LOGINPara berandalan berliontin, Indry, dan kedua pengawal Cristiano serentak menghentikan gerak mereka, mata melebar, napas tertahan. Twilight dan Indry, tanpa menunggu aba-aba, segera menundukkan kepala dalam, tangan kanan menyentuh dada sebagai tanda hormat saat Gina melangkah keluar.
"Indry, bawa dia kemari!" perintah Gina, suaranya tegas. "Katakan padanya, hukumannya sudah berakhir. Dan berikan celebre padanya!" "Ah, baik, Sir!" Indry tersentak, namun segera mengangguk patuh, lalu berbalik cepat menjalankan perintah. Gina kembali melangkah masuk ke ruangannya. Bibir Cristiano melengkung tipis, matanya mengikuti Gina yang kembali duduk di kursinya. Indry bergegas menuju ruangan isolasi, di tangannya tergenggam kotak kecil. Pintu besi itu terbuka, menampakkan Sena terbaring di ranjang, kulitnya pucat pasi, setiap tarikan napasnya terasa berat dan tersendat. Tanpa membuang waktu, Indry menghampiri Sena, dengan cekatan menyuntikkan cairan dari spuit di tangannya ke lengan kanan Sena. Perlahan, warna kembali merona di pipi Sena, napasnya mulai teratur, dan kelopak matanya bergetar. "Bangunlah," kata Indry datar, sambil merapikan peralatan suntiknya. "Sir memintaku membawamu ke ruangannya." Sena tidak mengeluarkan sepatah kata pun, tatapannya kosong. Ia bangkit dari ranjang, mengikuti Indry dari belakang, langkahnya gontai keluar dari ruang isolasi menuju ruangan Gina. Pintu berderit pelan setelah tiga ketukan singkat. "Masuk," suara Gina terdengar, berat dan tanpa kehangatan. Indry mendorong pintu hingga terbuka, mempersilakan Sena masuk ke ruangan yang terasa asing baginya. Aroma parfum mahal bercampur dengan bau kertas dan tinta menyeruak, menyesakkan dadanya. "Sir," lapor Indry, suaranyaFormal. Cristiano, yang duduk di balik meja besar, menyunggingkan senyum tipis melihat Sena. Senyum yang tidak mencapai matanya. Gina berdiri, tatapannyaMenusuk Sena. "Mulai hari ini, kau tinggal bersama keluarga Cristiano. Kemasi barang-barangmu sekarang!" perintahnya, tanpa memberi ruang untuk bantahan. Sena hanya mengangguk. Matanya kosong, tanpa ekspresi. Ia merasa sepertiAnjing peliharaan yang tidak punya pilihan selain menuruti perintah. Setelah semua barangnya dikemas, Sena melangkah masuk ke dalam mobil hitam mewah itu. Gerakannya lambat, seolah setiap langkah membutuhkan usaha keras. Cristiano sudah duduk di kursi belakang, diapit oleh kedua bawahannya. Sepanjang perjalanan, pandangan Delico, salah satu bawahan Cristiano, tak lepas dari Sena. Matanya terpaku pada liontin perak yang melingkar di leher anak itu. Ia mengerutkan kening, mencoba membaca ukiran yang terukir samar: "A/0". Sebuah kerutan dalam muncul di antara alisnya. Liontin itu berbeda, bukan seperti perhiasan biasa. Kemudian, tatapannya beralih ke mata Sena. Kosong, hampa, seolah cermin jiwanya telah retak, tak memantulkan secercah semangat hidup pun. Delico menelan ludah, sebuah pertanyaan tanpa suara menggantung di benaknya. Sena sendiri tak acuh pada tatapan itu. Ia hanya menempelkan keningnya ke kaca jendela, membiarkan pemandangan Jakarta yang sibuk melintas begitu saja di luar, tanpa benar-benar melihatnya. Keheningan yang berat menyelimuti kabin, hanya suara mesin yang terdengar samar, sampai akhirnya Cristiano memecahnya. "Jadi, namamu Sena Izumi, umur sebelas tahun," ujar Cristiano, suaranya datar namun penuh otoritas. Delico dan rekannya sontak saling berpandangan, mata mereka membulat sempurna. Usia itu... terlalu muda. "Apa! Sebelas tahun?" Delico tersentak, tubuhnya sedikit condong ke depan. Keterkejutan terpancar jelas di wajahnya. Cristiano mengangkat alis, menoleh ke arah Delico dengan tatapan menyelidik. "Ada apa, Delico? Kenapa kau begitu heran?" tanyanya, nada suaranya tenang namun menyimpan rasa ingin tahu. Delico menggelengkan kepala, masih berusaha mencerna informasi yang baru didengarnya. "Tidak mungkin... Aku tidak menyangka dia baru sebelas tahun. Gerakannya tadi... kemampuannya... Sulit dipercaya," gumamnya, raut wajahnya menunjukkan kekaguman bercampur keterkejutan. Ia merasa seperti baru saja ditipu oleh ilusi yang sangat meyakinkan. Cristiano tersenyum tipis, seolah mengerti kebingungan bawahannya. "Itulah Twilight," jawabnya, pandangannya kembali lurus ke depan. "Mereka dididik sejak usia dini untuk bertahan hidup. Apapun caranya." Nada suaranya mengandung kekaguman sekaligus nada dingin yang membuat bulu kuduk meremang. Mobil berhenti di depan sebuah rumah mewah bergaya Eropa klasik. Pilar-pilar tinggi menjulang, menopang atap yang kokoh. Taman yang luas tertata rapi dengan bunga-bunga berwarna-warni yang bermekaran. Begitu suara mesin mobil mati, seorang gadis kecil berlari keluar dari pintu utama. "Daddy!" serunya riang. Chalista, dengan rambut dikepang dua dan gaun berwarna merah muda, berhenti mendadak saat melihat seorang anak laki-laki keluar dari mobil di belakang ayahnya. Matanya membulat, ekspresi terkejut terlihat jelas di wajahnya. Namun, hanya sesaat. Senyum cerah langsung merekah di bibirnya, mengubah ekspresi terkejut menjadi keramahan yang tulus. Tanpa ragu, Chalista berlari menghampiri Sena yang baru saja keluar dari mobil. Langkahnya ringan, penuh semangat. "Hai!" sapanya riang, senyumnya tak luntur sedikit pun. Sena hanya menatap Chalista tanpa berkedip. Wajahnya datar, tanpa ekspresi. Matanya kosong, seolah Chalista hanyalah bayangan yang tak berarti. Ia bahkan tidak berusaha membalas sapaan gadis kecil itu. "Chalista, mulai hari ini Sena akan tinggal di sini bersama kita," kata Cristiano, suaranya lembut namun tegas, ditujukan pada putri kecilnya. Mata Chalista berbinar mendengar perkataan ayahnya. Tanpa menunggu sedetik pun, ia meraih tangan Sena dan menariknya dengan penuh semangat menuju pintu masuk rumah. Sena hanya bisa pasrah mengikuti langkah Chalista, tubuhnya terasa ringan seperti kapas yang terbawa angin. Cristiano tersenyum melihat keakraban yang tiba-tiba terjalin antara putrinya dan Sena. Namun, senyum itu tak sampai ke mata istrinya. Wanita itu berdiri di sampingnya, tatapannya dingin dan menusuk, jelas menunjukkan ketidaksukaan atas kehadiran Sena di rumah mereka. Waktu berlalu, hari-hari berganti. Chalista tampak semakin bahagia dengan kehadiran Sena di sisinya. Seperti siang ini, tawa riang Chalista terdengar dari halaman samping rumah, tempat ia bermain bersama Sena. Cristiano dan istrinya berdiri berdampingan di balik jendela kaca, mengamati interaksi antara putri mereka dan Sena. Di balik senyum Cristiano, tersembunyi sebuah misteri. Sementara itu, tatapan istrinya semakin dingin dan penuh prasangka. "Kenapa kau membawa Twilight itu ke sini? Apa kau ingin membahayakan putri kita?!" desis istri Cristiano, setiap kata diucapkannya dengan penekanan yang tajam. Nada suaranya mengandung kemarahan dan kekhawatiran