Aku bosan. Benar - benar bosan. Aku ingin menikmati hariku di sini. Di negeri asing dan antah berantah di mana aku sama sekali tak mengenal seorangpun. Bukannya malah harus terjebak bersama orang ini, orang yang langsung mendapatkan poin minus sejak pertama kali aku melihatnya, untuk mengunjungi sekolah baruku. Huft! Nggak penting! Kita liat saja bagaimana selera Pak Tua itu. Aku sih yakin, sekolahku nantinya akan sangat - sangat old - fashioned dan datar. Mungkin hukum. Atau mungkin business management. Huh, membosankan. Mana Pak Tua itu tahu kalau aku, yang menurut pengakuannya ini adalah putrinya, ternyata sangat menggilai Van Gogh dan Monet? Yah, aku senang melukis, dan aku tetap ingin serius menjadi pelukis.
Dan semakin membosankan karena sedari tadi kami saling mengacuhkan keberadaan satu sama lain. Ya, hal - hal yang berhubungan dengan si Tua Goureille akan senantiasa membuatku jijik dan ingin menjauh. Termasuk laki - laki sok cool yang menyebalkan ini! Dan sialnya, dia juga berlagak seakan - akan hanya sendirian di mobil ini! Oh, bukan, dia memang tidak menganggapku ada sejak awal. Selain kalimat ‘Halo, Mira. Aku pengawal yang menjagamu. Dan aku akan mengantarmu ke sekolah barumu hari ini’ - nya itu, dia samasekali tidak bersuara lagi. Bahkan namanya saja tida dia sebut! Huh, seakan aku peduli saja! Merdre! (makian yang umum dalam bahasa Prancis.)
“Oke, on arrive.“ Katanya mengabarkan bahwa kami sudah sampai di tujuan kami. Yang entah dimana itu.
Aku hanya meliriknya sekilas, sebelum akhirnya harus memalingkan wajahku ke luar lagi.
Mon Dieu! C’est imposible!
Mataku terbelalak tak percaya memandang bangunan yang berdiri megah dan kokoh di depanku.
“Hmm, sepertinya anda suka dengan apa yang anda lihat, Mademoiselle?”
Tentu saja aku suka! Berdiri megah di depanku, yah aku memang belum membaca nama sekolah ini, tapi aku yakin seribu persen, kalau ini adalah ARBA (Académie Royale des Beaux-Arts). Mimpiku yang menjadi kenyataan!
“Ini sekolahku?” tanyaku masih tidak yakin.
“Yah, kalau belum sesuai dengan harapan anda, kita bisa cari yang lain. Masih banyak College Art di Belgia.”
Yeah, tapi hanya di sini Van Gogh pernah belajar.
“Non, merci. Kupikir ini sudah lumayan.” Jawabku acuh. “It’s getting cold out here, bisa kita langsung masuk saja? Bertemu kepala sekolah atau semacamnya agar hari ini cepat selesai?“
“As you wish, Mademoiselle“
Olala…. Aku pasti sudah ternganga sambil mencubiti pipiku sendiri ketika mengikuti Si Entah Siapa Namanya menuju ruang Kepala Sekolah seandainya aku tidak ingat aku harus bersikap acuh dan dingin di sini. ARBA! Aku sekarang berada di sekolah seni terbaik di Belgia yang masih merupakan bagian dari Institusi Prancis! Sekolah seni yang sejak masih duduk di SMP selalu kubaca profilnya dan kupandangi fotonya karena aku tahu mustahil untuk masuk ke sekolah seni bertaraf internasional, tempat banyak seniman dunia pernah belajar di sana, kini akan menjadi tempatku belajar juga! Well, lihat saja Vincent Van Gogh si pelukis tenar yang karyanya hari ini pasti setara dengan harga mansion elit atau mobil ter-anyar dan tercanggih abad ini. Lalu ada juga si arsitek Henry Lacoste, ada juga pemahat rene Magritte dan nama - nama mendunia yang langsung bermunculan di otakku hingga aku susah menyebutnya satu persatu.
