"Lima belas? Astaga!"
Dea terkejut dengan jumlah fantastis yang disebut Zacky, terlebih tidak mengerti, bagaimana seseorang yang arogan seperti dia bisa berlutut dan memohon ampun dan belas kasihan kepadanya.
Yama mendekati Dea, suaranya lebih lembut saat berkata, "Dengar, Dea. Ini adalah kesempatanmu untuk keluar dari cengkeraman Zacky. Apa pun kesepakatan yang sudah kau buat dengannya, anggap saja batal."
"Benarkah?" Dea menatap Zacky, yang masih berlutut gemetar, lalu menatap Yama. Ia tak bisa mengerti bagaimana semua ini bisa terjadi begitu cepat.
"Ya, batal! Semua batal! Izinkan aku pulang. Keempat istriku dan anak-anakku sedang menungguku, mereka masih kecil, tolong berbaik hatilah, Dea."
"Aku..." Dea tidak tahu mau menjawab apa.
"Ayo pergi dari sini," kata Yama lagi, suaranya kini lebih tegas.
Dea ragu sejenak, tapi akhirnya mengangguk. Ia tahu ada sesuatu ya
Langit malam menggantung tenang di atas atap vila. Di luar, angin meniupkan dedaunan pelan, dan suasana hening menyelimuti seluruh sudut rumah. Vila itu tertidur dalam sunyi, seolah memberi ruang bagi cinta yang mulai tumbuh kembali di antara dua hati yang dulu pernah saling menyakiti.Di dalam kamar, Dea sudah lebih dulu terlelap, tubuhnya meringkuk dalam selimut tipis. Di sebelah tempat tidur, boks bayi berdiri tenang, putri kecil mereka pun ikut tertidur nyenyak, sesekali mengeluarkan suara lembut yang nyaris tak terdengar.Pintu kamar terbuka perlahan, hampir tanpa suara. Yama masuk, masih mengenakan kemeja yang sebagian besar kancingnya terbuka, dasinya tergantung longgar di leher. Wajahnya lelah. Mata memerah karena bekerja seharian, namun begitu matanya menangkap sosok Dea di atas ranjang, sebuah senyum kecil muncul.Ia meletakkan tas kerjanya di sofa, melepas arloji dan ponsel tanpa suara, lalu berjalan pelan ke
Dea lalu mengarahkan bayinya ke dadanya, dan dalam sekejap, mulut mungil itu menemukan sumber kehidupan. Hisapannya kuat meski belum sempurna. Dea terisak, kali ini bukan karena kesedihan… tapi karena kebahagiaan yang meluap begitu saja.Perasaan menjadi ibu sungguh nyata kini. Ada sesuatu yang lahir bersamaan dengan bayi itu—sebuah kekuatan baru, kasih tak terbatas, dan ikatan yang tak akan bisa direnggut siapa pun.Yama kembali melirik. Dan pemandangan di hadapannya menghentikan waktu dalam pikirannya: Dea, duduk di tempat tidur, menyusui bayi mereka dengan mata yang berkaca-kaca dan senyum kecil yang penuh cinta.“Aku belum pernah melihatmu secantik ini,” ucap Yama dengan suara nyaris berbisik.Dea menoleh, menatapnya dengan mata merah. “Jangan ganggu momen ini.”Yama tersenyum, lalu duduk di pinggir ranjang, dekat namun tidak menyentuh.
"Karena kita sama-sama keras kepala," jawab Yama jujur.Dea menghela napas, lalu tiba-tiba berkata, “Cium aku.”Yama terdiam. Matanya membesar sedikit, ragu-ragu menatap perempuan di hadapannya. Ia ingin memastikan—apakah ini mimpi? Apakah ini luka yang sedang menguji?Tapi Dea tak berpaling. Tatapan itu serius. Lirih. Lelah. Namun tulus.“Untuk malam ini saja…” lanjutnya, “aku ingin percaya… bahwa cinta kita belum sepenuhnya mati.”Dan dengan hati-hati, Yama mengangkat tangannya, menyentuh pipi Dea dengan penuh kelembutan. Ibu jarinya menghapus air mata yang masih tertinggal di ujung kelopak mata Dea. Ia mendekat perlahan, memberi waktu bagi Dea untuk menarik kembali kata-katanya—jika memang itu hanya kerinduan sesaat.Tapi Dea tidak menjauh.Dan akhirnya… bibir mereka
Malam turun perlahan, membawa angin lembut yang menyusup melalui celah jendela yang sedikit terbuka. Vila tempat Dea disekap berada jauh dari kota—terpencil, sunyi, dan dijaga ketat.Di luar sana, dunia terus berjalan seperti biasa, tapi di ruangan ini, waktu seolah beku. Tidak ada suara lain kecuali detak jam dinding dan hembusan napas Dea yang teratur namun berat.Ia duduk bersandar di ranjang, selimut menutupi sebagian tubuhnya yang masih lemah. Sejak Yama mengizinkannya melihat putrinya pagi tadi—meski hanya sebentar—perasaannya campur aduk. Bayi kecil itu begitu mungil, berkulit merah muda, dengan mata yang tertutup rapat dan bibir mungil yang mengerucut pelan saat menangis.Tangan Dea masih gemetar saat mengingat detik-detik itu. Ia ingin menyentuh. Memeluk. Menyusui. Tapi semuanya dibatasi oleh satu kata: izin.Dan satu-satunya orang yang memegang izin itu… adalah Yama. 
Fatih berdiri di depan kaca tinggi kantor Yama, menatap hamparan gedung pencakar langit yang berdiri angkuh di bawah sinar matahari siang. Tangannya mengepal di saku celana, rahangnya mengeras. Sudah dua hari penuh ia melacak jejak Dea, tapi semuanya buntu.Tidak ada CCTV rumah sakit. Tidak ada data keberangkatan. Bahkan saksi mata yang terakhir melihat Dea—seorang perawat tua—mengaku disumpah untuk diam.“Aku tahu dia ada di negara ini,” ujar Fatih tajam, menatap pria di depannya. “Dia melahirkan di sini. Tidak mungkin menghilang begitu saja.”Yama duduk tenang di belakang mejanya, jari-jarinya saling bertaut di atas map dokumen yang sengaja dibiarkan terbuka—pura-pura sibuk. Namun di balik sikap ramahnya, sorot mata Yama menyimpan sesuatu yang lebih gelap: Fatih adalah pria yang akan merebut Dea.“Aku bisa mengerti kekhawatiranmu, Fatih,” ujarnya dengan nada bersahabat yan
Langit tampak temaram dari balik jendela tinggi yang dibungkus tirai putih tipis. Aroma antiseptik samar-samar memenuhi ruangan yang terlalu sunyi untuk disebut tempat yang nyaman."Rumah sakit?"Dea perlahan membuka matanya, kelopak yang berat seperti telah tertutup selama berhari-hari. Cahaya lampu di atas membuatnya mengerjap, dan perlahan kesadarannya merambat kembali, seiring rasa nyeri yang menusuk dari perut bagian bawah.Dia berusaha mengingat, dia menyadari baru saja melahirkan dan dalam kepalanya penuh dengan pernyataan, mengapa semua terlihat berbeda?Tubuhnya terasa lemah. Saat mencoba mengangkat tangan, infus masih terpasang di sana. Tapi bukan itu yang membuat napasnya tercekat—melainkan kenyataan bahwa ini bukan kamar rumah sakit tempat dia terakhir kali sadar."Aneh..." Dea menautkan alisnya dan kedua matanya menelusuri semua isi ruangan.Bukan ruang bersalin dengan suara perawat yang hilir mudik. Tidak ad