Beranda / Horor / Kutukan Wasiat Kakek / Kematian Beruntun

Share

Kematian Beruntun

Penulis: Els Arrow
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-30 01:30:52

"Alya! Apa yang terjadi? Kenapa kamu teriak-teriak tengah malam begini?" tanya sang ibu sambil menghampiri putrinya dengan tatapan panik.

Alya menoleh cepat, matanya mencari-cari ke sekeliling ruangan, berharap menemukan jejak bayangan yang tadi membuatnya ketakutan. Namun, kamar itu kini kembali tenang dan kosong, seolah tidak pernah terjadi apa-apa.

“Enggak, Bu. Tadi … sepertinya aku cuma capek,” katanya, berusaha terdengar meyakinkan, meski masih merasa napasnya belum sepenuhnya stabil.

Melihat Alya celingak-celinguk, Tina semakin penasaran. "Capek sampai teriak begitu? Alya, ada apa sebenarnya? Kamu kenapa, Nak?”

Alya menghela napas dan mencoba mengalihkan perhatian ibunya.

"Aku … kaget, Bu. Tiba-tiba lihat kotak kayu tua peninggalan kakek di lemari. Enggak tahu kenapa kotak itu jatuh sendiri.”

Mata Tina mengamati Alya, lalu dia menghela napas kasar. Ia tak terlalu peduli dengan kotak penemuan putrinya, mengira memang benda biasa peninggalan ayahnya.

"Alya, malam sudah larut. Lebih baik kamu kembalikan saja kotak itu ke tempatnya dan tidur, ya? Besok masih banyak saudara yang akan datang untuk berbela sungkawa.”

Alya mengangguk, berusaha menyembunyikan kegelisahannya. "Iya, Bu, maaf bikin kaget."

Tina mengusap pundak Alya lembut. "Coba istirahat, Nak. Ini mungkin hanya efek kelelahan. Kamu tidur di kamar kakek juga mungkin membuat kamu teringat terus tentang kepergiannya. Besok coba tidur di kamarmu saja, ya.”

Alya tersenyum kecil, lalu beranjak menempatkan kotak kayu itu kembali ke dalam lemari.

Setelah ibunya meninggalkan kamar, Alya memandangi kotak itu sekali lagi, dengan tatapan ragu. Meski dalam hati ia enggan mengakui adanya hal-hal gaib, sesuatu tentang kotak itu meninggalkan perasaan tak nyaman yang sulit ia abaikan.

Pagi itu, rumah besar tempat keluarga Alya berkumpul kembali dipenuhi banyak orang. Di ruang tamu, Anto—paman Alya—duduk di antara kerabat yang lain. Wajahnya tampak cemberut, sementara yang lain sibuk mengobrol dengan nada suara yang halus, berbicara soal kenangan mereka tentang almarhum Kakek Suroto.

Setelah hening sejenak, Anto membuka suara, “dengar, sekarang kakek sudah nggak ada, kita harus bahas soal warisannya. Menurutku, nggak perlu tunggu lama-lama. Nanti malah tambah ribet urusannya."

Beberapa wajah langsung menoleh ke arah Anto, terkejut dengan sikapnya. Saudara lain yang duduk di sudut ruangan, menatapnya tajam.

“Anto, bicara apa kamu ini?!” tegurnya sambil menggelengkan kepala. “Pamali, belum empat puluh hari udah bahas warisan.”

Adik Anto yang lain, Paman Suhadi, juga ikut angkat bicara. “Betul, kita hormati dulu kakek yang baru saja pergi. Urusan harta bisa dibahas nanti, setelah kita semua selesai berkabung.”

Anto mendengus, tidak puas. "Hah, pamali katanya? Dengar, siapa yang paling banyak urus kakek selama sakit? Aku! Yang lain mana? Sibuk dengan urusan masing-masing. Sekarang kakek sudah pergi, nggak ada salahnya dibagi sekarang, supaya semuanya jelas! Dan bagianku ... harus paling besar karena akulah yang paling berjasa."

Tina yang duduk di sebelah putrinya, menatap kakaknya itu dengan ekspresi tak percaya. “Mas Anto, nggak begini caranya. Kita baru saja kehilangan kakek, masih banyak yang harus dipikirkan sebelum bicara soal warisan. Kalau kita buru-buru, bisa-bisa kakek nggak tenang di sana.”