Gedung berusia hampir 400 tahun ini menyimpan banyak kisah jenius dari para alumni terdahulu. Sementara Si Entah Siapa Namanya masuk untuk berbasa - basi dengan Kepala Sekolah, aku sibuk berkeliling melihat - lihat lukisan, patung dan pahatan yang di pajang di koridor menuju ruang Kepala Sekolah.
“Mademoiselle Goureille, Bienvenue." Seorang pria paruh baya yang terlihat berwibawa menyambut kami saat masuk ke suatu ruangan yang kuduga adalah ruang kepala sekolah. "Saya Archi Peyo, Kepala sekolah di sini“ Seorang pria tua nan botak menyapaku. Kujabat uluran tangannya sambil tersenyum ramah. Lupa kalau Si Entah Siapa Namanya juga berada di sana bersama kami. “Saya sudah melihat resume anda. Dan saya juga sangat terkesan dengan lukisan - lukisan yang anda lampirkan sebagai portofolio. Sungguh bakat yang luar biasa. Entrez, s’il vous plait, silakan masuk.“
Senyumku perlahan - lahan memudar. Resume? Portofolio berupa lukisan? Kapan aku pernah mengirimkannya ke sini? Aku hendak protes dan membenarkan, tapi seseorang menahan sikuku, membuatku menoleh padanya.
“Jangan khawatir, perbuatan kami bukan sesuatu yang illegal. Kami sudah mendapat ijin dari kedua orang tua anda. Setidaknya, gangguan privasi ini membuat anda senang kan, Mademoiselle?” bisiknya.
Ingatanku langsung melayang saat seseorang mendobrak lokerku. Kejadian yang membuatku belum bisa memulai debutku sebagai pelukis muda di ranah seni nasional hingga sekarang. Beberapa barang hilang saat itu, termasuk tiga lukisan yang rencananya akan kudaftarkan ke turnamen lukis nasional 5 bulan yang lalu.
“Bingo! Ingatan anda tajam, Mademoiselle.”
“Jadi… jadi kesini rupanya lukisan - lukisanku itu di kirim? Tanpa ijin dan persetujuanku? Beraninya…!”
“Kami pengawal khusus istana yang seharusnya mengawal putri atau putra mahkota kerajaan, Mademoiselle, jangan kira gertak sambal anda berpengaruh untuk kami.”
Oh, keterlaluan! Anda sudah membangunkan naga tidur. Siap - siap saja menerima konsekuensinya, Monsieur.
***
Richard’s
Hari ini akhirnya aku bertemu dengannya. Adik Arilaine, anak Monsieur Guireille dari istrinya yang lain. Gadis sembilan belas tahun berperawakan mungil. Super mungil. Tingginya tidak sampai 160cm. Tapi Cedric dan Brigitte sudah memperingatkanku bahwa mulutnya mampu memuntahkan kata - kata setara dengan senapan.
Wajahnya terlihat sebal. Seperti sedang sakit perut. Aku tertawa dalam hati.
Aku sengaja mendiamkannya, belum berniat memecah kesunyian diantara kami. Tentu saja aku membaca profilenya yang dikirimkan Monsieur Guireille padaku beberapa bulan lalu. Walaupun Cedric yang sebenarnya memegang kendali penuh atas ‘pemulangan’ bocah ini, aku sedikit banyak membantu di sana. Sehingga aku tau beberapa hal tentangnya. Dan tambahan, aku bertugas menjadi pengawalnya selama disini.
Namanya Mira. Mireille Karina Guireille. Namanya cantik, walaupun untukku pribadi, dia tidak secantik Arlaine, putri pertama Monsieur Guireille. Tapi dia memiliki pesona yang lain. Cute dan misterius. Keluarganya di Indonesia tinggal Oma nya yang entah bagaimana Cedric mengakalinya, mau merelakannya pergi menemui Ayahnya di Belgia.
