lupa kalau ada Nia di sini ya, Pa?" pinta Nia dengan suara memelas.&
"Harus bisa, Mbak. Kita sudah terlalu lama memupuk dendam untuk hal yang sebenarnya bisa kita bicarakan. Mulai saat ini kita membahas hal yang ringan-ringan saja ya, Mbak? Coba Mbak yang mulai dulu. Cari topik pembicaraan yang menarik."Bu Mitha memutuskan untuk mengubah topik pembicaraan. Dirinya kan baru saja baikan dengan Zainab sekarang. Masa ia mereka berdua sudah ribut lagi saja?"Oke. Mari kita membahas hal yang ringan-ringan saja. Sekarang Mbak tanya, kenapa kamu tidak menyemir rambutmu, Mitha? Lihat itu, ubanmu sudah piknik ke mana-mana. Membuat penglihatan Mbak tercemar saja, sebagai sesama perempuan. Ke salon dong, Mitha. Jangan seperti orang susah," cibir Zainab.Bu Mitha memutar bola mata. Waktu berlalu, masa berganti. Namun Zainab ini tetap saja menempatkan penampilan di atas segala-galanya."Aku sedang malas ke salon, Mbak. Karena salon adalah tempat kumpulan kelompok ghiba
"Coba buka pintu gudang ini, Nani. Kalau agak susah membukanya karena lama tidak diminyaki, panggil saja Mang Ujang."Bu Mitha meminta suster Nani membuka gudang yang sudah lama sekali tidak pernah ia kunjungi. Ia ingat ada beberapa barang yang dulu sengaja ia sembunyikan di sana. Dan sore ini tiba-tiba saja ia ingin membongkarnya."Akan saya coba membukanya sendiri dulu ya, Bu? Kalau nanti tidak bisa, baru saya akan memanggil Mang Ujang," tukas suster Nani. Ia tidak mau menyusahkan Mang Ujang."Terserah kamu saja. Yang penting saya bisa masuk ke sana," ujar Bu Mitha datar. Benaknya saat ini dipenuhi dengan kenangan-kenangan masa lalu. Setelah Sena dan Mayang berpamitan, semua kejadian di waktu lalu seperti saling berdesakan ingin keluar. Daripada ia pusing sendiri, ia bermaksud membaginya dengan Zainab. Siapa tahu dengan begitu bebannya akan berkurang. Bonus rasa penasarannya akan terjawab. Karena menurut Sena, keadaan
Mayang termangu. Ia sama sekali tidak menduga kalau Bu Zainab adalah kakak seayah dengan Bu Mitha. Karena Sumitro Iskandar itu adalah ayah kandung Bu Mitha. Pantas saya Bu Zainab kerap menceracau kalau ia adalah anak buangan. Ibu kandung tidak menginginkan keberadaannya. Sementara ayah kandungnya tidak mengetahui kalau ia ada. Kasihan sekali Bu Zainab."Saya lanjutkan ya?!" Suara keras Nek Tinah membuat lamunan Mayang buyar seketika."Silakan, Nek!" sahut Mayang tak kalah keras."Aini sudah lama menyukai Pak Sumitro, anak majikannya. Namun sayangnya Pak Sumitro sudah menikah dengan Widya. Hanya saja mereka belum dikaruniai momongan. Makanya Pak Broto, ayah Sumitro kerap bertengkar dengan Sumitro, karena Widya tidak kunjung hamil. Maklum saja, Sumitro itu anak tunggal. Tentu saja Pak Broto mengharapkan ada yang meneruskan silsilah keluarga.Suatu hari Sumitro yang dipaksa menikah lagi oleh
Mayang baru saja ingin memejamkan mata, saat terdengar suara-suara bernada tinggi dari luar kamar. Mayang seketika menegakkan tubuh. Sepertinya suara-suara itu berasal dari ruang tamu. Malam ini ia dan Sena memang menginap di rumah mertuanya. Bu Mitha dan Pak Candra beralasan sudah terlalu malam bagi mereka untuk pulang. Menurut mereka sebaiknya ia dan Sena menginap saja. Tidak baik kalau wanita yang tengah hamil muda pulang malam-malam.Demi menghormati kedua mertuanya, ia dan Sena memutuskan untuk menuruti keinginan Bu Mitha dan Pak Candra. Makanya malam ini ia pun tidur di kamar Sena dulu.Ketika suara-suara itu makin lama makin meninggi, Mayang bermaksud memeriksa keadaan. Siapa yang bertengkar saat tengah malam begini? Di rumah ini hanya ada Pak Candra, Bu Mitha, Manda, Nia dan Suster Nani. Sementara Ceu Esih, dan Mang Ujang, tidur di paviliun belakang. Berarti yang saat ini ribut-ribut adalah antara mereka semua. Mayang men
"Kamu kenapa tegang sekali, Mayang? Kita akan menghadiri acara makan malam keluarga. Bukannya menghadiri sidang. Jangan tegang begitu. Ayo tarik napas dulu."Di antara langkah-langkah kecil dirinya dan Sena, yang tengah memasuki rumah keluarga Dananjaya, Sena menghentikan langkahnya. Mayang yang berjalan di sisi Sena, refleks ikut berhenti juga. Sena benar. Malam ini Mayang memang sangat tegang hingga ia merasa mual.Ini adalah kali pertamanya memasuki rumah keluarga Dananjaya dengan status yang berbeda. Yaitu sebagai menantu. Bukan lagi sebagai perawat Bu Mitha, yang kini sudah berstatus sebagai ibu mertuanya. Walau bagaimanapun Sena dibuahi, ia adalah anak dari dari Pak Candra. Otomatis secara hukum, Sena adalah anak Bu Mitha juga. Bagaimana ia tidak tegang karenanya?"Ayo, tarik napas panjang dulu," Sena mengulangi kalimatnya. Mayang segera menarik napas panjang, dan menghembuskannya perlahan sebanyak tiga
"Kita sudah sampai, Bu." Teguran supir taksi online memutus lamunan Mayang. Mayang memandang sekeliling. Ternyata ia berada di pintu gerbangsebuah Rumah Sakit Jiwa. Mayang tertegun. Dalam kekalutannya, ternyata ia menekan alamat Rumah Sakit Jiwa baru, tempat Bu Zainab dirawat pada aplikasi taksi onlinenya.Sepeninggal taksi online Mayang berjalan ke pintu gerbang. Sudah kadung berada di sini, sekalian saja ia menjenguk ibu mertuanya. Walau ia tidak yakin apakah akan diizinkan menjenguk. Mengingat jam besuk telah lewat.Syukurnya ia diperbolehkan menjenguk karena dianggap sebagai penanggung jawab keluarga. Bukan tamu biasa. Hanya saja ia diperingatkan untuk menjenguk pada jam-jam yang sudah ditentukan, apabila tidak ada hal-hal yang bersifat urgensi. Rumah Sakit Jiwa ini ternyata jauh lebih flexible dari Rumah Sakit Jiwa Bu Zainab yang lama.Mayang segera mengganti pakaiannya dengan seragam perawat, dan