Share

LANGIT KABUT CAMELIA
LANGIT KABUT CAMELIA
Penulis: Emhaf

Kota Kabut dan Jam Pasir

Sepuluh meter ke depan dan hidup tak benar-benar menunjukkan apa-apa yang bisa kusentuh di sana. Setiap hari kabut adalah teman yang membelai kesejukan. Ia sendiri adalah jelmaan kesejukan yang juga memiliki kengerian. Aku tak pernah tahu apa atau siapa yang akan tiba-tiba mucul dari balik ringainya. Bisa saja seorang yang membawa celurit dengan muka berdarah. Bisa jadi sekepak sayap bidadari yang menyadarkan lamunanku bahwa tak selamanya kecantikan itu harus digapai di surga saja. Atau… akan kutemukan jalan mencapai segala masa dengan menembusnya. Kuceritakan ini pada Camelia yang mungkin saja menitipkan kehadirannya pada setiap tetes embun di antara kabut ini.

Sudah hampir satu tahun aku telah menjadi manusia biasa. Tak ada lagi kepakan sayap walet yang menembus ruang dan waktu. Tak ada secarik kertas pun yang mau menampung rencanaku, setidaknya begitulah lamunanku. Aku seperti dirayu untuk berkata, “Sudahlah, terima saja ini dengan kepuasan! Hidupku sudah kembali normal.” Lalu, apa sebenarnya yang dimaksud dengan normal. Pertanyaan-pernyataan kosongku terhenti di kabut kota ini.

Setahun berlalu dan aku tak pernah benar-benar keluar dari kota ini. Seolah aku terlalu terbiasa dengan kabut yang tak kunjung resap pada dedaunan. Pepohonan hijau seolah enggan mengambil mineral yang mengambang bebas itu. Atau, sebenarnya sudah selama ini aku telah menyadari sesuatu, namun tak juga mau memahaminya.

“Gavin… dengarkan suaraku! Berlarilah ke utara! Lari! Lari! Lari ke utara! Ikuti saja arah yang pasti dari sebuah peta.”

Sekelebat suara yang berbisik di telingaku seperti sudah beberapa kali mendengarnya. Ah, hanya bayanganku saja. Ia sudah kembali ke tempat itu dan tak akan kembali. Aku hanya terjebak dengan lamunanku saja.

“Gavin… dengarkan suaraku! Berlarilah ke utara! Lari! Lari! Lari ke utara! Ikuti saja arah yang pasti dari sebuah peta.”

Seperti di telan kegilaan, aku mendengar bisikan itu lagi. Apakah aku harus mengikutinya? Berlari ke utara? Aku punya pekerjaan hari ini. Beberapa artikel harus segera diselesaikan. Tapi, untuk apa kuselesaikan? Bukankah hidup di kota ini hanya tersisa kenyamanan? Berlari ke utara? Ah, aku tak sedang benar-benar sibuk sekarang. Aku beranjak dari ketermanguanku di balik jendela rumah yang berhadapan dengan tirai kabut. Putih pekat yang membatasi pandanganku hanya pada sepuluh meter langkah. Berlari ke utara? Tanpa sadar aku sudah berdiri dengan kedua kakiku. Aku berjalan pelan menunju pintu rumah. Kubuka sejengkal untuk melihat selimut kabut yang tak pernah reda. Berlari ke utara? Aku sudah berjalan di aspal hitam yang hampir-hampir teredam warna putih kabut. Berlari ke utara? Langkahku semakin cepat, napasku terabai, aku pun telah berlari. Ke utara. Berlari ke utara?

Pada sebuah selimut kabut yang lebih tebal dari sebelumnya, jarak pandang telah dipangkas setengah dari ketebalannya. Aku tetap berlari. Berlari. Sampai kabut benar-benar memerangkapku. Entah, aku tak benar-benar tahu di mana ini. Sebelumnya aku hanya melihat perkebunan stroberi di desa Temas, setelah itu jalan panjang perkebunan sawi dan selimut kabut telah benar-benar menutup mataku.

“Maaf membuatmu menunggu lama Gavin!” suara itu benar-benar di depanku. Suara dari makhluk yang memilih menjadi manusia. Di antara kabut yang menutup hampir seluruh keberadaannya, ia melambaikan tangannya dengan segaris senyum.

Pelan-pelan, derap selangkah kakinya yang lirih bisa kudengar. Ujung jemarinya yang beralaskan wedges kecoklatan berbaris rapi sembari menyibakkan selimut kabut. Rambutnya yang tergerai mengibaskan angin – selimut kabut disapunya perlahan seperti membuka tabir asap dengan mengusir setiap partikel lembutnya.

Pelan-pelan, bergaris warna jingga di tubuhnya dan sekembang rok merah yang berlapis kain hitam transparan membuat kabut tak sanggup mengurung pancarannya. Sebuah syal coklat melingkar di lehernya. Kabut tebal hanya tersisa tipis tak berarti, namun masih saja mencoba menahan langkahnya. Sia-saia saja. Ia adalah angin bertangan lembut yang membuat kabut tak sanggup menahan keberadannya. Ia yang selama ini kucari, namun seperti lenyap kulupakan di dalam selimut kabut. Ia yang kini justru menemukanku, Camelia dan selimut angin yang mengusir kurungan kabut.

“Bukankah ini sudah saatnya?” pertanyaannya yang kutahu harus dijawab bagaimana, namun kuurungkan dan kutenggelamkan diriku pada pelukannya. Kehangatan silam dari selimut angin musim semi yang kutunggu.

