“Turunkan dia!” titah Kavland. Netranya berkilat sadis.
Bunyi bergedebuk segera terdengar begitu perintah Kavland berakhir. Dua lelaki yang menggotong Kuranji mengempaskan tubuh benyai Kuranji tanpa rasa belas kasihan. Mereka bahkan tertawa kala Kuranji merintih kesakitan. “Kita apakan bocah ini?” tanya salah satu penggotong yang usianya tak jauh berbeda dengan Kuranji, tetapi ia selalu merasa Kuranji hanya anak ingusan yang tidak tahu apa-apa. Kavland memutar badan. Berdiri dengan kaki setengah terbuka dan bersedekap tangan, ia mengamati sebuah lubang yang menganga lebar di depannya. Matanya sedikit memicing memperhatikan rumpun tanaman rambat yang menutupi sebagian celah lebar itu. “Kau yakin ini guanya?” tanya Kavland pada si mata licik yang berdiri di sebelah kirinya. “Tidak salah lagi! Pasti ini gua yang dihebohkan oleh orang-orang di dunia persilatan.” “Kelihatannya biasa saja. Tidak ada yang istimewa,” timpal Kavland. Sebelah tangannya bergerak mengusap dagu. “Tidak ada jejak orang-orang pernah ke sini. Lihat! Di dalamnya hanya ada kegelapan.” “Justru itu … aku dengar … siapa pun yang masuk ke sini, maka mereka tidak akan pernah bisa keluar hidup-hidup,” sanggah si mata licik. “Huh?” Alis Kavland berkerut. Si mata licik mendekat dan berbisik, “Konon katanya gua ini dihuni oleh seekor ular raksasa. Setiap orang yang tersesat ataupun sengaja masuk ke sini akan menjadi santapannya.” Sebelah bibir Kavland terangkat naik. “Tidak buruk.” Kavland berseru lantang, “Beri dia pelajaran sebelum menjadi santapan ular di dalam sana!” Sayup-sayup Kuranji masih menangkap seruan Kavland. Ia bergidik ngeri seraya berjuang mengumpulkan sisa-sisa kesadaran dan kekuatannya untuk bicara, “J–jangan ….” Permohonan Kuranji terlalu lirih untuk dapat didengar oleh saudara seperguruannya yang mulai bergerak menyerang dirinya. Buk! Buk! Tendangan demi tendangan berebut menghantam segenap persendian dan tubuh Kuranji. Mereka seperti kesetanan, sama sekali tak tersentuh dengan rintihan pilu Kuranji. Di ujung kesadarannya, Kuranji masih sempat bertanya dengan nada lemah dan nyaris tak terdengar, “A–apa s–salahku … p–pada … k–kalian?” Kavland menyibak kerumunan saudara seperguruannya yang mengelilingi Kuranji, lalu berjongkok, tepat di sisi kanan Kuranji. “Kau tidak tahu kesalahanmu? Atau pura-pura tidak tahu?” Kuranji menggeleng lemah. Tangan dan kakinya tak lagi bisa digerakkan. Tulang-tulangnya patah. Rasa sakitnya luar biasa. Andai bisa memilih, lebih baik ia dibunuh mati daripada dibiarkan hidup, tetapi dengan raga yang tak lagi sempurna. Sepertinya mereka sengaja ingin menyiksanya. Mereka menghindari untuk menyerang organ vitalnya secara brutal agar ia tetap sadar dan dapat merasakan penderitaan yang berkepanjangan. Kavland tersenyum sinis. “Cih! Dengan tampang sok polosmu ini … kau merampas semua perhatian Tuan Guru dan Puti Tan dari kami. Entah apa yang mereka lihat dari dirimu.” Kavland mengangkat sebelah tangan Kuranji. Tangan itu sungguh tak bertenaga, terlihat seperti seutas benang basah saat dilepaskan oleh Kavland. “Kau