Share

L’Automne du Coeur/II

Mademoiselle, mobil kita ada di sebelah sini.” Pria yang mengaku ‘Pengawal Khusus Istana yang Seharusnya Mengawal Putri’ tersebut berseru memanggil. “Anda bisa membeku kalau terus keras kepala seperti ini“

Well, atur urusanmu sendiri, Monsieur. Aku sudah tidak berminat bermain tebak apa dan siapa dengan anda. Oke, kejutan tentang ARBA memang tak ada duanya. Tapi jangan kira aku goyah karena sogokan tersebut. Aku bahkan benci mengakui aku menyukai pikiran bahwa minggu depan semester baruku di ARBA akan segera dimulai.

Mademoiselle… “

Get lost!“ Seruku murka saat dia mencoba menghentikanku dengan mencekal tanganku. “Laisse-moi tranquille! Tinggalkan aku sendiri!“  tambahku bahkan tanpa menoleh ke belakang.

Sumpah! Aku hanya ingin sendiri sekarang. Setelah semua campur tangan orang - orang di sekitarku selama sembilan belas tahun ini, tidak bisakah mereka memberiku waktu sejenak untuk berpikir tentang diriku sendiri? Lalu memutuskan apa yang menurutku baik untuk diriku sendiri?

“Anda bisa tersesat di sini. Dan percayalah, jika itu terjadi, bukan hanya anda saja yang akan mendapat kesulitan. Kukira, untuk seseorang yang sudah masuk kategori dewasa, cara berpikir anda masih sangat kekanak - kanakan“

Apa? kekanak - kanakan? Kuhentikan langkahku, kemudian berbalik Menghadapnya. “Anda bilang aku kekanak - kanakan? Ya! Aku memang kekanak - kanakan!“ ulangku nyaris tertawa.

“Saya kira itu istilah yang tepat untuk menggambarkan sikap anda yang egois dan impulsif. Anda juga memiliki kecenderungan anak - anak untuk tidak membiarkan orang lain menasehati anda.”

Sanggahan sudah siap keluar dari mulutku saat tiba - tiba sebuah sepeda melintas di depanku dan nyaris melindas kakiku. Dengan sigap Tuan Pengawal Istana langsung menarikku menepi dan tanpa menyia - nyiakan waktunya, membawaku yang masih syok masuk ke dalam mobil.

“Terbukti sudah, bahkan untuk melindungi diri sendiri saja anda masih membutuhkan orang lain.” Ejeknya saat mobil mulai berjalan.

Entahlah, tapi perkataannya tiba - tiba membuat dadaku sakit. Atau mungkin karena hawa dingin dari luar? Tapi memang kalimatnya agak menyinggungku. Aku diam, bukan mengalah, tapi tidak mau mengalah dan membiarkan dia tahu aku sudah terluka dan nyaris meneteskan air mata karena kata - katanya.

“Setelah ini, kita akan menemui Madame Louisa, Ibu angkat Ayah anda.“

***

Louisa Charlotte, nama yang bagus. Dengan paras cantik, gerak - gerik anggun, suara merdu, nasib yang bagus serta gelar yang terhormat. Sempurna. Ya, aku bahkan bisa mengerem kata - kata pedas yang biasanya selalu gatal ingin kulontarkan pada siapa saja di negara ini, selama nyaris dua jam. Dua jam dengan hanya duduk memegang cangkir berisi lemon tea yang senantiasa dia tuangkan saat melihat cangkirku setengah terisi.

Duduk seperti ini dan mendengarkan orang lain, yang harus kau panggil Granny, menceritakan betapa hebat dan luar biasanya sosok yang bahkan belum pernah kau lihat wujud nyatanya sebagai seorang ayah benar-benar memuakkan dan menyesakkan. Memiliki gelar kehormatan yang dihadiahkan dari kerajaan dan diwarisi secara turun temurun membuat sosok ayah ini menjadi amat terhormat. 

Menggambarkan pernikahannya dengan salah seorang putri konsulat bagaikan sebuah perjuangan dalam mencapai misi perdamaian, dan banyak lainnya. Sementara di kepalamu, masih teringat dengan jelas hari - hari kelabu saat harus terlunta - lunta di jalanan setelah diusir pemilik rumah karena tidak sanggup membayar sewa. Saat tawarnya rasa ubi yang dibumbui garam masih melekat di lidahmu, saat dinginnya air hujan masih bisa kau rasakan menembus atap gubukmu. Quel contraire! Bagaikan langit dan bumi.

Cerita Granny Louisa terus berlanjut hingga seorang pelayan memberanikan diri mengetuk pintu untuk mengabarkan kedatangan seseorang yang mungkin penting. Hal ini tentu saja tidak kusia - siakan, aku ikut beranjak seraya menenteng tasku dan berpamitan, tentu saja setelah menjanjikan akan sering - sering berkunjung jika ada waktu. 

Richard, itu namanya. Nama Tuan Pengawal Khusus Kerajaan itu, berjalan diam di sampingku saat menuju mobil. Walaupun dia ingin melontarkan komentar, dia bersikap bijaksana kali ini dan memilih untuk diam. 

