Share

Kuranji
Kuranji
Penulis: Lathifah Nur

Bab 1

“Berhenti!”

Lima orang pria bertopeng melompat dari pepohonan yang berdiri di kedua sisi jalan, mengadang kereta kuda yang dinaiki Kuranji dan Puti Tan.

Dua di antara mereka menyerang Kuranji dan Puti Tan. Tiga sisanya menghentikan laju kereta kuda.

“Aakh!” Kuranji jatuh terjengkang akibat tendangan yang menghantam dadanya.

Puti Tan, dengan kemampuan bela dirinya yang mumpuni, melesat tinggi dan mendarat di atas atap kereta.

“Siapa kalian!” hardik Puti Tan. Matanya yang bulat memancarkan hawa dingin.

“Hehe … cantik! Aku akui kau cukup hebat—”

“Berhenti basa-basi! Katakan, siapa kalian?! Dan apa mau kalian mengganggu perjalanan kami?!”

“Wah, wah! Jangan galak-galak, Nisanak!” Lelaki yang menyerang Puti Tan berdiri di atas punggung kuda dengan bersedekap tangan, seolah-olah ia tegak di atas permukaan datar. Matanya memicing, memindai sekujur tubuh Puti Tan. “Kelihatannya Nisanak bukan dari keluarga sembarangan. Kami tidak akan cari masalah, asal … kalian menyerahkan semua perbekalan itu kepada kami.”

Lelaki itu menunjuk tumpukan barang dalam kereta, kemudian mengalihkan jari telunjuk pada Kuranji. “Juga dia.”

Bias kekagetan dan kekhawatiran beriak dalam manik mata terang Puti Tan tatkala menyaksikan kedua lengan Kuranji dicekal oleh dua lelaki bertopeng yang bertubuh kekar. Mereka bukan lawan yang seimbang untuk Kuranji.

Tatapan khawatir itu hanya bertahan sekilas, lalu kembali tenang dan dingin, terarah pada pria di atas kuda.

“Apa hak kalian merampas milik kami?” Puti Tan melirik sesaat pada Kuranji. “Dia … manusia, bukan barang yang bisa kalian minta seenaknya.”

“Persetan dengan apa pun alasanmu, Nisanak!” tegas lelaki di atas kuda, menahan jengkel. “Kami akan mengambil semua yang kami inginkan. Kalau kau masih ingin hidup, sebaiknya kau bersikap patuh.”

Puti Tan berpikir sejenak, kemudian sampai pada sebuah keputusan. “Baiklah. Terserah kalian. Bawa saja tumpukan barang tak berguna itu! Tapi … tidak dengan dia.” Puti Tan menunjuk Kuranji dengan ayunan dagunya. “Langkahi dulu mayatku!”

Bersamaan dengan berakhirnya kalimat di bibirnya, Puti Tan mengibaskan selendang berwarna emas miliknya kepada dua lelaki yang mengapit Kuranji. Gerakannya cepat dan tak terduga.

Pemuda di atas kuda bahkan tak sempat melihat kapan Puti Tan melepaskan selendang yang membelit pinggangnya, atau mungkin dia yang terlalu tenggelam dalam pesona kecantikan Puti Tan hingga luput mengamati gerakan tangan gadis itu.

Dua lelaki bertopeng terpaksa melepaskan Kuranji demi menghindari serangan mendadak Puti Tan.

Melihat Kuranji nyaris tersungkur karena dorongan dua pria yang menyanderanya, Puti Tan bertindak gesit. Namun, sebelum jemarinya berhasil menyambar tubuh Kuranji, lelaki yang semula berdiri di atas kuda telah lebih dahulu menarik Kuranji dan melemparkan pemuda malang itu ke arah komplotannya.

“Bawa dia! Cepat!” titah lelaki itu sambil melompat tinggi, menghindari kibasan selendang emas Puti Tan.

“Lepaskan dia!” teriak Puti Tan, mengalihkan serangan pada dua orang lelaki yang siap membubung tinggi dengan mengapit Kuranji.

“Tidak semudah itu, Nisanak!” Kilatan kuning kemerahan dari ayunan cambuk memapas kibasan selendang emas Puti Tan, memaksa gadis itu untuk menarik mundur serangannya.

“Cambuk api,” gumam Puti Tan, mengenali senjata lawan.

“Ternyata kau berwawasan luas, Nisanak. Aku merasa tersanjung kau mengenali senjataku,” kekeh lelaki itu. Jemarinya bergerak membuka topeng yang menutupi wajahnya. “Kurasa … topeng ini sudah tidak berguna di hadapanmu.”

Seraut wajah bersih menampilkan seringai tipis. Sepersekian detik Puti Tan seakan terhipnotis oleh pesona lelaki itu. Rupa nan menawan dengan hidung yang mancung. Mata yang berwarna cokelat pekat dinaungi oleh helaian bulu mata yang panjang dan lentik, serta barisan alis yang hitam dan tebal, bak semut beriring. Bibir yang menampilkan seringai itu sungguh tipis, merah merona. Rahang yang kokoh dan tulang pipi yang menonjol tegas menampilkan fitur wajah 3D yang sempurna di mata setiap orang yang memandangnya.

‘Bagaimana bisa lelaki setampan ini menyia-nyiakan pesonanya dengan menjadi sosok penjahat?’ Puti Tan membatin kecewa, menyayangkan pilihan hidup lelaki itu.

“Kardit Masiak, tampang dan nama besarmu sebagai Pendekar Cambuk Api … sungguh tidak sesuai dengan perilakumu,” ejek Puti Tan setelah tersadar dari lenanya.

Netra pekat Kardit Masiak berkilat kaget. Untuk menutupi keterkejutannya, ia tertawa kecil.

“Nisanak, aku mengagumi kecerdasanmu. Kelihatannya kau sangat mengenalku.” Kardit Masiak memindai sekujur tubuh Puti Tan. “Tapi … aku merasa asing denganmu.”

Kardit Masiak mencondongkan tubuh ke depan. “Katakan … bagaimana kau bisa mengenaliku?” tanya Kardit Masiak setengah berbisik, mengingat jarak wajah mereka yang kurang dari sejengkal.

Walau merasa risi, Puti Tan tidak membiarkan lawan mengetahui bahwa dia merasa terintimidasi oleh tatapan lekat itu.

“Bukan urusanmu!” tegas Puti Tan diikuti dengan hantaman kuat pada dada Kardit Masiak, yang membuat lelaki itu terjajar mundur sejauh hampir tiga meter.

Di saat bersamaan, Puti Tan melesat, memburu Kuranji yang dibawa pergi.

Seringai geram bercampur kagum terbit di wajah Kardit Masiak ketika lelaki itu mengusap dadanya, sambil menatap ke titik di mana Puti Tan menghilang.

“Lumayan tangguh. Dia bahkan mengetahui identitasku. Siapa gadis itu?” gumam Kardit Masiak, merasa sedikit terusik dengan ilmu kanuragan dan wawasan Puti Tan.

Selama melanglang buana dan berbuat onar di dunia persilatan, belum pernah ia bertemu seseorang yang langsung mengenali jati dirinya pada pertemuan pertama. Orang-orang mungkin mengetahui julukannya sebagai Pendekar Cambuk Api, tapi tidak dengan nama aslinya.

Puti Tan sama sekali tak menyadari bahwa dia telah berhasil menggelitik rasa penasaran seorang Kardit Masiak. Gadis itu terlalu fokus memburu anak buah Pendekar Cambuk Api yang melarikan Kuranji.

“Berhenti!” teriak Puti Tan begitu matanya menangkap kelebat empat orang pria berjalan tergesa-gesa. Dua di antara mereka menyeret Kuranji yang tampak kelelahan.

Napas lelaki lemah itu tidak lagi beraturan. Butiran keringat membanjiri wajahnya, bahkan membasahi pakaian lusuhnya.

“P–Puti ….” Kuranji menoleh ke belakang, membeliak tak percaya. “Lari! Lari, Puti! Selamatkan dirimu!”

Saat itulah Puti Tan menyadari kondisi Kuranji. Tubuh pemuda itu penuh dengan bekas luka memar akibat pukulan. Bibirnya bonyok. Sebelah matanya membiru dan bengkak.

Walau ilmu bela dirinya tak seberapa, ototnya juga lemah bila dibandingkan dengan badan kekar anak buah Pendekar Cambuk Api, rupanya Kuranji tidak hanya bersikap pasrah pada nasib buruknya. Dia berusaha melawan agar bisa melarikan diri dari mereka. Namun, apa daya kekuatan dan kemampuan bela dirinya tidak sebanding dengan keempat lelaki gagah itu. Kuranji menjadi samsak hidup yang terlihat sangat menyedihkan.

Empat lelaki itu serentak menghentikan langkah dan berbalik. Tatapan nakal mereka seakan menelanjangi sekujur tubuh Puti Tan, disertai seringai melecehkan.

“Relakan saja laki-laki lemah ini, Nisanak. Kami tidak ingin menyakitimu, tapi ….” Tatapan nakal yang semakin liar memancar dari sepasang manik mata kelam lelaki di sisi kanan Kuranji. “Kalau kau mau menemaninya, kami akan dengan senang hati mengajakmu serta. Bagaimana?”

Godaan itu ditutup dengan kedipan mata si pria.

Gelegak amarah mendidih hingga ke ubun-ubun Puti Tan, dan semua itu tergambar jelas pada wajahnya yang merah padam.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status