Malam ini Granny Louisa berkunjung menggantikan absennya Daddy dan Tante Millgueta yang masih dinas di luar negeri untuk merayakan ulang tahun Corrine. Ya, Richard juga di sana karena Corrine ingin semuanya hadir merayakan hari jadinya. Malam itu, untuk pertama kalinya meja makan yang muat hingg 20 kursi itu penuh tanpa terkecuali. Bukan perayaan besar memang, tapi Corrine mengundang teman dekat dan seluruh pekerja mansion untuk libur dan merayakan ulang tahunnya di sana.
Corrine duduk di kursi utama. Di sebelah kanannya Granny Louisa dan aku di sebelah kirinya. Aku nyaris menarik Brigitte duduk di sebelahku saat tersisa hanya dua kursi kosong dan Richard baru saja masuk membawa wine.
“Mira, anda tidak boleh seperti itu.” Brigitte menasehati dengan geli karena tahu alasanku ingin dia duduk di sampingku.
“Biarkan saja.” Sungutku tak peduli.
Makan malam berlangsung hangat. Granny Louisa tetap seramah biasanya. Bahkan Corrine mengenalkanku pada beberapa temannya sebagai adik sepupu. Yah, aku hanya ingat dua dari lima orang karena namanya yang susah dan gelarnya yang panjang. Aku harus mengakui, kalau malam ini membuktikan bahwa keluarga aristocrat tidaklah sekaku biasanya. Semua yang datang malam ini sama sekali tidak canggung harus bergabung dan makan satu meja dengan sopir, tukang kebun, tukang masak bahkan penjaga istal kuda. Senang rasanya mengetahui mereka tidak membedakan kasta.
Aku menyingkir setelah makan malam. Beberapa ada yang melanjutkan minum kopi di ruang tengah, beberapa lainnya pamit untuk melanjutkan pekerjaan setelah berpamitan pada tuan rumah, dan beberapa lainnya pergi ke halaman belakang sambil membawa kudapan dan alcohol untuk menghangatkan badan. Karena Brigitte menolak untuk kubantu, aku tidak bisa minum kopi karena alergiku, larangan dalam kepercayaanku untuk tidak minum alcohol, dan masih terlalu sore untuk pergi tidur, di sinilah akhirnya aku berada. Di depan perapian, sambil melihat-lihat album lawas keluarga Daddy.
Aku mengguman pelan saat seseorang duduk di sampingku. Masih enggan mengalihkan mataku dari potongan-potongan kehidupan keluarga Daddy.
“Apa yang membuatmu begitu serius?”
Aku kenal suara itu. Tapi nada dan sapaan yang tidak biasa itu yang membuatku menoleh untuk memastikan. Wah,tumben. Aku menjawab sambil mengangkat sebelah alisku sekilas, “Foto?”
“Aku yang bertanya, Mira. Harusnya kau menjawabku, bukan memberiku pertanyaan lainnya.”
Yes, itu Richard! Dan dia memanggil namaku, bukan Mademoiselle! Dia meng-aku-kan dirinya dan meng-kau-kan aku, bukan anda dan saya seperti biasanya! Apakah malam ini ada UFO yang mendarat di sekitar sini? Aku ingin memastikan siapa yang ada di dalam tubuhnya. Jangan - jangan memang benar ada alien yang memanfaatkan tubuhnya.
“A-aku sedang melihat foto.” Jawabku datar dan agak gagap. Masih belum yakin dengan mata dan telingaku.
“Untuk apa? Bukankah kau membenci mereka?” lanjutnya lagi.
C’est vrai. Tapi… “Apakah sebelumnya kau juga mengawal putri Daddy?”
“Kenapa kau bertanya?”
“Well, seharusnya kau menjawabku dan bukannya memberiku pertanyaan lain.” Aku menjiplak perkataan sebelumnya.
“Ya.” Akhirnya dia menjawab setelah jeda singkat tapi… entahlah. Rasanya dia agak enggan memberitahuku.
“Apakan putri Daddy bernama Arlaine?”
Jeda lagi, sebelum dia mengangguk membenarkan.
“Maukah kau bercerita tentangnya?”
