Judul: Lenyapnya Suami Durjana.
Part: 7.
***
Suasana malam ini terasa begitu dingin bagi Kendis. Ia menggigil sambil memegangi lututnya sendiri.Ruang tahanan yang Kendis huni memang terpisah dari yang lain. Ia dikurung seorang diri. Pasalnya para tahanan wanita lain tidak ada yang mau berada dalam satu sel bersama Kendis. Mereka takut, sebab kasus yang dibuat Kendis sangat menggerikan.
Semilir angin yang menyelinap masuk membuat bulu kuduk Kendis merinding. Sepasang bola matanya menerawang ke sekeliling ruangan.
Lirih terdengar suara rintihan kesakitan dari seorang lelaki.
"Sakit, Kendis ... sakit."
Kendis menelan ludah getir. Ia hapal dengan pemilik suara tersebut.
Seketika bayangan hitam melintas di hadapannya. Kendis menyeringai bagai tak gentar akan apa-apa. Padahal hati kecilnya merasa was-was.
"Kau sudah berbeda alam denganku, Mas! Jangan pernah menggangguku lagi! Semasa hidupmu sudah cukup banyak menyakiti aku! Jadi sekarang terima saja kehidupan barumu di neraka," gumam Kendis.
Hening.
Tak ada lagi suara aneh atau pun bayangan yang menakutkan. Kendis kembali tenang dan tak ingin memikirkan perihal hantu suaminya yang mungkin memang gentayangan.
.
Di sisi lain, Lena dan Lasmi tidur satu kamar. Keduanya berjaga-jaga, takut didatangi makhluk yang diduga kiriman Kendis itu.
Suara lolongan anjing membuat keduanya semakin ketakutan.
"Bu, sepertinya makhluk si*lan itu sudah muncul," ujar Lena.
"Hus, jangan berisik! Ibu sangat takut sekarang," desis Lasmi.
Keduanya saling berpelukan dengan tubuh yang gemetar. Lalu, terdengar suara dari jendela kamar.
"Bu ... tolong aku!"
Lasmi melebarkan matanya ketika mendengar suara itu.
"Len, kamu dengar nggak?" tanya Lasmi.
"Iya, Bu. Itu seperti suara Bang Joko," sahut Lena dengan melepaskan dekapannya.
Perlahan keduanya bangkit dari tempat tidur dan mulai berdiri menghampiri jendela.
"Abangmu datang lagi, Len. Ibu sebenarnya takut, tapi Ibu juga rindu," ucap Lasmi menahan bulir bening di matanya.
Lena hanya diam sambil memegang lengan sang Ibu. Keduanya memberanikan diri membuka jendela kamar.
Ssrrreeettt! Pintu jendela dibuka. Terlihat wajah penuh luka dengan lumuran darah di sekujur tubuh. Ia menangis kesakitan.
"Bu ... tolong!"
Lasmi tak dapat mengenali wajah itu. Namun, dari suaranya ia sangat yakin kalau yang ada di hadapannya sekarang adalah hantu Joko.
"Pergi! Jangan datang ke sini lagi! Kau membuat Ibu takut, Joko! Kita sudah berbeda kehidupan. Harusnya kau menuntut balas pada Kendis! Jangan ke sini!" teriak Lasmi.
Rama yang mendengar suara berisik dari dalam kamar sang Ibu langsung bergegas mengetuk pintu.
"Bu, ada apa?" tanya Rama dari luar kamar.
Lena dan Lasmi menoleh ke arah pintu, dan kemudian kembali membalikan badan ke arah jendela. Saat itu juga sosok Joko menghilang.
Lasmi menghempaskan napas lega. Detik berikutnya ia langsung membuka pintu kamar.
"Ada apa? Kenapa Ibu dan Kak Lena mandi keringat begitu?" tanya Rama heran.
"Bukan urusanmu! Lagian kalau kami ceritakan yang sebenarnya kamu juga nggak akan percaya," hardik Lasmi.
Rama menggeleng-geleng keheranan dan segera berlalu.
Dengan langkah yang lemah, Rama duduk di teras depan rumah.
Ia mencoba merenungi nasib yang sedang menimpa keluarganya.
"Seandainya dulu aku yang menikahimu, Mbak. Pasti semua ini tidak akan terjadi. Bahkan, sampai sekarang pun aku masih menyimpan perasaanku padamu," gumam Rama.
Sedari dulu semenjak Joko dan Kendis menjalin hubungan, Rama memang telah jatuh hati secara diam-diam pada calon istri Abangnya itu. Namun, Rama tak punya keberanian untuk mengungkap karena sadar Kendis milik Joko.