“10 detik saja! Setelah itu, kota kabut ini kita buka!”

***

Matahari mengintip dari balik kabut dengan cahayanya yang lesu. Kabut telah menjadi lagu Nina Bobo di kota yang sejatinya merindukan keberisikan. Setiap tanggal merah kota ini seharusnya menerima rentetan klakson yang berteriak untuk membuka jalan – di depannya bebarisan kendaraan roda empat tak mau memberinya kesempatan.

Angin hangat mulai berhembus. Daun-daun yang terlalu hijau kini tak lagi malu mencapai senjanya. Angin dingin lain masih bertiup. Lelaki paruh baya menyerahkan tubuhnya di atas kursi goyang dengan selimut yang menutup dada hingga jemari kakinya. Kopi panas mengepulkan asap harum di meja kecil, ikut terduduk bersamanya. Angin hangat dan angin dingin saling sapa. Beberapa mata yang sebelumnya tertunduk, satu per satu mulai memandangi kami – tatapan penuh tanya atas kehadiran seseorang yang masih asing. Aku pun orang asing, namun setahun ini mereka tak bertanya.

“Yang diambil dari kota ini adalah rasa dari perbedaan,” ucap Camelia sembari mengambil pandangannya dari jalanan dan menunduk menatap aspal.

“Apa bisa diibaratkan kota ini sedang menjadi tubuh yang kehilangan tantangan?” tanyaku padanya dengan mengambil analogi sekenaku, seingatku pada kemampuan bumi untuk secara periodik menyamankan bagian tubuhnya.

“Iya, seperti tubuh yang tak pernah sakit. Mungkin, kehadiranku mulai disadari sebagai benda asing. Sementara kamu Gavin, aromamu masih dianggap sebagai bagian dari sel tubuh kota ini. Jika kita mulai bertindak nanti, kurasa kamu akan dianggap sebagai sel yang terpengaruh benda asing,” ucap Camelia ketika gerbang dan pintu rumah kubuka pelan-pelan.

“Lalu, apa yang harus kita lakukan?” tanyaku yang sebenarnya hanya untuk memastikan asumsiku.

“Kita buat keributan!” seringainya memecah angin dingin di rumahku. Angin hangat telah benar-benar mengisi, mengubah suasana biru menjadi jingga.

“Sesederhana itu?” tanyaku untuk meyakinkan lagi, jika saja seringainya akan berubah menjadi lukisan wajah yang lain.

“Halaaah… kita lakukan sajalah!”

Begitu katanya dengan ketus – salah satu nada yang beratus hari tak kudengar. Terkadang, melihatnya mudah melukis berbagai ekspresi wajah memberikanku kelegaan. Bagaimanapun, ia sejatinya bukan manusia, tapi tak ada lirih suaranya yang tergesa dalam mengambil setiap kuas kerut sendi wajahnya. Ia merelakan segala kepastian yang sebenarnya ia miliki hanya untuk ditukar dengan perasaan seorang perempuan yang tak menentu.

Langkah-langkah kami di rumah ini terpecah ke berbagai arah, berbagai mimik, berbagai suara. Genderang panci, piring, gelas, korek api, tabung gas, apa saja yang bisa kami temukan untuk menciptakan keributan. Walau… ketika melihat barang-barang ini aku justru membayangkan bom molotof, kebakaran, dan darah. Ah, sudahlah – kita pasti bisa pakai cara yang aman.

**

Hentakan kaki beriringan dengan napas bumi yang dihinggapi tabuhan drum. Sebuah gitar listrik dipetik melengking untuk melanjutkan pembukaan sebuah irama meriah. Barisan peniup terompet perlahan memunculkan moncongnya yang membuat setiap telinga terbangun dari tidur panjangnya. Kabut-kabut pun terusik. Ledakan petasan memercikkan warna-warni api – biru, merah, jingga, dan kuning. Kehidupan yang hanya dihinggapi warna putih terciprat warna-warni yang tak pernah terbayangkan sebelumnya.

Dari sebuah speaker kecil yang mengetuk-ketuk tuts piano sampai setiap speaker yang terbungkus sarang laba-laba pun mampu membebaskan dirinya. Saat itulah, kami berjalan di Kota Kabut ini sembari melihat manusia-manusia kebingungan. Sudah setahun mereka merasakan kesunyian dan kini yang muncul di kepala mereka adalah suara-suara baru. Seperti bayi dalam kandungan yang pertama kali mengenal bebunyian, baginya hanyalah getaran yang membuat calon telinga bergoyang. Ia bertanya-tanya, tentang apa yang baru saja terdengar. Ia bahkan tak tahu, apa itu mendengar. Kini, mereka mengalaminya.

Sebuah ledakan besar menutup pesta pelepasan kabut itu – yang sekaligus membuka lembaran baru di mana segala kesunyian akan segera lenyap. Namun begitu, kebebasan ini tidaklah cuma-cuma, pergerakan sunyi dari mereka yang mengendalikan kabut pun menderapkan langkah lirisnya. Kami hanya berdua, berdiri di hadapan sebarisan, pulahan yang tak bisa kami hitung, dari para makhluk bersayap putih yang bermaksud mencipta kedamaian palsu. Mereka menginginkan keteraturan tanpa perlawanan. Tetapi... bukankah dalam keberterimaan sebuah perlawanan itulah kedamaian benar-benar baru bisa dirasakan? Kabut yang mereka tiupkan hanyalah kedamaian semu yang menutup segala kebisingan nyata.

