"Di mana dia sekarang?" Gina bertanya lagi, suaranya kini pelan, tetapi setiap kata terasa seperti palu yang menghantam.
"Sena ada... dia ada di luar," jawab Indry gugup, menunjuk ke arah pintu markas. Gina bangkit dari kursinya, langkahnya mantap dan penuh percaya diri. Ia berjalan mendekati Indry yang berdiri kaku di depan pintu, senyum mengerikan terukir di wajahnya yang keriput. "Ayo, temui dia," bisiknya, suaranya serak namun menusuk tulang. Meski usianya tak lagi muda, aura kekuatan terpancar dari setiap gerakannya. Gina adalah satu-satunya TWILIGHT yang tersisa dengan kekuatan di atas rata-rata, dan hanya dialah yang mampu memimpin para Berandalan Berliontin. Melihat senyum mengerikan di wajah pemimpinnya, Indry merinding ketakutan. Firasat buruk menghantuinya, jantungnya berdebar tak karuan. **** Di luar markas, Sena duduk bersandar di bawah pohon rindang, menikmati semilir angin yang membelai wajahnya. Matanya terpejam, bibirnya melengkung membentuk senyum tipis. Ia tak menyadari bahaya yang mengintai. Gina dan Indry tiba di tempat Sena berada. Sena membuka matanya, menoleh sekilas ke arah mereka, lalu bangkit berdiri. Ekspresinya datar, tanpa menunjukkan rasa hormat atau ketakutan. Tanpa peringatan, Gina melayangkan tendangan keras ke arah perut Sena. Tubuh Sena terpental, menghantam tong besi berisi minyak dengan suara berdebam nyaring. "Uhuk! Uhuk! Uhuk!" Sena terbatuk-batuk, memegangi perutnya yang terasa seperti diremas. Rasa sakit menjalar ke seluruh tubuhnya. Dengan susah payah, Sena mencoba bangkit. Ia menatap Gina dengan satu mata yang terbuka, mata lainnya tertutup karena memar. Gina mendekat, langkahnya ringan namun mematikan. Gina kembali menendang Sena, kali ini lebih keras. Tubuh Sena terangkat ke udara, terbang beberapa meter sebelum membentur pohon dengan suara keras. Keributan itu menarik perhatian anggota TWILIGHT lainnya. Mereka berdatangan, terkejut melihat pemimpin mereka menghajar Sena tanpa ampun. Sena tak bisa berkutik, perbedaan kekuatan mereka terlalu besar. Sena hanya bisa merintih kesakitan, wajahnya babak belur, darah segar mengalir dari hidung dan mulutnya. Matanya sayu, nyaris tak berdaya. Saat Sena sudah terkapar tak berdaya di tanah, Gina menjambak rambutnya, mengangkat wajahnya yang penuh luka. "Apa kau sudah sadar dengan kesalahanmu?" tanyanya, suaranya dingin dan penuh amarah. Sena hanya bisa terdiam, menahan rasa sakit yang luar biasa. Gina mengeluarkan pistol dari balik jaketnya. Tanpa basa-basi, ia menembakkan tiga peluru ke tubuh Sena. Sena semakin mengerang kesakitan. Namun, peluru yang ditembakkan Gina bukanlah peluru biasa, melainkan obat penenang dengan dosis tinggi. Peluru biasa tak akan mempan pada TWILIGHT, hanya obat penenang dengan dosis tinggi yang bisa melukai dan membuat mereka merasakan sakit. "Cih! Ini untuk pelajaran bagi kalian semua!" suara Gina menggelegar, memecah kesunyian. "Jangan pernah bertindak gegabah sampai membongkar identitas kita!" "Baik, Sir!" jawab para TWILIGHT serempak, menundukkan kepala. "Indry, bawa dia ke ruang isolasi! Biarkan dia mendekam di sana sampai hukumannya selesai!" perintah Gina, matanya menatap tajam ke arah Sena