Disaat ingatan itu menguasai otaknya, tiba-tiba Rama melihat seseorang berjalan menuju kamar sang Ibu.
Rama mengikuti dengan sembunyi-sembunyi. Sosok itu mirip Kendis.
Beberapa kali Rama mengusap-ngusap matanya. Namun, ia semakin yakin kalau yang dilihatnya benar-benar Kendis.
"Bagaimana mungkin?" tanya Rama heran.
Sosok itu mencoba mengetuk pintu jendela kamar Lasmi.
Belum sampai tangan itu menyentuh pintu jendela, Rama lebih dulu menegurnya.
"Mbak Kendis," panggil Rama.
Wanita dengan wajah sama persis seperti Kendis itu menoleh. Kemudian ia melotot melihat kehadiran Rama.
Wanita itu pun segera berlari menjauh. Rama mengejar dan berteriak!" Tunggu."
Namun, sosok yang diyakini Rama adalah Kendis itu berlari sangat kencang dan menghilang.
Rama menarik napas panjang, lalu teringat dengan ucapan sang Ibu dan Kakaknya.
"Jadi Mbak Kendis benar-benar mendatangi Ibu dan Kak Lena? Tapi, bukannya dia di penjara?"
Sejuta tanya kini memenuhi isi kepala Rama. Akan tetapi, ia tak mau menceritakan hal ini pada Ibu dan Kakaknya. Rama akan mencaritahu sendiri kebenaran yang sesungguhnya.
Bersambung.
Ros ingin berdiri dan menyelamatkan diri dari sana. Namun, kedua kakinya terasa lemah. Ia hanya mencoba menarik napas agar sedikit tenang."Ibu, saya sungguh tak menyangka kalau Ibu sama sekali tak bisa berubah. Ibu rela menjebak Anak Ibu sendiri demi ambisi yang tak ada hasilnya itu!" papar Husein dengan sorot mata siap menerkam."Husein ... itu semua belum tentu benar, Nak! Nona Khana pasti sudah merekayasanya. Kalau tidak, dari mana dia bisa menemukan rekaman yang dua puluh tahun lalu? Itu omong kosong, bukan?"Husein beralih menatap ke arah Khana."Aku mendapatkannya di hotel tempat kejadian itu, Tuan. Aku memang curiga, dan aku menyelidikinya. Kalau Tuan tak percya, silakan cek keaslian video rekaman ini!"Husein ingin semuanya jelas tanpa menduga-duga lagi. Ia mengundang seseorng yang ahli mengamati semua konten.Kurang lebih tiga puluh menit berlalu, Flo dan Riva akhirnya tiba di rumah utama. Bersamaan dengan orang suruhan Husein."Ada apa kami dipanggil malam-malam begini?" ta
Husein mengambil bantal dan berbaring di sofa yang ada di kamar tersebut."Kenapa Tuan tidur di situ?" tanya Flo dengan suara gemetar. Ia gugup bercampur terlalu senang."Lalu saya harus tidur di ranjang denganmu?" Wajah Husein sangar menatap ke arahnya.Flo menunduk dan menjawab, "Saya pikir Tuan memang mau tidur di kamar ini satu ranjang dengan saya.""Jangan mimpi! Saya pun sebenarnya tak sudi berada di sini. Semua saya lakukan hanya semata-semata untuk Riva," hardik Husein.Flo tak berani lagi membuka suara. Ia naik ke atas ranjang seraya memperhatikan secara diam-diam sosok lelaki yang menutup mata di atas sofa. Ia tersenyum miris, tapi hatin ya tetap saja merasakan senang karena setidaknya ia bisa berada dalam satu ruangan yang sama sepanjang malam ini.'Mungkin sekarang Tuan memang tak mau satu ranjang dengan saya, tapi suatu hari nanti saya yakin Tuan akan luluh juga. Riva akan tetap jadi senjata bagi saya melemahkanmu, Tuan," batin Flo.__Pagi sekali Husein telah menghilang