Sepertinya Nona Kecil ini tidak terlalu suka musim dingin. Heater mobil sudah menyala dan sudah lumayan hangat, tapi dia terus - terusan merapatkan jaketnya.
“Oke, on arrive.“
Tubuhnya tersentak kedepan memastikan yang ada di depan matanya nyata. Mulutnya terbuka penuh kekaguman. Dan satu lagi informasi yang kudapat, She loves arts.
“Ini sekolahku?” guamnya masih takjum memandangi Arba di depan matanya.
Aku memutar bola mataku jengah. Disogok begini langsung lupa dengan amarahnya. Benar - benar remaja labil.
Kami turun dari mobil, lalu masuk ke dalam dan menemui Rektor Akademi Archi Peyo. Yah, ARBA memang sangat lumayan. Banyak seniman yang menjadikannya sebagai kiblat. Bahkan dia membuka beberapa kursus seni untuk orang - orang yang memiliki hobi di bidang itu.
“Mademoiselle Goureille, Bienvenue. Saya Archi Peyo, Kepala sekolah di sini. Saya sudah melihat resume anda. Dan saya juga sangat terkesan dengan lukisan-lukisan yang anda lampirkan sebagai portofolio. Sungguh bakat yang luar biasa. Entrez, s’il vous plait.“
Oh, Shit! Pak Tua Botak itu terlalu lebar membuka mulut. Kuperhatikan Mireille menegang di tempatnya, dengan wajah kebingungan.
“Jangan khawatir, perbuatan kami bukan sesuatu yang illegal. Kami sudah mendapatkan ijin dari kedua orang tua andaSetidaknya, gangguan privasi ini membuat anda senang kan, Mademoiselle?” Kilatan matanya yang marah saat menoleh padaku itu, yang kutunggu - tunggu. Akhirnya aku melihatnya juga! Tapi, kenapa rasanya… salah, bermain - main dengan Putri bungsu Monsieur Guireille ?
Kali ke dua aku naik pesawat. Aku gugup, dan terus menerus ke toilet sejak tadi. Ada satu penjaga yang mengawalku sampai aku boarding nanti. Namun aku menolak untuk terus diikuti sampai Indonesia.Di sini aku memang keluarga kerajaan, tapi di sana aku bukan siapa-siapa. Untunglah Daddy mau mengerti hal ini. Aku sedang menunggu panggilan untuk boarding. Dan lagi-lagi, aku teringat akan alasanku pergi."Stop, Mira. Terima saja. Cinta pertamamu tak berjalan lancar. Kau harus melupakannya."Aku menarik satu kali nafas panjang tepat saat panggilan pertama pesawat yang akan membawaku ke Indonesia terdengar. Aku dan beberapa penumpang pesawat lainnya mengantri untuk verifikasi terakhir sebelum masuk pesawat dan masuk dengan tertib.Tak seperti penerbanganku sebelumn
Granny melarangku untuk berpikir pergi dari sini adalah yang terbaik. Bahkan setelah dua hari berlalu. Dia ingin aku kuat, dan dia meyakinkan bahwa semua yang ada di sini keluargaku. Bahwa aku tak sendirian di sini."Kita bisa mengganti pengawalmu jika kau tak ingin bertemu dengan Richard. Tapi aku tak setuju jika kau pergi meninggalkan kami. Semua keributan ini akhirnya berakhir, dan kita bisa hidup dengan tenang bersama, kenapa kau malah memikirkan untuk pergi?"Dari situ aku sadar, Granny benar. Bagi semua orang, ini adalah kemenangan. Hanya aku yang merasa kalah dalam hal ini, dan itu karena Richard. Aku merasa buruk setelah mendengar hal itu."Maaf, aku jadi egois."Granny Louisa menggeleng. "Kau memang tak bisa kembali ke sana, tapi kau bisa berkunjung sebent
Richard'sAku menonton berita di televisi dengan tatapan puas. Phillip, ibunya, JJ, Cedric dan anak buahnya yang terbukti membelot sudah diringkus. Pengadilan kasus mereka memang belum ditetapkan kapan, namun, mereka tak akan lepas dari sanksi sosial kali ini. Dulu, Pak Tua terlalu baik hati untuk mengumumkan perbuatan mereka pada media. Namun sekarang tidak lagi."Makanlah dulu. Kau memang sudah tampak sehat, tapi kau masih perlu banyak waktu dan asupan bagus untuk memulihkan tenagamu."Aku mendongak menatap gadis yang beberapa hari terakhir menemaniku di sini. Dia gesit dan telaten mengurusku. Itu hal yang bagus, bukan? Saat terbaring tak berdaya, ada seseorang yang tulus mengurusmu.Betapa beruntungnya diriku?"Lyn.."
