LOGIN"Jadi, bagaimana, Chalista?" tanya Cristiano, seolah mengerti isi hati putrinya. "Apa Chalista ingin mencari pengawal baru?"
Mata Chalista langsung berbinar, senyum merekah di wajahnya. "Dad, Chalista belum sempat berterima kasih pada anak itu," ujar Chalista, suaranya memohon. "Apa Daddy bisa mencarikan anak itu? Chalista ingin mengucapkan terima kasih padanya." "Baiklah," jawab Cristiano, mengusap lembut kepala putrinya. "Daddy akan mencari anak laki-laki itu dan menyampaikan terima kasihmu padanya." Chalista bersorak gembira, melompat-lompat kegirangan. Lalu, ia menatap ayahnya dengan tatapan penuh harap. "Dad, apa pengawal Chalista bisa seperti dia?" Cristiano terdiam, tertegun mendengar pertanyaan putrinya. Ia tahu, Chalista menginginkan pengawal yang kuat dan berani seperti Sena. "Tentu saja," jawab Cristiano, senyum dipaksakan terukir di wajahnya yang dingin. "Chalista bisa punya pengawal seperti dia." Flashback off Cristiano memikirkan ucapan putrinya. Ia bertekad untuk mencari pengawal baru yang sesuai dengan keinginan Chalista. Ia tak ingin putrinya kembali berada dalam bahaya. Karena itu, ia harus cermat memilih pengawal yang mampu melindunginya dengan baik. Akhirnya, Cristiano memutuskan untuk menemui seseorang. Ia segera berangkat menuju tempat terpencil, jauh dari keramaian, tempat orang itu berada. Sebuah mobil mewah berhenti di depan gerbang sebuah rumah yang tampak kumuh dan tak terawat. Catnya mengelupas, dindingnya dipenuhi coretan vandalisme. "Tuan, apa benar ini tempatnya?" tanya sopir, kerut meragu terlihat di dahinya. "Benar," jawab Cristiano tenang, tatapannya lurus ke depan. "Di sinilah mereka tinggal." Cristiano keluar dari mobil, melangkah dengan tenang menuju gerbang. Meski banyak mata yang menatapnya sinis, ia tak gentar. Ia datang ke markas tersembunyi Berandalan Berliontin, hanya untuk menemui seseorang. Cristiano memasuki halaman rumah, langkahnya mantap dan penuh percaya diri. Ia merasakan tatapan tajam mengawasi setiap gerakannya. Saat tiba di depan pintu masuk, seorang gadis muda menyambutnya dengan senyum tipis. "Selamat datang, Tuan," sapa gadis itu, tak lain adalah Indry. "Ada yang bisa saya bantu?" Cristiano membalas senyum Indry dengan ramah. "Aku datang untuk bertemu dengan ketua kalian. Ada urusan penting yang ingin kubicarakan." "Sir sedang berada di dalam," jawab Indry. "Silakan ikuti saya, tapi sebelum masuk... kami harus melakukan pemeriksaan terlebih dahulu." Ia memberi isyarat kepada teman-temannya yang berdiri di belakangnya. Dua orang pemuda menghampiri Cristiano dan kedua pengawalnya. Mereka mulai memeriksa tubuh Cristiano dan anak buahnya dengan teliti. "Hei, apa-apaan ini?!" protes Delico, salah satu pengawal Cristiano. Ia merasa harga dirinya direndahkan. "Maaf, Tuan, tapi ini prosedur standar jika ingin bertemu dengan ketua kami," jawab Indry tegas, nada bicaranya berubah dingin. Delico merinding mendengar suara Indry yang tiba-tiba berubah. Ia merasakan aura berbahaya yang terpancar dari gadis muda itu. "Sudahlah, Delico," ujar Cristiano, menenangkan pengawalnya. "Biarkan mereka melakukan tugasnya." Delico terdiam, mengepalkan tangannya erat-erat. Ia terpaksa membiarkan anggota Berandalan Berliontin mengambil senjata miliknya dan pengawal lainnya. "Terima kasih atas pengertiannya, Tuan," ucap Indry, senyum sinis terukir di bibirnya. Cristiano hanya mengangguk, tak membalas senyum Indry. Setelah menyita semua senjata yang dibawa