Judul: Lenyapnya Suami Durjana.
Part: 5.***
Saat matahari mulai bersinar, Rama sampai di depan halaman rumah. Ia sedikit heran melihat pintu rumahnya terbuka lebar."Tumben pagi-pagi begini pintu sudah terbuka," gumam Rama sembari berjalan masuk ke dalam.
Suasana hening. Tak ada suara sang ibu. Rama menelusuri ruangan hingga ke dapur. Niat hati ingin memberi kejutan atas kepulangannya. Namun, siapa sangka ia sendiri yang dibuat terkejut.
"Ibu!" teriak Rama.
Lasmi perlahan membuka matanya, dan ikut terkejut ketika melihat keadaan dirinya yang tengah berbaring di dapur dengan sebuah bantal serta selimut yang menempel di badan.
"Kenapa Ibu tidur di dapur? Ini bau apa? Aduh, sepertinya Ibu buang air kecil di celana," gerutu Rama.
"Eh, semalam ada Kendis. Ibu pingsan, Rama."
"Ibu jangan ngada-ngada! Mbak Kendis kan di penjara. Lagian mana ada orang pingsan tidurnya pakai bantal dan selimut begini," sanggah Rama.
Lasmi pun menggaruk kepalanya yang tak gatal. Ia sendiri heran kenapa bisa ada benda-benda ini bersamanya.
"Ibu serius, Ram!"
"Ibu sudah tua. Aku yakin Ibu mulai pikun. Kemarin Kak Lena juga cerita, katanya Ibu ketakutan sambil bilang didatangi Bang Joko. Sekarang malah bilang didatangi Mbak Kendis. Kan nggak masuk akal. Jelas-jelas tadi sebelum ke sini, aku nyempetin ke penjara dulu buat liat Mbak Kendis."
Kening Lasmi berkerut sembari berpikir. "Apa iya Ibu sudah mulai pikun? Terus dua malam terkahir ini Ibu cuma berhalusinasi?"
"Ya, sepertinya begitu, Bu. Mending sekarang Ibu mandi!"
Rama berlalu begitu saja.
Sedangkan Lasmi masih mencoba mengingat kembali. Ia benar-benar yakin, kalau dirinya tak hanya berhalusinasi.
.
Kejadian dua malam yang mencekam, membuat Lasmi tak ingin keluar dari kamarnya.
Suara jangkrik terdengar menggerikan bagi Lasmi yang sedang ketakutan.
Lalu, tiba-tiba muncul sebuah bayangan di jendela kamarnya. Lasmi berdiri dengan kaki yang gemetar. Namun, rasa penasaran membuat nyalinya terkumpul untuk segera mencaritahu siapa yang ada di di luar jendela.
Degup jantung Lasmi kembali memburu ketika melihat sosok wanita yang tak asing itu tersenyum penuh arti.
"Kendis," lirih Lasmi.
"Bagaimana tidurmu semalam, Bu? Apakah nyenyak?"
"Siapa kau sebenarnya? Apa maumu?"
Lasmi semakin gemetar. Sedangkan wanita yang serupa Kendis itu hanya tersenyum tenang.
"Pergi! Rama! Cepat ke sini!" teriak Lasmi.
Rama yang mendengar teriakan Lasmi seketika menghentikan aktifitasnya.
Laptop yang menyala, Rama tutup dengan sigap.
"Ada apa sih, Bu?" tanya Rama saat tiba di kamar sang Ibu.
"Lihat, Ram! Kendis ada di sini." Lasmi menunjuk ke arah luar jendela.
Namun, ia terpaku karena sosok Kendis sudah tak ada.
"Mana, Bu? Tolong stop berhalusinasi, Bu! Aku banyak kerjaan yang harus aku selesaikan. Sebaiknya Ibu besok ke penjara, terus minta maaf sama Mbak Kendis. Mungkin halusinasi Ibu ini karena kesalahan yang pernah Ibu buat pada Mbak Kendis," ujar Rama.
Lasmi melotot tak terima. Ia sama sekali tak merasa bersalah akan kezoliman yang pernah ia perbuat pada sang menantu.
Dengan langkah yang malas Rama meninggalkan kamar Lasmi.
Sedangkan Lasmi masih memegangi dadanya. Keringat dingin masih bercucuran. Hidup wanita setengah baya itu sudah tak tenang semenjak kematian putra sulungnya, pun semenjak Kendis di penjara.
