Jadi, apa yang membuat pagi ini terasa janggal, hening dan canggung daripada sebelumnya saat bersama Richard? Yeah, insiden kaburku kemarin. Aku mengharapkan reaksi yang menggebu - gebu dan heboh dari dia, jujur saja. Tapi yang kudapat pagi ini adalah sebaliknya. Dia mengetuk pintu kamarku dengan sopan, menungguku sarapan dalam diam, dan masih diam hingga sekarang. Aneh? Tentu saja untuk seorang Richard yang tidak pernah melewatkan sedikit kesempatan untuk merecokiku. Mungkin semalam dia berbicara banyak dengan Daddy?
Richard menghentikan mobilnya di gerbang masuk ARBA. Karena terlalu canggung, aku hanya diam dan melepas seatbelt - ku, bersiap untuk turun, saat tiba - tiba dia mencengkeram pergelangan tanganku erat. “Hng?”“Anda tidak akan kabur lagi Mademoiselle. Aku pastikan itu.”Ha? Hanya itu? “Well…”“Aku tidak akan menganggap remeh anda lagi.” Sepercik kebahagiaan karena telah membuatnya geram hilang begitu saja bagai tersiram air. “Jadi selama ini kau meremehkanku?” aku nyaris meledak.“Anda harus turun atau anda akan terlambat.”Seolah menegaskan perkataannya, gerbang ARBA bergerak menutup. Aku buru - buru keluar dari mobil dan berlari agar tidak tertinggal di luar. Aku tidak sudi menyia - nyiakan hariku di ARBA hanya untuk Richard. Semenyebalkan apapun dia! Lihat saja, aku akan membalasmu!Saat pergantian kelas, aku masih sibuk dengan pikiran tentang ‘membalas’ Richard. Oh, demi apapun di dunia ini! Apa tidak ada hal penting lain yang layak kupikirkan daripada manusia itu? Aku menepuk pipiku keras - keras saat logika menggiringku ke jalan yang benar. Tapi tidak berapa lama kemudian, ide - ide gila datang lagi berebut meminta perhatianku.Ini konyol, pikirku akhirnya. Hanya karena sikap Richard tidak bersahabat denganku, aku jadi amat sangat bernafsu untuk membuatnya sengsara.Aku bukan pendendam. Aku tidak pernah menjadi pendendam. Aku adalah pribadi yang cenderung introvert dan tertutup. Dan cuek. Karena sifatku yang terakhir itulah aku menjadi pribadi yang kurang bisa bergaul. Akibatnya? Tentu saja aku tidak berteman dengan banyak orang, dan sisi baiknya, aku juga tidak memiliki banyak musuh. Oh, ralat; aku tidak mempunyai musuh, karena sejujurnya aku tidak peduli mereka mau apa terhadapku, asal privasiku tidak pernah diganggu. And it’s work. Tapi dengan Richard… entahlah. Dia tidak mengganggu privasiku. Tapi keberadaannya selalu bisa mengusikku. Bahkan kata - katanya yang seharusnya tidak berarti, kadang bisa mmembuatku geram bukan main. Kenapa aku tidak bisa mengabaikannya saja?! Kenapa? Mana aku tau!*** Aku menengok arlojiku untuk kesekian kalinya. Hampir satu jam sekarang, dan salju mulai turun agak deras. Aku menarik mantelku semakin rapat, walaupun aku tahu itu sia - sia. Udara dingin ini tetap akan membuatku membeku. Aku tidak ingin bertanya - tanya kenapa Richard belum datang menjemputku, tapi aku tetap penasaran karena Richard belum pernah sekalipun telat menjemputku. Ah, kalian pasti bertanya - tanya kenapa aku tidak lari saja seperti kemarin, alih - alih duduk meringkuk di kursi koridor menunggu Richard? Well, bukan tanpa alasan. Aku tahu ini terdengar bodoh, tapi hal bodoh yang klasik sering kali terjadi di dunia nyata. Dompetku tertinggal, dan aku tak memiliki sepeser uang pun bersamaku saat ini. Dan lagi, kecerobohan selanjutnya, obatku tertinggal. Aku tidak menemukannya di tasku. Aku sudah mengeceknya dua kali! Padahal saat ini dadaku sudah mulai terasa sesak merasakan udara beku yang terus-menerus masuk dan keluar dari paru - paruku. “Mademoiselle, anda masih di sini?” Monsieur Arnold menegurku heran. Aku tersenyum lemah ke arahnya, tidak ingin membuang - buang energiku, dalam artian yang sebenarnya, untuk menjawab pertanyaannya yang bisa kujawab dengan anggukan. Menjaga kesadaranku tetap utuh sudah amat sangat menguras energi, apalagi untuk berbicara dan berbasa - basi.