Malam harinya, semua kembali berkumpul di meja makan. Khana dan Ara tak pernah melewatkan makan malam bersama di rumah utama. Keduanya selalu memenuhi perintah Husein.Namun, malam ini Areta dan Arsya yang tak terlihat batang hidungnya. Sedangkan Riva bersama Flo turut hadir berkunjung, karena besok adalah wekeend."Ke mana Areta?" tanya Husein menatap ke arah Khana."Mungkin di kamar Arsya," sahut Khana dengan santai."Panggil dan ajak makan bersama!" titah Husein pula."Biar Ara saja yang memanggil Mama dan Arsya," sambung Ara yang dengan sugap berdiri.Ia melangkah perlahan dan mencoba memeberanikan diri menemui Arsya. Ia tahu, pasti Arsya juga sakit hatinya padanya.Sampai di depan kamar, Ara mengetuk pintu yang tak terkunci itu. Kemudian ia menerobos masuk."Mama, Arsya ... Papa sedang menunggu kalian untuk makan malam," ujar Ara mengukir senyum kaku."Kau makan saja dengan yang lain, Ara! Arsya tidak mau keluar kamarnya. Mama akan mengimbanginya makan di sini nanti," papar Areta
Areta dan Husein saling melempar pandangan mendengar penuturan dari Khana."Nona Khana ... apa maksudmu?" tanya Husein menyelidik.Ros seketika langsung pucat dan ketar-ketir."Husein, jangan dengarkan omong kosong dari istrimu yang tak setia ini. Dia mencoba memfitnah Flo! Padahal dirinya dulu pernah berkhianat."Suasana memanas. Arsya yang tengah terluka hatinya, ia memberontak dan berteriak akan kekacauan yang seolah tak menghiraukan keadaannya."Semua sama saja! Tidak ada yang mengerti perasaanku saat ini!" teriaknya, kemudian ia berlari ke dalam kamar.Areta menyusulnya. Untuk sesaat Areta tak mau memikirkan masalah lain. Arsya jauh lebih penting baginya."Nona Khana ... tolong kau jelaskan apa maksud ucapanmu barusan?" tanya Husein mengulang kalimatnya.Khana melemparkan pandangan tajam ke arah Ros dan seketika ia menyeringai sinis. "Ibu yang paling mengerti. Maka, tanyakanlah padanya!""Ibu sama sekali tak tahu apa yang dibicarakan istrimu ini, Husein. Ibu rasa dia sudah gila!'
Malam semakin larut, tamu undangan yang hadir pun sudah pulang. Hanya tersisa Raka dan Bagas di sana."Kau ke sini membawa mobil sendiri atau diantar jemput?" tanya Raka pada Ara."Aku membawa mobil sendiri. Kenapa?""Kalau begitu, aku ikut di mobilmu, boleh?""Tidak!" Ara menolak dengan cepat. Sebab ia melihat wajah Arsya sudah berubah menjadi tegang."Pelit sekali," cibir Raka.Ara tak merespon apa-apa lagi. Ia hanya berharap Raka dan Bagas segera pergi dari rumah utama."Ya sudah, sekarang ayo pulang!" ajak Bagas pula."Kau duluan saja," sahut Ara."Aku tak akan tenang pulang duluan, sementara ada seorang wanita yang menyetir sendirian tengah malam begini."Raka melotot mendengar bentuk perhatian Bagas yang tecurah untuk Ara, wanita impiannya."Ara, ayo pulang. Aku akan mengikutimu di belakang," sambung Raka yang tak mau kalah."Tapi, bukankah kau pulang bersama Ayahmu? Lihatlah, Ayahmu sudah menunggu di dalam mobil. Sebaiknya kau segera ke sana! Urusan Ara, kau tak perlu khawatir!
Seharian hari ini suasana hati Riva tak baik-baik saja. Ia terngiang-ngiang akan ucapan Husein yang mengatakan kalau pernikahan dirinya dengan Flo hanyalah sebuah kecelakaan."Kenapa? Kenapa aku harus mendengar pernyataan yang menyakitkan itu? Jika, memang pernikahan Mami dan Papa cuma karena keterpaksaan, berarti aku juga adalah Anak yang tak diinginkan," gumamnya seorang diri di dalam ruangan kerja.Tak lama, Husein pun sampai di sana. Riva menatap datar ke arah sang ayah yang menyapa. "Selamat pagi, sayang! Kenapa kau pergi dari rumah tanpa pamit dengan Papa?""Hem, maaf Tuan Husein! Sebaiknya kita bersikap profesional di sini. Takut ada yang mendengar, lalu identitasku terbongkar. Nanti akan membuat Tuan malu," desis Riva seraya menyeringai miris.Husein terkejut mendapati sikap Riva pagi ini. Tak biasanya Riva berbicara seserius itu ketika sedang berdua."Tidak akan ada siapa-siapa yang mendengar di sini, Nak. Ruangan ini dibangun kedap suara," ujar Husein pula.Riva membuang muk