yang terkapar. "Baik, Sir," jawab Indry patuh, lalu memberi isyarat kepada beberapa anggota TWILIGHT untuk mengangkat Sena. Indry memapah Sena yang merintih kesakitan. Tubuhnya lunglai, tak berdaya menahan efek obat penenang. Setiap langkah terasa berat, seolah ada beban tak kasat mata yang menghimpitnya. "Ayo, bangun, Sena," bisik Indry, suaranya lirih namun penuh kepedulian. Ia berusaha menopang tubuh Sena yang limbung, membantunya berjalan menuju ruang isolasi. Mata-mata TWILIGHT mengikuti mereka, tatapan mereka penuh kebencian. Mereka menyalahkan Sena atas kejadian semalam, yang telah mengungkap keberadaan mereka kepada dunia luar. Bisik-bisik kemarahan terdengar di antara mereka. "Dengar!" Suara Gina menggelegar, memecah ketegangan. "Setelah kejadian ini, semuanya tak akan pernah sama lagi. Mulai sekarang, kita harus lebih berhati-hati, waspada setiap saat! Apa kalian mengerti?!" "Kami mengerti, Sir!" jawab para TWILIGHT serempak, suara mereka menggema di seluruh ruangan. Namun, di balik jawaban itu, tersirat ketakutan dan kekhawatiran yang mendalam. Ekspresi Gina tetap tegang, rahangnya mengeras menahan amarah. Kerutan dalam terlihat jelas di dahinya, menandakan beban pikiran yang berat. 'Marah-marah pun tak ada gunanya sekarang,' batin Gina, menghela napas panjang. 'Seharusnya aku sudah menduga hal ini akan terjadi cepat atau lambat. Tapi, aku tak menyangka akan secepat ini. Laki-laki itu... cih! Terpaksa aku harus menghubunginya.' Ia berbalik, melangkah cepat menuju ruangannya, meninggalkan para TWILIGHT yang diliputi kecemasan. Indry menyeret Sena menuju ruang isolasi. Langkahnya berat, hatinya dipenuhi campuran antara kasihan dan kekecewaan. "Hah... Sena," desah Indry, suaranya lirih. "Lain kali, pikirkan baik-baik sebelum bertindak. Lihat sekarang, apa akibatnya?" Ia menggelengkan kepala, ekspresinya menunjukkan kepasrahan. "Maaf..." bisik Sena, suaranya nyaris tak terdengar. Indry menoleh ke arah Sena. Pemuda itu menunduk dalam, tak berani menatapnya. Matanya terpaku pada lantai yang kotor, langkahnya gontai mengikuti Indry. "Hah... sudahlah," gumam Indry, menghela napas panjang. "Semua sudah terjadi, tak ada gunanya menyesal." Ia mendorong pintu ruang isolasi, mempersilakan Sena masuk. Sena terbaring lemah di atas tumpukan keramik yang dingin. Ruang isolasi itu gelap dan lembap, hanya diterangi seberkas cahaya redup dari celah di dinding. Bau pengap dan debu menusuk hidung. Tempat itu kini menjadi penjara bagi Sena, hukuman atas perbuatannya. Di halaman luas kediaman keluarga Cristiano, Chalista berlarian dengan riang. Tawanya yang renyah memecah kesunyian pagi, diiringi celoteh riang para pelayan yang mengawasinya dari dekat. "Nona, hati-hati!" seru seorang pelayan, berusaha mengimbangi langkah Chalista yang lincah. "Ha ha ha ha..." Chalista hanya tertawa, kakinya terus berlari, menikmati kebebasan dan kegembiraan masa kecilnya. Dari balik jendela kaca ruang kerjanya, Cristiano mengamati putrinya. Matanya menyipit, mengamati setiap senyum dan tawa yang terpancar dari wajah Chalista. Namun, di balik tatapan itu, tersirat kekhawatiran yang mendalam. "Haaah..." desah Cristiano, suaranya lirih, nyaris