“Ah, itu dia Monsieur Richard datang.” “Bonjour, Monsieur Arnold.” sapa Richard ringan tanpa terburu-buru. Tanda awal bahwa dia sama sekali tidak sadar kalau aku sudah menunggunya di sini selama satu jam. Catat, Satu jam dengan salju yang turun deras di luar!“Bonjour. Sepertinya anda agak terlambat hari ini?”Monsieur Arnold! Vous êtes vraiment mon angel! Benar - benar titisan malaikat!“Ah, tidak. Saya memang baru menjemput Mademoiselle Mira sekarang.” Apa?! “Mari Mademoiselle, kita pulang. Permisi.” Richard menuntunku ke dalam mobil. Kenapa aku tak memberontak? Karena aku tidak memiliki tenaga tersisa untuk itu. Aku sudah di ambang batas kesadaranku. Tapi aku masih cukup sadar untuk mendengar semua perkataan Richard. Jadi dia sengaja? Telat menjemputku dan membiarkanku menunggu di tengah dingin? Hell, Monsieur, kenapa anda tidak langsung menancapkan belati ke jantungku? Bukankah itu akan lebih efektif untuk membunuhku? Dan sejujurnya, aku lebih menyukai ide itu karena aku tidak akan merasa sakit terlalu lama.“Ugh…” Bau anyir memenuhi hidungku saat udara hangat kembali mencairkan pembuluh darahku yang beku. Yah, aku mimisan. Mengherankan? Of course not. Coba saja kau bekukan dirimu sendiri, lalu setelahnya kau hangatkan badanmu dengan panas maksimal. Maka fenomena mimisan bukan hal yang aneh lagi.Darah turun perlahan menuruni rongga hidungku. Pelan, kuangkat tanganku untuk menutupi derasnya tetes darah yang keluar dari hidungku sambil dalam hati memaki Richard.“Jadi Mademoiselle, anda akhirnya tahu rasanya putus asa tapi tidak bisa menyerah? Just like what you did to me.” Katanya setelah destinasi kami hampir sampai.A revenge? Tak kusangka dia seorang pendendam.Melihatku yang diam menatap ke luar jendela dengan tangan menutup mulut dan hidung ternyata membuatnya geli. “Mulai sekarang Mademoiselle, anda akan selalu dalam pengawasan saya.” Imbuhnya sambil melemparkan dompetku ke atas pangkuanku.“Damn!” seruku kaget. Ternyata hari ini aku disabotase. Dan dia semakin menyeringai karena tahu aku tidak akan melapor pada Daddy. “Comme vous voulez, Monsieur untuk egomu. Tapi aku berharga lebih dari yang kau kira.” Seruku saat keluar dari mobil dan masuk ke dalam rumah.***Richard’s
Hari ini aku mengantarnya dalam diam. Banyak hal yang harus kulakukan hari ini, terutama, memastikan dia tidak kabur lagi seperti kemarin.
Kami sampai di gerbang depan ARBA. Sebelum dia turun, aku mencekal tangannya. Akan kupastikan dia tidak kemana-mana nanti sore. Dia menatapku dengan tatapan bertanya.
“Anda tidak akan kabur lagi Mademoiselle. Aku pastikan itu.” Dia masih menatapku bingung. Mata besarnya yang indah memandangku bertanya. “Aku tidak akan menganggap remeh anda lagi.”
Binar girang di matanya yang sekilas tadi terlihat hilang digantikan kemarahan dan kegusaran.
“Anda harus turun atau anda akan terlambat.”
Senyum kemenangan masih tersungging di bibirku saat meninggalkan ARBA untuk kembali ke kantor. Memikirkan tumpukan laporan di kantornya membuatnya kembali ke moodku semula. Buruk.
Aku menenggelamkan diri dalam laporan – laporan keamanan kerajaan sesiangan. Lalu menemani Monsieur Guireille dan sang Ratu yang sedang meninjau sebuah panti asuhan baru di pinggiran kota. Bukan acara formal, hanya mengunjungi dan bertemu anak-anak disana. Tapi pengamanan diperketat karena ada sang Ratu disana.
Seharusnya aku bisa menjemput Mira tepat waktu hari ini, tapi sebuah insiden terjadi di panti asuhan tersebut. Seorang anak mengalami serangan asma dan harus dilarikan ke rumah sakit. Ratu berkeras ingin ikut mengantar dan memastikan dia mendapatkan penanganan yang sesuai sebelum kembali ke istana.
Jadi, disinilah aku, kecapekan, dan agak sedikit buru - buru melajukan mobil menuju Academy.
***
3rd Person PV
Dia memaki pelan saat lalu lintas di depannya terasa semakin rapat. Mungkin Mira sudah pulang duluan, batinnya. Agak berharap. Salju turun lumayan deras, dan dia tahu Mira akan susah bertahan dalam keadaan cuaca seperti ini.
Harapan itu hanya bertahan sebentar sebelum kembali mengumpat saat ujung matanya menangkap benda hitam panjang yang diyakininya adalah dompet Mira. Sejak kapan dia di sana?!
Pak Tua itu akan membunuhku, gumam hatinya, dan ini gara - gara nona kecil yang ceroboh.
Saat akhirnya dia punya kesempatan, dia melajukan mobilnya kencang menuju ARBA
Kali ke dua aku naik pesawat. Aku gugup, dan terus menerus ke toilet sejak tadi. Ada satu penjaga yang mengawalku sampai aku boarding nanti. Namun aku menolak untuk terus diikuti sampai Indonesia.Di sini aku memang keluarga kerajaan, tapi di sana aku bukan siapa-siapa. Untunglah Daddy mau mengerti hal ini. Aku sedang menunggu panggilan untuk boarding. Dan lagi-lagi, aku teringat akan alasanku pergi."Stop, Mira. Terima saja. Cinta pertamamu tak berjalan lancar. Kau harus melupakannya."Aku menarik satu kali nafas panjang tepat saat panggilan pertama pesawat yang akan membawaku ke Indonesia terdengar. Aku dan beberapa penumpang pesawat lainnya mengantri untuk verifikasi terakhir sebelum masuk pesawat dan masuk dengan tertib.Tak seperti penerbanganku sebelumn
Granny melarangku untuk berpikir pergi dari sini adalah yang terbaik. Bahkan setelah dua hari berlalu. Dia ingin aku kuat, dan dia meyakinkan bahwa semua yang ada di sini keluargaku. Bahwa aku tak sendirian di sini."Kita bisa mengganti pengawalmu jika kau tak ingin bertemu dengan Richard. Tapi aku tak setuju jika kau pergi meninggalkan kami. Semua keributan ini akhirnya berakhir, dan kita bisa hidup dengan tenang bersama, kenapa kau malah memikirkan untuk pergi?"Dari situ aku sadar, Granny benar. Bagi semua orang, ini adalah kemenangan. Hanya aku yang merasa kalah dalam hal ini, dan itu karena Richard. Aku merasa buruk setelah mendengar hal itu."Maaf, aku jadi egois."Granny Louisa menggeleng. "Kau memang tak bisa kembali ke sana, tapi kau bisa berkunjung sebent
Richard'sAku menonton berita di televisi dengan tatapan puas. Phillip, ibunya, JJ, Cedric dan anak buahnya yang terbukti membelot sudah diringkus. Pengadilan kasus mereka memang belum ditetapkan kapan, namun, mereka tak akan lepas dari sanksi sosial kali ini. Dulu, Pak Tua terlalu baik hati untuk mengumumkan perbuatan mereka pada media. Namun sekarang tidak lagi."Makanlah dulu. Kau memang sudah tampak sehat, tapi kau masih perlu banyak waktu dan asupan bagus untuk memulihkan tenagamu."Aku mendongak menatap gadis yang beberapa hari terakhir menemaniku di sini. Dia gesit dan telaten mengurusku. Itu hal yang bagus, bukan? Saat terbaring tak berdaya, ada seseorang yang tulus mengurusmu.Betapa beruntungnya diriku?"Lyn.."