“Ada tempat lain yang ingin anda kunjungi Mademoiselle?” 

Aku menggeleng pelan, menikmati rasa nyaman saat kepalaku menemukan tumpuannya di punggung jok mobil, berharap, kali ini aku tidak lupa membawa obat daruratku yang harus kuminum di saat - saat seperti ini. Berharap tangan Mama mengelusku saat rasa sakit mulai menyeretku ke sudut gelap dan menghilangkan kesadaranku perlahan. 

Mama, i miss you….

*** 

Richard’s

Setelah perlawanan sengitnya di ARBA, aku membawanya ke tempat Madame Louisa. Mira, begitu rupanya nama paggilannya, sudah lebih tenang. Tapi wajahnya jadi agak pucat, dan nafasnya masih terdengar satu - satu. Apa dia masih marah?

Ya, tadi dia berteriak lumayan kencang. Benar kata Brigitte, dia bisa mengeluarkan kata - kata setajam peluru saat marah. Tapi aku juga melihat hewan yang kesakitan di matanya. Penuh ketidakyakinan. Mungkin karena dia masih beranjak dewasa, sedang mulai mencari jati dirinya.

Kami sudah sampai di tempat Madame Louisa. Seharusnya Countesse Guireille, tapi beliau melarangku memanggilnya dengan embel - embel, jadilah hanya Madame Louisa.

Dia menurut tanpa perlawanan saat kubukakan pintu. Mukanya masih pucat, malah menurutku jadi semakin pucat. Untuk ukuran orang yang hidup di Negara tropis, warna kulitnya agak pucat. Kuning langsat cerah. Mungkin terpengaruh keturunan dari Ayahnya. Saat musim panas, para wanita pasti menggilai warna kulit seperti itu dan rela menghabiskan waktu berjam - jam berjemur atau mendekam di dalam mesin tanning untuk mendapatkannya. 

Kami masuk, dan disambut oleh Felippe, Kepala Pelayan Madame Louisa. Dia tinggal disini bersama istrinya, Juliette yang menjadi koki kebanggan Madame Louisa. Dan dia tidak pernah melewatkan kesempatan untuk menyombongkannya.

“Oh Richard! Lama sekali kau tidak mengunjungi perempuan tua ini.” Dan dia sangat extra dalam mengekspresikan sesuatu. Dia menutup mulutnya kaget saat melihatnya di belakangku. “Dia… Diakah…”

Oui, C’est vrai, Madame." Kataku membenarkan. "Mira Guireille, ini nenek anda, Madame Louisa Guireille.” Aku mengambil alih bagian perkenalan.

Mira hanya tersenyum kecil dan mengangguk. Tak yakin harus melakukan apa, dan Neneknya masih sibuk mengembalikan akal sehatnya karena keterkejutan. Dan ya, ada rindu disana. Yang kudengar, Mama Mira dekat dengan Madame Louisa. Bahkan dia sempat merawatnya beberapa waktu saat dia sakit setelah suaminya meninggal. 

Sebelum aku sempat membuka mulut lagi untuk mengajak keduanya ke dalam, Madame Louisa setengah berlari menyongsong cucunya dan memeluknya erat sambil terisak.

“Cucuku, Granny rindu sekali.”

Mereka berpelukan sesaat, membuat Mira membeku di tempatnya, sebelum Felippe menyela meminta kami masuk agar tidak kedinginan. Tentu saja, salju sudah mulai turun perlahan.

Mereka mengobrol banyak hal di dalam. Lebih tepatnya Madame Louisa yang bercerita tentang banyak hal, Mira hanya diam mendengarkan sambil sesekali menjawab. Kuperhatikan wajahnya tenang. Sesekali dia menjawab. Di tangannya, mug honey tea yang tadi disuguhkan Juliette masih tergenggam, tangannya mencengkeram mug erat, seakan dia yang nanti hancur berkeping - keping jika mugnya dilepaskan.

Felippe masuk, menyela, mengabarkan seseorang dari kerajaan datang untuk bertemu Madame Louisa. Mira ikut bangkit dan berpamitan. Berjanji akan datang lagi lain kali. Banyak hal ganjil di sini, tapi tidak pada tempatnya aku bertanya pada Mira.

“Ada tempat lain yang ingin anda kunjungi Mademoiselle?” akhirnya itu yang kutanyakan sesaat setelah mobil menggalkan halaman rumah Madame Louisa.

Dia hanya menggeleng sebagai response nya. Lalu menutup matanya seperti tidur, tapi ada yang aneh. Nafasnya yang sedari tadi terdengar satu - satu, kali ini terdengar berat dan ganjil. Aku menepikan mobil dan berusaha membenarkan posisi tidurnya. Tidak berhasil, dadanya naik turun dengan cepat, seolah - olah kesusahan bernafas. 

Shit! Bodohnya aku, dia pingsan! Bukan tertidur!

Kuraih ponselku untuk menghubungi Cedric dan dokter Giussep, kuturunkan sandaran kursinya hingga separuh tidur, lalu kupacu mobil hingga sedikit diatas batas menuju Mansion.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status