yang mendalam. Cristiano tetap tenang, pandangannya tak lepas dari Chalista yang sedang tertawa riang di halaman. "Aku membawanya ke sini justru karena dia bisa melindungi Chalista," jawabnya, suaranya datar namun penuh keyakinan. "Melindungi? Mana mungkin Twilight bisa dipercaya!" bentak istrinya, emosinya meluap. "Hanya karena dia pernah menyelamatkan Chalista sekali, kau langsung mempercayainya untuk melindungi putri kita? Apa kau sudah gila!" Nada suaranya meninggi, memenuhi ruangan dengan amarahnya. Istri Cristiano memalingkan wajahnya, rahangnya mengeras. Sejak awal, ia memang tidak pernah setuju dengan keputusan suaminya untuk membawa seorang Twilight ke rumah mereka. Baginya, Twilight tetaplah seorang pembunuh yang tidak bisa dipercaya, tidak peduli apa pun alasannya.Pria berkacamata itu menunjuk kalung di leher Bobby dengan ekspresi terkejut. "Dia punya kalung yang sama seperti Bobby!" serunya, matanya membulat.Rekannya mendekat, mengamati kalung itu dengan cermat. "Tapi, tulisannya berbeda," gumamnya, alisnya berkerut.Salah satu pria, dengan langkah tergesa, menghampiri Bobby dan menepuk bahunya kasar. "Hei!" bentaknya, "Apa yang kau lakukan? Kenapa diam saja? Cepat habisi anak itu, jangan sampai membuat bos marah!" Nada suaranya meninggi, urat-urat di lehernya terlihat menegang.Tanpa sepatah kata pun, Bobby bergerak cepat. Tangannya mengepal, menghantam wajah pria itu dengan kekuatan penuh. Pria itu terpental, tubuhnya melayang sebelum akhirnya menabrak pohon dengan bunyi gedebuk yang mengerikan. Seketika, pria itu tidak bergerak.Teman-temannya terdiam, tubuh mereka membeku di tempat. Bulu kuduk mereka berdiri, keringat dingin mulai membasahi pelipis. Satu serangan... dan pria itu tewas.Bobby mendesis, bibirnya bergetar menahan amarah. "Be
Keringat dingin membasahi pelipis para penculik. Tubuh mereka bergetar menyaksikan Sena melumpuhkan satu per satu rekan mereka. Mata Sena menyala oleh amarah yang membara, setiap gerakannyaPresisi dan mematikan. Di dalam mobil, Chalista merasakan secercah harapan merekah di dadanya. Akhirnya, pahlawannya datang.Chalista menoleh ke belakang, senyum merekah di wajahnya bagai mentari pagi. "Sena! Aku di sini! Tolong aku!" serunya, suaranya bergetar antara lega dan takut.Belum sempat Chalista menyelesaikan kalimatnya, sebuah pukulan keras menghantam tengkuknya. Kesadaran Chalista langsung meredup, tubuhnya terkulai lemas."Sial! Mulut itu benar-benar perlu disumpal," gerutunya dengan gigi terkatup rapat, urat-urat di lehernya menegang.Sena menyaksikan adegan di dalam mobil, rahangnya mengeras. Amarahnya mencapai ubun-ubun. Tanpa ragu, tangannya menyelinap ke balik celana, mengeluarkan sebilah pisau kecil yang selalu setia menemaninya. Dengan gerakan cepat dan terukur, ia melemparkan pi
Chalista menghela napas panjang, matanya terpaku pada Sena yang tak kunjung selesai. Jari-jarinya mengetuk-ngetuk layar ponsel, namun pikirannya melayang. Setiap detik terasa seperti menit yang enggan berlalu. Tiba-tiba, matanya menangkap sosok familiar di seberang jalan. Sebuah kedai yatai dengan lampion merah yang bergoyang lembut diterpa angin. Bibirnya tertarik membentuk senyum lebar. Tanpa ragu, ia bangkit dari duduknya dan menghampiri Sena."Sena, aku mau keluar dulu," ujar Chalista, berusaha menyembunyikan kegugupannya.Sena hanya diam, namun matanya memancarkan kekhawatiran yang begitu dalam. Ia menatap Chalista dengan tatapan yang sulit diartikan, seolah ingin mengatakan sesuatu namun tak mampu."Kak, aku bayar pakai Qris ya," kata Chalista, mengalihkan perhatian.Pemilik salon mengangguk dan segera memberikan kode Qris pada Chalista. Setelah menyelesaikan pembayaran, Chalista bergegas keluar dari salon. Sena hanya bisa menatap punggung Chalista yang menjauh, hatinya dipenu
