“Giselle, besok minggu Mama mau pergi ke acara arisan teman-teman Mama, dan kabarnya Jeng Rahayu mamanya Kelana diundang juga. Kamu ikut Mama ya, biar kita bisa ngobrol lagi sama mamanya.” Saat ini Giselle sedang sibuk merapikan dan membersihkan apartemennya karena beberapa hari terakhir dia acap kali pulang malam karena menyelesaikan proyek real estate milik Diraja Sudibyo, dan juga membantu Akira untuk mengumpulkan data serta riset untuk proses merger perusahaan milik Darius.
Banyak laundry yang belum sempat dia kerjakan, begitu pula membersihkan kamar mandi dan kitchen set. Kegiatan tersebut merupakan salah satu bentuk relaksasi yang suka Giselle kerjakan kalau dia sedang stres karena kerjaan, atau karena silang pendapat dengan orang tuanya.
Suara mama di ujung telepon membuat Giselle mengernyitkan dahinya.
AKIRAMalam ini Akira berada dalam mood berkontemplasi.Terutama setelah dia berbincang dan follow up dengan Pak Hasan. Banyak yang perlu Akira pikirkan kembali. Soal pekerjaan dan juga soal hubungannya dengan Giselle.Baru saja dia menaruh tas laptopnya di sofa, Akira mendengar denting pesan di ponselnya.Senyumnya spontan tercetak lebar ketika melihat siapa yang mengirim pesan tersebut.Giselle. Pesannya, [Hey, lagi ngapain?]Dia langsung membal
GISELLE Hal-hal yang Giselle lakukan untuk Akira rasanya tak mungkin akan dipercaya oleh dirinya sendiri. Tapi, begitulah keadaanya. Semua terasa begitu asing bagi dirinya sendiri. Maka dari itu, banyak hal yang terasa meragukan dan membuatnya kikuk sepanjang malam ini. Salah satunya adalah menginap seperti ini di rumah Akira. Tak pernah dia melakukan hal demikian kepada pria yang bahkan belum ada status hubungan dengannya. Dan pertanyaan barusan adalah sebuah spontanitas. Pertanyaan spontan yang sungguh membuatnya ingin ditelan bumi saja saking malunya Giselle. “Kamu ingin jawaban jujur dariku, Giselle?” Akira bertanya balik. Dia menaruh pisaunya di atas pantry dan duduk di bangkunya yang berada tepat di seberang Giselle. Membuat pria itu bebas memperhatikan raut wajah yang sedang dibuat Giselle. Entah seperti apa wajahnya kini sekarang, Giselle tak mau tahu. “Ya tentu saja, aku tidak suka dibohongi.” gumamnya pelan. Tapi mendengar tanggapan Akira yang seperti itu, pera
AKIRA“Ok, jadi strategi dasar bermain catur, semua tujuannya adalah menjaga king kita dari serangan lawan, dan di saat yang bersama juga mencoba menjatuhkan king mereka.” Akira mulai mengajari Giselle langkah-langkah dasar dalam bermain catur. Bagaimana para pion, dan bidak-bidak lain bergerak. Meminta Giselle menghafalkan satu persatu bentuk bidak catur, tujuan bidak catur tersebut dan juga mengajari secara dasar bagaimana cara mengatur barisan. Butuh waktu sekitar 15 menit hingga Giselle bisa menghafal dan juga mengerti secara dasar bagaimana permainan catur itu. “Ternyata main catur cukup rumit juga ya, aku menyesal baru belajar sekarang.” ujar Giselle sambil menopang dagunya memperhatikan bidak catur miliknya yang berwarna hitam. “Nggak masalah, ini kan hanya untuk have fun! Nggak perlu harus serius banget.” tambal Akira seraya menggerakkan bidak caturnya menyerang Giselle tanpa ampun. Tapi karena Giselle memang masih pemula yang belum paham dengan pola serangan yang Akira l
“Hubunganku dengan keluargaku nggak harmonis. Sepertinya berbalik 180 derajat dengan keadaan rumahmu, Akira.” Giselle mengawali kisahnya. “Mama dan Ayah bercerai, hubungan mereka nggak bagus sampai sekarang meskipun mereka sudah memiliki pasangan masing-masing. Hubunganku dengan kakakku–Mas Damar juga bisa dibilang begitu kaku dan dingin.” Giselle mulai menceritakan bagaimana berantakannya kehidupan keluarganya, dan dinamika yang terjadi di dalamnya hingga membuatnya memiliki trust issue yang terkadang tidak Giselle sadari sampai terbawa di kehidupan pribadinya. Tadi setelah Akira mendengar pengakuan spontannya tentang ketakutan yang menghantuinya, pria itu dengan gentle menuntunnya kembali ke dalam ruang tamu dan membawanya duduk di sofa panjangnya. Diberikannya mug yang berisi sencha dan Akira tak lupa menyodorkan potongan buah yang telah disiapkan sebelum Giselle merusak mood dan mengubah suasana. "Kalau kamu nggak keberatan, mungkin kamu bisa cerita tentang itu. Aku akan me