Anehnya sosok Kendis malah bisa berkeliaran di sekitar rumahnya. Lasmi mengacak-ngacak rambutnya sendiri sembari berpikir dengan serius.
"Tidak mungkin. Aku tidak mungkin berhalusinasi," gumam Lasmi.
Tak lama kemudian pintu Jendela tertutup. Lasmi kembali berlonjak kaget. Ia terbirit-birit keluar kamar dan menuju ruang tengah tempat Rama sedang duduk mengerjakan tugas kantornya.
"Ram! Tolong percaya sama Ibu! Sepertinya Kendis itu punya ilmu gaib," ujar Lasmi dengan napas yang tersengal-sengal.
Rama membuang napas kasar. Ia sungguh keheranan melihat sikap sang Ibu yang menurutnya sangat aneh itu.
"Bu, cukup! Mbak Kendis itu wanita baik. Kejahatan Bang Joko dan Ibu yang membuatnya menjadi begitu."
Sedari dulu memang cuma Rama yang sering membela Kendis.
"Baik kamu bilang? Buka matamu, Ram! Kendis itu sudah membunuh Abangmu!"
"Jujur saja aku sedih Bang Joko pergi secepat ini. Akan tetapi, aku lebih sedih karena Bang Joko tega menghabisi calon darah dagingnya sendiri."
Lasmi bergeming. Bicara dengan Rama memang tak akan pernah ada manfaatnya bagi Lasmi. Sebab putra bungsunya itu selalu memihak Kendis.
.
Sementara suasana dalam sel tahanan begitu membosankan. Kendis hanya banyak diam.
Sesak terdalam baginya hanyalah kehilangan kandungan. Sedangkan kematian Joko sedikit pun tak menimbulkan kesedihan.
"Aku memimpikan menggendong seorang bayi, lalu lelaki durjana itu menghancurkan mimpiku. Aku bersumpah akan membalas semua keluarganya yang ikut serta dalam penderitaanku," lirih Kendis dalam hati.
Bersambung.
Ros ingin berdiri dan menyelamatkan diri dari sana. Namun, kedua kakinya terasa lemah. Ia hanya mencoba menarik napas agar sedikit tenang."Ibu, saya sungguh tak menyangka kalau Ibu sama sekali tak bisa berubah. Ibu rela menjebak Anak Ibu sendiri demi ambisi yang tak ada hasilnya itu!" papar Husein dengan sorot mata siap menerkam."Husein ... itu semua belum tentu benar, Nak! Nona Khana pasti sudah merekayasanya. Kalau tidak, dari mana dia bisa menemukan rekaman yang dua puluh tahun lalu? Itu omong kosong, bukan?"Husein beralih menatap ke arah Khana."Aku mendapatkannya di hotel tempat kejadian itu, Tuan. Aku memang curiga, dan aku menyelidikinya. Kalau Tuan tak percya, silakan cek keaslian video rekaman ini!"Husein ingin semuanya jelas tanpa menduga-duga lagi. Ia mengundang seseorng yang ahli mengamati semua konten.Kurang lebih tiga puluh menit berlalu, Flo dan Riva akhirnya tiba di rumah utama. Bersamaan dengan orang suruhan Husein."Ada apa kami dipanggil malam-malam begini?" ta
Husein mengambil bantal dan berbaring di sofa yang ada di kamar tersebut."Kenapa Tuan tidur di situ?" tanya Flo dengan suara gemetar. Ia gugup bercampur terlalu senang."Lalu saya harus tidur di ranjang denganmu?" Wajah Husein sangar menatap ke arahnya.Flo menunduk dan menjawab, "Saya pikir Tuan memang mau tidur di kamar ini satu ranjang dengan saya.""Jangan mimpi! Saya pun sebenarnya tak sudi berada di sini. Semua saya lakukan hanya semata-semata untuk Riva," hardik Husein.Flo tak berani lagi membuka suara. Ia naik ke atas ranjang seraya memperhatikan secara diam-diam sosok lelaki yang menutup mata di atas sofa. Ia tersenyum miris, tapi hatin ya tetap saja merasakan senang karena setidaknya ia bisa berada dalam satu ruangan yang sama sepanjang malam ini.'Mungkin sekarang Tuan memang tak mau satu ranjang dengan saya, tapi suatu hari nanti saya yakin Tuan akan luluh juga. Riva akan tetap jadi senjata bagi saya melemahkanmu, Tuan," batin Flo.__Pagi sekali Husein telah menghilang