Dia menoleh padaku. Tatapannya seperti memohon dan menyayangkan kenapa aku aku memintanya melakukan hal itu. Kenapa? Bukan kenapa dengan diriku, tapi kenapa tatapan matamu sebegitu terluka? Apakah aku membuat kesalahan?
Richard’s POV
Arlaine Romana Goureille, nama yang cantik, pikirku saat pertama kali melihatnya di hari pertama tahun ajaran baru. Terasa baru terjadi kemarin, walaupun ternyata sudah lebih dari 15 tahun yang lalu. Karena tidak ada bangku kosong lain, wali kelas menyuruhnya duduk di sebelahku. Sejak saat itu, takdir seperti mengikat benang merah kami. Segala sesuatu tentangku dan tentangnya tak pernah berhenti bersinggungan.
Menjelang liburan musim panas, Juni 1996.
“Richard, sudah menemukan teman satu kelompokmu?” Aku menggeleng menjawab pertanyaan Ms Mason, guru sastra inggris kami saat itu.
“Well, Amyra, Kendal dan Arlain, kalian bergabung satu kelompok bersama Richard.”
“Yes Ma’am.”
“Hei Richard, kita satu kelompok lagi. Incredible ya.” Arlaine tersenyum padaku.
Hari kelulusan, May 2010.
“Richard, aku dengar kau akan ke BIS (Bogaerts International School)
Bogaerts International School, sekolah bilingual Inggris – Perancis yang didirikan pada tahun 1985 yang merupakan kolaborasi antara sekolah menengah Brussel (Brussels School) dan Scandinavian School of Brussels (SSB) sedang sangat diminati saat ini. Tidak mudah masuk ke sekolah tersebut karena mereka selalu memberi prioritas utama bagi lulusan pre elementary dan elementary-nya sendiri.
“Wah, its awesome!” kami berteriak kegirangan saling menyemangati dan memuji satu sama lain.
Satu babak lain dari kehidupanku, kulewati bersama Arlaine.
Hari pertama kuliah, Sorbone University – French, 2006
Hari pertamaku merantau di negeri orang. Bukan yang pertama kalinya memang aku ke Negara ini, tapi ini yang pertama kalinya untuk menuntut ilmu. Dan aku sendirian. Biasanaya, aku berkunjung ke sini mengawal ratu atau keluarga kerajaan yang sedang melakukan kunjungan resmi. Tapi hari ini, c’est vraiment pour une raison privée.
Huft, aku sudah dua kali masuk ke bangunan yang salah. Kampusku adalah Université Paris 1 Panthéon-Sorbonne, Unités de Formation et de Recherche du politics. Saat sedang menikmati hiruk-pikuk asing di sekitarku, tiba-tiba seseorang menepuk bahuku pelan.
“Arly?”
“Tidak tampak terkejut.” Dia mengerucutkan bibirnya lucu.
“Qu’est-ce tu fais ici?” Apa yang dia lakukan di sini?
“Kuliah.” Dia tertawa melihat dahiku yang berkerut. “Hei, Mr Perfect, bukan hanya kau saja yang berhasil masuk di universitas terbesar Paris tahun ajaran ini.”
“Je sais, sûrement." Ini kan bukan kampus pribadiku, tentu saja semua orang boleh sekolah disini.
“Aku juga salah satunya.”
Penobatan Pengawal Resmi Kerajaan, October 2011
Aku berhasil masuk menjadi salah satu pengawal resmi kerajaan. Setelah lebih dari setahun menjalani pelatihan, senang rasanya mengetahui usahaku sia – sia. Aku menjadi pengawal resmi. bukan tenaga bantuan yang biasa diminta saat mereka kekurangan orang. Hari ini kami para prajurit kerajaan, sebutan resmi untuk pengawal kerajaan, berkumpul di aula untuk mendapatkan tugas pertama langsung dari sang Ratu. Arlain dan keluarganya juga ada di sana karena status dan jabatan ayahnya.
“Richard Berardi.” Sekertaris Ratu akhirnya memanggil namaku. “Pengawal Elit Kerajaan dan Devisi Politik. Sebagai tugas resmi perdanamu, adalah menjadi pengawal resmi Countessa Arlaine Goureille, hingga kau menerima tugas selanjutnya yang dititahkan Ratu”.
Kami bertemu lagi setelah upacara selesai. Arly menungguku di taman depan istana dengan sebuah bingkisan besar di pangkuannya. Dia melambai bersemangat menyuruhku mendekat dengan tidak sabar.
“Pour moi?” Tanyaku heran saat dia menyorongkan bingkisan tersebut kepadaku.
“Felicitation, Richard. I know you're the man with the capability.” Dia terkekeh setelah memberiku ucapan selamat, lalu dengan jahil dia menambahkan. “Mulai hari ini, keamanan dan kenyamananku bergantung pada anda, Prajurit Berardi.”
Ah, dan takdir kembali mempertemukan kami. Menautkan dan mendekatkan kami. Lalu akhirnya memisahkan kami. Dan untuk selamanya.
Back to Normal POV – Mira POV-“Karena kecelakaan itu?” Aku gatal ingin menyela dari tadi. Well, dia memang meninggal dalam kecelakaan pesawat itu setahuku.“Non, jauh sebelum itu. Saat akhirnya dia bertunangan dengan Duke of Luxemburg, Abraham Villich.” Jawabnya pelan.Arlaine sudah bertunangan? Wah, aku tidak bisa membayangkan betapa hancur hati Richard mendengar kabar pertunangannya.Well, sepertinya kisah cinta bertepuk sebelah tangan. Tapi melihat wajahnya yang mengeras menahan guratan pedih itu, aku hanya terdiam untuk menghormatinya.“Ng… Richard?” Dia menggumam, masih memandangi lidah api yang membakar habis balok kayu di sekelilingnya. “Kenapa kau berceri
Richard’sShe surely has a big apetite! Dia makan seolah - olah ini adalah makanan pertamanya sejak dia datang ke sini! Jika tidak melihat sendiri, aku pasti tak akan percaya dia mampu menghabiskan tiga piring moules dalam sekejap.Corrine bahkan belum menyentuh isi piringnya. Kulihat dia juga sama amaze nya denganku pada makhluk di depan kami.Aku belum pulang dari Maison saat Corinne menemukanku merokok di patio depan rumah. Dia bercerita beberapa kekhawatirannya tentang Mira, tentang dia yang ingin sekali menceritakan semuanya tapi dia tidak bisa. Bukan dia orang yang tepat untuk menceritakannya, dan dia takut tidak bisa menghadapi reaksi Mira.Yah, aku juga tidak lebih baik, harus kuakui. Dia mengira aku benar - benar meninggalkannya kemarin dan tidak menjemputnya
Enam bulan berlalu sejak kedatangan ku ke Negara ini. Cuaca sudah mulai hangat, musim Semi pun sudah mencapai puncaknya. Hampir segala hal, anehnya berjalan dengan baik dan damai kalau tidak ingin kubilang terlalu dijaga, di sekitarku. Aku mulai diberikan ruang untuk diriku sendiri di rumah, dan Corrine, Brigitte, Granny Louisa dan juga Richard (saat dia tidak sedang menyebalkan, karena mood swingnya lebih parah dari cewek PMS) bergantian menemaniku mengusir sepi. Nampaknya aku mulai agak betah disini, walaupun aku agak berat mengakuinya.Tapi tidak semua hal baik berlangsung semester ini di kampus. Oh, aku masih menyukai kampusku seperti saat pertama kali melihatnya. Masih bersemangat mengerjakan semua essay dan tugas dan juga sepenuh hati mengikuti kelasku semester ini. Tapi bukan itu. Bukan tentang kegiatan kampus, tapi tentang kehidupan kampusku. Satu semester nyaris berlalu begitu saja dan aku masih m
Richard’s“Kau tidak mengenalku, dan kau mengenal Arlaine sepanjang hidupmu. Kau tidak menyukaiku tapi kau menyayangi Arlaine sepanjang hidupmu. Kau memujanya dan kau memandang rendah diriku. Pikirkan sendiri apakah itu adil, bagiku? Dan pantaskah jika aku disebut egois dan picik disini?”Kalimatnya yang panjang sebelum berlari masuk ke rumah membuatku terdiam di mobil. Seharusnya aku datang dengannya untuk menyapa keluarga yang mungkin sedang menikmati teh di salah satu ruangan.Setitik rasa bersalah menghinggapiku. Tapi dia juga keterlaluan. Dia sudah disini selama enam bulan, dan selama itu pula dia selalu menghindari acara - acara keluarga jika memungkinkan. Membuatku benar - benar geregetan. Dia tentu saja tidak akan mengenal siapa - siapa jika tidak membuka diri, dan sebagai akibatnya dia tidak diterima d
Semua orang menoleh ke arahku saat aku tiba - tiba berdiri dengan kasar. Nenek sihir sialan! Mati - matian aku menahan diri hanya untuk dihina? Bahkan Mama juga?! Bahkan Ratu sekalipun tidap berhak menghina Mama!! Aku meradang marah, tanganku terkepal erat siap melempar apapun yang berada dalam jangkauanku. Rentetan kata - kata pedas saling bertabrakan memaksa untuk keluar dari mulutku. Semuanya kuhentikan dengan paksa saat kulihat wajah Madame Villich yang mendongak pongah dan puas. Ah, jadi ini hanya pancingan.“Permisi.” Pamitku nyaris berlari keluar.Mataku masih memerah buram karena amarah sehingga tidak kuperhatikan kemana aku melangkah.Brugh!Aku terhuyung mundur dengan sepasang lengan menahanku.
Semalam aku bermimpi. Tentang Mama, yang pergi menjauh meninggalkanku, yang tak menghiraukan tagis dan teriakanku agar tidak pergi meninggalkanku. Tentang Oma yang menolakku di sisinya dan memintaku pergi untuk menemui Daddy, tak perduli seberapa keras aku memohon, dia tetap bergeming di balik pintu rumah yang tertutup rapat untukku. Tentang kecaman Violeta Villich yang terus menggaung setelahnya, bahwa aku tidak pantas berada di sini dan Daddy tidak seharusnya membawaku kembali. Almarhumah Arlaine juga mampir di sana, bertanya dengan wajah muram apakah aku kembali untuk menggantikan posisinya, merebut semua yang dia miliki selama ini, sebelum wajahnya perlahan - lahan berubah menjadi mengerikan seiring tawa horor yang menggelegar. Kalimat terakhirnya adalah, ‘tidak akan kubiarkan kau hidup nyaman di rumahku! Memakai pakaianku! Menikmati perhatian keluarga dan teman - temanku! menikmati hidup dengan statusku dan sedangkan aku perlahan dilupakan!
Ada jeda sebentar sebelum suara langkah kaki akhirnya terdengar menjauh dari ranjangku dan diikuti suara pintu ditutup.Tangis yang sedari tadi kutahan akhirnya pecah. Tangis kesakitan, tangis kesepian, tangis kemarahan, tangis penolakan, semua berbaur menjadi satu menyesakkan dadaku. Tersengal - sengal, aku meraih bel emergency dengan tangan kiriku, lalu memencetnya. Sakitnya sudah tak tertahankan, aku butuh ditidurkan. Aku tidak ingin merasakan apapun lagi untuk saat ini. Cukup. Tolong.***Richard’sLagi - lagi kalimat yang tidak ingin kuucapkan tercetus begitu saja.Aku keluar dari kamar rawat Mira dan duduk di bangku panjang di lorong rumah sakit. Kusaksikan dokter dan perawat yang berbondong - bondong masuk ke kamar Mira
Setelah hampir dua minggu dirawat, akhirnya aku diperbolehkan pulang. Finalement!! Aku kangen kasurku, aku kangen Brigitte, aku kangen Ipad Penku, dan alat - alat gambarku. Aku benci dengan semua selang - selang yang menempel di tubuhku ini!Luka - lukaku sudah mengering, masih ada beberapa yang masih tertutup plester. Tapi sudah tidak separah sebelumnya, hanya perlu memakai pakaian lengan panjang untuk menyembunyikannya selama beberapa waktu sampai bekasnya menghilang. Hampir semua fungsi tubuhku bekerja dengan normal. Karena diet ketat dan latihan rutin yang kulakukan di rumah sakit. Itu juga nantinya menjadi PR ku setelah pulang.Tapi ada yang aneh. Kebahagiaanku terganjal oleh sesuatu. Aku menghilang selama dua minggu dan tidak ada yang curiga? Menanyakan keberadaanku mungkin, karena tidak terlihat di sudut manapun di rumah ini? Serius?