Hari ini, setelah setahun lamanya, kebisingan datang lagi di kota ini. Kebisingan yang juga tak akan kami serahkan kembali dalam selimut kedamaian palsu. Meski, begitu kami harus mau berbagi rasa lapang dada dengan mereka yang menangkap cahaya matahari untuk berkepak di punggung mereka. Ketika kepakan itu berhenti, dua pasang bilah pisau mematri di punggung mereka. Entah, dengan apa sayap tajam itu bisa menempel di sana – yang pasti, dalam kediaman dua pasang sayap tajam itu, berkian ancaman ketakutan sedang mereka tunjukkan. Seolah, kami melihat sosok-sosok pembawa cahaya yang justru menggelapkan, menolak segala kelapangan dada.

“Kalian dua makhluk tak tahu rasa terima kasih!” dengan lantang salah satu makhluk itu keluar barisan selangkah lebih dekat dari kami. Sampai saat ini, aku tak bisa menyebut dengan tepat makhluk apa sebenarnya mereka. Apakah malaikat? Bukankah dalam riwayat yang disampaikan para Kyai dahulu, sebilah sayap malaikat sama saja dengan selingkar bumi? Ataukah mereka peri? Bukankah peri dalam dongeng-dongeng disebutkan sebagai makhluk bersayap transparan dan lembut dalam mengepak. Mereka... sayap yang menempel dipunggung mereka mengepak seperti gesekan dua pedang dalam peperangan yang merindukan darah untuk semakin mempertajamnya. Silau sinar matahari yang mereka tangkap bukan menghangatkan, tetapi menyilaukan. Kurasa sebutan kurang ajar seperti Lalat Pisau tak apalah, untuk kusimpan dalam hati kami saja.

“Kami tak ingin bertikai Tuan!” namun, tetap saja kusebut Tuan agar mereka merasa terhormat dan kami adalah makhluk yang lebih rendah. Harapan akan datangnya kelapangan dari sebutan itu semoga terwujud. “Kami hanya ingin bangun dari tidur panjang! Sudah lama matahari tak memberi kami terik yang membangunkan kemalasan. Sudah lama kami hanya berada dalam selimut yang membuat kami terlalu nyaman. Sehingga, kami lupa dengan apa saja yang menunggu ketangkasan kami di sana! Di luar kabut ini! Atau, selepas dari terhapusnya selimut kabut ini.”

“Bukankah sudah kuberikan kau hati yang tenang? Coba lihat di belakangmu! Orang-orang menangis, bayi-bayi kebingungan mencari orang tuanya, remaja-remaja yang telanjang melupakan bajunya. Dengan kabut ini kami ciptakan ketenangan agar segala kekacauan tidak membunuh para makhluk dengan kegundahan.” Suaranya reda setelah kupanggil Tuan, pikirku tak perlu lagi ada pertikaian, semoga kekacauan ini selesai dengan negosiasi di atas meja.

“Namun, Tuan... kediaman kami adalah bentuk dari segala kelupaan. Kami lupa cara menangis, bayi-bayi sudah lupa siapa orang tuanya sehingga mau saja terlantar, remaja-remaja lupa bagaimana cara memakai baju, kami lupa nama kami – bahkan, kami lupa bagaimana mengeluarkan suara. Tidakkah Tuan memberi rasa belas kasih yang kami harapkan?!”

Swing.... jlep. Sebuah pisau perak dilemparkan menggores telingaku dan membiarkan segaris darah membeku di sana. Pisau itu menempel pada pohon mahoni di belakangku. Suaranya yang bisa tetap terdengar menyayat bahu jalanan yang sepi. “Mereka hanya memperdaya kita Tuan. Bukankah Tuhan sudah menitipkan kedamaian untuk kita jaga? Mereka hanyalah kekacauan yang mencoba merayu kita. Mereka hanya mencoba menyamarkan kekecauan dalam bentuk harapan kedamaian.” Salah satu Lalat Pisau keperakan mengambil setengah langkah ke depan dan tetap menjaga kehormatan tuannya.

“Sepertinya sudah laten Kal...” Camelia menghela napas dan sedalam mungkin membenamkan kedipannya.

“Iya, sepertinya perlawanan halus sudah dan tak akan pernah mempan!” ucapku lirih, berusaha untuk menyampaikan suara hanya padanya ketika melihat ia yang sudah membuka kedipan mata.

“Apakah cara kita akan berhasil?”

“Setidaknya mencoba daripada terus berada di bawah kenyamanan palsu selimut kabut!”

Sehela napas yang kami hirup dan hembus hampir bersamaan. Dalam tarikan udara yang memberi kami energi itu, kaki kami menghentak dan berbalik arah memunggungi barisan Lalat Pisau. Pada beberapa meter pertama, kami berlari beriringan untuk memancing para Lalat Pisau itu mengejar kami. Hingga, pada sebuah pertigaan yang mencabangkan pikiran kami, sebuah langkah untuk berbelok ke arah yang berbeda pun kami lakukan. Camelia menghempas ke kiri menuju perkebunan stroberi Desa Temas. Aku menghempas ke kanan menuju perkebunan apel Desa Pandanrejo. Gerakan kami membingungkan bebarisan pasukan Lalat Pisau – memaksa mereka untuk membagi pasukan. Barisan prajurit dan kapten Lalat Pisau bersayap darah yang melemparkan pisaunya kepadaku sepertinya menyimpan perhitungan kepadaku – ia memilih mengejarku daripada Camelia. Sementara itu, lima pasukan Lalat Pisau dan Komandan mereka mengambil arah hempasan Camelia.

Dalam selimut kabut dan kebingungan para manusia yang baru saja terbangun dari tidur panjang ilusinya, mereka tersadar dengan raut penuh tanya.

Cetar… duar… duar…

Ledakan menyalakan warna kabut yang putih dengan cat-cat lukis kekuningan. Pelan-pelan warna itu berubah jingga. Pertemuan dari percikan api membuat seisi kota kabut merayap dalam kengerian. Manusia-manusia kembali bisa merasakan takut. Mereka teringat kembali bagaimana cara mendengar. Mereka teringat kembali bagamana cara berlindung. Mereka teringat kembali bagaimana cara berteriak. Mereka adalah kumpulan makhluk yang tersadar dari ketermanguan panjang. Namun, di dalam setiap aliran darah tersimpan ingatan untuk melindungi diri dari segala sesuatu yang asing. Sampai, mereka pun tersadar yang benar-benar asing bukanlah ketakutan mereka, namun selimut kabut yang menghalangi pandangan mereka untuk mengingat segala macam warna.

Aku yakin, dari sekian langkah yang berjarak, dengan bunyi gesekan sayap pisau yang mengejar kami, langit memantulkan senyum kami. Sehingga, kami pun tahu untuk tak menjadi lelah dengan segera. Kami masih harus berlari sampai benar-benar berada di dua arah perbatasan kabut. Hanya dugaan kami, pada perbatasan kabut itulah, kekuatan Lalat Pisau akan berkurang sebagaimana kabut telah menipis. Sebab, jika harus diibaratkan sebagai katak dalam tempurung, mereka adalah lalat yang terlalu nyaman di dalam lubang apel yang busuk.

Kami terus berlari dalam setiap jengkal yang membuat kami tersadar. Kabut adalah butiran air tipis. Dalam basuhannya, langkah kami mengingat kembali bertahun sebelum selimut kabut ini membuai untuk melupakan.

***

Mendung, sayup-sayup angin, dan celoteh manusia yang enggan pulang pada hari libur perkuliahan. Derap langkahku menjadi salah satu orkestrasi di antara tawa dan hawa dingin pukul 16.30 sore. Fakultas Ilmu Budaya (setelah ini kusingkat saja dengan kata FIB) sudah sangat berbeda dari tahun pertama aku memasukinya enam tahun silam. Bagi orang-orang yang mengenal langkahku sore itu, aku adalah seorang senior yang perlu disapa. Namun, bagiku di hadapan mahasiswa baru, aku masih belia seperti mereka. Mengenal kehidupan kampus dan segala tugas padatnya yang tak perlu tergesa diselesaikan. Santai saja, malam hari sebelum esok dikumpulkan baru kita kerjakan. Sementara itu, yang diingat dari sore hari setelah perkuliahan usai adalah tempat nongkrong, kos-kosan, atau perjalanan di atas motor untuk menyerahkan diri kepada malam.

Menjadi nokturnal sudah bukan hal baru untuk kehidupan mahasiswa. Justru, semua orang akan heran kalau mahasiswa sudah tidur jam sembilan malam. Kata cupu mungkin akan hinggap di bahu mereka yang seperti itu, meskipun itu hanyalah sebuah prasangka yang diciptakan sendiri di antara sore dan malam hari.

“Sam!” hanya dengan sepenggal suku kata itu aku tahu orang yang memanggilku adalah Kurnia. Sekali menengok aku tahu dari mana suara itu berasal. Seperti tatanan kursi di kafe-kafe outdoor, bangku-bangku hitam berbaris rapi sebagai penyambut para mahasiswa sebelum sampai di gedung Soegondo, bangunan baru setinggi tujuh lantai di FIB Universitas Gadjah Mada. Kurnia tidak duduk di bangku itu, ia memilih untuk mengisi sebaris tangga di lantai pertama gedung Soegondo yang bertatap dengan bangku hitam terakhir. Kurnia melambai untuk menarik langkahku ke sana. Hida yang duduk di sebelahnya tersenyum simpul. Keduanya silih berganti mengganti arah pandangan kepadaku dan kepada Adi yang mondar-mandir di halaman rumput gedung Soegondo. Ia memberikan tatapan sederhana padaku dengan satu matanya. Bukan karena apa ia melakukan itu, ia memang hanya dilahirkan dengan mata kiri yang tak memiliki bola mata. Namun, aku tak melihat kengerian atasnya. Ia adalah seorang keybordis dan mahasiswa yang rendah hati. Ia sangat mumpuni untuk disebut sebagai mahasiswa pintar, hanya saja ia seringkali memilih menyembunyikan pengetahuannya di dalam candaan kata-kata. Ia cukup mahir disebut sebagai komedian, tapi ia memilih menjadi pemain teater kecil di fakultas pertama yang didirikan UGM sejak 1939 itu.

Suwe ra ketok Sam!” sapanya kepadaku untuk menyelesaikan kata-kata Kurnia. Sebagai orang Malang, Kurnia memang cukup banyak memberikan pengaruh kultural pada kedua temannya itu. Sejatinya, kata Sam adalah pembalikan dari kata Mas. Mereka bertiga memang adik tingkatku di perkuliahan, makanya sapa mereka padaku begitu. Orang Jawa memang terlalu enggan untuk memanggil seseorang hanya dengan sebatas nama.

Mbok ya jangan dipanggil Sam, kalian kan angkatan 2014, lah sekarang kan aku angkatan 2017!” tukasku dengan sedikit senyuman.

“Halah, sampeyan kan angkatan 2017 wes beda status sekarang. Bukan mahasiswa S1 lagi!”

Sing penting wajahku tetap setaralah sama kalian! Setidak’e malah-malah cocok dadi adik angkatan, hahahahaha…

Percakapan pun mengalir begitu saja, menyambut setiap cucuran dari hulu ke hilir. Batu-batu kali dan lumpur dari percabangan kali terkadang bergelumbung di mulut-mulut kami. Umpatan-umpatan di sela-sela kaliat adalah sebuah keniscayaan yang membangun tawa yang tak henti-hentinya. Sampai-sampai gemuruh hembusan angin yang berputar di halaman gedung Soegondo pun segan ketika melihat kami tak berhenti tertawa. Jarak usia hanyalah soal angka, yang membedakan kedewasaan hanyalah soal pengalaman dan pengetahuan. Bagiku, mereka bertiga yang di depanku saat ini bukanlah mahasiswa kemarin sore yang tak paham apa-apa. Memang, kadang kala mereka masih sangat idealis dalam berpikir, tapi itu kuanggap sebagai anugerah yang menyambungkan lidahku dengan mereka.

Setelah kami lelah tertawa, Kurnia mengambil sekotak tembakau dari sakunya. Kotak besi berukir sepeda kumbang. Dengan sigap Hida pun mengeluarkan kertas rokok, khusus untuk menikmati setiap kepulan asap yang keluar daro rokok klinting, begitulah mereka menyebutnya. Rokok yang dibawa Kurnia ini memberiku ingatan tentang sejarah lampau rokok-rokok nusantara yang dibungkus dengan daun jagung dengan isian tembakau tanpa filter manis.

Udud dulu Sam!” Kurnia menawarkan sebatang rokok klinting kepadaku dalam kondisi menyala.

“Gak ada permen lolipop aja po?” sanggahku dengan tertawa. Mereka sadar kalau aku memang bukan perokok. Menawarkan rokok hanyalah sebagai simbol bahwa kami dalam seperdudukan dalam ruang percakapan di depan Soegondo itu. Hanya Hida dan Kurnia yang merokok. Sepertiku, Adi enggan untuk menghisp asap tembakau. Tetapi, percakapan di tangga gedung Soegondo itu tetap menghempus seperti kepul-kepulan asap yang dibentuk ligkaran oleh Hida dan Kurnia.

Asap-asap lingkaran itu menjadi portal dari sewajah yang asing tak asing di mataku. Wajah itu sebelumnya sudah pernah kulihat sekilas sebagai foto profil dari akun line seorang perempuan yang berkomentar di grup percakapan yang dibuat Kurnia. Pada foto profil itu, ia mengenakan pakaian serba hitam dengan kain tile yang membalut sekujur tubuhnya. Dengan sosok menyerupai ilustrasi malaikat yang turun dari langit gelap untuk memberikan penerangan. Keanggunan terpintal dalam gemulai kebekuan gerakannya yang direkam oleh sebuah fotografi. Namun, ketika menatapnya langsung estetika visual yang sebelumnya tertangkap kamera justru berubah. Ia mengenakan jumpsuit panjang gaya 70-an dengan tali pengekang di kedua bahu terikat ala kadarnya. Kaus merah jambu diselipkannya ke dalam setelan celana jumpsuit itu. Kerudung yang dipakainya adalah shading tiga warna cokelat muda menjadi merah jampbu da ditutup dengan aksen garis bergelombang warna ungu muda.

Langkah kakinya tak serupa orang dewasa. Kedua genggaman tangannya memegang pangkal sabuk pengikat jumpsuit untuk menyeimbangkan derap kakinya. Dengan sebuah lolipop bergerak pelan di pipi kanannya, ia menghampiri kami. Tidak ada kata sapaan apa-apa. Ia hanya duduk begitu saja. Ponsel pintar di saku kanan jumpsuit ia keluarkan dan dengan santainya memutar video youtube tanpa membuka percakapan dengan kami.

“Walah… cah TK kok ngelamak!” ucap Kurnia yang hanya dibalasa dengan tengokan kepalanya tanpa perlu menjawab apa-apa. “Sam Gavin… ini Camelia! Camelia… ini Sam Gavin,” begitulah Kurnia mencoba mengenalkan kami berdua yang memang sejak awal tak pernah saling menyapa. Aku hanya mengangguk dan mencoba menggariskan senyum ketika ia menengok kepadaku. Sudah dan begitu saja.

Daripada perkenalan kami yang hanya selewat pandang, aku justru membayangkan narasi visual dari kata TK yang Kurnia sebutkan. Ketika kuingat kembali bagaimana caranya datang, aku pun tersadar, oh… begitu. Cara berpakaian dan berjalannya memang masih seperti anak kecil. Untuk seorang anak kuliahan, lingkar mukanya yang juga kecil membuat kerudung yang dikenakannya seperti membenam sehingga wajah orang dewasa pun tersamarkan sebagai anak TK.