Anto tertawa kecil, matanya menyipit. “Mau tenang di sana, atau tenang di sini itu bukan urusanku. Sudah nggak ada bedanya! Aku cuma nggak mau nanti ada yang ngelunjak, ambil hak orang lain. Makanya aku minta dibagi sekarang, Tin.”

Beberapa kerabat lain mulai berbisik-bisik, menatap Anto dengan tatapan tidak suka. Istri Anto, yang sedari tadi diam, mencoba menenangkan suaminya. “Mas, kita pulang saja kalau kamu masih panas-panas begini,” bisiknya pelan.

Namun, Anto tidak menggubrisnya. “Sudahlah! Aku cuma mau ini cepat selesai. Apa salahnya?”

Paman Suhadi menepuk bahu Anto, mencoba menenangkannya. “Mas Anto, kau tahu betul tradisi kita. Membahas warisan sebelum empat puluh hari itu bukan hal yang baik. Itu bukan cuma pamali, tapi juga menunjukkan rasa tidak hormat pada almarhum.”

Anto mengibaskan tangannya, tidak sabar. “Ck, tradisi ini, tradisi itu! Kalian semua munafik. Yang penting harta ini harus dibagi adil.”

Melihat suasana semakin tegang, Tina menghela napas panjang, mencoba memberi pengertian. “Mas, tolong dengarkan keluarga yang lain. Ini bukan soal warisan saja, tapi soal menghormati kakek dan kerukunan kita.”

Anto mendengus, berdiri dengan kasar. “Kalian semua sama saja! Cuma mau menunda supaya bisa ambil kesempatan, kan?!”

Dengan wajah memerah karena amarah, Anto melangkah keluar dari rumah, membanting pintu keras-keras hingga suara berdebum menggema di ruangan.

Semua orang tercenung, sementara Alya hanya menyaksikan dalam diam.

Malam harinya, saat keluarga berkumpul untuk acara selamatan kakek, suasana hening tanpa kehadiran Anto. Alya duduk bersama ibunya dan anggota keluarga lain yang sibuk memanjatkan doa. Namun, di tengah acara, tiba-tiba ponsel Tina berdering, memecah keheningan.

Tina segera mengangkat telepon. "Halo? Iya, ada apa?"

Di seberang telepon, istri Anto berbicara dengan suara bergetar dilanda kepanikan. “Dik Tina … Mas Anto, Dik. D-dia keracunan. Kami lagi di rumah sakit sekarang.”

Mata Tina melebar, menatap Alya dan beberapa anggota keluarga lain yang mulai khawatir. “Apa? Kok bisa?!”

Suara di telepon terdengar semakin gemetar diiringi isak tangis. “Aku nggak tahu, Dik … Mas Anto tadi makan di rumah, tiba-tiba perutnya sakit luar biasa. Sekarang dokter bilang kondisinya cukup serius.”

Tina menutup mulutnya, hampir tidak percaya dengan apa yang ia dengar. Ia menatap yang lain dengan tatapan penuh kecemasan.

“Kita harus ke rumah sakit sekarang. Mas Anto keracunan!"

Beberapa anggota keluarga lainnya mulai resah mendengar kabar itu, sementara dalam hati, Alya tidak bisa menahan perasaan ngeri yang menggelayutinya.

Kenapa batinnya mengatakan peristiwa ini seolah-olah ada sesuatu yang lebih besar di baliknya?

Ketika anggota keluarga sudah berkumpul di rumah sakit, suasana berubah mencekam begitu dokter keluar dari ruang perawatan dengan wajah serius.

Dengan suara tegang dan penuh penyesalan, dokter menyampaikan kabar yang tidak diharapkan. “Kami sudah berusaha yang terbaik, tetapi Pak Anto tidak bisa diselamatkan. Beliau meninggal sekitar sepuluh menit yang lalu.”

Kalimat itu seperti petir di siang bolong. Alya terpaku di tempat, tubuhnya seketika lemas. Napasnya terhenti sesaat, dadanya sesak.

Ini sangat tiba-tiba, tak bisa ia cerna. “Paman meninggal?” gumamnya tak percaya, matanya berkaca-kaca.

Pikirannya tiba-tiba melayang jauh. Ia kembali teringat akan surat yang ia temukan di kamar Kakeknya. Tentang arwah keluarga yang menuntut darah jika ritual tidak dilaksanakan. Muncul dalam pikirannya, berputar-putar seperti bayangan kelam yang menolak untuk pergi.