Aku meninggalkan Corrine berdua dengan Abe Villich di balkon rumah sakit agar mereka saling berbicara. Semoga saja keputusanku tak salah. Aku sedikit khawatir karena Corrine terlihat amat pucat dan kaget saat melihat Abe ada di sana. Pria itu pasti mengikuti kami tadi saat keluar untuk berbicara.Aku masih berada di balik pintu balkon selama beberapa saat, hanya untuk memastikan bahwa Corrine baik-baik saja. Sungguh. Aku tak berniat menguping. Aku masih ingat apa yang dilakukan Abe pada Corrine dulu hingga membuat Corrine yang biasanya ceria menjadi amat pendiam dan tertekan."Katakan, Corry. Apa yang mereka katakan tentangmu sehingga kau ikut tanpa perlawanan seperti itu." Suara Abe dingin dan tegas. Bahkan aku yang bukan lawan bicaranya saja berjengit, apalagi Corrine.Aku bisa mendengar suara tangis saat ak
“Tak bisakah kita sedikit lebih cepat?” Aku memajukan tubuhku untuk berbicara pada supir dengan nada tak sabar.“Cherie…”Kurasakan tangan Daddy menggengam tanganku dan meremasnya pelan. Mungkin menegur, atau mungkin juga sekedar menguatkanku karena kejadian-kejadian yang terjadi hari ini. Aku hanya menatapnya dengan tatapan putus asa. Namun aku kembali ke kursiku dan duduk dengan rapi. Mencoba untuk tenang meskipun rasanya sudah tak karuan lagi di dalam diriku.Tiga jam lalu kami dihubungi oleh Corrine yang berbicara dengan sangat cepat dan nyaris tak jelas tentang jangan pulang ke istana dan pergi ke tempat lain karena istana tak aman. Dia tak menjelaskan lebih jauh dan hanya terus mengulang kalimat itu. Kami baru saja sampai di istana, namun kami tak masuk dan langsung melanjutkan k
Richard’sPolisi dan pasukan tambahan datang tepat waktu untuk menyelamatkan kami. Seperti dugaanku, ada beberapa orang dari pasukan Cedric yang membelot dan berkhianat dengan pria itu. Hal itu membuat pasukan yang kubawa menjadi kalang kabut dan kami sempat terpukul mundur karena bingung siapa lawan dan kawan di sini.Untungnya, polisi ada yang membawa senapan paintball sehingga kami bisa menandai siapa saja yang berkhianat dengan peluru cat merah di punggungnya. Ini membantu kami mengidentifikasi siapa yang berada di tim kami dan tim lawan.Corrine sempat di bawa ke ruangan lain oleh Phillip, tapi aku berhasil mengejarnya setelah menumbangkan Cedric dengan mematahkan bahunya.“Sorry, Pal, tapi kau pantas mendapatkannya. Ibi bahkan tak setimpal dengan
Aku terbelalak tak mempercayai mataku. Di depan kami, muncul dua orang yang sama sekali tak kuduga akan kutemui di sini. Mereka yang menjadi dalang penculikan Corrine? Kenapa?!“Cedric? JJ?” Aku mengucap dengan nada tak percaya. “Why?! Kenapa kalian melakukan ini?”“Apakah itu belum jelas, mademoiselle?”JJ menjawab sembari berjalan melenggang mendekat pada Putra Mahkota… bukan. Richard memanggilnya Phillip, karena dia sudah bukan lagi Putra Mahkota. JJ mendekat pada Phillip dan mereka mulai menempelkan tubuh mereka satu sama lain. Pemandangan yang langsung membuatku mual! Rupanya JJ adalah partner sesama jenis Phillip?! Bukankah…“Oh, maafkan, kami terlalu larut dalam dunia kami yang penuh cinta. JJ. Kekasih
Richard’s“Akhirnya kalian datang juga. Aku terkesan.”“Kau…”“Apa maksudnya ini?!”Pertanyaan Mira dan pak Tua saling bersahutan saat melihat pemilik rumah yang dan sandera yang mereka cari sedang duduk sambil bermain catur di ruang baca. Aku menggertakkan gigi dan mengepalkan tinjuku erat. Mencoba menahan amarahku yang meperti mengancam ingin menelanku bulat-bulat.Aku sudah memiliki kecurigaan sejak menemukan lokasi di mana Corrine berada. Tak banyak yang tahu bahwa rumah ini bukan lagi milik Abe Villich. Namun aku dan Cedric adalah sedikit di antara orang-orang yang tahu bahwa sejak Arlaine meninggal. Rumah ini dibeli oleh Abe Villich sebagai hadiah pernikahan untuk Arlaine
Granny Louisa menangis tersedu mendengar cerita tentang Corrine dariku.Pada akhirnya, aku tak punya pilihan untuk tidak mengatakannya. Lagi pula, mengenai hal ini, aku juga butuh berdiskusi tentang beberapa hal. Tentang apa peranku di sini. Aku sama sekali tak tahu apa yang harus kulakukan jika penjahatnya benar-benar tertangkap. Atau bagaimana caranya agar penjahatnya tertangkap dan Corrine kembali pada kami dengan selamat.Betul kata Daddy. Aku tak tahu apa yang seharusnya kulakukan di saat seperti ini. Betul kata Madame Villich, aku hanya boneka di sini yang tak akan bisa menggantikan posisi siapa pun. Aku muncul hanya karena panggung terlalu sepi."Richard sedang mencarinya, Granny. Aku yakin dia pasti akan berusaha dengan seksama dan membawa Corrine pulang dengan selamat."