"Hufft, akhirnya," gumam Chalista lirih, menghela napas lega.Bel berdering nyaring, memecah keheningan dan menandakan waktu istirahat telah usai. "Sena, aku masuk kelas dulu ya. Sampai nanti!" seru Chalista, senyum merekah di wajahnya, lalu bergegas berlari menuju pintu gerbang sekolah.Sena kembali memanjat pohon rindang di seberang jalan, matanya tak lepas mengawasi Chalista dari kejauhan. Waktu berlalu begitu cepat, hingga bel pulang sekolah berbunyi nyaring. Chalista keluar dari kelas dengan wajah berseri-seri, langkahnya ringan menuju gerbang sekolah. Di sana, Sena sudah menunggunya dengan sabar."Sena!" panggil Chalista riang, senyumnya semakin lebar saat melihat Sena. "Ayo, kita pulang!" ajaknya sambil meraih tangan Sena, menggenggamnya erat.Sena hanya mengikuti langkah Chalista, membiarkan gadis kecil itu menarik tangannya menuju mobil yang sudah menunggu. Bahkan setelah duduk di kursi belakang pun, Chalista enggan melepaskan genggamannya."Pak Hans, sebelum pulang, kita bis
Seiring dengan pulihnya keadaan kota, para Berandalan Berliontin kembali ke wilayah mereka masing-masing. Sena, yang selama ini membantu Gina, juga kembali ke rumah keluarga Cristiano. Mobil yang dikendarai Gina membawanya kembali ke tempat yang kini menjadi rumahnya. Di balik jendela mobil, Sena menatap jalanan yang ramai dengan tatapan kosong. Pikirannya masih dipenuhi dengan kejadian yang baru saja berlalu.Setibanya Sena di rumah, Chalista langsung menyambutnya di ambang pintu."Sena, akhirnya kau kembali!" seru Chalista, suaranya penuh kelegaan. Ia langsung memeluk Sena erat, menyalurkan kerinduan yang membuncah."Iya," balas Sena singkat, namun pelukannya terasa hangat dan tulus.Chalista tampak berseri-seri, matanya berbinar-binar. Beberapa hari tanpa Sena terasa seperti berabad-abad lamanya. Rumah terasa sepi dan hampa tanpa kehadiran sahabatnya itu.Mentari pagi menyinari kota, menandakan hari baru telah tiba. Sena kembali menjalankan tugasnya menjaga dan menemani Chalista ke
"Entahlah... Ayo kita lihat!" ajak rekannya, dengan ragu-ragu melangkah maju.Para pasukan keamanan mendekat dengan hati-hati, rasa penasaran bercampur ngeri memenuhi benak mereka. Namun, pemandangan yang menyambut mereka membuat perut mereka bergejolak. Mayat tanpa kepala, tubuh dengan luka menganga yang memperlihatkan isi perut yang terburai... Pemandangan mengerikan itu terlalu berat untuk mereka cerna."Hoak!""Hoak!"Beberapa pasukan keamanan tidak kuat menahan rasa mual. Mereka berlari menjauh, membungkuk dan memuntahkan isi perut mereka di semak-semak."Sial! Twilight brengsek! Membunuh tanpa aturan!" umpat seorang pasukan yang baru selesai memuntahkan isi perutnya, wajahnya pucat pasi."Gila! Anak kecil itu membunuh dengan sadis... Apa mereka tidak merasa mual melihat isi perut yang keluar itu?" tanya yang lain dengan nada jijik dan ngeri, tubuhnya bergetar."Mereka Twilight... Hal seperti itu mungkin sudah menjadi hal yang biasa bagi mereka," sahut seorang pasukan keamanan de