Awalnya Akira berfikir jika Giselle akan bersikap canggung di pagi ini setelah pembicaraan yang serius dan cukup berat di malam hari. Apalagi ditambah dengan tetesan air mata yang membasahi pipi Giselle saat menceritakan kehidupan masa kecilnya yang sukses membuat hati Akira ikut tersayat. Jika Akira urutkan dari awal, kini Akira mengerti mengapa sikap Giselle bisa menjadi keras kepala seperti sekarang. Hal-hal keras dan menyakitkan yang membentuk pribadi Giselle untuk bertahan serta melindungi hatinya. Itu merupakan konsekuensi logis dari kekacauan yang terjadi dalam kehidupan si Giselle kecil. Hal ini justru membuat Akira semakin menyayangi gadis ini. Ketika pagi tiba, Akira dengan gentle mempersilakan Giselle mandi terlebih dahulu. Akira juga tak menyentuh atau menggoda gadis itu sejak semalam. Akira membopong Giselle yang tertidur pulas dalam pelukannya di sofa ruang tamu. Memindahkan gadis itu untuk tidur di kamar utama, dan dia sendiri memilih untuk tidur di kamar tamu. Aki
“Eh Giselle, nanti habis ini ke ruangan saya ya,” ujar Mas Teddy kepadanya disela-sela kegiatan Giselle mereview dokumen yang tempo hari diserahkan oleh Raka di kantor Danudihardjo Enterprise. “Oh, ada masalah apa Mas Teddy?” Giselle mengerutkan dahinya bingung. Sebenarnya sejak dahulu dia sedikit tidak nyaman kalau meeting berdua dengan Mas Teddy. Makanya selama ada Mas Dirga, mereka suka sekali meeting bertiga atau berempat dengan beberapa junior konsultan. Mungkin bisa dihitung jari juga berapa kali Giselle dan Teddy meeting empat mata di kantor. Karena kebanyakan kasus yang mereka tangani seringkali berbeda, dan itu sebenarnya membuat Giselle merasa sedikit bersyukur. Tapi sejak Mas Dirga resign, Mas Teddy kini sering kali mampir ke ruangannya dan mengajak Giselle pulang bareng. Untung saja dia punya mobil sendiri, jadi dia selalu ada alasan juga kalau diajak pulang bareng. Dahulu juga Giselle menggunakan nama Tristan sebagai tameng untuk menolak ajakan Mas Teddy makan bare
“Ck… Begini sikapmu terhadap senior? Gue ngerasa kalau lo juga nggak punya relasi yang baik ya dengan rekan kerja sebelumnya.” Teddy melemparkan tuduhan kepada Akira.“Saya tidak butuh validasi darimu, Teddy. Jadi saya nggak peduli dengan pendapatmu terhadapku. Kita langsung masuk ke pokok pembicaraan saja!” Akira mengedikkan bahunya dengan santai. Seakan tak peduli dengan ucapan miring yang baru saja diucapkan oleh Teddy.“Mau bicara tentang apa dengan Giselle? Ayo percepat, karena saya dan Giselle masih perlu meeting dengan agenda lain yang lebih jelas dan penting, tentu saja.”Akira memarkir tubuhnya di sofa, dengan isyarat tangannya meminta Giselle untuk duduk di seb
Akira berjalan gusar, mondar-mandir di ruangannya sendiri selepas meeting tidak jelasnya dengan Teddy. Dadanya bergemuruh ketika melihat dengan jelas bagaimana Teddy memandang Giselle di hadapannya. Ingin rasanya dia meninju wajah sengak pria itu di tempat. Tapi tentu saja dia tak mengikuti emosinya dan bersikap tenang serta mengedepankan kepala dinginnya. Tak lama kemudian, Giselle masuk ke dalam ruangannya dan menutup rapat pintunya. “Akira… ” Gadis itu membuka suara, namun dia juga bingung mau berkata apa setelah interaksi mereka bertiga. “Give me a moment, Giselle.” pinta Akira. Dia butuh waktu beberapa saat untuk menenangkan ego-nya yang meronta penuh rasa cemburu. Giselle hari ini tidak banyak membantah, dan dia menuruti permintaan Akira. Akhirnya gadis itu memilih untuk duduk di sofa, seraya memperhatikan dirinya yang sibuk mondar-mandir untuk mengeluarkan ekses energinya. Setelah dirasa dia bisa mengendalikan dirinya dan bisa berbicara secara logis bersama Giselle, barul