Ayah mendapatkan warisan sepeda tua dari Kakek. Sesuatu yang nggak berharga di mata mereka, tapi saat semua sudah ku poles hingga menjadi sesuatu yang indah. Justru rasa dengki yang tersembunyi kini membakar jiwa mereka. Haruskah aku membeli kesombongannya? Yuk, baca cerita baru ini. Semoga terhibur, ambil baiknya dan buang jauh yang buruk! Luv u đź–¤
view more"Lihat itu anak kamu, anak lelaki kebangganmu nggak bisa jalan, lumpuh, nggak bisa bicara, cacat" teriak Lek Santoso, Ayah Angga.
"Santoso! Jangan pernah bawa-bawa anakku, kamu wa ras atau sudah gila? Sini kamu kalau berani!" teriak Ayah tak kalah keras.Lelaki yang masih ada ikatan hubungan keluarga itu saling naik pitam. Ayah yang tangannya dipegang erat oleh ibu seakan kemarahannya sudah sampai tingkat atas."Kamu tahu apa artinya keluarga? Keluarga itu saling menghormati dan menghargai bukan menghina seperti ini. Jika kamu tidak terima dengan niat baikku, bicara baik-baik!" tegas Ayah.Namun, bukan pada Lek Santoso dia malah berkacak pinggang seolah menantang Ayah. "Aku nggak butuh keluarga seperti kamu, memalukan. Punya saudara kok ca cat! Malu!"Tangan ini mengepal erat, urat-urat nadi menyembul menandakan aku sedang berada di titik puncak kemarahan. Masih kutahan karena berharap dia akan sadar dengan ucapannya dan meminta maaf.Namun, bukannya permintaan maaf yang keluar. Dia justru semakin garang berbicara dengan kalimat sesukanya tanpa peduli ini ada orang yang lebih tua darinya dan patut dihormati.Santoso adalah suami dari adik Ayahku, Lek Wati. Bukan tanpa sebab, dia marah karena baru saja di ingatkah oleh Ayah untuk tidak terlalu mengumbar masalah pribadinya dengan orang lain. Semua itu aib, dan sebaik-baiknya aib keluarga adalah menyimpannya baik-baik.Karena, malu jika sampai aib keluarga di sebarluaskan hanya karena ego yang tersulut api emosi. Dia memang mempunyai kebiasaan buruk yang sulit terkendali, mengatakan semua aib keluarga di khalayak ramai. Dan itu membuat Ayah malu.Aku masih saja terdiam dengan mengepal kuat mendengar ocehannya yang membakar amarah. Dadaku bergemuruh, ingin sajanya membanting dia ke tanah dan menginjak-injak menjadi bagian terkecil dan hilang di terpa angin."Seharusnya kamu sadar, jika mempunyai anak lumpuh dan nggak bisa ngapa-ngapain. Malu. Contoh ini aku, gagah, tegak dan kuat, mana mungkin mempunyai keturunan seperti dia!" teriaknya kembali dengan menunjuk ke arah Mas Agus, Kakak sulungku yang memang sedang sakit di daerah otaknya, sehingga tidak bisa lagi seperti semula.Sejak usia delapan bulan, saat aktif-aktifnya seorang bayi, Mas Agus justru terserang penyakit yang tidak pernah melintas di pikirkan Ayah, panas tinggi membuat tubuhnya rentan terhadap penyakit dan saat itu Mas Agus mulai mengalami kelumpuhan pada tubuhnya serta tidak bisa berbicara sedikitpun. Meski sudah segala macam pengobatan dari medis dan alternatif, dilakukan upaya demi kesembuhannya.Sungguh bagai petir disiang hari yang menyambar di hati kedua orang tuaku kala itu. Mereka berada dititik terendah dan hampir saja putus asa untuk mempunyai keturunan lagi. Alhasil, aku dan Mas Agus terbentang jarak cukup lama.Sebagian harta benda telah digunakan untuk berobat, tapi masih saja tidak ada tanda-tanda kesembuhan pada Kakak lelakiku satu-satunya itu. Namun, bukan seperti ini yang kami harapkan.Lek Santoso dengan angkuhnya berteriak dan berjoget serta menepuk-nepuk pan tatnya kearah Ayah yang menatapnya nanar. Ayah, mungkin hatinya telah menangis. Buktinya, suara yang hendak keluar dari tadi tidak bisa di rangkai kata-katanya.Beliau justru mematung dengan tangan mengepal kuat, sama sepertiku. Ibu, jangan tanya beliau sedang apa. Ibu tergugu di pojok rumah, mendengar semua perkataan orang yang seharusnya menghormati mereka sebagai saudara. Keluarga."Hahaha, kalian itu bodoh. Punya anak kok seperti itu." Kini anak dari Lek Santoso, Angga yang bersuara nyaring dan terbahak-bahak."Hei, kamu Santoso. Hidup itu tidak selamanya diatas, tidak ada orang yang menghendaki anak seperti Agus. Tidak! Andai aku bisa meminta kepada Tuhan dan dikabulkan, maka aku pun sama ingin mempunyai anak-anak yang sehat