lihat? Kau sangat lemah dan tak berguna. Tidak ada yang dapat dibanggakan dari dirimu. Kau bahkan aib yang membuat malu Perguruan Pedang Emas dengan raga kosongmu itu, tapi … Tuan Guru dan Puti Tan memperlakukan dirimu seperti keluarga sendiri. Mereka sangat melindungimu. Sementara kami?” Kavland mendengkus. “Heh, apa pun yang kami lakukan, seakan tak pernah ada. Yang tampak di mata mereka cuma kau!” “I–itu … t–tidak b–benar.” Kuranji merasakan sesak di dadanya saat memaksakan diri untuk bicara. “Menurutmu … kami semua buta dan bodoh, hah?!” Darah Kavland mendidih mendapat sanggahan dari Kuranji. Refleks ia bangkit seraya menghunus pedangnya dan mengarahkan ujung pedang itu ke dada Kuranji. Wajah Kuranji membias pucat. Dengan kondisi tubuhnya yang sangat lemah, ia tidak akan mampu menghindar bila Kavland benar-benar ingin melenyapkan nyawanya. “Tahan, Kavland!” cegah si mata licik. “Terlalu enak jika dia mati dengan mudah.” “Siapa bilang aku akan membiarkannya mati dengan mudah?” “Pedang itu ….” Si mata licik menunjuk pedang di tangan Kavland dengan tatapan bingung. Kavland mengangkat pedangnya. “Ini? Aku hanya ingin memberinya sedikit tanda pengenal sebelum bertemu dengan malaikat maut.” Sebelum Kuranji dan saudara seperguruannya memahami maksud dari kata-katanya, Kavland telah mencincang pakaian yang menutupi dada Kuranji dengan pedangnya. Pada detik berikutnya terdengar lolong kesakitan dari bibir Kuranji. Mata pedang Kavland menari di atas dada kiri Kuranji, menyayat kulit lebam Kuranji dan mengukir lukisan sebuah pedang tegak, di mana pada bagian gagangnya dililit oleh sehelai selendang yang kedua ujungnya dibiarkan berkibar ke sisi kiri dan kanan. “Kavland, itu … lambang perguruan kita. Kenapa—” “Shshsh!” Si mata licik tak lagi bersuara hingga Kavland menyelesaikan ukirannya. Puas dengan hasil karyanya, Kavland menyeringai lebar. Sementara Kuranji tak lagi bergerak. “Dia … mati?” tanya si mata licik. “Kau bisa memeriksanya,” sahut Kavland, menyeka darah di ujung pedangnya dengan potongan pakaian milik Kuranji. Si mata licik segera berjongkok dan mendekatkan jari ke lubang hidung Kuranji. “Masih bernapas,” ujarnya, menoleh pada Kavland, seolah-olah meminta pendapat tentang apa yang akan dilakukan selanjutnya. “Buang dia ke dalam gua! Dia lebih pantas menjadi santapan ular daripada hidup bersama kita.” Nada bicara Kavland terdengar acuh tak acuh. Ia tidak sedikitpun melirik pada Kuranji, malah langsung berbalik pergi setelah menyarungkan kembali pedangnya. Si mata licik mengode salah satu saudara seperguruannya dengan jari. Keduanya lalu melempar Kuranji, seperti membuang sekarung sampah. Angin mendadak bertiup kencang disertai bau amis yang menyengat hidung. Si mata licik mengusap lengannya yang tiba-tiba merinding. “Ayo, cepat pergi dari sini!” Satu bulan kemudian … “Di mana aku? Apakah aku benar-benar sudah mati?” Hal pertama yang dilihat Kuranji saat membuka mata adalah bentangan cakrawala dengan bias warna pelangi yang buram. “Apakah ini surga?” Kuranji mengerjap, berusaha memperjelas penglihatannya. Perlahan