Bab 18Seperti hari-hari biasanya, aku bangun sebelum subuh dan menyelesaikan pekerjaan rumah. Hari itu pun Mita bangun pagi. Aku melihatnya keluar dari kamar mandi sambil bernyanyi. Perutnya makin membuncit, tetapi tingkahnya justru makin menyebalkan. “Hey anak kecil? Semalam lihat apa? Kenapa dipanggil-panggil Bapak nggak keluar?“Ingin rasanya membungkam mulut nenek sihir itu. Bagaimana ia bertanya tentang hal memalukan itu. Meski mereka sudah sah menjadi suami istri, tetapi harusnya mereka tahu tempat. Apalagi ada aku yang sudah mendapatkan edukasi tentang seks di sekolah. Dan sebentar lagi aku lulus sekolah. Aku bukan anak kecil lagi. Aku tak menjawab apa pun. Mita masih berdiri di sana mengawasiku. Aku menaruh sendok secara kasar sehingga menimbukan suara yang sedikit gaduh. “Kenapa? Marah? Nggak bisa naruh dengan bener? Atau memang sengaja mancing emosi? Mentang-mentang punya pacar kaya terus mau sok-sok gitu, hah?“Aku mengambil pisau kecil. Aku berjalan ke arah Mita. “Kam
Bab 19Ujian selesai. Dua hari kulewati tanpa kabar dari Dokter Darel. Sejak kejadian tempo hari, Dokter Darel seperti memberi jarak. Ia tidak menghubungiku sama sekali. “Vi, buatkan Bapak kopi! Kopi buatan Mita terlalu manis. Ke mana lagi tuh orang? Habis bikin kopi langsung kabur.“ Bapak beranjak ke teras sambil membawa ponsel. Aku segera ke dapur, membuat kopi kesukaan Bapak. Dua sendok kecil kopi hitam ditambah satu sendok gula untuk satu cangkir. Aku membawanya ke teras. Bapak tampak sedang asik memainkan ponsel sambil tertawa sendiri. “Tunggu, Vi! Duduk dulu sebentar,“ ucap Bapak saat aku beranjak meninggalkannya. Tak ingin ribut, aku duduk di kursi berseberangan dengan Bapak. “Si Arka, kenapa nggak ke sini lagi?“ tanya Bapak. “Dia kan Dokter, Pak. Pasti sibuklah.““Kamu pacaran sama dia?““Enggak,“ jawabku singkat. “Nggak mungkin. Mana ada lelaki yang mau ngasih uang secara cuma-cuma kalau nggak pacaran,“ sangkal Bapak. “Aku dan Dokter Darel, maksudku Dokter Arka memang
“Maaf, Bu. Kalau boleh tahu berapa jumlah uang yang hilang?“ tanya Dokter Darel sopan. “Ini bukan masalah jumlah uangnya, tapi masalah kejujuran! Siapa yang mengajarimu jadi pencuri? Ibumu, hah?““Jaga mulutmu! Sudah kuperingatkan, Kamu boleh menghinaku, tapi jangan bawa-bawa Ibuk! Aku tidak mencuri, dan Ibuk tidak pernah mengajariku hal-hal buruk.““Mana ada maling ngaku!“ seru Mita. “Maaf, Bu. Berapa uangnya? Biar saya yang ganti,“ sela Dokter Darel. “Jangan, Dok! Kalau Dokter mengganti, itu sama saja Dokter menuduh saya yang mencuri uang itu. Jangankan mencuri, masuk kamarnya saja saya nggak pernah.““Bukan begitu, Vi. Aku hanya nggak mau ribut-ribut. Malu didengar tetangga.“ Dokter Darel masih berusaha menghentikan adu mulut antara aku dan Mita. “Kalau begitu, mana uangnya! Aku perlu belanja kebutuhan bayi. Bapakmu mana pernah mikir soal kebutuhan bayi.“ Mita mendekati Dokter Darel yang sedang mengeluarkan dompet dari saku celana. “Jangan, Dok! Bukan Dokter yang harus ngasih
“Di mana kalian ketemu Mahesa?“ Bapak mengulangi pertanyaannya. “Pak Mahesa direktur rumah sakit tempat saya bekerja, Pak,“ jawab Dokter Darel tanpa gugup. “Tapi, kenapa Vio memanggilnya, Om? Apa Vio pernah bertemu dengannya?“ Bapak menghempaskan tubuhnya di kursi seberang. Menatap kami bergantian. “Maaf, Pak. Kasus keluarga Bapak tempo hari viral. Kebetulan, Vio dan Bapak pasien di rumah sakit kami. Karena itu direktur rumah sakit ingin menemui Vio. Saya yang menemani beliau mengunjungi Vio, dan soal Vio memanggil beliau dengan sebutan Om, itu karena beliau sendiri yang minta.““Apa Mahesa menunjukkan gelagat aneh saat menemui Vio?“ tanya Bapak sembari menghisap rokoknya. “Tidak!“ jawab Dokter Darel singkat. Bapak diam beberapa saat. Sesekali melirikku seolah sedang mengamati bekas luka akibat pukulannya beberapa jam yang lalu. “Kalian pacaran?“ Pertanyaan Bapak membuat mukaku memerah. “Belum, Pak. Saya memang menyukai Vio, dan saya ingin serius dengannya. Kalau Bapak mengizin
