Selama sembilan belas tahun hidupnya, Mira tidak pernah mengenal ayahnya. Tiba - tiba, belum genap dua minggu setelah Mamanya meninggal, seseorang berpakaian serba hitam dan tidak bisa berbahasa Indonesia mendatangi gubuk reyot yang ditinggalinya bersama Omanya, mengaku utusan Ayahnya, dan memintanya untuk ikut dengannya bertemu Ayahnya di Belgia. Tawaran yang tentu saja langsung ditolaknya mentah - mentah. Tapi tak lama setelah itu dia terpaksa harus menerimanya karena mendadak Omanya mengusirnya dari rumah. Berada di tempat asing yang tidak dikenal dengan keluarga yang belum pernah ditemuinya bukan hal yang mudah baginya. Terlebih saat ada beberapa orang yang dengan terang - terangan membencinya, termasuk bodyguard yang diutus ayahnya untuk menjaganya. Bagaimanakah kisah Mira selanjutnya di Balgia?
View MoreKukencangkan sabuk mantelku sebelum melangkah keluar dari bandara Zaventem-Brussels, Belgia. Angin musim dingin di sini sungguh gila! Yah, ini memang bukan yang pertama kali aku menginjakkan kakiku di Negara ini. Ayahku, lelaki yang sama sekali tak kukenal, yang memiliki andil atas keberadaanku di dunia ini, dia yang mengatakannya padaku lewat telepon seminggu yang lalu tentang hal itu. Tapi entahlah, aku hanya tidak bisa menangkap kilasan memori saat aku berada di negara ini. Oh ya, dia tinggal di sini. Beliau adalah abdi kerajaan yang taat. Saking taatnya, beliau rela meninggalkan anaknya, oh bukan, anak haramnya, dengan seorang mahasiswa lugu dari Negeri Timur yang sedang magang di konsulat Istana.
“Mademoiselle Mireille?“ aku mengernyit mendengar nama itu di sebut. “Sebelah sini, s’il vous plaît. Silakan.“
Mademoiselle adalah panggilan kehormatan pagi wanita Prancis yang belum menikah. Madam, digunakan untuk memanggil mereka yang sudah menikah atau memiliki kedudukan tinggi dalam hierarki sosial, sedangkan monsieur merupakan panggilan formal untuk para pria.
Aku mengikutinya masuk ke dalam sebuah mobil mewah yang bahkan tak kutahu namanya dalam diam. Well, here we go. Meet Daddy, batinku kecut saat mobil bersiap meninggalkan bandara.
***
“Mademoiselle Mireille, ini kamar anda. Kamar Ayah anda ada di seberang lorong. Saya ada di dapur dan di ruang belakang jika sewaktu - waktu anda membutuhkan saya.“ Brigitte, seorang wanita tua yang mengingatkanku pada sosok Oma, mengantarku berkeliling rumah dengan ramah. Tapi tentu saja aku tak terkesan. Tidak ada yang akan membuatmu terkesan jika hatimu terpaksa melakukan sesuatu. Sayang sebenarnya, rumah semegah ini, hanya ditinggali oleh seorang pria tua paruh baya dengan anak gadisnya, dua pengurus rumah tangga, satu sopir dan satu tukang kebun. Ironis.
“Mademoiselle Mire…“
“Mira, please“
“Ah, excusez-moi. Mademoiselle Mi...“ Dia buru - buru meminta maaf, tapi kembali kusela.
“Jangan gunakan embel - embel Mademoiselle. Aku bukan seorang francophonique. Mira. Panggil aku Mira“
Francophonic adalah sebutan untuk warga negara yang menggunakan bahasa Prancis sebagai bahasa nasional mereka.
“Aa… d’accord. Mira pasti capek setelah seharian di pesawat terbang, mari saya siapkan kamar mandi untuk anda membersihkan diri dan segera setelahnya saya akan buatkan makan malam untuk anda“
“Well, oke. Apakah Monsieur Goureille akan makan bersamaku nanti? “ tanyaku secara tidak langsung menanyakan dimana keberadaannya. Ayahku.
“Ah, Mira, Monsieur menitipkan maaf untuk anda karena tidak bisa menemani anda di rumah selama seminggu ini… Ah!“ Brigitte memekik kaget saat aku meletakkan tas selempangku dengan kasar di atas meja rias. Saat tidak ada respon lanjutan dariku, dia meneruskan, “Beliau sedang ada tugas kerajaan ke Perancis menemani perdana menteri. Anda sebaiknya beristirahat setelah makan, besok Richard akan menemani anda ke sekolah baru anda“
S*alan! Tua Bangka itu! Beraninya dia menyuruhku datang ke negaranya, tinggal di rumahnya dan sekarang dia pergi tanpa ada kata selamat datang atau apapun! Dan… apa tadi? Sekolah baru? Berani sekali dia mengatur hidupku disini seperti aku hanya boneka baginya!! Memang apa hak dia?!
Kau membuat masalah dengan seseorang yang belum kau ketahui kekuatannya, Pak Tua….