Malam harinya, semua kembali berkumpul di meja makan. Khana dan Ara tak pernah melewatkan makan malam bersama di rumah utama. Keduanya selalu memenuhi perintah Husein.Namun, malam ini Areta dan Arsya yang tak terlihat batang hidungnya. Sedangkan Riva bersama Flo turut hadir berkunjung, karena besok adalah wekeend."Ke mana Areta?" tanya Husein menatap ke arah Khana."Mungkin di kamar Arsya," sahut Khana dengan santai."Panggil dan ajak makan bersama!" titah Husein pula."Biar Ara saja yang memanggil Mama dan Arsya," sambung Ara yang dengan sugap berdiri.Ia melangkah perlahan dan mencoba memeberanikan diri menemui Arsya. Ia tahu, pasti Arsya juga sakit hatinya padanya.Sampai di depan kamar, Ara mengetuk pintu yang tak terkunci itu. Kemudian ia menerobos masuk."Mama, Arsya ... Papa sedang menunggu kalian untuk makan malam," ujar Ara mengukir senyum kaku."Kau makan saja dengan yang lain, Ara! Arsya tidak mau keluar kamarnya. Mama akan mengimbanginya makan di sini nanti," papar Areta
Areta dan Husein saling melempar pandangan mendengar penuturan dari Khana."Nona Khana ... apa maksudmu?" tanya Husein menyelidik.Ros seketika langsung pucat dan ketar-ketir."Husein, jangan dengarkan omong kosong dari istrimu yang tak setia ini. Dia mencoba memfitnah Flo! Padahal dirinya dulu pernah berkhianat."Suasana memanas. Arsya yang tengah terluka hatinya, ia memberontak dan berteriak akan kekacauan yang seolah tak menghiraukan keadaannya."Semua sama saja! Tidak ada yang mengerti perasaanku saat ini!" teriaknya, kemudian ia berlari ke dalam kamar.Areta menyusulnya. Untuk sesaat Areta tak mau memikirkan masalah lain. Arsya jauh lebih penting baginya."Nona Khana ... tolong kau jelaskan apa maksud ucapanmu barusan?" tanya Husein mengulang kalimatnya.Khana melemparkan pandangan tajam ke arah Ros dan seketika ia menyeringai sinis. "Ibu yang paling mengerti. Maka, tanyakanlah padanya!""Ibu sama sekali tak tahu apa yang dibicarakan istrimu ini, Husein. Ibu rasa dia sudah gila!'
Malam semakin larut, tamu undangan yang hadir pun sudah pulang. Hanya tersisa Raka dan Bagas di sana."Kau ke sini membawa mobil sendiri atau diantar jemput?" tanya Raka pada Ara."Aku membawa mobil sendiri. Kenapa?""Kalau begitu, aku ikut di mobilmu, boleh?""Tidak!" Ara menolak dengan cepat. Sebab ia melihat wajah Arsya sudah berubah menjadi tegang."Pelit sekali," cibir Raka.Ara tak merespon apa-apa lagi. Ia hanya berharap Raka dan Bagas segera pergi dari rumah utama."Ya sudah, sekarang ayo pulang!" ajak Bagas pula."Kau duluan saja," sahut Ara."Aku tak akan tenang pulang duluan, sementara ada seorang wanita yang menyetir sendirian tengah malam begini."Raka melotot mendengar bentuk perhatian Bagas yang tecurah untuk Ara, wanita impiannya."Ara, ayo pulang. Aku akan mengikutimu di belakang," sambung Raka yang tak mau kalah."Tapi, bukankah kau pulang bersama Ayahmu? Lihatlah, Ayahmu sudah menunggu di dalam mobil. Sebaiknya kau segera ke sana! Urusan Ara, kau tak perlu khawatir!