seperti kamu. Mempunyai banyak uang supaya bisa membeli mobil sepuluh dan rumah tingkat tiga.Jangan mentang-mentang kamu sekarang sukses lalu seenaknya menghina kami seperti ini. Jika kamu tidak mau dinasehati, cukup bilang tidak mau. Jangan bawa anakku yang tidak tahu-menahu!"Ayah berteriak kencang sekuat tenaga, urat-urat di lehernya mulai terlihat. Matanya memerah memandang kedua makhluk hidup yang sangat keji mulutnya itu.Emosi yang kupendam tak bisa ku sembunyikan rapat-rapat. Aku berjalan menuju tempatnya berdiri, memandang bapak dan anak yang tersenyum mengejek itu dengan sangat murka."Apa salah Mas Agus padamu?" tanyaku lantang.Rasanya dada ini sudah mau meledak dan memporak-porandakan banguna megah rumah Lek Santoso yang berdiri di depan rumah kami. Amarahku sudah tidak bisa ditahan. Apapun akibatnya aku akan melawan, apapun itu."Aku hanya memberitahu orang tuamu, jangan mengusik kehidupanku. Lihat itu Kakak kamu saja cacat dan nggak bisa ngapa-ngapain. Kenapa juga menasehatiku seolah dia lebih baik dari kami? Hah?! Aku nggak takut sama kamu!" bentaknya masih dengan memperagakan aksinya yang berjoget ria."Coba peragakan lagi kamu berjoget di depanku! Aku mau lihat kebolehanmu itu!" tantangku nyalang."Hah! Kamu itu hanya anak kecil yang goblok. Kamu nggak ada hak untuk memerintahku, apa jabatanmu?" Mata itu masih saja nyalang, bahkan hampir saja melompat dari lobanhnya."Aku, aku nggak masalah kamu mau marah atau apapun. Namun, apa salah Mas Agus terhadapmu? Apa? Dia kakakku tidak bisa memakimu atau berbicara buruk kepadamu, lalu kenapa kamu mengusiknya?" ulangku lantang."Hei, kamu! Kamu jangan sekali-kali berteriak kencang di depan Ayahku. Dan dengar ucapanku, aku bisa saja memenjarakanmu karena masuk ke dalam rumahku ini. Ingat! Kamu tidak ada secuilnya dari kami. Pergi!" bentak Angga dengan menepis tanganku kasar."Aku tidak takut! Di penjara seumur hidup pun aku tidak takut, karena aku membela keluargaku apalagi Mas Agus." Aku pun tak kalah kasar, aku menunjuk wajah mereka dengan garang.Tidak sedikitpun rasa takut muncul di benakku. Tidak ada. Bahkan jika aku bisa, maka ingin saja rasanya aku tampar muka Lek Santoso itu keras. Berharap giginya yang ompong itu sekalian rontok dari gusinya.🖤🖤🖤Akupun ikut berbaur dengan memeluk mereka berdua, kami berangkulan dengan deraian air mata. Semua yang di dada keluar, hingga kesalahan yang paling ujung di dalam jiwa pun seakan ikut keluar juga. Terbang tinggi mengikuti angin yang baru saja datang.Juga saat elusan lembut mendarat di punggung ini menyadarkanku dari tangisan. Ku lihat mata indah yang pernah membuat hatiku terbuai itu lalu memeluknya erat dan mengatakan dengan terbata kata maaf.“Maafkan aku, Mas, aku belum bisa menjadi istri yang baik bagimu. Maafkan aku,” isakku hari.“Aku sudah memaafkan, kita perbaiki kesalahan yang pernah lalu supaya kedepannya rumah tangga yang telah kita bina semakin baik dan bahagia, mau?” ucap Mas Yanuar dengan menyeka air mata ini.Aku hanya bisa mengangguk karena sekedar bersuara lagi pun tenggorokan ini terasa sulit. Semua seolah berhenti di tengah-tengah sehingga yang mampu aku lakukan adalah menangis dan menangis. Bahagia rasanya memiliki suami seperti Mas Yanuar, dia begitu sabar di saa
“Suci, apa kamu ingin tahu isi hati kami? Terlebih lagi Ibu, apakah kamu ingin mengetahuinya, nak?” Ibu mulai bersuara, beliau duduk di kursi bambu lalu memandang ke depan.Tidak ada airmata juga kesedihan, beliau justru beberapa kali mengedipkan kedua matanya. Aku melihat itu adalah sebuah cara untuk menghalau air mata supaya tidak keluar. Aku yakin itu.“Sebenarnya jauh di lubuk hati ibu sakit, terluka dan perih sekali menerima kenyataan pada usia senja Ibu ini. Ipar, keponakan dan mertua yang begitu membenci Ibu, berharap ibu tidak ada lagi di dunia ini, memaki Ibu, menghina bahkan meludahi Ibu dengan tawa nyaringnya kala itu. Semua perlakuan mereka memang membekas di sini!” ucap Ibu dengan menunjuk dadanya yang naik turun.Semua terdiam, baik itu Mas Yanuar dan Ayah. Tiba-tiba suasana berubah, pada hewan peliharaan kami pun seolah tahu bahwasanya ada hati yang ingin membuka luka menganga tersebut.Bahkan aku nyaris ambruk tatkala mendengar perkataan Ibu yang jauh dari perkiraanku