“Tidak! Ini pasti kebetulan. Paman Anto meninggal karena keracunan, bukan karena hal lain," batinnya menolak keras, mencoba melawan pikiran itu.

Namun, hatinya bergejolak. Sesuatu terasa janggal. Kepergian Anto begitu mendadak, tepat setelah ia bersikeras ingin membahas warisan. Dan Alya merasa tak tenang, seolah ada tali tak kasat mata yang menghubungkan peristiwa ini dengan isi surat tersebut.

Ia menggigit bibirnya, mencoba menenangkan diri, tapi hatinya tidak bisa berhenti bertanya. Apakah benar semua ini hanya kebetulan? Ataukah ada sesuatu yang lebih kelam di balik kematian Paman Anto?

"Kematiannya ... beruntun."

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (4)
goodnovel comment avatar
Nayanika Shanum
keren. suka sama karakternya
goodnovel comment avatar
Natasha
duh, ngeri
goodnovel comment avatar
Agung99
anto pasti kena karma
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Kutukan Wasiat Kakek    Bab 74

    Cahaya matahari pagi menembus tirai jendela, menyinari rumah besar itu dengan hangat. Namun, suasana lantai dua terasa tegang. Tina, yang tengah merapikan barang-barangnya untuk pergi ke kos-kosan Alya, tiba-tiba merasa ada yang janggal.“Kenapa Nayu belum turun juga, ya?” gumamnya sambil melirik jam dinding. Jarum pendeknya sudah menunjuk angka sembilan. Biasanya, Nayu selalu muncul lebih pagi, entah untuk menyiapkan sarapan atau sekadar berkeliling.Tina menghentikan kegiatannya. Pikirannya terusik. Ia mencoba menepis kekhawatiran itu, tetapi firasatnya kian menguat. Akhirnya, dengan langkah pelan tapi pasti, ia memutuskan untuk naik ke lantai tiga.Tangga yang berderit di bawah pijakannya semakin menambah rasa was-was. Lantai tiga, yang biasanya jarang ia kunjungi, terasa begitu sunyi. Setibanya di depan kamar Nayu, Tina mengetuk pintu dengan hati-hati.“Nayu? Kamu di dalam?” panggilnya, berusaha terdengar tenang.Tak ada jawaban. Ia mengetuk lagi, kali ini lebih keras. “Nayu! Ban

  • Kutukan Wasiat Kakek    Bab 73

    Rumah besar bergaya kolonial itu berdiri kokoh di tengah pekarangan yang sunyi. Malam telah larut, namun keheningan di lantai tiga terasa tidak biasa. Dinding-dinding tua berlapis cat yang mulai pudar memantulkan bayangan samar dari cahaya lilin yang berkerlip tak menentu. Udara di sana begitu pekat, seolah ada sesuatu yang mengintai, menunggu dalam bayangan gelap untuk menerkam.Di salah satu kamar di lantai itu, Nayu duduk bersila di lantai. Ruangan itu dipenuhi dengan benda-benda ritual, lilin hitam berjajar rapi di atas meja, sebuah cawan perak yang penuh cairan berbau menyengat, dan segumpal rambut kusut yang ia letakkan di atas kain merah. Matanya yang tajam menatap lekat rambut itu, tangannya mulai bergerak dengan pelan dan penuh tekad. Ia mulai merapal mantra, suaranya lirih, tapi penuh intensitas, seperti berbisik kepada kekuatan yang tidak kasat mata.“Aku tidak akan membiarkan mereka mengganggu rencanaku,” gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri.Namun, malam itu berbeda.

  • Kutukan Wasiat Kakek    Bab 72

    Pagi ini, ia dan Narendra kembali ke rumah Pak Ustaz Harun—pamannya Narendra, seorang tokoh agama yang menjadi tumpuan mereka dalam melawan kutukan keluarga.Di perjalanan, Narendra mengemudikan mobil dengan tenang. Sementara itu, Alya duduk diam di kursi penumpang, menggenggam gelang perak yang terasa berat, seolah ada energi gelap yang mengalir darinya. Di pangkuannya, ada kotak kayu kuno berukir motif Jawa yang ia temukan di kamar mendiang kakeknya. “Bagaimana perasaanmu sekarang?” tanya Narendra, memecah keheningan.Alya mengangkat bahunya. “Entahlah. Aku merasa lega, tapi sekaligus takut. Kalau ini nggak berhasil—”“Jangan berpikir begitu. Kita sudah sejauh ini. Aku yakin, Allah nggak akan membiarkan kita berjuang tanpa hasil.” Narendra mencoba menguatkan.Alya menatap kotak kayu di pangkuannya. “Kamu yakin semuanya akan selesai setelah ini?”Narendra mengangguk. “Itulah kenapa kita harus membakarnya. Semua benda yang jadi media kutukan harus dihancurkan total. Pak Ustaz juga