Percakapan tentang pementasan teater

“Aslinya teh di sini kita mau ngapain sih?” setelah beberapa saat jemarinya memainkan keyboard virtual ponselnya, kata-kata yang menghentikan segala candaan kami itu muncul dari mulut Camelia.

Sontak Kurnia pun menghentikan kepulan asapnya di udara, menghapusnya sehingga tidak tersisa. “Oh ya… sesuai yang kumumkan di grup line kemarin, kita kumpul di sini untuk membahas Pementasan Teater se-Jawa dan Lampung,” terang Kurnia setelah sehela napas, “Dan… kita akan dibimbing Mas Doko, salah satu jebolan Bengkel Teater Rendra, tapi pesenku kalau nanti ngobrol sama Mas Doko jangan sampai menyinggung tentang hal itu. Dia tidak mau berada di bawah bayang-bayang kejayaan Rendra terus-menerus.”

Aku baru sadar kalau Kurnia tiba-tiba melenyapkan seluruh logat Malang-an yang biasa ia gunakan. Adi dan Hida pun membalas ucapan Kurnia dengan isyarat-isyarat Bahasa Indonesia informal. Oh… aku tahu.

“Aku teh gak bisa akting Mas, aku mah cuma bisanya nari Jaipong! Ini kok tiba-tiba mau dibimbing orang yang kayaknya idealis,” dari nada bicara Camelia itu aku mulai tahu kalau ia bukan orang Jawa. Aku mengerti kenapa akhirnya Kurnia memilih untuk berbicara dengan bahasa Indonesia secara lengkap.

“Tenang aja, di sini orang-orang yang kuajak dan bersedia bukan kulihat dari bakatnya akting kok. Tapi, nanti akting itu akan menjadi bagian proses kerja yang tak pernah usai. Kata Mas Doko begini, ‘Naskah pementasan itu baru benar-benar selesai setelah pementasan terakhir’. Jadi dalam proses pentas keliling ini kita akan merasakan latihan terus-menerus, dan aku yakin kita semua akan menikmatinya.”

Aku pun berpikir, apa yang sebenarnya diinginkan Kurnia dari kehadiranku. Oke, beberapa kali aku memang pernah main teater, pernh juga jadi sutradara dan penulis dalam Festival Teater Yogyakarta tahun 2015. Sudah dua tahun aku benar-benar berhenti dari dunia itu, tanpa tahu kapan melanjutkannya. Hanya saja, ucapan Kurnia barusan juga mengingatkanku pada sebuah momen percakapan dengan Dr. Apri, dosen sekaligus penulis di kampusku. Saat itu aku sengaja meminta tolong kepadanya, kalau-kalau dia bersedia mengoreksi naskah yang kubuat untuk Festival Teater tahun 2015 itu.

_____

“Naskahmu ini terlalu menerangkan! Gak ada peristiwa, semuanya penjelasan.”

Hampir setiap minggu dalam satu bulan aku selalu mendatangi kantornya sejak komentar itu dan pada percobaan ke empat di akhir bulan, ia pun mulai tersenyum. Katanya, “Bagus, sudah ada peristiwanya, tapi masih sangat bisa dikembangkan lagi.”

Ucapan itu cukup untuk mengantarkanku pada posisi lima besar, finalis yang diperbolehkan mementaskan karyanya pada Festival Teater. Bagiku Dr.Apri membuatku berhutang besar, sehingga ia pun menjadi orang pertama yang kuundang untuk mendapatkan kursi VIP dalam perhelatan tersebut. Ia menyaksikan pementasan dari naskah teater yang kutulis. Ia pun menyaksikan bagaimana grup teaterku kalah di panggug final. Dalam kondisi itu, ia menemuiku di belakang panggung, memberikan sebuah senyum dan tepuk di bahuku belasan kali.

“Sekarang tinggal kamu, masih mau melanjutkan jalan ini atau menyerah!”

Tanpa sedikitpun keraguan, aku membalas ucapannya dengan nanar mata yang kupertajam, “Bagi saya tidak ada pilihan, saya akan lanjut! Tapi, pastiya saya harus belajar lebih banyak lagi sekarang.”

____

 “Kalau Sam Gavin ini, misalnya, jelas kuajak karena aku pernah ikut dalam Teater Es Campur yang ia buat untuk Festival Teater 2015. Kita butuh bantuan Sam Gavin untuk mengkoordinasikan kepanitiaan, proses produksi. Tapi, Sam Gavin ya harus tetap main teater ya! Hahahaha…” lamunanku pun terjawab dengan maksud frontal yang Kurnia ucapkan.

Tawanya terhenti untuk kembali mengambil sebatang rokok yang sudah disiapkan Hida. Bibir masam Hida enggan untuk merlakan rokok sebatang itu, namun Kurnia sudah terlanjur mengapit batang tembakau itu dimulutnya yang basah. “Nek Hida ini… eh, kalau Hida ini, Cam, kamu tahu kan perannya dia?”

“Halah, pasti teh Mas Hida cuma buat jadi pabrik rokok berjalannya Mas Kur!” toleh Camelia kepada Hida yang sekali lagi harus membuat rokok klinting setelah sebatang yang ia buat dengan hati-hati di­embat begitu saja.