“Aku boleh ikut, Dok?“ tanyaku. “Tentu. Kita jemput Kak Mahes dulu, baru ke lapas.“Kami bersiap. Meski rasa sakit masih terasa di tubuhku, tetapi aku tidak ingin melewatkan pertemuan antara Ibu dan Om Mahesa. Aku ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi. Siapa tahu, Om Mahesa bisa membantu Ibu. Setiba kami di rumah Dokter Darel. Om Mahesa sudah menunggu di depan rumah. Wajahnya terlihat lebih segar dari saat aku bertemu dengannya tempo hari. Beliau mengenakan sweater hitam dengan warna celana yang senada. Tampan, bahkan sangat tampan menurutku. Bisa jadi Om Mahesa juga sebaik Dokter Darel. Inikah orang yang sangat mencintai Ibu? Betapa beruntungnya Ibu jika bisa bersama dengan Om Mahesa. Om Mahesa menatapku lama, matanya berkaca. Mungkin, beliau seperti melihat Ibu ada dalam diriku. Aku memang sangat mirip dengan Ibu, hanya tinggi badan dan warna kulit saja yang berbeda. “Kak Mahes yakin hari ini mau bertemu dengan Mbak Ningsih?“ tanya Dokter Darel sebelum masuk ke dalam mobil. “I
Dokter Darel segera melarikan Om Mahesa ke mobil. Aku tahu, Ibu melihat kejadian ini dari kejauhan. Namun, ia tak mendekat. Barangkali benar, perasaan itu sudah selesai sejak lama. Air mata yang tadi jatuh, hanyalah air mata bahagia karena melihat orang yang pernah dicintainya. Bukan karena cinta. Dokter Darel membawa Om Mahesa ke rumah sakit. Tidak ada obat Om Mahesa di dalam mobil, karena memang Om Mahesa tidak pernah keluar rumah selama bertahun-tahun. Terlihat wajah panik dari Dokter Darel di sepanjang perjalanan ke rumah sakit. Kudengar beberapa kali ia memanggil nama Om Mahes, berusaha untuk menyadarkannya. Hanya beberapa menit di UGD, Om Mahesa dipindahkan ke ruang ICU, kata Dokter Darel kondisinya memburuk. Aku dan Dokter Darel hanya diizinkan menunggu di depan ICU. Meski Dokter Darel seorang Dokter juga, tetapi bukan ia yang menangani sakitnya Om Mahesa. “Maafkan Ibu, Dok. Kondisi kesehatan Om Mahesa menurun, mungkin karena Ibuk,“ ucapku. “Ibuk nggak salah, Vi. Memang kes
Dokter Darel datang jam sembilan pagi. Aku sudah siap dan menunggu di teras. Wajah Dokter Darel tak lagi sembab. Ia sudah tampak seperti biasanya. Meski aku tahu, kehilangan Om Mahesa adalah pukulan berat untuknya. Namun, ia tidak mau berlarut-larut dalam kesedihan. Ia seorang Dokter yang tidak bisa berlama-lama meninggalkan pasiennya hanya dengan alasan berduka. Ada banyak nyawa yang harus ia selamatkan. “Cantiknya,“ puji Dokter Darel saat melihatku memakai atasan berwarna peach dan celana soft jeans berwarna biru muda. Aku membiarkan rambutku yang sudah sebahu tergerai. Aku tersipu mendengar pujian Dokter Darel. “Sudah sarapan, Dok? Kalau belum, aku tadi bikin nasi goreng. Masih hangat, kok. Siapa tahu Dokter mau mencicip masakanku.““Boleh, kebetulan aku memang belum sarapan. Itung-itung mencicipi masakan calon istri?“ ucap Dokter Darel sambil tertawa. “Pagi-pagi sudah banyak sekali gombalannya,“ sahutku sambil mengajak Dokter Darel ke meja makan. Dokter Darel makan dengan laha
Sepulang dari lapas, Dokter Darel membawaku ke sebuah mall. Ia memintaku memilihkan baju untuk kesya. Kesya semakin besar, baju-baju di rumah banyak yang sudah tidak cukup. “Kalau Kesya nggak diajak, apa nggak takut salah ukuran, Dok?“ tanyaku memecah hening. “Aku sudah sangat hafal dengan tubuh Kesya. Aku merawatnya dari bayi, menjaga dan memperhatikan setiap tumbuh kembangnya sampai sekarang. Aku hanya meninggalkannya ketika aku harus bekerja di rumah sakit.““Sampai Dokter lupa untuk menikah?“ celutukku. Dokter Darel mengusap kepalaku tanpa melihatku, ia tetap fokus menyetir mobil sambil tertawa mendengar ucapanku. “Bukan lupa, tapi karena memang belum menemukan mama yang baik untuk Kesya. Memangnya, aku sudah terlihat sangat tua, ya?““Tidak, Dok! Tapi, seusia Dokter harusnya sudah punya anak. Maaf, kalau saya tidak sopan.““Kan aku sudah punya anak! Tinggal memberi adek untuk Kesya. Kamu mau, 'kan, ngasih banyak adek ke Kesya?“ “Loooh, kok, jadi saya?“Dokter Darel kembali te