Dan pada hari itu juga Zoelva mentransfer uang yang dijanjikannya ke rekeningnya Latifah. Jumlahnya cukuplah untuk memperbesar dagangannya, Zoelva kira.
Latifah langsung meneleponku untuk mengucapkan terima kasih. "Tapi ini banyak sekali, Akhi. Mengapa Akhi ikhlas membantu saya, padahal kita belum lama saling kenal?"
"Apa mengulurkan bantuan kepada sesama itu harus mengenal dulu, Mbak Ifah?"
Latifah bukannya menjawab pertanyaan Zoelva, malah terisak. Zoelva pun memilih untuk pamit dan mengucapkan salam.
Tepat di bulan ke empat usia pertemanan dan kontaknya dengan Latifah di dunia maya, Zoelva mencoba tidak mengaktifkan nomor WA-nya selama satu minggu. Otomatis ia dengan Latifah tidak bisa saling ko
Aku kira Latifah akan tersinggung dengan ucapanku itu. Dia malah menanggapinya dengan tersenyum dan berkata, "Saya juga kan tidak muda-muda amat lagi kan, Akhi? Saya juga sudah seorang ibu-ibu, hehehe. Lagi pula saya sudah paham karakter cowok-cowok ganteng didumay, makanya saya tak pernah berminat untuk menjadikan mereka sebagai teman curhat. Tak sedikit di antara mereka yang tidak tulus dalam pertemanan dengan saya. Saya ngeri mendengar cerita dari teman-teman saya yang pernah tertipu dan dikecewakan oleh jenis brondong ganteng yang dikenalnya di dumay. Sementara sejak semula Akhi orang yang baik. Dan nyatanya benar-benar baik." Spontak Zoelva merogoh saku celana dan kantong bajunya sembari bekata, “Receh, mana receh?” Latifah tertawa melihat tingkahnya. “Iih, saya tuh berkata y
"Cinta kan tak selalu bisa diraih melalui rayuan, Mbak cantik?! Dulu pada mantan saya, saya langsung mengungkapkan cinta, dan kebetulan juga pada dasarnya juga suka sama saya. Maka jadilah. Setelah saya merasa sudah sangat cocok dengan dia, saya bermaksud melamar dia. Tapi dia selalu ada saja alasan yang dia berikan untuk menghalangi keinginan saya. Ternyata...selama ini saya dibohongi. Di kotanya dia sesungguhnya telah memiliki kekasih, bahkan tunangan. Saya akhirnya sadar, bukan dia yang menghianati saya, tetapi dia yang menghianati kekasihnya itu.” Zoelva lantas tertawa dan menggeleng-geleng. Menertawakan keperihan hatinya. Menertawakan pengalamannya yang sama sekali tak lucu. "Hm, miris juga ya, Akhi? Mangnya yang mantan terakhir itu pacar Akhi yang keberapa? Maksud Mbak, sebelum dengan dia Akhi pernah punya pacar?” 
"Assalamualaikum, Mbak Ifah." Zoelva langsung menyapa ketika wajah cantik Latifah muncul di layar handphonenya. “Walaikum salam, Akhi. Akhi sudah sampai Demak?" "Iya nih, Mbak Ifah, ini sudah berada di kamar hotel. Malah sudah mandi juga. Dik Ifah ke mari kira-kira jam berapa ntar?" "Insya Allah, jam sembilan saya sudah tiba di hotel, Akhi." "Ok, saya tunggu ya, Mbk ? Malam itu mereka mengobrol hingga menjelang subuh. Setelah sholat subuh, Zoelva lalu turun ke bawah lobi hotel untuk menanyakan mobil yan
Latifah menoleh kepada Zoelva. "Sama Mas Arief saya belum pernah ke sini, Akhi, baik sebelum menikah maupun setelah menikah," ucapnya. Arief adalah nama suaminya. "Terakhir kali saya ke sini bersama teman-teman, yaitu saat masih di pesantren. Tapi dulu belum sebagus ini, Akhi. Jadi lebih pada acara ziarah makam ulama." "Oh begitu? Hm, tempat ini benar-benar indah dan berkesan, Mbak." "Iya, benar, Akhi. Lebih tepatnya, romantis." Datar saja Latifah mengucapkan kata itu, tanpa terlihat memberi kesan "romantis" pada Zoelva. Mata keduanya kemudian sama-sama menatap kosong ke hamparan lautan. Burung-burung bangau putih yang beterbangan dan bertengger di pucuk-pucuk mangrove tak mengusik perhatian keduanya.