tak terdengar. "Apa yang harus kulakukan untuk melindungi senyum itu?" Ia bertanya pada dirinya sendiri, pikirannya berkecamuk mencari cara untuk menjaga putrinya tetap aman. "Tuan," panggil seorang pelayan, suaranya pelan namun membuyarkan lamunan Cristiano. Cristiano menghela napas, kembali menatap Chalista yang berlarian di halaman. Kenangan percakapan mereka di pagi hari setelah kejadian penculikan itu kembali berputar di benaknya. Flashback on "Daddy, anak laki-laki itu menyelamatkan Chalista," ujar Chalista, matanya berbinar-binar. "Dia hebat, dia bisa melawan orang-orang jahat itu!" "Oh, benarkah?" tanya Cristiano, mengangkat alisnya. Ia berusaha menyembunyikan kekhawatiran di balik nada bicara yang tenang. "Benar, Daddy! Dia sangat hebat! Dia melindungi Chalista sendirian. Beda sekali dengan mereka!" Chalista menunjuk para pengawal yang berdiri di belakang Cristiano dengan ekspresi kesal. Para pengawal tersenyum kaku, merasa bersalah atas kejadian yang menimpa Chalista. "Em, Nona, maafkan kelalaian kami," ujar salah seorang pengawal, suaranya bergetar. "Kami tidak tahu kalau Nona pergi sendirian ke hutan." "Huh!" Chalista mendengus, memalingkan wajahnya dari para pengawal. Ia masih kesal karena mereka gagal melindunginya. Cristiano tersenyum melihat tingkah putrinya. Chalista memang selalu bersikap lebih dewasa dari usianya."Jadi, bagaimana, Chalista?" tanya Cristiano, seolah mengerti isi hati putrinya. "Apa Chalista ingin mencari pengawal baru?"Mata Chalista langsung berbinar, senyum merekah di wajahnya."Dad, Chalista belum sempat berterima kasih pada anak itu," ujar Chalista, suaranya memohon. "Apa Daddy bisa mencarikan anak itu? Chalista ingin mengucapkan terima kasih padanya.""Baiklah," jawab Cristiano, mengusap lembut kepala putrinya. "Daddy akan mencari anak laki-laki itu dan menyampaikan terima kasihmu padanya."Chalista bersorak gembira, melompat-lompat kegirangan. Lalu, ia menatap ayahnya dengan tatapan penuh harap. "Dad, apa pengawal Chalista bisa seperti dia?"Cristiano terdiam, tertegun mendengar pertanyaan putrinya. Ia tahu, Chalista menginginkan pengawal yang kuat dan berani seperti Sena."Tentu saja," jawab Cristiano, senyum dipaksakan terukir di wajahnya yang dingin. "Chalista bisa punya pengawal seperti dia."Flashback offCristiano memikirkan ucapan putrinya. Ia bertekad untuk mencar
"Di mana dia sekarang?" Gina bertanya lagi, suaranya kini pelan, tetapi setiap kata terasa seperti palu yang menghantam."Sena ada... dia ada di luar," jawab Indry gugup, menunjuk ke arah pintu markas.Gina bangkit dari kursinya, langkahnya mantap dan penuh percaya diri. Ia berjalan mendekati Indry yang berdiri kaku di depan pintu, senyum mengerikan terukir di wajahnya yang keriput. "Ayo, temui dia," bisiknya, suaranya serak namun menusuk tulang.Meski usianya tak lagi muda, aura kekuatan terpancar dari setiap gerakannya. Gina adalah satu-satunya TWILIGHT yang tersisa dengan kekuatan di atas rata-rata, dan hanya dialah yang mampu memimpin para Berandalan Berliontin.Melihat senyum mengerikan di wajah pemimpinnya, Indry merinding ketakutan. Firasat buruk menghantuinya, jantungnya berdebar tak karuan. ****Di luar markas, Sena duduk bersandar di bawah pohon rindang, menikmati semilir angin yang membelai wajahnya. Matanya terpejam, bibirnya melengkung membentuk senyum tipis. Ia tak meny
Cristiano, yang menyadari identitas Sena, dengan cepat menghunus pistolnya. Namun, Sena bergerak lebih cepat. Dalam sepersekian detik, pistol itu sudah berpindah tangan.Sena tahu, Cristiano akan menembaknya tanpa ampun. Tanpa ragu, ia melepaskan tembakan ke arah dua pria yang tadi mengejarnya. Kedua pria itu tersungkur, tewas seketika. Mata Sena kemudian beralih, mencari sumber tembakan pertama.Para tamu terdiam, terpaku menyaksikan adegan mengerikan itu. Chalista membenamkan wajahnya di pelukan ibunya, tubuhnya gemetar ketakutan. Tanpa sepatah kata pun, Sena berbalik dan berlari menuju hutan kota, menghilang di antara pepohonan. Cristiano hanya bisa menatap kepergiannya, rahangnya mengeras.Tiba-tiba, suara teriakan memekakkan telinga memecah kesunyian malam."Aaarrrrggggghhhhttttt!"Para tamu semakin panik. Cristiano menyipitkan matanya, menduga suara itu berasal dari Sena. Namun, apa yang sebenarnya terjadi di dalam kegelapan hutan, ia tak tahu.Beberapa saat sebelumnya, Sena ber
Mereka bersiap menyerang kembali, pedang terangkat tinggi-tinggi, siap diayunkan."Hehehe... Bocah, sebaiknya kau menyerah saja dan serahkan gadis kecil itu pada kami," ujar Yun, suaranya serak dan menjijikkan. "Dengan begitu, kau bisa kabur dengan mudah."Chalista menatap kedua pria di depannya dengan mata terbelalak, air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. Tubuhnya semakin gemetar hebat, ia semakin erat memeluk Sena, menyembunyikan wajahnya di balik bahu anak laki-laki itu.Sena mengalihkan pandangannya pada Chalista, merasakan tubuh mungil itu bergetar hebat. Lalu, ia kembali menatap kedua pria yang semakin mendekat, pedang mereka berkilauan tertimpa cahaya rembulan, siap menebas.Di dalam gedung, di tengah gemerlap pesta, keluarga Cristiano asyik berbincang dengan para tamu. Hingga sebuah pertanyaan tiba-tiba menyentak mereka."Cristiano, kudengar kau datang bersama putri kecilmu. Di mana dia sekarang?""Chalista bersamaku..." Ucapan Cristiano menggantung di udara.Matanya b
Gemerincing logam beradu. Dog tag, identitas yang terkalung di leher mereka, lebih terasa seperti rantai takdir. Tak seorang pun meminta jalan hidup ini, namun di sinilah mereka—terjebak dalam pusaran yang tak bisa dihindari. Setiap hari adalah perjuangan. Seorang anak laki-laki, dengan tatapan kosong, mencari secercah makna di kerasnya dunia. Di pekatnya malam, di jantung hutan kota, sosok Sena Izumi muncul. Usianya mungkin baru sebelas tahun, tetapi katana terselip di pinggangnya, dan dog tag dengan namanya terukir jelas, menjadi saksi bisu keberaniannya. Tanpa ragu, ia menyusuri jalan setapak. Langkah Sena terhenti di bawah pohon raksasa. Kepalanya mendongak, menelusuri batang kokoh hingga dahan tertinggi. Dengan sekali lompatan, ia meraih dahan itu. Dari ketinggian, panorama kota terbentang—gemerlap lampu, sungai kendaraan yang tak pernah berhenti mengalir. Angin membelai rambutnya yang panjang, membawa serta aroma aspal dan kehidupan. Kilauan lampu kristal memancar dari se