-To be Continue-
Kali ke dua aku naik pesawat. Aku gugup, dan terus menerus ke toilet sejak tadi. Ada satu penjaga yang mengawalku sampai aku boarding nanti. Namun aku menolak untuk terus diikuti sampai Indonesia.Di sini aku memang keluarga kerajaan, tapi di sana aku bukan siapa-siapa. Untunglah Daddy mau mengerti hal ini. Aku sedang menunggu panggilan untuk boarding. Dan lagi-lagi, aku teringat akan alasanku pergi."Stop, Mira. Terima saja. Cinta pertamamu tak berjalan lancar. Kau harus melupakannya."Aku menarik satu kali nafas panjang tepat saat panggilan pertama pesawat yang akan membawaku ke Indonesia terdengar. Aku dan beberapa penumpang pesawat lainnya mengantri untuk verifikasi terakhir sebelum masuk pesawat dan masuk dengan tertib.Tak seperti penerbanganku sebelumn
Granny melarangku untuk berpikir pergi dari sini adalah yang terbaik. Bahkan setelah dua hari berlalu. Dia ingin aku kuat, dan dia meyakinkan bahwa semua yang ada di sini keluargaku. Bahwa aku tak sendirian di sini."Kita bisa mengganti pengawalmu jika kau tak ingin bertemu dengan Richard. Tapi aku tak setuju jika kau pergi meninggalkan kami. Semua keributan ini akhirnya berakhir, dan kita bisa hidup dengan tenang bersama, kenapa kau malah memikirkan untuk pergi?"Dari situ aku sadar, Granny benar. Bagi semua orang, ini adalah kemenangan. Hanya aku yang merasa kalah dalam hal ini, dan itu karena Richard. Aku merasa buruk setelah mendengar hal itu."Maaf, aku jadi egois."Granny Louisa menggeleng. "Kau memang tak bisa kembali ke sana, tapi kau bisa berkunjung sebent
Richard'sAku menonton berita di televisi dengan tatapan puas. Phillip, ibunya, JJ, Cedric dan anak buahnya yang terbukti membelot sudah diringkus. Pengadilan kasus mereka memang belum ditetapkan kapan, namun, mereka tak akan lepas dari sanksi sosial kali ini. Dulu, Pak Tua terlalu baik hati untuk mengumumkan perbuatan mereka pada media. Namun sekarang tidak lagi."Makanlah dulu. Kau memang sudah tampak sehat, tapi kau masih perlu banyak waktu dan asupan bagus untuk memulihkan tenagamu."Aku mendongak menatap gadis yang beberapa hari terakhir menemaniku di sini. Dia gesit dan telaten mengurusku. Itu hal yang bagus, bukan? Saat terbaring tak berdaya, ada seseorang yang tulus mengurusmu.Betapa beruntungnya diriku?"Lyn.."
Aku meninggalkan Corrine berdua dengan Abe Villich di balkon rumah sakit agar mereka saling berbicara. Semoga saja keputusanku tak salah. Aku sedikit khawatir karena Corrine terlihat amat pucat dan kaget saat melihat Abe ada di sana. Pria itu pasti mengikuti kami tadi saat keluar untuk berbicara.Aku masih berada di balik pintu balkon selama beberapa saat, hanya untuk memastikan bahwa Corrine baik-baik saja. Sungguh. Aku tak berniat menguping. Aku masih ingat apa yang dilakukan Abe pada Corrine dulu hingga membuat Corrine yang biasanya ceria menjadi amat pendiam dan tertekan."Katakan, Corry. Apa yang mereka katakan tentangmu sehingga kau ikut tanpa perlawanan seperti itu." Suara Abe dingin dan tegas. Bahkan aku yang bukan lawan bicaranya saja berjengit, apalagi Corrine.Aku bisa mendengar suara tangis saat ak
“Tak bisakah kita sedikit lebih cepat?” Aku memajukan tubuhku untuk berbicara pada supir dengan nada tak sabar.“Cherie…”Kurasakan tangan Daddy menggengam tanganku dan meremasnya pelan. Mungkin menegur, atau mungkin juga sekedar menguatkanku karena kejadian-kejadian yang terjadi hari ini. Aku hanya menatapnya dengan tatapan putus asa. Namun aku kembali ke kursiku dan duduk dengan rapi. Mencoba untuk tenang meskipun rasanya sudah tak karuan lagi di dalam diriku.Tiga jam lalu kami dihubungi oleh Corrine yang berbicara dengan sangat cepat dan nyaris tak jelas tentang jangan pulang ke istana dan pergi ke tempat lain karena istana tak aman. Dia tak menjelaskan lebih jauh dan hanya terus mengulang kalimat itu. Kami baru saja sampai di istana, namun kami tak masuk dan langsung melanjutkan k
Richard’sPolisi dan pasukan tambahan datang tepat waktu untuk menyelamatkan kami. Seperti dugaanku, ada beberapa orang dari pasukan Cedric yang membelot dan berkhianat dengan pria itu. Hal itu membuat pasukan yang kubawa menjadi kalang kabut dan kami sempat terpukul mundur karena bingung siapa lawan dan kawan di sini.Untungnya, polisi ada yang membawa senapan paintball sehingga kami bisa menandai siapa saja yang berkhianat dengan peluru cat merah di punggungnya. Ini membantu kami mengidentifikasi siapa yang berada di tim kami dan tim lawan.Corrine sempat di bawa ke ruangan lain oleh Phillip, tapi aku berhasil mengejarnya setelah menumbangkan Cedric dengan mematahkan bahunya.“Sorry, Pal, tapi kau pantas mendapatkannya. Ibi bahkan tak setimpal dengan
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments