“Tuan Guru, otakku masih terlalu cetek untuk memikirkan hal-hal berat. Lagi pula, aku laki-laki, Tuan Guru. Masa badan kekar begini mainannya bunga.” Kuranji cengengesan.“Bocah semprul!”Tuan Guru Tan mengibaskan tangan, seketika sekumpulan buku, yang berserakan di lantai, melayang ke arah Kuranji, seperti sekawanan lebah yang sedang marah.“Ampun, Tuan Guru! Ampun!” Kuranji melindungi wajah dengan kedua lengannya.Setelah serangan mendadak itu mereda, Tuan Guru Tan bersungut-sungut. “Orang tua lagi serius malah diajak bercanda.”“Hehe … biar tidak cepat pulang ke balik papan, Tuan Guru.”Hanya saat bersama Tuan Guru Tan Kuranji bisa menjadi diri sendiri dan bersikap kekanak-kanakan.“Kuranjiii!”“Iya, iya. Maaf!” Wajah Kuranji berubah serius begitu menerima pelototan dari Tuan Guru Tan.Berulang kali Tuan Guru Tan mendesah.“Kuranji, lima tahun yang lalu, seharusnya usiamu delapan belas tahun.”“Benar, Tuan Guru.”“Artinya, sudah dua belas tahun waktu berlalu, sejak aku membawamu pu
“Huh! Kelihatan saja gampang. Ternyata butuh perjuangan ekstra.”Kuranji berbaring kelelahan, telentang di lantai ruang baca Tuan Guru Tan. Entah sudah berapa kali ia melatih jurus Menghapus Jejak. Walau berhasil menyusun rapi tumpukan buku milik sang guru, masih saja ada yang acak.“Cih! Lemah! Baru beberapa kali latihan sudah keok,” ledek Tuan Guru Tan, melirik sekilas pada Kuranji sambil menikmati secangkir kopi pahit.Napas Kuranji masih ngos-ngosan. “Aduh, Tuan Guru … gerakannya memang sederhana, tapi menguras tenaga dalam.”“Itu karena kau gagal berkali-kali.” Tuan Guru Tan bangkit, melangkah menuju pintu. “Kalau ingin tahu kabar ayahmu, teruslah berlatih. Aku hanya akan memberitahumu setelah kau berhasil menguasai jurus itu.”Kuranji terlonjak duduk, berputar menghadap Tuan Guru Tan. “Tapi, Guru—”“Kau menyerah?”“Tidak, tidak!”“Bagus! Lanjutkan latihanmu!”Tuan Guru Tan menghilang di balik pintu, lagi-lagi meninggalkan Kuranji seorang diri.Jika menuruti lemahnya badan, Kuran
“Kalian kenapa? Perang dingin?” tanya Kirai, melirik heran pada Kuranji dan Puti Tan.Mereka terus mengayun langkah mendahuluinya dengan saling berdiam diri. Tidak ada yang menanggapi pertanyaannya.“Sst! Jangan ikut campur urusan mereka. Pura-pura tidak tahu saja,” bisik Mahzar, menyikut Kirai. “Namanya juga sepasang kekasih. Pasti ada bumbu pertengkaran kecil, biar makin lengket.”“Apaan sih!” Kirai cemberut.“Kamu … jangan bilang kamu jatuh hati sama dia,” imbuh Mahzar, melempar lirik pada Kuranji. “Dia sudah jadi milik orang. Lebih baik mundur dengan teratur.”Bugh!“Akh!”Nasihat Mahzar dibalas Kirai dengan hantaman siku pada dada sang kakak.“Kalau ngomong, pakai filter. Sembarangan, asal tuduh. Belum tentu mereka pacaran.”“Marah berarti iya,” ledek Mahzar sambil mengusap-usap dadanya yang terasa sakit. “Eh, dari mana kamu tahu mereka bukan sepasang kekasih?”Kirai mengancakkan tinju. “Mau hadiah bogem mentah dariku?”“Cih!” Mahzar mendecih, memilih berhenti menggoda sang adik.
Hop! Hop!Empat orang pria bertopeng mendarat di hadapan Kirai, juga menghentikan ayunan kaki Mahzar yang berlari beberapa langkah di belakang sang adik.Keduanya dikepung dengan senjata yang terhunus di tangan lawan.“Ini area terlarang. Enyah dari sini sebelum tubuh kalian berubah menjadi daging cincang!” ancam salah satu dari mereka, dengan postur tubuh paling tinggi.Mahzar dan Kirai serentak melangkah mundur, saling beradu punggung. Netra mereka awas mengamati gerak-gerik lawan.“Haha … kalian penguasa yang salah kaprah,” ledek Mahzar. “Sejak kapan jalan umum diakui sebagai milik pribadi atau kelompok, heh? Jangan mimpi! Penjahat seperti kalian cuma bisa menyengsarakan rakyat.”“Kurang ajar! Masih bau kencur, tapi tidak tahu caranya menghargai orang yang lebih tua.”Mahzar menyeringai. “Dan orang tua seperti kalian, tidak bisa memberi contoh yang baik.”Meski tak dapat melihat wajah keempat orang itu, kemarahan salah satu dari mereka cukup menjadi petunjuk bagi Mahzar bahwa kompl
“Berhenti!” Lima orang pria bertopeng melompat dari pepohonan yang berdiri di kedua sisi jalan, mengadang kereta kuda yang dinaiki Kuranji dan Puti Tan. Dua di antara mereka menyerang Kuranji dan Puti Tan. Tiga sisanya menghentikan laju kereta kuda. “Aakh!” Kuranji jatuh terjengkang akibat tendangan yang menghantam dadanya. Puti Tan, dengan kemampuan bela dirinya yang mumpuni, melesat tinggi dan mendarat di atas atap kereta. “Siapa kalian!” hardik Puti Tan. Matanya yang bulat memancarkan hawa dingin. “Hehe … cantik! Aku akui kau cukup hebat—” “Berhenti basa-basi! Katakan, siapa kalian?! Dan apa mau kalian mengganggu perjalanan kami?!” “Wah, wah! Jangan galak-galak, Nisanak!” Lelaki yang menyerang Puti Tan berdiri di atas punggung kuda dengan bersedekap tangan, seolah-olah ia tegak di atas permukaan datar. Matanya memicing, memindai sekujur tubuh Puti Tan. “Kelihatannya Nisanak bukan dari keluarga sembarangan. Kami tidak akan cari masalah, asal … kalian menyerahkan semua perbeka
“Biarkan mereka pergi!”Teriakan Kardit Masiak sambil melompat turun dari kereta kuda menghentikan langkah anak buahnya yang tengah memburu Puti Tan.Gadis itu berhasil merebut Kuranji dari tangan mereka setelah melakukan pertarungan sengit.“Sayang sekali,” timpal lelaki paling depan, kemudian berbalik lesu. “Walau tenaganya tidak terlalu kuat, setidaknya pemuda itu masih berguna untuk kita.”Kardit Masiak tak menyahut. Matanya menatap lurus ke depan, memancarkan kilat misterius yang luput dari pengamatan anak buahnya. Sementara jemarinya mengelus lembut sepotong sobekan kain berwarna merah. Kain itu dipungutnya dari permukaan tanah, tempat di mana Puti Tan bertarung.“Ayo kembali! Bawa pulang semua hasil rampasan hari ini!” titah Kardit Masiak kepada anak buahnya, lalu melesat tinggi tanpa menunggu tanggapan dari mereka dan mendarat di atas sebuah cabang pohon besar.Terseok-seok Puti Tan menyeret Kuranji. Sesekali ia menoleh ke belakang, memastikan anak buah Kardit Masiak tak lagi
“Turunkan dia!” titah Kavland. Netranya berkilat sadis.Bunyi bergedebuk segera terdengar begitu perintah Kavland berakhir. Dua lelaki yang menggotong Kuranji mengempaskan tubuh benyai Kuranji tanpa rasa belas kasihan. Mereka bahkan tertawa kala Kuranji merintih kesakitan.“Kita apakan bocah ini?” tanya salah satu penggotong yang usianya tak jauh berbeda dengan Kuranji, tetapi ia selalu merasa Kuranji hanya anak ingusan yang tidak tahu apa-apa.Kavland memutar badan. Berdiri dengan kaki setengah terbuka dan bersedekap tangan, ia mengamati sebuah lubang yang menganga lebar di depannya. Matanya sedikit memicing memperhatikan rumpun tanaman rambat yang menutupi sebagian celah lebar itu.“Kau yakin ini guanya?” tanya Kavland pada si mata licik yang berdiri di sebelah kirinya.“Tidak salah lagi! Pasti ini gua yang dihebohkan oleh orang-orang di dunia persilatan.”“Kelihatannya biasa saja. Tidak ada yang istimewa,” timpal Kavland. Sebelah tangannya bergerak mengusap dagu. “Tidak ada jejak o
Lantai dan dinding gua bergetar hebat. Sebagian langit-langit gua bahkan runtuh, menjatuhkan hujan kepingan batu kapur.Kuranji terhuyung, terombang-ambing seperti batok kelapa yang mengambang di lautan.Ketika guncangan itu berhenti, Kuranji tersungkur dalam posisi merangkak.“Hati-hati dengan kekuatan suaramu, Anak Muda!”Seorang kakek berjubah putih berdiri sejauh dua meter dari Kuranji. Sekilas ia melirik pedang yang tergeletak di lantai, lalu kembali mengalihkan pandangan pada Kuranji. Tangan kanannya menggenggam seuntai butiran tasbih. Sementara mulutnya tak henti komat-kamit. Entah kapan kakek petapa berjanggut panjang itu muncul. Refleks Kuranji menyambar pedang yang tadi dilemparnya. Ia bangkit seraya mengacungkan pedang itu kepada si kakek.“J-jangan mendekat!”Petapa tua itu tersenyum. “Jangan takut! Akulah yang telah merawat luka-lukamu.”Suara yang hangat dan tatapan mata yang teduh mengikis kecemasan Kuranji. Perlahan ia menurunkan pedangnya.Sesaat Kuranji memindai pen