Aku meninggalkan Corrine berdua dengan Abe Villich di balkon rumah sakit agar mereka saling berbicara. Semoga saja keputusanku tak salah. Aku sedikit khawatir karena Corrine terlihat amat pucat dan kaget saat melihat Abe ada di sana. Pria itu pasti mengikuti kami tadi saat keluar untuk berbicara.Aku masih berada di balik pintu balkon selama beberapa saat, hanya untuk memastikan bahwa Corrine baik-baik saja. Sungguh. Aku tak berniat menguping. Aku masih ingat apa yang dilakukan Abe pada Corrine dulu hingga membuat Corrine yang biasanya ceria menjadi amat pendiam dan tertekan."Katakan, Corry. Apa yang mereka katakan tentangmu sehingga kau ikut tanpa perlawanan seperti itu." Suara Abe dingin dan tegas. Bahkan aku yang bukan lawan bicaranya saja berjengit, apalagi Corrine.Aku bisa mendengar suara tangis saat ak
“Tak bisakah kita sedikit lebih cepat?” Aku memajukan tubuhku untuk berbicara pada supir dengan nada tak sabar.“Cherie…”Kurasakan tangan Daddy menggengam tanganku dan meremasnya pelan. Mungkin menegur, atau mungkin juga sekedar menguatkanku karena kejadian-kejadian yang terjadi hari ini. Aku hanya menatapnya dengan tatapan putus asa. Namun aku kembali ke kursiku dan duduk dengan rapi. Mencoba untuk tenang meskipun rasanya sudah tak karuan lagi di dalam diriku.Tiga jam lalu kami dihubungi oleh Corrine yang berbicara dengan sangat cepat dan nyaris tak jelas tentang jangan pulang ke istana dan pergi ke tempat lain karena istana tak aman. Dia tak menjelaskan lebih jauh dan hanya terus mengulang kalimat itu. Kami baru saja sampai di istana, namun kami tak masuk dan langsung melanjutkan k
Richard’sPolisi dan pasukan tambahan datang tepat waktu untuk menyelamatkan kami. Seperti dugaanku, ada beberapa orang dari pasukan Cedric yang membelot dan berkhianat dengan pria itu. Hal itu membuat pasukan yang kubawa menjadi kalang kabut dan kami sempat terpukul mundur karena bingung siapa lawan dan kawan di sini.Untungnya, polisi ada yang membawa senapan paintball sehingga kami bisa menandai siapa saja yang berkhianat dengan peluru cat merah di punggungnya. Ini membantu kami mengidentifikasi siapa yang berada di tim kami dan tim lawan.Corrine sempat di bawa ke ruangan lain oleh Phillip, tapi aku berhasil mengejarnya setelah menumbangkan Cedric dengan mematahkan bahunya.“Sorry, Pal, tapi kau pantas mendapatkannya. Ibi bahkan tak setimpal dengan