ia bangkit dan duduk di tepi ranjang yang terbuat dari bongkahan batu kapur, beralaskan ilalang kering. Mengamati sekeliling, Kuranji akhirnya menyadari bahwa ia berada di dalam sebuah gua. Berbeda dengan gua yang pada umumnya gelap dan lembap, gua tempat Kuranji berada justru tampak terang. Sebuah lubang menganga di bagian atas gua, mempersilakan cahaya matahari menerobos masuk serta menghangatkan dinding gua. Pantulan cahaya matahari itulah yang menciptakan lukisan pelangi pada dinding gua. Kuranji turun dari ranjang, mencoba berjalan. “Aneh! Aku baik-baik saja. Bukankah mereka telah menyiksaku dengan sadis?” Kuranji bicara sendiri dengan kening berkerut. “Apa aku bermimpi? Atau … aku benar-benar sudah mati?” Kuranji melompat-lompat, merasakan setiap persendian di kakinya. “Tidak sakit sama sekali.” Kuranji juga menekuk dan merentangkan tangannya berulang kali. Sedikit pun ia tidak merasakan nyeri. “Hahaha … ini sungguh sebuah keajaiban.” Kuranji terkekeh riang. Sedetik kemudian tawanya lenyap. Ia mencubit lengannya. “Aw, sakit!” Kuranji mengusap-usap bekas cubitannya. Setelah yakin bahwa dia memang belum mati dan tidak sedang bermimpi, Kuranji mulai mengayun langkah, menyusuri gua. Tenaganya yang lemah menyebabkan Kuranji berulang kali terpeleset dan memaksanya berpegangan pada stalagmit yang menjulang perkasa. “Banyak sekali lorong di gua ini,” gumam Kuranji, sedikit cemas. Salah memasuki lorong, tentu akan berujung tersesat. Kuranji menoleh ke belakang, menghafal lorong yang tadi ia lalui, lalu kembali melanjutkan langkah. Sesekali ia memberi tanda pada stalagmit yang dilewatinya dengan goresan batu. “Wah, ada sungai!” Kuranji memindai pakaiannya yang kumuh. Dengan senyum lebar, bergegas ia menceburkan diri ke sungai yang mengalir dalam gua tersebut. Kuranji berenang dengan riang. Tiba-tiba matanya menangkap seberkas cahaya di kejauhan, memancar temaram dari ujung lorong yang mendaki. Rasa penasaran membetot Kuranji untuk melangkah tergesa menuju cahaya itu. “Apa ini?” Kuranji mengamati senjata yang nyaris membelah sebuah meja batu. “Pedang?” Kuranji tidak yakin dengan penglihatannya. Dia tentu tidak asing dengan bentuk pedang, tapi senjata yang ada di hadapannya itu tampak berbeda. Bentuknya tidak lurus, melainkan agak melengkung. Mata pedang tersebut berwarna tembaga dan memantulkan cahaya yang indah meskipun tidak tersentuh bias matahari sama sekali. Penasaran dengan senjata tersebut, Kuranji mengulurkan tangan. Ia menggenggam erat gagang pedang dengan dua tangan, lalu menariknya sekuat tenaga. “Aaaakh!” Kuranji terlempar jauh ke belakang dengan pedang di tangan. Punggungnya menghantam dinding batu kapur sebelum akhirnya terempas ke lantai gua dalam posisi tengkurap. Sesaat Kuranji kelojotan, seakan-akan tubuhnya dialiri oleh listrik bertegangan tinggi, lalu kembali jatuh pingsan. Entah berapa lama Kuranji kehilangan kesadaran. Saat membuka mata, ia menyadari tangannya masih menggenggam sebilah pedang yang tadi dicabutnya dari meja batu. Cepat-cepat Kuranji melempar pedang itu, kemudian bangkit. Kuranji terbelalak seraya mengamati badannya. Tubuhnya terasa jauh lebih ringan dan hangat. “Jangan-jangan … kali ini aku benar-benar sudah mati.” Kuranji terjajar mundur. “Tidaaak! Aku belum mau mati!”Hop! Hop!Empat orang pria bertopeng mendarat di hadapan Kirai, juga menghentikan ayunan kaki Mahzar yang berlari beberapa langkah di belakang sang adik.Keduanya dikepung dengan senjata yang terhunus di tangan lawan.