Delico dan temannya, para Berandalan Berliontin menyerahkan senjata-senjata itu kepada Indry. "Untuk sementara, kami sita senjata-senjata ini," kata Indry, suaranya tegas. "Akan kami kembalikan setelah urusan kalian selesai." "Terserah kalian," jawab Cristiano pasrah. Ia tahu, ia tak punya pilihan lain. Indry kemudian mengantar Cristiano dan kedua pengawalnya menuju tempat ketua mereka berada. Sepanjang perjalanan, Cristiano dan kedua pengawalnya terkejut melihat banyaknya TWILIGHT di dalam rumah itu. Ada banyak TWILIGHT dengan berbagai macam latar belakang. Beberapa di antara mereka tampak terlatih dan berbahaya, sementara yang lain terlihat lelah dan putus asa. Ada pula beberapa Berandalan Berliontin wanita yang bekerja sebagai gadis penghibur, melayani para tamu yang datang. Mereka semua berkumpul di tempat itu, mencari perlindungan dan penghidupan. "Tempat apa ini sebenarnya?" tanya teman Delico, suaranya berbisik. Indry mendengar pertanyaan pengawal Cristiano itu, lalu menjawab dengan nada datar, "Di sini adalah rumah bagi orang-orang yang dibuang. Mereka yang dianggap sebagai monster, semua berkumpul di sini." Delico dan temannya terkejut mendengar jawaban Indry. Mereka menatap orang-orang di sekitar mereka dengan tatapan yang berbeda. Mereka mulai menyadari, tempat itu bukan hanya sekadar markas Berandalan Berliontin, tapi juga tempat perlindungan bagi para orang buangan yang tak punya tempat untuk kembali. Akhirnya, mereka tiba di depan ruangan ketua Berandalan Berliontin. Indry berhenti sejenak, menarik napas dalam-dalam, lalu mengetuk pintu dengan sopan. Tok! Tok! Tok! "Masuk," terdengar suara serak dari dalam ruangan, memecah keheningan. Indry membuka pintu perlahan, hanya sedikit, seolah ragu untuk mempersilakan tamunya masuk. Ia menundukkan kepala, menunjukkan rasa hormatnya kepada sang ketua. "Maaf, Sir, mengganggu," ujar Indry, suaranya pelan dan penuh kehati-hatian. "Ada apa?" tanya Gina, suaranya dingin dan tanpa basa-basi. Asap rokok mengepul dari dalam ruangan, memenuhi udara dengan aroma yang menyesakkan. "Ada seseorang yang ingin bertemu denganmu," jawab Indry, masih menunduk. Gina menyipitkan matanya, merasakan firasat buruk. Ia tidak suka dengan kunjungan tak terduga ini. "Siapa?" tanya Gina lagi, suaranya lebih tajam dari sebelumnya. "Anu... Itu..." Indry tergagap, tak berani menyebutkan nama tamunya. "Aku yang ingin menemuimu, Nona Gina," sebuah suara menyela dari belakang Indry. Cristiano melangkah maju, memasuki ruangan tanpa diundang. "Hmm, ada apa kau kemari, Tuan Cristiano?" tanya Gina, suaranya dingin dan menusuk. Ia menyipitkan matanya, menatap Cristiano dengan tatapan menyelidik. Cristiano tersenyum tipis, mengabaikan nada sinis Gina. Ia melangkah mendekat, menarik kursi di depan meja Gina, lalu duduk dengan santai. "Nona Gina, jangan memasang wajah seperti itu," goda Cristiano, suaranya merayu. "Nanti kecantikanmu pudar." "Cih! Langsung saja ke intinya," desis Gina, menghembuskan asap rokok ke udara. "Apa tujuanmu?" "Kau masih saja tidak sabaran," balas Cristiano, terkekeh pelan. "Kau pasti sudah tahu berita yang sedang ramai saat ini, bukan?" Gina terdiam sejenak, rahangnya mengeras. Tentu saja ia tahu berita tentang kemunculan kembali Berandalan Berliontin. Berita itu telah membuat markas mereka menjadi sorotan. "Kau ingin mengambilnya?" tanya Gina, tatapannya tajam dan penuh ancaman. Ia sudah menduga bahwa kedatangan Cristiano berkaitan dengan Sena. Cristiano