Seharian hari ini suasana hati Riva tak baik-baik saja. Ia terngiang-ngiang akan ucapan Husein yang mengatakan kalau pernikahan dirinya dengan Flo hanyalah sebuah kecelakaan."Kenapa? Kenapa aku harus mendengar pernyataan yang menyakitkan itu? Jika, memang pernikahan Mami dan Papa cuma karena keterpaksaan, berarti aku juga adalah Anak yang tak diinginkan," gumamnya seorang diri di dalam ruangan kerja.Tak lama, Husein pun sampai di sana. Riva menatap datar ke arah sang ayah yang menyapa. "Selamat pagi, sayang! Kenapa kau pergi dari rumah tanpa pamit dengan Papa?""Hem, maaf Tuan Husein! Sebaiknya kita bersikap profesional di sini. Takut ada yang mendengar, lalu identitasku terbongkar. Nanti akan membuat Tuan malu," desis Riva seraya menyeringai miris.Husein terkejut mendapati sikap Riva pagi ini. Tak biasanya Riva berbicara seserius itu ketika sedang berdua."Tidak akan ada siapa-siapa yang mendengar di sini, Nak. Ruangan ini dibangun kedap suara," ujar Husein pula.Riva membuang muk
"katakan kalau tebakan Bundamu salah, Ara! Katakan kau masih menginginkan Bagas seorang,' gumam Arsya dalam hatinya.Ia cemas, takut Ara memikirkan pernyataan cinta dari Raka."Ara hanya sedang ingin fokus pada karir Ara, Bunda. Saat ini, Ara tak mau memikirkan hal lain, apa lagi cinta. Ara masih muda. Biarlah Ara menyelesaikan impian Ara terlebih dahulu,'' paparnya."Itu sangat keren, sayang." Husein memujinya dengan bangga.Namun, Arsya semakin gelisah. 'Kenapa sikap Ara seolah benar-benar sudah tak mengharapkan Bagas? Apa perasaan bisa dihapuskan semudah itu?'.Malam harinya, Riva dan Flo tak juga beranjak dari rumah utama."Sayang, ini sudah larut. Kau mau pulang jam berapa? Papa mengkhawatirkanmu menyetir sendiri malam-malam begini," ujar Husein."Papa, sebenarnya aku ingin meminta izin untuk menginap di sini malam ini. Besok pagi-pagi sekali aku akan berangkat agar tak telat. Boleh, Papa?""Tentu saja boleh. Kau tak perlu mempertanyakan itu, sayang.""Terima kasih, Papa. Selama
Akhirnya Raka memutuskan bergabung di perusahaan Husein. Hari ini ia membawa semua kelengkapan berkas lamaran untuk memenuhi syarat diterima di sana."Raka, kamu akan menjadi asisten pribadiku di sini. Bagaimana? Apa posisi itu cukup?" tanya Arsya seraya mengukir senyum senang."Apa tidak berlebihan mengangkat aku di posisi itu dengan waktu seawal ini, Arsya?""Aku rasa tidak. Kau kan pintar dan berprestasi. Perusahaan butuh semangat juang anak muda. Jadi, kau hanya perlu melakukan tugasmu sebaik mungkin setelah ini," papar Arsya pula.Raka mengangguk setuju. "Terima kasih, Nona muda."Arsya tertawa lepas mendengar panggilan itu dari Raka. Namun, ia juga tak membantahnya, sebab dirinya harus profesional kerja.__Di sisi lain, Ara juga tengah bersemangat menjalani tugas-tugasnya sebagai penulis sekaligus penerbit. Bagas yang setiap hari berada satu kantor dengan Ara, pun akhirnya menyadari kalau benih cintanya semakin tumbuh bersemi.Namun, sebaliknya. Ara sudah tak merasakan apa-apa
Luna merasa sial, semenjak Riva turut bergabung di sana. Kini, diirnya harus menerima kehilangan pekerjaan yang sudah sangat membantu biaya kehidupannya selama ini.'Aku bersumpah akan membalas Riva nanti,' batinnya seraya meninggalkan perusahaan tersebut.Sementara di sisi lain, Arsya juga sedang memprsiapkan meeting penting yang pertama kali dipimpin olehnya. Seluruh harga penjualan saham dan sebagainya telah dijelaskan Jingga.Saat ini, semua bergantung pada keputusan Arsya."Pertama-tama, aku ucapkan terima kasih atas kerjasama kalian di perusahaan ini. Sungguh, tanpa bantuan kalian, maka aku tak akan mampu mengontrolnya sendiri. Rapat kali ini untuk menentukan harga penjualan produk yang akan diluncurkan minggu depan. Aku dan Bu Jingga sudah mendiskusikannya. Aku sudah mengambil keputusan," ujar Arsya dengan ekspresi yang tenang."Maaf, Nona Muda ... tapi, list harga yang tertera ini jauh lebih tinggi dari harga yang kita pasarkan bulan lalu. Apa tidak salah?" protes admin pemasa