Share

Bab 2

“Biarkan mereka pergi!”

Teriakan Kardit Masiak sambil melompat turun dari kereta kuda menghentikan langkah anak buahnya yang tengah memburu Puti Tan.

Gadis itu berhasil merebut Kuranji dari tangan mereka setelah melakukan pertarungan sengit.

“Sayang sekali,” timpal lelaki paling depan, kemudian berbalik lesu. “Walau tenaganya tidak terlalu kuat, setidaknya pemuda itu masih berguna untuk kita.”

Kardit Masiak tak menyahut. Matanya menatap lurus ke depan, memancarkan kilat misterius yang luput dari pengamatan anak buahnya. Sementara jemarinya mengelus lembut sepotong sobekan kain berwarna merah. Kain itu dipungutnya dari permukaan tanah, tempat di mana Puti Tan bertarung.

“Ayo kembali! Bawa pulang semua hasil rampasan hari ini!” titah Kardit Masiak kepada anak buahnya, lalu melesat tinggi tanpa menunggu tanggapan dari mereka dan mendarat di atas sebuah cabang pohon besar.

Terseok-seok Puti Tan menyeret Kuranji. Sesekali ia menoleh ke belakang, memastikan anak buah Kardit Masiak tak lagi memburu mereka.

“Puti … tinggalkan saja aku! Aku … tidak kuat lagi.”

Kuranji berhenti. Napasnya tersengal-sengal. Penglihatannya pun berkunang-kunang.

Melihat wajah Kuranji pucat pasi, Puti Tan memapah pemuda malang itu menuju sebatang pohon. Ia mendudukkan Kuranji dengan perlahan dan membiarkannya memperbaiki posisi agar bisa bersandar dengan nyaman.

Memejamkan matanya yang terasa berat dan nyeri, Kuranji berkata lirih, “Puti boleh pergi. Di sini terlalu berbahaya.”

“Kamu tahu di sini berbahaya, lalu … kenapa mengusirku?” Puti Tan merasa tidak senang Kuranji memintanya pergi.

Kuranji memaksakan diri untuk membuka kelopak matanya yang sembap. “Nyawamu lebih berharga ….” Kuranji tak lagi punya kekuatan untuk menyelesaikan rangkaian kata-katanya. Ia kembali menutup mata.

Puti Tan merapikan pakaian Kuranji yang berantakan. “Bodoh, memangnya kamu pikir aku akan meninggalkanmu hanya karena kamu mengusirku?”

Sesaat Puti Tan memindai wajah lebam Kuranji. Sebersit perasaan iba memudarkan binar cerah netra cokelat terangnya.

Mengamati sekeliling, Puti Tan menyadari bahwa mereka berada di pinggiran hutan yang menjadi tujuan mereka berburu.

“Tetaplah di sini! Jangan ke mana-mana!” bisik Puti Tan seraya menepuk pelan pundak Kuranji. “Aku akan mencari obat untukmu.”

Beruntung hutan tersebut sangat kaya dengan tanaman obat-obatan sehingga tidak butuh waktu lama bagi Puti Tan untuk kembali menemui Kuranji. Namun, begitu tiba di dekat pohon di mana sebelumnya Kuranji berada, pemuda malang itu tak lagi terlihat.

Puti Tan panik. Ia berlari ke segala arah, mencari keberadaan Kuranji sembari terus menyerukan namanya, “Kuranjiii … di mana kamu? Berhenti bermain-main! Ini tidak lucu!”

Tak ada sahutan selain gema suaranya yang memantul, menakutkan. Agar pandangannya lebih luas, Puti Tan melompat ke atas sebatang pohon. Netra tajamnya menembus setiap celah kerimbunan belukar dan deretan pepohonan.

Kuranji yang dicari Puti Tan bersembunyi tidak jauh dari pohon tempat Puti Tan mengawasi sekitar. Hanya saja, wanita itu berdiri dalam posisi membelakangi Kuranji.

“Tuhan, biarkan dia pergi,” lirih Kuranji. Suaranya terdengar lebih lemah daripada bisik angin pada dedaunan.

Mata sembapnya terus memicing, mengawasi pergerakan Puti Tan. Merasa Puti Tan benar-benar telah menjauh, Kuranji merangkak keluar dari sela-sela kerimbunan tanaman rambat yang menjadi tempatnya bernaung.

Sebuah tangan tiba-tiba mencekal baju di punggungnya, membuat Kuranji berkeringat dingin.

“Mau ke mana? Kabur?” sinis sebuah suara bernada tinggi mengejek Kuranji.

Menoleh dengan mata yang menyipit, Kuranji mengenali lelaki yang mengenakan pakaian merah itu merupakan salah satu saudara seperguruannya.

“T–tidak … a–aku—”

“Bacot! Cepat berdiri!” hardik lelaki itu sambil menyeret Kuranji untuk bangkit. “Jalan!”

Kuranji hanya bisa pasrah, mengayun langkah menuju arah yang ditunjuk oleh saudara seperguruannya. Setiap kali ia terjatuh karena kelelahan dan rasa nyeri yang kian mendera kakinya, ia akan menerima tendangan dan kembali ditarik bangkit. Bahkan, ketika Kuranji merasa tak lagi memiliki sisa tenaga, ia diseret paksa untuk terus berjalan.

Bruk!