pasti ingin memanfaatkan kekuatan Sena untuk kepentingannya sendiri. "Kau memang cerdas, Nona Gina," puji Cristiano, senyumnya semakin lebar. "Kau bisa menebak tujuanku dengan tepat." Di luar ruangan, Indry berdiri berjaga di depan pintu bersama dua orang TWILIGHT lainnya. Di hadapan mereka, Delico dan Yang, anak buah Cristiano, berdiri dengan wajah tegang. "Indry, siapa dia? Dan apa tujuannya datang ke sini?" tanya salah satu TWILIGHT, suaranya berbisik. "Aku tidak tahu," jawab Indry, menggelengkan kepalanya. "Saat aku sedang berbicara dengan Sir, tiba-tiba saja dia menyela. Lalu, Sir menyuruhku pergi." "Hmm, begitu rupanya," timpal TWILIGHT lainnya, mengerutkan keningnya. "Sepertinya ada sesuatu yang penting." "Aku khawatir..." gumam Indry, suaranya tercekat. Ia merasakan firasat buruk, seolah sesuatu yang buruk akan terjadi. Belum sempat Indry menyelesaikan kalimatnya, pintu ruangan Sir Gina tiba-tiba terbuka.Pria berkacamata itu menunjuk kalung di leher Bobby dengan ekspresi terkejut. "Dia punya kalung yang sama seperti Bobby!" serunya, matanya membulat.Rekannya mendekat, mengamati kalung itu dengan cermat. "Tapi, tulisannya berbeda," gumamnya, alisnya berkerut.Salah satu pria, dengan langkah tergesa, menghampiri Bobby dan menepuk bahunya kasar. "Hei!" bentaknya, "Apa yang kau lakukan? Kenapa diam saja? Cepat habisi anak itu, jangan sampai membuat bos marah!" Nada suaranya meninggi, urat-urat di lehernya terlihat menegang.Tanpa sepatah kata pun, Bobby bergerak cepat. Tangannya mengepal, menghantam wajah pria itu dengan kekuatan penuh. Pria itu terpental, tubuhnya melayang sebelum akhirnya menabrak pohon dengan bunyi gedebuk yang mengerikan. Seketika, pria itu tidak bergerak.Teman-temannya terdiam, tubuh mereka membeku di tempat. Bulu kuduk mereka berdiri, keringat dingin mulai membasahi pelipis. Satu serangan... dan pria itu tewas.Bobby mendesis, bibirnya bergetar menahan amarah. "Be
Keringat dingin membasahi pelipis para penculik. Tubuh mereka bergetar menyaksikan Sena melumpuhkan satu per satu rekan mereka. Mata Sena menyala oleh amarah yang membara, setiap gerakannyaPresisi dan mematikan. Di dalam mobil, Chalista merasakan secercah harapan merekah di dadanya. Akhirnya, pahlawannya datang.Chalista menoleh ke belakang, senyum merekah di wajahnya bagai mentari pagi. "Sena! Aku di sini! Tolong aku!" serunya, suaranya bergetar antara lega dan takut.Belum sempat Chalista menyelesaikan kalimatnya, sebuah pukulan keras menghantam tengkuknya. Kesadaran Chalista langsung meredup, tubuhnya terkulai lemas."Sial! Mulut itu benar-benar perlu disumpal," gerutunya dengan gigi terkatup rapat, urat-urat di lehernya menegang.Sena menyaksikan adegan di dalam mobil, rahangnya mengeras. Amarahnya mencapai ubun-ubun. Tanpa ragu, tangannya menyelinap ke balik celana, mengeluarkan sebilah pisau kecil yang selalu setia menemaninya. Dengan gerakan cepat dan terukur, ia melemparkan pi
Chalista menghela napas panjang, matanya terpaku pada Sena yang tak kunjung selesai. Jari-jarinya mengetuk-ngetuk layar ponsel, namun pikirannya melayang. Setiap detik terasa seperti menit yang enggan berlalu. Tiba-tiba, matanya menangkap sosok familiar di seberang jalan. Sebuah kedai yatai dengan lampion merah yang bergoyang lembut diterpa angin. Bibirnya tertarik membentuk senyum lebar. Tanpa ragu, ia bangkit dari duduknya dan menghampiri Sena."Sena, aku mau keluar dulu," ujar Chalista, berusaha menyembunyikan kegugupannya.Sena hanya diam, namun matanya memancarkan kekhawatiran yang begitu dalam. Ia menatap Chalista dengan tatapan yang sulit diartikan, seolah ingin mengatakan sesuatu namun tak mampu."Kak, aku bayar pakai Qris ya," kata Chalista, mengalihkan perhatian.Pemilik salon mengangguk dan segera memberikan kode Qris pada Chalista. Setelah menyelesaikan pembayaran, Chalista bergegas keluar dari salon. Sena hanya bisa menatap punggung Chalista yang menjauh, hatinya dipenu