“Kalau aku pasti cuma buat penghibur, soale kalau nggak ada aku nggak ada yang bikin gregetan, hihihihi…” tawanya yang ringkih tanpa melukiskan segaris senyuman kadang terlihat menyeramkan. Melihat tak ada satu pun yang ikut tertawa dengannya, Adi memilih untuk beringsut dan bermain rumput di halaman Soegondo. Aku tahu betul Adi adalah seorang keyboardis, yang meskipun dengen kelemahan pandangannya, ia justru memiliki kepekaan terhadap nada lebih tinggi dari kebanyakan orang.

“Katanya masih ada dua orang lagi Mas? Kok nggak ada?” Camelia mulai aktif berbicara di sela-sela percakapan yang belum benar-benar dimulai.

“Iya, ada Sam Sasongko dan Aulia… Sam Sasongko lagi shift kerja di kafe, kalau Aulia katanya lagi mau izin ke basecamp teaternya di UNY[1]. Pentas ini memang sudah kurencanakan tidak hanya sekedar anak UGM aja, yang penting sentral organisasinya Teater Rintang. Ini akan mejadi awal buat Teater Rintang untuk melepaskan diri dari Fakultas Ilmu Budaya. Ini pikiran dan mimpiku sih… selama kita masih di dalam kampus, kita akan selalu terkurung oleh keputusan administratif dan birokratif, kalau mau bebas ya harus di luar kampus.”

“Jadi… sebenarnya kita mau pentas seperti apa ini?” biar perkenalan tidak berkepanjangan, memang begitulah aku, tak suka bertela-tele.

“Nah… iki! Sosok Pimpinan produksi yang cocok, semua harus serba cepat!” ucap Adi untuk ikut kembali dalam tongkrongan setelah ia usai dengan rumput-rumput karpet di depan gedung Soegondo.

Langkah kami yang berjauhan pun mulai saling mendekat. Daripada di tangga gedug Soegondo, kami sekarang memilih untuk duduk di salah satu bangku hitam. Sebuah meja portable menyatuan dua bangku hitam yang saling berhadapan. Krusuk… krusuk… wush… wush… angin yang bergejolak mencoba menghempaskan bebaris pohon di sekitar gedung Soegondo. Kami menerima angin itu seperti sambutan selamat datang untuk penghuni yang jarang pulang.

Angin itu sekaligus membuka rapat pertama Pementasan Teater Keliling dari kelompok Teater Rintang yang diprakarsai Kurnia. Adi bersiap dengan laptopnya untuk mencatat apa saja yang dihasilkan dalam rapat. Hida mengeluarkan keripik singkong dari tasnya agar pembahasan yang serius bisa menjadi renyah. Aku tak membawa apa-apa, jadilah kukeluarkan saja note dalam ponselku sembari kusempatkan melihat apa yang akan dilakukan Camelia.

Sinar matanya melihat pada salah satu titik di bagian kanan wajahku. Ia melihat pipi kananku? Ah, buat apa. Seolah ia baru sadar aku sedang mempertanyakan pandangannya, ia pun segera membuang imaji apa saja yang sempat melintas di kelopak matanya. Tatapannya berpindah ke titik tengah meja seolah tak ingin melihat apa saja selain kekosongan itu. Apapun itu, apa hakku untuk terus menarasikan pertanyaanku. Rapat harus segera dilaksanakan sebelum maghrib tiba.

**

Aku tahu pasti apa yang sedang kulihat. Lelaki yang baru kutemui ini sudah semestinya bukan orang biasa. Tapi, ia tak sadar akan apa yang tertulis untuk kehidupannya. Setidaknya, aku yakin tanda-tanda yang membuat kehidupannya penuh gelombang sekali atau dua kali harusnya ia tahu. Hanya saja, aku tak melihat ketegangan dalam tatapannya. Aku justru melihat kekosongan. Tidak ada aliran pasir dari sebuah jam keabadian yang seharusnya terdengar lirih di antara hembusan angin tadi. Seolah, jam pasir yang terukir sebagai siluet di pipinya sama sekali tak memiliki sebutir pasir pun. Apakah ia belum sadar akan takdir besar yang menantinya?

Ketika pasir dalam siluet itu mengalir akan ada sebuah keputusan besar yang terukir dalam kehidupan siapa saja yang berada dalam lingkungan kehidupannya. Setidaknya itulah yang kutahu sejak memilih tubuh ini. Semua orang dalam kehidupan ini pun seharusnya tahu, bahwa angin bernyanyi dalam setiap napas pertama yang dihembuskan. Bayi-bayi yang baru saja lahir menyerap lagu ini dalam nada-nada yang mampu menggerakkan otot-otot tubuhnya.

Hanya saja, manusia yang sudah mampu mengucapkan kata-kata cenderung melupakan lagu ini. Mereka yang berada di atas tangga kehidupan sebagai raga memilih untuk tidak lagi mendendangkan nyanyian jiwa. Namun, orang-orang yang memiliki tanda siluet takdir pada anggota tubuhnya harus mengingat kembali lagu ini. Itulah alasan kehadiranku, wujud angin yang menjadi penyambung nyanyian jiwa untuk seseorang yang memiliki simbol siluet takdir pada tubuhnya.