Lelaki itu mengempaskan Kuranji di hadapan seorang pemuda yang usianya dua tahun lebih tua dari Kuranji. Di belakangnya berbaris enam pemuda lainnya.

“Kavland, lelaki tak berguna ini telah membuang semua perbekalan kita,” adu lelaki yang membanting Kuranji.

Mendapat dorongan kuat, Kuranji tersungkur. Keningnya mendarat di atas sebelah kaki Kavland.

“Benarkah?” tanya Kavland dengan nada dingin dan datar.

“Iya. Aku menemukan bendi kita di tepi hutan,” sahut lelaki itu. Matanya yang sipit dan runcing terlihat licik.

Kavland melirik tajam pada sosok Kuranji yang bersujud di kakinya. Kemudian, menghadiahkan sebuah tendangan, yang membuat Kuranji terjengkang. Tulang punggung Kuranji berderak patah. Saking sakitnya, Kuranji menggigit bibir.

Kedua tangan Kuranji melambai-lambai, sebagai bentuk sanggahan dan pembelaan diri bahwa dia tidak melakukan seperti apa yang dituduhkan. Namun, Kavland tak peduli. Lelaki itu justru mendatangi Kuranji, lalu menginjak dadanya.

Kuranji merasakan seolah-olah sebuah batu besar menghantam telak dadanya dan dia tidak bisa menyingkirkan batu itu. Napas Kuranji terasa sesak. Bulir hangat mengalir dari sudut mata Kuranji. Sungguh ia tak sanggup menahan sakit pada punggungnya secara bersamaan dengan dadanya yang tertekan. Mati mungkin lebih baik daripada tersiksa oleh pasokan oksigen yang terasa kian menipis.

Kedua tangan Kuranji menggapai lemah, berusaha menyingkirkan kaki Kavland dari dadanya. Jangankan berhasil bebas dari injakan Kavland, kaki itu justru menekan makin kuat.

Uhuk!

Kuranji terbatuk dan memuntahkan segumpal darah segar.

“Selama ini … aku sudah cukup bersabar melihat dirimu yang sangat tidak berguna … justru dianakemaskan. Tidak ada yang istimewa dari dirimu, tapi … kenapa Tuan Guru dan Puti Tan sangat menyayangimu, heh?!” Kavland berkata dengan suara yang seakan terjepit di antara kemarahan keritan giginya.

Sebagai murid terbaik di Perguruan Pedang Emas, ia merasa mendapat perlakuan yang tidak adil dari sang guru dan Puti Tan. Ia tidak pernah mendapat perhatian dan pujian atas semua prestasinya.

“I–itu tidak benar,” sanggah Kuranji di tengah embusan napasnya yang tersengal-sengal.

Kavland mendengkus. Ia mengangkat kaki tinggi-tinggi, mengambil ancang-ancang untuk menghantam dada Kuranji dengan kekuatan penuh.

“Manusia tak berguna sepertimu hanya akan menjadi beban. Lebih baik kau mati saja. Hiyaaa!”

“Tunggu, Kavland!” Si mata licik menahan serangan Kavland.

Kaki bertenaga penuh itu terhenti dengan jarak setipis helaian tisu di atas dada Kuranji.

Kuranji, yang saat itu hanya bisa pasrah sembari memejamkan mata, membuang napas dengan lega. Walau ia tidak dapat menebak apa yang akan terjadi selanjutnya, setidaknya, nyawanya selamat untuk sementara waktu.

“Kenapa kau menghentikanku, hah?!” Kavland memandang si mata licik dengan tatapan berang. “Kau membelanya sekarang?”

“Aku … membelanya?” Si mata licik menunjuk dirinya, menyeringai. “Untuk apa? Aku justru punya rencana yang lebih bagus.”

Kavland memicing. Kuranji membasahi tenggorokannya yang mendadak terasa kering. Ia mulai merasakan firasat buruk.

Si mata licik mendekatkan bibir ke telinga Kavland, kemudian berbisik. Entah apa yang dibisikkan lelaki itu. Yang jelas, Kuranji merasakan hawa di sekitarnya berubah dingin dan mencekam. Terlebih ketika Kavland dan si mata licik serentak menyeringai kepadanya, memperlihatkan taring-taring kebencian yang diselimuti oleh pekatnya kabut dendam.

“Bawa dia!”

Kuranji tak berdaya. Ia hanya bisa pasrah tatkala dua orang pemuda seusianya mengikat lengan dan kakinya pada sepotong kayu panjang. Mereka membawa dirinya seperti menggotong seekor hewan buruan yang sudah mati.

Semakin jauh masuk ke hutan, ditambah dengan matahari yang kian turun ke Barat serta pepohonan yang kian rapat dan rimbun, pencahayaan pun meredup. Udara di sekitar juga terasa lebih lembap.

Cedera tulang Kuranji terasa kian nyeri, tetapi dia tidak bisa berbuat apa-apa untuk mengurangi rasa nyeri itu.

“Berhenti!” Kavland mengangkat tangan kanannya.

Seakan sangat memahami karakter Kavland, tidak seorang pun dari saudara seperguruannya yang mempertanyakan mengapa ia tiba-tiba memberi komando untuk tidak lagi melanjutkan langkah.

Kavland berbalik, menghadap Kuranji yang sudah setengah pingsan, tergantung seperti rusa mati.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status