"Hufft, akhirnya," gumam Chalista lirih, menghela napas lega.Bel berdering nyaring, memecah keheningan dan menandakan waktu istirahat telah usai. "Sena, aku masuk kelas dulu ya. Sampai nanti!" seru Chalista, senyum merekah di wajahnya, lalu bergegas berlari menuju pintu gerbang sekolah.Sena kembali memanjat pohon rindang di seberang jalan, matanya tak lepas mengawasi Chalista dari kejauhan. Waktu berlalu begitu cepat, hingga bel pulang sekolah berbunyi nyaring. Chalista keluar dari kelas dengan wajah berseri-seri, langkahnya ringan menuju gerbang sekolah. Di sana, Sena sudah menunggunya dengan sabar."Sena!" panggil Chalista riang, senyumnya semakin lebar saat melihat Sena. "Ayo, kita pulang!" ajaknya sambil meraih tangan Sena, menggenggamnya erat.Sena hanya mengikuti langkah Chalista, membiarkan gadis kecil itu menarik tangannya menuju mobil yang sudah menunggu. Bahkan setelah duduk di kursi belakang pun, Chalista enggan melepaskan genggamannya."Pak Hans, sebelum pulang, kita bis
Seiring dengan pulihnya keadaan kota, para Berandalan Berliontin kembali ke wilayah mereka masing-masing. Sena, yang selama ini membantu Gina, juga kembali ke rumah keluarga Cristiano. Mobil yang dikendarai Gina membawanya kembali ke tempat yang kini menjadi rumahnya. Di balik jendela mobil, Sena menatap jalanan yang ramai dengan tatapan kosong. Pikirannya masih dipenuhi dengan kejadian yang baru saja berlalu.Setibanya Sena di rumah, Chalista langsung menyambutnya di ambang pintu."Sena, akhirnya kau kembali!" seru Chalista, suaranya penuh kelegaan. Ia langsung memeluk Sena erat, menyalurkan kerinduan yang membuncah."Iya," balas Sena singkat, namun pelukannya terasa hangat dan tulus.Chalista tampak berseri-seri, matanya berbinar-binar. Beberapa hari tanpa Sena terasa seperti berabad-abad lamanya. Rumah terasa sepi dan hampa tanpa kehadiran sahabatnya itu.Mentari pagi menyinari kota, menandakan hari baru telah tiba. Sena kembali menjalankan tugasnya menjaga dan menemani Chalista ke
"Entahlah... Ayo kita lihat!" ajak rekannya, dengan ragu-ragu melangkah maju.Para pasukan keamanan mendekat dengan hati-hati, rasa penasaran bercampur ngeri memenuhi benak mereka. Namun, pemandangan yang menyambut mereka membuat perut mereka bergejolak. Mayat tanpa kepala, tubuh dengan luka menganga yang memperlihatkan isi perut yang terburai... Pemandangan mengerikan itu terlalu berat untuk mereka cerna."Hoak!""Hoak!"Beberapa pasukan keamanan tidak kuat menahan rasa mual. Mereka berlari menjauh, membungkuk dan memuntahkan isi perut mereka di semak-semak."Sial! Twilight brengsek! Membunuh tanpa aturan!" umpat seorang pasukan yang baru selesai memuntahkan isi perutnya, wajahnya pucat pasi."Gila! Anak kecil itu membunuh dengan sadis... Apa mereka tidak merasa mual melihat isi perut yang keluar itu?" tanya yang lain dengan nada jijik dan ngeri, tubuhnya bergetar."Mereka Twilight... Hal seperti itu mungkin sudah menjadi hal yang biasa bagi mereka," sahut seorang pasukan keamanan de