“Ini area terlarang. Enyah dari sini sebelum tubuh kalian berubah menjadi daging cincang!” ancam salah satu dari mereka, dengan postur tubuh paling tinggi.Mahzar dan Kirai serentak melangkah mundur, saling beradu punggung. Netra mereka awas mengamati gerak-gerik lawan.“Haha … kalian penguasa yang salah kaprah,” ledek Mahzar. “Sejak kapan jalan umum diakui sebagai milik pribadi atau kelompok, heh? Jangan mimpi! Penjahat seperti kalian cuma bisa menyengsarakan rakyat.”“Kurang ajar! Masih bau kencur, tapi tidak tahu caranya menghargai orang yang lebih tua.”Mahzar menyeringai. “Dan orang tua seperti kalian, tidak bisa memberi contoh yang baik.”Meski tak dapat melihat wajah keempat orang itu, kemarahan salah satu dari mereka cukup menjadi petunjuk bagi Mahzar bahwa kompl
“Kalian kenapa? Perang dingin?” tanya Kirai, melirik heran pada Kuranji dan Puti Tan. Mereka terus mengayun langkah mendahuluinya dengan saling berdiam diri. Tidak ada yang menanggapi pertanyaannya. “Sst! Jangan ikut campur urusan mereka. Pura-pura tidak tahu saja,” bisik Mahzar, menyikut Kirai. “Namanya juga sepasang kekasih. Pasti ada bumbu pertengkaran kecil, biar makin lengket.” “Apaan sih!” Kirai cemberut. “Kamu … jangan bilang kamu jatuh hati sama dia,” imbuh Mahzar, melempar lirik pada Kuranji. “Dia sudah jadi milik orang. Lebih baik mundur dengan teratur.” Bugh! “Akh!” Nasihat Mahzar dibalas Kirai dengan hantaman siku pada dada sang kakak. “Kalau ngomong, pakai filter. Sembarangan, asal tuduh. Belum tentu mereka pacaran.” “Marah berarti iya,” ledek Mahzar sambil mengusap-usap dadanya yang terasa sakit. “Eh, dari mana kamu tahu mereka bukan sepasang kekasih?” Kirai mengancakkan tinju. “Mau hadiah bogem mentah dariku?” “Cih!” Mahzar mendecih, memilih berhenti menggoda
“Huh! Kelihatan saja gampang. Ternyata butuh perjuangan ekstra.” Kuranji berbaring kelelahan, telentang di lantai ruang baca Tuan Guru Tan. Entah sudah berapa kali ia melatih jurus Menghapus Jejak. Walau berhasil menyusun rapi tumpukan buku milik sang guru, masih saja ada yang acak. “Cih! Lemah! Baru beberapa kali latihan sudah keok,” ledek Tuan Guru Tan, melirik sekilas pada Kuranji sambil menikmati secangkir kopi pahit. Napas Kuranji masih ngos-ngosan. “Aduh, Tuan Guru … gerakannya memang sederhana, tapi menguras tenaga dalam.” “Itu karena kau gagal berkali-kali.” Tuan Guru Tan bangkit, melangkah menuju pintu. “Kalau ingin tahu kabar ayahmu, teruslah berlatih. Aku hanya akan memberitahumu setelah kau berhasil menguasai jurus itu.” Kuranji terlonjak duduk, berputar menghadap Tuan Guru Tan. “Tapi, Guru—” “Kau menyerah?” “Tidak, tidak!” “Bagus! Lanjutkan latihanmu!” Tuan Guru Tan menghilang di balik pintu, lagi-lagi meninggalkan Kuranji seorang diri. Jika menuruti lemahnya bad