  • Kutukan Wasiat Kakek    Bab 71

    “Ya Allah .…” Tina berdoa sambil menangis. “Kalau memang ini jalan yang harus kuambil, aku mohon … aku mohon, jangan biarkan Alya tahu. Jangan biarkan dia merasa bersalah. Dia nggak salah, semua ini karena dosa kami, dosa keluarga ini. Jangan hukum Alya, hukum aku saja.”Ia terisak lagi, kali ini lebih keras. Tangan kanannya menutupi wajahnya, tubuhnya gemetar hebat.Tangannya perlahan beralih ke dada, merasakan detak jantungnya yang semakin tak beraturan. Ia tahu efek ritual itu mungkin akan mulai terasa dalam beberapa hari ke depan. Bisa jadi tubuhnya akan melemah, bisa jadi ia akan sakit parah, atau bahkan meninggal.Tina tak berani menyelesaikan pikirannya. Namun, ia sudah siap. Ia tidak punya pilihan lain.Mobil yang ia kendarai kembali melaju perlahan, memasuki jalanan yang semakin sepi. Di tengah tangisannya, ia teringat lagi saat Alya memeluknya beberapa hari lalu. “Aku tahu kamu nggak akan berhenti, Nayu. Kamu mungkin akan cari cara lain kalau kamu tahu aku sudah menukar ram

  • Kutukan Wasiat Kakek    Bab 70

    Malam hari.Tina memasuki rumah besar tiga lantai yang telah lama menjadi tempat tinggal keluarganya. Malam itu terasa lebih sunyi dari biasanya. Suara angin berdesir di sela-sela pohon mangga di halaman, seolah-olah menyampaikan peringatan akan sesuatu yang kelam. Kini ia sudah berdiri di depan pintu rumah, menyapa pembantu rumah tangga yang tengah membereskan meja ruang tamu. "Nayu di mana?" tanyanya singkat, mencoba terdengar santai meski hatinya terus berdebar."Bu Nayu tadi bilang mau keluar sebentar, Bu. Katanya beli sesuatu," jawab pembantu itu sambil melipat kain lap.Mata Tina sedikit membelalak, tapi ia segera menenangkan diri. "Oh, ya sudah. Kalau begitu, saya mau naik ke lantai tiga sebentar. Ada yang ketinggalan."Pembantu itu hanya mengangguk, tak mencurigai apa-apa.Tina melangkah ke tangga, kali ini berhati-hati agar langkahnya tak menimbulkan suara berlebihan. Tangga kayu itu sesekali berderit pelan, membuatnya berhenti sejenak untuk memastikan tak ada orang yang me

  • Kutukan Wasiat Kakek    Bab 69

    Alya duduk dengan tubuh menggigil di atas karpet tipis yang membentang di ruang utama rumah sang ustadz. Pandangannya kosong, namun hatinya bergemuruh. Tubuhnya masih terasa panas, meski hawa dingin malam telah menyusup dari celah-celah jendela. Narendra duduk di dekatnya, mengamati Alya dengan cemas. "Alya," suara ustadz itu lembut, memecah keheningan. "Sebelum kita mulai, kamu harus menyucikan dirimu terlebih dahulu. Wudhu dan salat taubat adalah langkah awal untuk membuka hatimu kepada Allah. Setelah itu, kita lanjutkan dengan ruqyah. Apakah kamu siap?" Alya mengangguk perlahan, meski tubuhnya tampak lemah. "Saya siap, Ustadz," suaranya terdengar parau. Narendra segera berdiri, bersiap membantu jika Alya tidak kuat berjalan. Ustadz itu menunjukkan arah kamar mandi. "Narendra, temani dia. Pastikan dia baik-baik saja." Dengan langkah gontai, Alya berjalan menuju kamar mandi, Narendra mengikutinya dengan penuh perhatian. Di dalam kamar mandi, ia memercikkan air wudhu ke wajah

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status