Selanjutnya keduanya menghabiskan waktu untuk berjalan-jalan keliling di Kota Demak, makan-makan, sebelum memasuki sebuah mall yang paling megah di kota ini untuk belanja-belanja. Zoelva ingin membelikan sesuatu barang untuk menjadi kenangan-kenangan dengan Latifah. Sebenarnya sang bidadari menolak, tetapi ia yang kepengen membelikannya sesuatu barang itu. "Masak saya datang jauh ke kota ini tak membelikan Mbak Ifah apa pun buat kenang-kenangan?" ucap Zoelva. Latifah akhirnya mau untuk dibelikan sebuah barang yang tak perlu diceritakan di sini jenis barangnya. Dia sangat senang sekali. Tak lupa Zoelva pun membelikan Mbak Syarifah buat kenangan-kenangan, yang juga tak perlu diceritakan di sini jenis barangnya. Kata Latifah, saudaranya itu pasti senang menerima
"Usia saya 25 tahun lebih 2 bulan, Pak Bos. "Sudah menikah?" "Belum, Pak Bos." "Kalau pacar atau calon?" "Pacar... sebenarnya punya, Pak Bos...," ada keraguan yang tersirat dari suara dan raut wajah Mirdas. "Kalau sudah punya pacar atau calon, lamar dan nikahilah. Apa yang kautunggu? Biar ada yang mengurusmu. Jangan terus membujang jika sudah mampu secara mental dan fisik," nasihat Zoelva. "Iya sih, Pak Bos. Saya memang sudah setahun yang lalu memikirkan soal itu. Tapi saya masih ragu, apakah..., maaf, saya nanti mampu memenuhi kebutuhan rumah
Setelah pembicaraan dengan Latifah itu, Zoelva pun segera menghubungi Mirdas dan memberitahukan tentang hal itu. "Mirdas masih ingat dengan Ustadzah Latifah?" "Tentu, Pak Bos, saya masih ingat. Kenapa dengan beliau, Pak Bos?" "Nah, yang punya lokasi yang mau dijual itu adalah sepupunya beliau. Kaudatanglah ke tempat beliau, dia akan menunjukkan lokasi itu padamu. Tadi aku sudah memberitahukannya jika kau akan menemui dia. Soal harga yang ditawarkan aku sudah cocok. Terserah kalian nanti penawarannya, itu rejeki kalian.Hanya saja, strategis apa tidak tempatnya, kamu yang putuskan." "Oh, siap, Pak Bos. Sekarang pun saya akan meluncur ke sana," sahut Mirdas. "Bagus. Lebih cepat lebih baik,&rdq
Dan benar, tak berapa lama kemudian, pemilik ruko sudah datang dan memberi salam. "Maaf ni, Pak, mengganggu kesibukannya?" ucap Zoelva, berbasa-basi, ketika pemilik ruko sudah duduk di sofa. “Kenalkan, nama saya Zoelva.” "Oh, gak apa-apa, Pak Zoelva. Saya Pak Yahya,” sahut pemilik ruko sembari menyalami Zoelva. “Saya ingin melihat melihat dulu tempatnya, Pak Yahya?” "Oh, boleh, Pak " Karena Latifah turut serta, dia pun harus menutup dulu tokonya. Mereka berempat meluncur ke lokasi. Sengaja Zoelva bukakan pintu depan mobil buat Latifah, agar duduk sampingnya.