Pada selembar daun

Angin memberinya tiupan

Mengalirkannya pada setiap berkas cahaya

Bayang-bayangnya adalah keteduhan

Hingga selembar daun itu bertemu kelopak bunga

Kumbang kan datang menyatukan

Menabur benih untuk membangun

Pilar-pilar yang menyangga kehidupan

Daun jatuh di atas rerumputan ketika semut-semut melindungi tubuhnya dengan tanah. Mereka enggan tertiup angin. Tak sadar, mulutku bergerak menyanyikan nyanyian jiwa, membuat setiap mata yang duduk di atas bangku hitam itu termangu. Aku tak yakin suaraku merdu. Aku hanya menyanyi karena aku salah satu yang membawa nyanyian itu. Sementara, pada mata lelaki itu, Gavin, aku bercermin dan melihat guratan siluet di pipi kiriku. Jam pasir yang meneteskan butir demi sebutir. Pada setiap butir satu tahun kehidupan ini akan terus berjalan. Setiap makhluk yang membawa takdir langit memiliki 500 butir untuk kehidupannya. Entah, aku tak ingin mengingat berapa ratus atau berapa puluh yang tersisa pada siluet jam pasirku. Aku hanya tahu, ketika pasir itu habis, aku akan lenyap sebagai angin, kecuali aku dapat menemukan selembar daun yang membangun pilar bersamaku.

Apakah ia selembar daun yang selama ini kucari? Apa benar siluet jam pasirnya memang sesuai dengan milikku meski tak berpasir? Entah, berapa lama aku memandanginya sembari mendendangkan nyanyian jiwa.

“Camelia?” ia memanggilku dengan sapaan biasa saja, tidak ada perubahan pada hembusan angin napasnya. Dalam beberapa detik kesadaranku bercampur aduk dengan nyanyian jiwa.

“Woe! Rapat, bukan nyanyi!” panggilnya lagi dengan nada yang lebh tinggi. Aku tahu ia bermaksud membangunkanku dari lamunan. Tapi, aku tak boleh terkaget. Sebab, jika aku terkaget ia akan mengiraku sebagai tukang ngelamun. Aku harus berhenti dengan santai. Kuikuti hembusan angin yang pelan-pelan melambat. Selambat itu pulalah nada-nada dalam nyanyianku kuhentikan. Selambat itu pulalah, tatapan mataku pelan-pelan kutundukkan. Jika tidak begitu orang-orang yang mengiraku sedang ngelamun akan berbangga dengan dugaannya. Atau, seorang lelaki yang baru kukenal itu, Gavin, akan mengira kalau aku menyukainya. Walaupun… Ah, sudahlah.

“Apa sih!” ucapku ketus agar aku tak ada yang berani menanyaiku, begitulah kekuatan perempuan. Nada suaranya adalah senjata untuk menyampaikan berbagai maksud. Sejatinya, maksudku hanya agar tak menjadi malu. Tapi, para lelaki akan menangkapnya sebagai larangan untuk menanyaiku.

“Ya sudah, kita lanjutkan rapatnya!” Gavin sepertinya tahu maksudku, entah yang                    pertama atau yang kedua.

Seperti kata Mas Kurnia, lelaki ini memang sudah semestinya di sini. Secara kemampuan organisasi ia paham betul bagaimana prosedurnya dari A sampai Z. Yah, selain itu ia juga satu-satunya orang dalam sekotak tempat duduk ini yang sudah memiliki NPWP yang membuatnya tercatat sebagai pembayar pajak tahunan negara. Tanpa orang seperti ini dalam tim, memang susah rasanya untuk mendapatkan sponsor. Tapi, bukan itu yang sebenarnya membuatku terus-terusan merangkai cerita dalam batinku.

“Jadi, kita akan menjadikan Foundation milik pabrik rokok Pentul sebagai sponsor tunggal kita?” tanyanya pada Kurnia yang entah dari mana sampai kaata itu sampai muncul dari mulutnya. Oh… kita mau pakai sponsor dari foundation yang besar juga ya? Batinku bercerita sendiri seolah mengiyakan yang tak kuketahui. Kukiran kelompok teater ini masihlah sangat kecil untuk dapat memperoleh sponsor dari perusahaan sebesar itu.

“Aku malah berpikir kita harus membuat dua jenis proposal, yang satu sengaja kita ke arahkan ke Pentul sebagai sponsor tunggal. Selain itu, kita juga buat satu jenis lagi yang menerangkan Pentul sebagai sponsur Utama, sehingga kita bisa kirim ke banyak perusahaan untuk menjadi sponsor pendukung. Dengan itu kita bisa melempar banyak batu dan mendapat banyak dana, setidaknya berharap dulu gapapa kan?” ucapannya membangunkan tatapan penuh kesetujuan dari Mas Kurnia, Mas Hida, dan Mas Adi. Tanpa perlu membantah apa-apa semuanya menyetujuinya.

Tapi, bukan itu yang sebenarnya kupandang dari gerak kerutan di pipinya. Sudah sepuluh tahun lalu aku menyerah untuk mencari seseorang yang memiliki siluet di wajah serupaku. Sudah selama itu pula aku merasa pasrah dan siap menjadi pasir. Namun, setelah hembusan angin takdir yang justru datang di ujung keputusasaanku, aku justru hanya memandangnya.

Angin berlalu… malam telah larut, rapat sudah lama usai. Di atas ranjang tempat tidurku, aku merasakan tabir kabut yang menanti untuk disibak. Tapi, begitu berat untuk menggerakkan dendang nyanyian jiwa menjadi sebuah tarian. Gavin, apakah ia lelaki yang akan menjadi pasangan takdirku, selembar daun yang kutunggu sebagai kelopak bunga?

###

[1] Universitas Negeri Yogyakarta

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status