“Coba kamu ulangi lagi!” titah Mas Yanuar, dia berdiri sambil menatap ke arahku.“Berapa kali kamu meminta perpisahan kepadaku?” imbuhnya.“Jika memang aku bukanlah yang terbaik bagimu kenapa tidak kita sudahi saja pernikahan ini? Bukankah seumur hidup itu lama dan kita juga masih muda, kamu masih banyak pilihan yang baik untuk kedepannya. Soal Raka, aku tidak akan menghalangi untuk bertemu.”“Masih banyak wanita diluar sana yang jauh lebih baik daripada aku bukan? San kamu tahu sendiri jika aku sulit diatur dan tidak bisa bekerjasama dengan baik. Lalu apa yang kamu cari lagi jika celah dan kesempatan sudah aku berikan?” ujarku dengan bibir bergetar.Sakit sebenarnya hati ini mengeluarkan apa yang baru saja terdengar aneh di telinga. Namun, aku akan semakin sakit jika tidak ada dukungan dan genggaman kuat menghadapi hati yang terus saja tersakiti oleh sikap dan ucapan mereka yang aku sayang.Aku keluar kamar, menuju tempat paling nyaman, dia adalah kursi yang terbuat dari bambu dan te
Pagi ini kami tidak jadi pulang, Ibu terlampau khawatir dengan keadaan yang sedang kacau ini. Apalagi sejak tadi aku hanya diam dengan tatapan mata kosong. Pikiran yang berkecamuk seolah ingin mengajakku kembali terpuruk jauh dalam tragedi hati yang tidak tahu kapan selesainya ini.Mas Yanuar pun seolah tidak ingin membiarkan istrinya larut dalam tangisan. Dengan setia dia menemaniku di dalam kamar, mengaji dan sesekali menatap mata ini dengan sebuah senyuman.“Nggak kerja?” tanyaku saat suamiku berhenti mengaji.Dia menggeleng pelan lalu meletakkan kembali kita suci itu di tempatnya semula. Kembali duduk di samping lalu mengelus lembut rambut yang terurai panjang sepinggang ini. Perlahan Mas Yanuar menciumnya lalu memeluk dari belakang sambil berbicara.“Kegagalan seorang suami terhadap istri itu bukanlah karena hal duniawi saja, tapi jalan menuju akhirat. Imam, pemimpin pasti akan mengajak anggotanya untuk tetap berada di jalan yang baik, dengan susah payahnya atau mudah pasti akan
“Nggak semudah itu aku bisa melakukan hal konyol ini, Ayah!” “Ayah tahu, tapi setidaknya kamu bisa mengatakan hal itu di sini dan sekarang!”“Itu namanya pemaksaan, aku nggak bisa mengatakan hal yang tidak tulus dari hati.”“Mereka bisa dan berani minta maaf kesini bukankah itu hebat. Kebesaran hati mereka merendah dan mengatakan kalau perbuatan di masa lalu adalah kesalahan dan yakin akan memperbaiki semuanya bukankah itu hebat? Nak, Ayah dan Ibu tidak pernah mengajarkan hal dendam terhadapmu. Ini demi masa depanmu kelak supaya jangan dendam dengan seseorang karena justru akan merugikan diri sendiri,” jelas Ayah bijak.“Ayah semangat sekali membela mereka di sini!” ucapku ketus.Mata itu tajam ke arahku, Ibu pun sama. Kedua orang tuaku seolah ingin bertarung hebat dengan diri ini hanya karena orang lain yang telah menjadi saudaranya.“Jangan pernah ke rumah ini jika kata maafmu tidak ada!”“Ayah!” Suara Ibu meninggi mendengar suaminya berucap demikian padaku putri kesayangannya.Ent
Pagi-pagi sekali aku menata barang bawaan untuk dibawa pulang. Di kursi itu aku juga mengajak Raka berbicaralah supaya dia anteng.“Maafkan, Mbah,” ucap seseorang yang tak ku hiraukan.Rasa sakit yang sudah bertahun-tahun ini tidak bisa dengan sekejap aku hilangkan bahkan sembuhkan sekalipun. Entah sisi jahatku ini kenapa tidak bisa pergi dengan ucapan maaf dari mereka. Masih terlalu sakit. Akan tetapi, jika aku masih bergelut dengan dendam dan luka maka benar apa yang dikatakan oleh Mas Yanuar, jika aku tidak akan bisa maju.Ruang lingkupku pun akan tetap sama di situ-situ saja dan enggan bergerak padahal yang bisa menjalankan adalah diriku sendiri. Tanpa terasa air mata ini jatuh berlomba-lomba menuju pipi, tidak ada suara karena terlalu sakit.“Ikhlaskan, nggak ada yang bisa menyembuhkan luka kita sendiri kecuali dengan ikhlas dan ikhlas. Jika masih saja seperti itu, kapan kamu akan berkembang lebih baik?” Tepukan kecil di pundak dan suara lembut itu tidak mampu membuat air mata in
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Mga Comments