“Tuan Guru, otakku masih terlalu cetek untuk memikirkan hal-hal berat. Lagi pula, aku laki-laki, Tuan Guru. Masa badan kekar begini mainannya bunga.” Kuranji cengengesan.“Bocah semprul!”Tuan Guru Tan mengibaskan tangan, seketika sekumpulan buku, yang berserakan di lantai, melayang ke arah Kuranji, seperti sekawanan lebah yang sedang marah.“Ampun, Tuan Guru! Ampun!” Kuranji melindungi wajah dengan kedua lengannya.Setelah serangan mendadak itu mereda, Tuan Guru Tan bersungut-sungut. “Orang tua lagi serius malah diajak bercanda.”“Hehe … biar tidak cepat pulang ke balik papan, Tuan Guru.”Hanya saat bersama Tuan Guru Tan Kuranji bisa menjadi diri sendiri dan bersikap kekanak-kanakan.“Kuranjiii!”“Iya, iya. Maaf!” Wajah Kuranji berubah serius begitu menerima pelototan dari Tuan Guru Tan.Berulang kali Tuan Guru Tan mendesah.“Kuranji, lima tahun yang lalu, seharusnya usiamu delapan belas tahun.”“Benar, Tuan Guru.”“Artinya, sudah dua belas tahun waktu berlalu, sejak aku membawamu pu
“Tuan Guru, kita sudah sepakat untuk pergi bersama.” “Kali ini, aku sungguh minta maaf, dengan sepuluh jari serta kepala. Kalian pergilah! Aku percaya kalian bisa menyelesaikannya tanpa aku.” “Tapi, Tuan Guru—” “Tolong ….” Dua rekan Tuan Guru Tan mendesah lesu. Jika Tuan Guru Tan telah menggunakan salah satu kata ajaib andalannya, maka tidak ada yang dapat mengubah keputusannya. “Baiklah. Mohon doa restu, Tuan Guru.” Dua lelaki itu menangkupkan tangan di depan dada seraya membungkuk takzim. Tuan Guru Tan meremas pundak keduanya. “Ingat, libatkan Allah dalam segala ucapan dan tindakan! Sekuat apa pun kita sebagai manusia, semua itu tidak akan berguna tanpa rida–Nya.” Sepeninggal kedua rekannya, Tuan Guru Tan memeriksa kereta kuda dan jejak di sekitarnya. Ia berjongkok, meraba jejak kaki kecil yang tercetak samar di atas permukaan jalan. Perlahan ia mulai bangkit dan menyusuri jejak itu. Jejak itu berhenti di tepi sebuah jembatan. Di bawahnya, mengalir sungai berair jernih, cuku
“Hiyaa! Ck, ck, ck! Hiyaa!” Sais menyemangati kuda penarik kereta yang dikendalikannya. Sesekali ia melecut pelan. Hop! Hop! Beberapa lelaki bertopeng yang berbalut pakaian serba hitam tiba-tiba mencegat laju kereta. Ngeeehk! Dua ekor kuda putih meringkik kencang ketika sang kusir menarik tali kekang dengan kuat. Seorang lelaki berusia tiga puluhan dan bocah berumur enam tahun berguncang hebat. “Ayah, aku takut!” “Tidak apa-apa. Ada ayah di sini,” timpal sang ayah seraya merangkul putranya. Setelah kereta tak lagi bergoyang, lelaki itu melepaskan dekapannya pada sang bocah. Ia menangkup pipi anaknya, menatap lembut dengan seulas senyum yang memancar hangat. “Kalau terjadi sesuatu pada ayah, pergilah sejauh mungkin dan jangan pernah menoleh ke belakang!” Lelaki itu menyelipkan sebuah botol kecil ke dalam genggaman putranya. “Jaga baik-baik botol ini!” Suara di luar kereta mulai terdengar berisik. Lelaki itu dapat menerka dengan jelas, sedang berlangsung perkelahian hebat di